Pendahuluan: Salah satu produk dalam pembiayaan syariah yang berkembang cukup pesat di Indonesia dan khususnya dalam praktik perbankan syariah adalah Rahn. Kekhasan produk perbankan syariah ini diminati masyarakat karena memberikan dukungan dalam memperoleh modal dalam mendukung kegiatan usaha masyarakat. Pelaksanaanya yang mudah dan cepat serta halal menjadi salah satu pertimbangan mengapa produk ini menjadi pilihan bagi konsumen. A. DEFINISI RAHN: Secara etimologi, rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan yang dalam istilah hukum positif disebut jaminan, agunan. Menurut ulama Syafi’iyyah, rahn adalah menjadikan materi sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan sebagai pembayar utang, apabila orang yg berutang tdk bisa membayar utang tsb. Definisi ini mengandung manka bahwa barang yg boleh dijadikan agunan hanyalah harta yg bersifat materi, tdk termasuk manfaat. Rahn di tangan murtahin hanya berfungsi sebagai jaminan utang rahin. Barang jaminan itu baru boleh dijual apabila dalam waktu yg disetujui kedua belah pihak utang tdk bisa dilunasi oleh orang yg berutang. Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang dengan kemungkinan hutang tersebut bisa dilunasi dengan barang tersebut atau sebagiannya. Pengertian
Menurut Susilo dalam Hadi (2003), gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang yang bergerak.
Secara bahasa; Ar-Rahn merupakan mashdar dari rahana-yarhanu-rahnan;
bentuk pluralnya rihân[un], ruhûn[un] dan ruhun[un] artinya adalah ats- tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng); juga berarti al-habs (penahanan).
Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab yang
mendefenisikan rahn sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bila utang tidak dibayar.” B. DASAR HUKUM RAHN 1. Al-Quran: ُ ضةٌ فَإ ِ ْن أ َ ِم َن بَ ْع ض ُك ْم َ ان َم ْقبُو ٌ سفَ ٍر َولَ ْم ت َ ِجد ُوا َكا ِتبًا فَ ِر َه َ علَى َ َو ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ُضا فَ ْليُ َؤ ِدِّ الَّ ِذي اؤْ ت ُ ِم َن أ َ َمانَتَه ً بَ ْع
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah secara tidak
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang) Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).” al-Baqarah:283 DASAR HUKUM 2. Hadis: Riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra., ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah saw. membeli makanan dengan berhutang dari seorang Yahudi dan menggadaikan sebuah baju besi kepadanya”.
3. Ijma’: Para ulama mujtahidin berijma’ atas disyariatkannya rahn.
(al-Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, 1985,V:181). C. RUKUN DAN SYARAT RAHN 1. RAHIN: Yaitu orang yang menggadaikan harus cakap hukum. 2. MURTAHIN:Yaitu orang yang menerima gadai. Syarat keduanya adalah keduanya harus ahli tasarruf (orang yang tindakannya itu berakibat hukum menurut syara’). 3. MARHUN: Yaitu barang jaminan). Syaratnya: a. Mempunyai nilai menurut syariat, jelas, dan tertentu; b. Harus ada dan utuh pada waktu akad; c. Harus bisa diserahkan seketika kepada Murtahin atau wakilnya. d. Agunan milik sah org yg berutang 4. MARHUN BIH/DAIN:Yaitu hutang. Syaratnya: a. Harus jelas bagi Rahin dan Murtahin; b. Harus tetap dapat dimanfaatkan; c. Harus lazim (mengikat) pada waktu akad, wajib dikembalikan kepada org yg menghutangi. d. Utang itu boleh dilunasi dengan agunan tsb 5. IJAB DAN QABUL:Yaitu pernyataan gadai dari para pihak. Syaratnya: a. Keduanya jelas mengungkapkan keinginan membuat akad rahn. b. Kesesuaian qabul dengan ijab. c. Masing-masing orang yang berakad mengetahui maksud lawannya. d. Persambungan qabul dengan ijab dalam majlis akad e.Tdk boleh dikaitkan dengan syarat tertentu di masa datang D. BERAKHIRNYA AKAD RAHN 1. Barang jaminan telah diserahkan kepada pemiliknya. 2. Rahin membayar hutangnya. 3. Barang gadai dijual dengan perintah hakim atas perintah Rahin. 4. Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak disetujui Rahin. MEMANFAATKAN BARANG AGUNAN Para ulama sepakat bahwa segala biaya yg dibutuhkan untuk pemeliharaan harta jaminan itu menjadi tanggungjawab pemiliknya. Jumhur ulama berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tdk boleh memanfaatkan barang jaminan itu karena barang tsb bukan miliknya secara penuh. Akan tetapi bila pemilik barang mengizinkan pemegang barang untuk memanfaatkan barang tsb selama ditangannya, maka menurut Ulama Hanafiyah boleh dimanfaatkan barang tsb. MEMANFAATKAN BARANG AGUNAN Apabila barang jaminan tsb adalah hewan ternak, maka menurut sebagian Ulama Hanafiyah, murtahin boleh memanfaatkan hewan tsb apabila mendapat izin pemiliknya. Menurut ulama Syafi’iyyah, murtahin boleh memanfaatkannya, baik tanpa seizin pemiliknya. Menurut ulama