Anda di halaman 1dari 22

GADAI

Mohammad Farid Fad


Pendahuluan:
 Salah satu produk dalam pembiayaan syariah yang
berkembang cukup pesat di Indonesia dan khususnya
dalam praktik perbankan syariah adalah Rahn.
 Kekhasan produk perbankan syariah ini diminati
masyarakat karena memberikan dukungan dalam
memperoleh modal dalam mendukung kegiatan
usaha masyarakat.
 Pelaksanaanya yang mudah dan cepat serta halal
menjadi salah satu pertimbangan mengapa produk ini
menjadi pilihan bagi konsumen.
A. DEFINISI RAHN:
Secara etimologi, rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan yang dalam istilah hukum
positif disebut jaminan, agunan.
Menurut ulama Syafi’iyyah, rahn adalah menjadikan materi sebagai jaminan utang,
yang dapat dijadikan sebagai pembayar utang, apabila orang yg berutang tdk bisa
membayar utang tsb.
Definisi ini mengandung manka bahwa barang yg boleh dijadikan agunan hanyalah
harta yg bersifat materi, tdk termasuk manfaat.
Rahn di tangan murtahin hanya berfungsi sebagai jaminan utang rahin. Barang jaminan
itu baru boleh dijual apabila dalam waktu yg disetujui kedua belah pihak utang tdk bisa
dilunasi oleh orang yg berutang.
Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang
dengan kemungkinan hutang tersebut bisa dilunasi dengan barang tersebut atau
sebagiannya.
Pengertian

 Menurut Susilo dalam Hadi (2003), gadai adalah suatu hak yang diperoleh
seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang yang bergerak.

 Secara bahasa; Ar-Rahn merupakan mashdar dari rahana-yarhanu-rahnan;


bentuk pluralnya rihân[un], ruhûn[un] dan ruhun[un] artinya adalah ats-
tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng); juga berarti al-habs
(penahanan).

 Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab yang


mendefenisikan rahn sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai
kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu
bila utang tidak dibayar.”
B. DASAR HUKUM RAHN
1. Al-Quran:
ُ ‫ضةٌ فَإ ِ ْن أ َ ِم َن بَ ْع‬
‫ض ُك ْم‬ َ ‫ان َم ْقبُو‬
ٌ ‫سفَ ٍر َولَ ْم ت َ ِجد ُوا َكا ِتبًا فَ ِر َه‬ َ ‫علَى‬ َ ‫َو ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم‬
ُ‫ضا فَ ْليُ َؤ ِدِّ الَّ ِذي اؤْ ت ُ ِم َن أ َ َمانَتَه‬
ً ‫بَ ْع‬

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah secara tidak


tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang) Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya).” al-Baqarah:283
DASAR HUKUM
2. Hadis: Riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra., ia berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah saw. membeli makanan dengan
berhutang dari seorang Yahudi dan menggadaikan sebuah baju
besi kepadanya”.

