Anda di halaman 1dari 6

A.

Pengertian Gadai
Dalam literature fikih, gadai disebut juga dengan al –rahn. Arti al rahn secara
etimologis memiliki beberapa arti, di antaranya al-tsubut (tetap/konstan/permanen), al-
dawam (kekal/terus-menerus), al habs (menahan), al-luzum (berbeda dan terpisah).
Secara etimologis, artinya al-rahn secara implisit menunjukan salah satu rukun dalam al
rahn yaitu:
‫جعل المال وثيقة بدين اوماجعل وثيقة من الين‬
“ menjadikan harta ssebagai agunan atas hutang atau sesuatu yang di jadikan
agunan atas hutang”.
Arti al-rahn secara bahasa menunjukan segi-segi al-rahn berikut ini:
1. Al tsubut menunjukan objek yang dijadikan agunan (marhun) merupakan
benda berharga yang nilainnya cenderung konstan (nilainya tidsk turun karena
pertambahan waktu).
2. Al dawam menunjukan bahwa dalam al-rahn terdapat unsur (rukun) yang
berupa marhun yang harus bersifat kekal, dalam arti tidak habis sekali pakai.
3. Al habs merujuk pada sifat marhun yang harus dikuasai dan ditahan oleh pihak
yang berpiutang.
4. Al luzum menunjukan bahwa harta yang dijadikan agunan (marhun) dapat
dibedakan atau dipisahkan dari yang lain ketika berada dalam kekuasaan pihak
yang memiliki piutang.
Jadi, arti al-rahn secara bahasa (al tsubut, aldawam, alhabs, dan al luzum) lebih
banyak menunjukan sifat marhun (salah satu rukun al-rahn) dari pada rukun yang
lain.1
Gadai syariah (Rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah atau rahin
sebagai barang jaminan atau marhun atas hutang atau pinjaman atau mahrun bih yang
diterimanya. Mahrun tersebut mempunyai nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang
menahan atau penerima gadai atau murtahin memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagai piutangnya.2

1
Jaih Mubarok dan Hasanudin, Fikih Muamalah Maliyah, (Bandung: SIMBIOSA REKATAMA MEDIA, 2017), hlm. 214.
2
Sasli Rais dan Dance Yulian Flassy, Pegadaian Syariaah: Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: UI-PRESS, 2006),
hlm. 38.
B. Dalil Rahn
Pada dasarnya gadai menurut Islam hukumnya adalah boleh (jaiz). Seperti yang
tercantum baik dalam Al-Qur’an, Al-Sunnah maupun Ijma’.
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 283 yang berbunyi sebagai berikut:
‫وان كنتم على سفر و لم تجد وا كا تبا فر حن مقبو ضة فان امن بعضا فليؤد الذى اؤتمن اما نته وليتق هللا ربه وال‬
‫تكتموا الشها فا نه اثم قلبه وهللا بما تعملون عليم‬
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagaian
yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utang) dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah swt.”
Dalil-dalil yang berasal dari hadits Nabi saw.sebagai berikut:
“Nabi saw. pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk ditukar
dengan gandum. Lalu orang Yahudi itu berkata: ‘Sungguh Muhammad ingin membawa
lari hartaku ‘, Rasulullah saw.kemudian menjawab: Bohong! Sesungguhnya Aku orang
yang jujur di atas bumi ini dan langit. Jika kamu berikan amanat kepadaku, pasti Aku
tunaikan. Pergilah kalian dengan baju besiku menemuinya.”
Ijma’ ulama berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist diatas, menunjukan bahwa transaksi
gadai pada dasarnya dibolehkan dalam Islam, bahkan Nabi saw.pernah melakukannya.
Demikian juga jumhur ulama telah sepakat akan kebolehan gadai itu.3
C. Rukun dan Syarat Sah Gadai
Sebelum dilakukan rahn, terlebih dahulu dilakukan akad. Akad menurut Mustafa
az-Zarqa adalah ikatan secara hukum yang dilakukan oleh 2 pihak atau beberapa pihak
yang berkeinginan untuk mengingkatkan diri. Kehendak pihak yang mengikatkan diri itu
sifatnya tersembunyi dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing
diungkapkan dalam suatu akad.
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn. Menurut jumhur ulama,
rukun rahn itu ada 4 (empat) yaitu:
1. Shigat (lafadz ijab dan qabul)