Malikiyah, murtahin tdk boleh memanfaatkan hewan tsb baik seizin pemiliknya. MEKANISME PEMBIAYAAN GADAI Pegadaian memperoleh laba dari bunga gadai. Tetapi dari segi kaca mata syariah hal ini dilarang. Tentunya jika bunga gadai dihapuskan maka lembaga pegadaian tidak akan dapat melanjutkan operasionalnya lagi. Sebaliknya jika hal ini diperbolehkan hukum haram atas riba mengikatnya dan tentu saja kerugian salah satu pihak akan terjadi.untuk mengatasi hal tersebut dapat diterapkan sebagai berikut: (1) Melakukan transaksi gadai dengan akad Rahn (2) Melakukan transaksi gadai dengan akad Bai’ al Muqoyyadah (3) Melakukan Akad al Mudharabah. (4) Melakukan dengan akad Qardhul Hasan (5) Melakukan akad Ijarah Akad Qardhul Hasan
Akad ini ditetapkan hanya untuk nasabah yang menginginkan
untuk keperluan konsumtif. Barang jaminannya hanya dapat berupa barang yang tidak menghasilkan (tidak dimanfaatkan). Dengan demikian rahin akan memberikan biaya upah atau fee kepada murtahin ( sebagai bagian dari pendapatan penggadaian syariah) karena murtahin telah merawat marhun Akad Ijarah Kontrak ijarah merupakan penggunaan manfaat atau jasa dengan ganti kompensasi. Dengan demikian nasabah akan memberikan jasa atau fee kepada murtahin, karena nasabah telah menitipkan barangnya yang dirawat oleh murtahin Akad Rahn Dalam akad rahn ini, selama rahin memberikan izin, maka murtahin dapat memanfaatkan marhun yang diserahkan rahin untuk memperoleh pendapatan (laba) dari usahanya. Murtahin harus membagi laba kepada rahin sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat oleh rahin dan murtahin. Begitu juga dengan rahin, apabila rahin telah mendapatkan izin dari murtahin untuk mengambil manfaat marhun, maka rahin juga boleh mengambil manfaat dari marhun tersebut dan dibagi pendapatannya dengan murtahin. Ketentuan ini hanya dapat dijalankan pada marhun yang dapat dimanfaatkan dan ada labanya. Sedangkan berkenaan dengan siapa yang berhak atas laba marhun adalah disesuaikan kesepakatan pada saat akad terjadi. Akad Mudharabah Dalam akad mudharabah ini, penggadaian syariah sebagai shahibul maal (penyandang dana) dan rahin sebagai mudharib (pengelola dana). Marhun yang dijaminkan adalah barang yang dapat dimanfaatkan atau tidak dapat dimanfaatkan oleh rahin dan murtahin. Rahin akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan usaha yang diperolehnya kepada mutahin sesuai dengan kesepakatan sampai modalnya terlunasi. Akad Ba’i Muqayyadah
Akad ba’i muqayyadah diterapkan pada nasabah yang
menginginkan rahn untuk keperluan produktif, artinya dalam menggadaikan marhun, nasabah tersebut menginginkan modal kerja berupa pembelian barang. Dengan demikian, murtahin akan membelikan barang yang sesuai dengan keinginan nasabah, dan pihak rahin akan memberikan mark up kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan pada saat akad berlangsung Berakhirnya Hak Gadai Syariah 1. Hutang piutang yang terjadi telah dibayar dan terlunasi; 2. Marhun keluar dari kekuasaan murtahin; 3. Para pelaksana tidak melaksanakan hak dan kewajibannya 4. Marhun tetap dibiarkan dalam kekuasaan pemberi gadai ataupun yang kembalinya atas kemauan yang berpiutang. PERKEMBANGAN PEGADAIAN SYARIAH DI INDONESIA 1. Tahun1998: Beberapa General Manager melakukan studi banding ke Malaysia. Setelah melakukan studi banding, mulai dilakukan penggodokan rencana pendirian Pegadaian Syariah. 2. Tahun 2000: Konsep bank syariah mulai marak. Saat itu, Bank Muamalat Indonesia (BMI) menawarkan kejasama dan membantu dari segi pembiayaan dan pengembangan. 3. Tahun 2002: MOU musyarakah antara Perum Pegadaian dan BMI ditandatangani. 4. Tahun 2003: 14/1/2003 Pegadaian syariah resmi dioperasikan atas kerjasama Perum pegadaian dengan BMI. BMI mensupport dana (1,55 M) sementara Perum Pegadaian menyediakan tenaga ahli dan operasional. 5. Tahun 2005: Sistem gadai syariah sudah berjalan di 13 kantor WIlayah (Kanwil) dengan dana yang telah disalurkan sebesar Rp 151 Milyar. 6. Tahun 2006: A. Omzet dan pendapatan: Pertumbuhan Pegadaian Syariah mencapai 105 persen. Bank & Asuransi Syariah hanya 40-50 persen. Pegadaian Konvensional hanya 35-40 persen. B. Nilai Pinjaman: Hingga April 2006, nilai pinjaman yang disalurkan meningkat jadi Rp 158,564 miliar. C. Kantor Cabang: Pegadaian Syariah telah memiliki 36 outlet di seluruh Indonesia. MENGAPA PRODUK RAHN BERKEMBANG DENGAN PESAT? 1. Loyalitas nasabah: Loyalitas itu terjadi karena kesadaran nasabah dan pelayanan yang cukup baik (praktis, cepat dan ramah). 2. Produk halal: Tidak terlibat dengan bunga/riba (menentramkan). 3. Resiko tidak terlalu besar: Sebab seluruh pinjaman yang diajukan telah dijamin dengan barang gadaian yang nilainya melebihi nilai pinjaman. 4. Berkah.