3. Ijma’: Para ulama mujtahidin berijma’ atas disyariatkannya rahn.


(al-Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, 1985,V:181).
C. RUKUN
DAN SYARAT RAHN
1. RAHIN: Yaitu orang yang menggadaikan harus cakap
hukum.
2. MURTAHIN:Yaitu orang yang menerima gadai.
Syarat keduanya adalah keduanya harus ahli tasarruf (orang
yang tindakannya itu berakibat hukum menurut syara’).
3. MARHUN: Yaitu barang jaminan).
Syaratnya:
a. Mempunyai nilai menurut syariat, jelas, dan tertentu;
b. Harus ada dan utuh pada waktu akad;
c. Harus bisa diserahkan seketika kepada Murtahin atau
wakilnya.
d. Agunan milik sah org yg berutang
4. MARHUN BIH/DAIN:Yaitu hutang.
Syaratnya:
a. Harus jelas bagi Rahin dan Murtahin;
b. Harus tetap dapat dimanfaatkan;
c. Harus lazim (mengikat) pada waktu akad, wajib
dikembalikan kepada org yg menghutangi.
d. Utang itu boleh dilunasi dengan agunan tsb
5. IJAB DAN QABUL:Yaitu pernyataan gadai dari para pihak.
Syaratnya:
a. Keduanya jelas mengungkapkan
keinginan membuat akad rahn.
b. Kesesuaian qabul dengan ijab.
c. Masing-masing orang yang berakad mengetahui maksud
lawannya.
d. Persambungan qabul dengan ijab dalam majlis akad
e.Tdk boleh dikaitkan dengan syarat tertentu di masa datang
D. BERAKHIRNYA AKAD RAHN
1. Barang jaminan telah diserahkan kepada pemiliknya.
2. Rahin membayar hutangnya.
3. Barang gadai dijual dengan perintah hakim atas perintah
Rahin.
4. Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak
disetujui Rahin.
MEMANFAATKAN BARANG AGUNAN
 Para ulama sepakat bahwa segala biaya yg dibutuhkan untuk
pemeliharaan harta jaminan itu menjadi tanggungjawab
pemiliknya.
 Jumhur ulama berpendapat bahwa pemegang barang jaminan
tdk boleh memanfaatkan barang jaminan itu karena barang
tsb bukan miliknya secara penuh. Akan tetapi bila pemilik
barang mengizinkan pemegang barang untuk memanfaatkan
barang tsb selama ditangannya, maka menurut Ulama
Hanafiyah boleh dimanfaatkan barang tsb.
MEMANFAATKAN BARANG AGUNAN
 Apabila barang jaminan tsb adalah hewan ternak, maka
menurut sebagian Ulama Hanafiyah, murtahin boleh
memanfaatkan hewan tsb apabila mendapat izin pemiliknya.
Menurut ulama Syafi’iyyah, murtahin boleh
memanfaatkannya, baik tanpa seizin pemiliknya.
 Menurut ulama Malikiyah, murtahin tdk boleh
memanfaatkan hewan tsb baik seizin pemiliknya.
MEKANISME PEMBIAYAAN GADAI
 Pegadaian memperoleh laba dari bunga gadai. Tetapi dari segi kaca
mata syariah hal ini dilarang. Tentunya jika bunga gadai dihapuskan
maka lembaga pegadaian tidak akan dapat melanjutkan
operasionalnya lagi. Sebaliknya jika hal ini diperbolehkan hukum
haram atas riba mengikatnya dan tentu saja kerugian salah satu
pihak akan terjadi.untuk mengatasi hal tersebut dapat diterapkan
sebagai berikut:
 (1) Melakukan transaksi gadai dengan akad Rahn
 (2) Melakukan transaksi gadai dengan akad Bai’ al Muqoyyadah
 (3) Melakukan Akad al Mudharabah.
 (4) Melakukan dengan akad Qardhul Hasan
 (5) Melakukan akad Ijarah
Akad Qardhul Hasan

Akad ini ditetapkan hanya untuk nasabah yang menginginkan


untuk keperluan konsumtif. Barang jaminannya hanya dapat
berupa barang yang tidak menghasilkan (tidak dimanfaatkan).
Dengan demikian rahin akan memberikan biaya upah atau
fee kepada murtahin ( sebagai bagian dari pendapatan
penggadaian syariah) karena murtahin telah merawat marhun
Akad Ijarah
Kontrak ijarah merupakan penggunaan manfaat atau jasa
dengan ganti kompensasi. Dengan demikian nasabah akan
memberikan jasa atau fee kepada murtahin, karena nasabah
telah menitipkan barangnya yang dirawat oleh murtahin
Akad Rahn
 Dalam akad rahn ini, selama rahin memberikan izin, maka murtahin dapat
memanfaatkan marhun yang diserahkan rahin untuk memperoleh pendapatan
(laba) dari usahanya.
 Murtahin harus membagi laba kepada rahin sesuai dengan kesepakatan yang
telah dibuat oleh rahin dan murtahin. Begitu juga dengan rahin, apabila rahin
telah mendapatkan izin dari murtahin untuk mengambil manfaat marhun, maka
rahin juga boleh mengambil manfaat dari marhun tersebut dan dibagi
pendapatannya dengan murtahin.
 Ketentuan ini hanya dapat dijalankan pada marhun yang dapat dimanfaatkan dan
ada labanya. Sedangkan berkenaan dengan siapa yang berhak atas laba marhun
adalah disesuaikan kesepakatan pada saat akad terjadi.
Akad Mudharabah
 Dalam akad mudharabah ini, penggadaian syariah sebagai
shahibul maal (penyandang dana) dan rahin sebagai
mudharib (pengelola dana).
 Marhun yang dijaminkan adalah barang yang dapat
dimanfaatkan atau tidak dapat dimanfaatkan oleh rahin
dan murtahin. Rahin akan memberikan bagi hasil
berdasarkan keuntungan usaha yang diperolehnya kepada
mutahin sesuai dengan kesepakatan sampai modalnya
terlunasi.
Akad Ba’i Muqayyadah