3
Sasli Rais dan Dance Yulian Flassy, Pegadaian Syariaah: Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: UI-PRESS, 2006),
hlm. 39-41.
2. Orang yang berakad (rahin dan murtahin)
3. Harta yang dijadikan marhun
4. Utang (marhun bih).
Sedangkan syarat rahn, ulama fiqh mengemukakannya sesuai dengan rukun rahn itu
sendiri, yaitu:
1. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad, adalah cakap bertindak hukum
(baligh dan berakal);
2. Syarat sight (lafadz);
3. Syarat marhun bih, adalah:
a. Merupakan yang wajib di kembalikan kepada murtahin;
b. Marhun bih itu boleh dilunasi dengan marhun itu;
c. Marhun bih itu jelas/tetap dan tertentu.
4. Syarat marhun, menurut pakar fiqh adalah:
a. Marhun itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan marhun bih;
b. Marhun itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan (halal);
c. Marhun itu jelas dan tertentu;
d. Marhun itu milik sah rahin;
e. Marhun itu tidak terkait dengan hak orrang lain;
f. Marhun itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa
tempat.
g. Marhun itu boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.4
D. Jenis-jenis Rahn
Gadai jika dilihat dari sah atau tidaknya akad terbagi menjadi dua yaitu:
1. Rahn shahih (lazim)
Rahn shahih yaitu rahn yang benar karena terpenuhi syarat dan rukunnya. Kebiasaan
gadai itu bergantung pada orang yang menggadaikan (rahn), bukan murtahin (penerima
gadai). Gadai tidak memiliki kekuasaan untuk membatalkannya, sedangkan murtahin
berhak membatalkannya setiap waktu.
2. Rahn fasid

4
Sasli Rais dan Dance Yulian Flassy, Pegadaian Syariaah: Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: UI-PRESS, 2006),
hlm. 42-44.
Rahn fasid yaitu akad rahn yang tidak terpenuhi rukun dan syaratnya. Gadai tidak sah
atau fasid dan mennyebabkan perjanjian batal, adalah tidak adanya akibat hukum pada
jaminan. Jadi, pihak penerima gadai (murtahin) tidak memiliki hak untuk menahannya
dan juga rahin (orang yang menggadaikan) diharuskan meminta kembali jaminan. Jika
murtahin menolak, dan jaminan sampai rusak, murtahin dipandang sebagai perampas.
Dengan demikian, harus menggantinya baik dengan barang yang sama atau dengan
sesuatu yang sama nilainya (menurut jumhur ulama).5
E. Persamaan dan Perbedaan antara Gadai dengan Rahn
Dalam masyarakat di Indonesia, sering terjadi adanya transaksi dengan
menggunakan hukum adat, seperti gadai tanah yang tidak ditemukan pembahasannya
secara khusus dalam fiqh. Di mana satu sisi, gadai tanah itu mirip dengan jual beli atau
jual gadai, sedangkan di sisi lain mirip dengan rahn. Kemiripannya dengan jual beli
karena berpindahnya hak menguasai harta yang di gadaikan itu sepenuhnya kepada
pemegang gadai, termasuk manfaatnya dan mengambil keuntungan dari benda tersebut,
meskipun dalam waktu yang ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn,
dikarenakan adanya hak menembus atau mengambil kembali bagi penggadai atas harta
yang digadaikan itu.
Persamaan gadai dengan rahn adalah:
1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang;
2. Adanya agunan (barang jaminan) sebagai jamanin utang;
3. Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan;
4. Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai;
5. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual
atau dilelang.
Sedangkan perbedaan anatara gadai dengan rahn adalah:
1. Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong
tanpa mencari keutungan, sedangkan gadai menurut hukum perdata, disamping
berprinsip tolong-menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga
atau sewa modal yang ditetapkan;