Akad ba’i muqayyadah diterapkan pada nasabah yang


menginginkan rahn untuk keperluan produktif, artinya
dalam menggadaikan marhun, nasabah tersebut
menginginkan modal kerja berupa pembelian barang.
Dengan demikian, murtahin akan membelikan barang
yang sesuai dengan keinginan nasabah, dan pihak rahin
akan memberikan mark up kepada murtahin sesuai
dengan kesepakatan pada saat akad berlangsung
Berakhirnya Hak Gadai Syariah
 1. Hutang piutang yang terjadi telah dibayar dan terlunasi;
 2. Marhun keluar dari kekuasaan murtahin;
 3. Para pelaksana tidak melaksanakan hak dan kewajibannya
 4. Marhun tetap dibiarkan dalam kekuasaan pemberi gadai
ataupun yang kembalinya atas kemauan yang berpiutang.
PERKEMBANGAN
PEGADAIAN
SYARIAH
DI INDONESIA
1. Tahun1998: Beberapa General Manager melakukan studi
banding ke Malaysia. Setelah melakukan studi banding,
mulai dilakukan penggodokan rencana pendirian Pegadaian
Syariah.
2. Tahun 2000: Konsep bank syariah mulai marak. Saat itu,
Bank Muamalat Indonesia (BMI) menawarkan kejasama dan
membantu dari segi pembiayaan dan pengembangan.
3. Tahun 2002: MOU musyarakah antara Perum Pegadaian
dan BMI ditandatangani.
4. Tahun 2003: 14/1/2003 Pegadaian syariah resmi
dioperasikan atas kerjasama Perum pegadaian dengan BMI.
BMI mensupport dana (1,55 M) sementara Perum
Pegadaian menyediakan tenaga ahli dan operasional.
5. Tahun 2005: Sistem gadai syariah sudah berjalan di 13
kantor WIlayah (Kanwil) dengan dana yang telah
disalurkan sebesar Rp 151 Milyar.
6. Tahun 2006:
A. Omzet dan pendapatan: Pertumbuhan Pegadaian
Syariah mencapai 105 persen. Bank & Asuransi Syariah
hanya 40-50 persen. Pegadaian Konvensional hanya 35-40
persen.
B. Nilai Pinjaman: Hingga April 2006, nilai pinjaman
yang disalurkan meningkat jadi Rp 158,564 miliar.
C. Kantor Cabang: Pegadaian Syariah telah memiliki 36
outlet di seluruh Indonesia.
MENGAPA PRODUK RAHN BERKEMBANG
DENGAN PESAT?
1. Loyalitas nasabah: Loyalitas itu terjadi karena kesadaran
nasabah dan pelayanan yang cukup baik (praktis, cepat dan
ramah).
2. Produk halal: Tidak terlibat dengan bunga/riba
(menentramkan).
3. Resiko tidak terlalu besar: Sebab seluruh pinjaman yang
diajukan telah dijamin dengan barang gadaian yang nilainya
melebihi nilai pinjaman.
4. Berkah.

Anda mungkin juga menyukai