5
Abu Azam Al Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2017), hlm. 170-171.
2. Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak,
sedangkan dalam hukum Islam rahn berlaku pada seluruh harta baik harta yang
bergerak maupun yang tidak bergerak;
3. Dalam rahn menurut hukum Islam tidak ada istilah bunga uang;
4. Gadai menurut hukum perdata, dilaksanakan melalui suatu lembaga yang ada di
Indonesia disebut perum penggadaian. Sedangkan rahn menurut hukum Islam
dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.6
F. Perlakuan Bunga dan Riba dalam Gadai Syariah
Gadai pada prinsipnya merupakan kegiatan utang piutang yang murni berfungsi
sosial. Namun, hal ini berlaku pada masa Rasulullah saw.masih hidup. Rahn pada saat itu
belum berupa sebuah lembaga keuangan formal seperti sekarang ini, sehingga aktivitas
gadai hanya berlaku bagi perorangan. Jadi pada saat itu masih mungkin jika aktivitas
tersebut hanya berfungsi sosial dan rahin tidak berkewajiban memberikan tambahan
apapun dalam pelunasan utangnya.
Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui
oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari penggadaian tersebut tentu sudah bersifat
komersiil. Artinya penggadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikannya
biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga penggadaian mewajibkan menambahkan
sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa. Minimal biaya itu dapat
menutupi biaya oprasional gadai.
Gadai yang ada pada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal
yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba’, yang
dilarang oleh syara’. Menurut A.A. Basyir. Riba’ terjadi apabila dalam gadai ditemukan
bahwa pinjaman harus ada tambahan sejumlah uang dari utang pokok, pada waktu
membayar utang atau pada waktu yang telah ditentukan penerimaan gadai. Hal ini sering
disebut dengan ‘bunga gadai’. Misalnya pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali,
apabila pembayarannya terlambat sehari saja, maka nasabah harus membayar 2 kali lipat
dari kewajibannya, karena perhitungannya sehari sama dengan 15 hari. Hal ini sangat
jelas merugikan nasabah karena ia harus menambahkan sejumlah uang untuk melunasi

6
Sasli Rais dan Dance Yulian Flassy, Pegadaian Syariaah: Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: UI-PRESS, 2006),
hlm. 46-47.
hutangnya. Padahal biasanya orang yang menggadaikan barang itu untuk kebutuhan
konsumtif. Namun, apabila tidak maka dilihat dari segi komersil, pihak pegadaian
dirugikan, misalnya karena inflasi atau pelunasan yang tidak tepat waktu, sementara
barang jaminan tidak laku dijual. Karena itu, akad gadai dalam Islam, tidak dibenarkan
adanya praktik pemungutan bunga karena dilarang oelh syara’ dan pihak yang terbebani
merasa dianiaya dan tertekan, karena selain membayar hutang pegadai juga berkewajiban
membayar bunganya.7
G. Problematika Gadai Dimasa Sekarang
Kontrak rahn (gadai) dalam perbankan dalam dua hal:
1. Sebagai produk pelengkap
Rahn (gadai) dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai perjanjian
tambahan terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’ al-murabahah.
Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
2. Sebagai produk tersendiri
Di beberapa Negara islam termasuk di antaranya adalah Malaysia, akad rahn
telah digunakan sebagai alternative dari pegadaian konvensional. Bedanya
dengan pegadaian biasa, dalam rahn, nasabah tidak dikenakan bunga; yang
dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, dan
penaksiran.
Perbedaan utama dari biaya rahn dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga
yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan biaya rahn hanya sekali
dan ditetapkan di muka.8

7
Sasli Rais dan Dance Yulian Flassy, Pegadaian Syariaah: Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: UI-PRESS, 2006),
hlm. 49-50.
8
Abu Azam Al Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2017), hlm. 172.

Anda mungkin juga menyukai