Anda di halaman 1dari 11

Makalah

PEGADAIAN SYARI’AH

Diajukan untuk memenuhi tugas

Materi : Lembaga Keuangan Syari’ah

Dosen pengampu: Hana Al – Ithriyah, S.H.,M.EI

Kelas : IV D Ekonomi Syari’ah

Oleh Kelompok 6:

Nurul Aini

Tizka Farhatillah

Sufila Yuwanika

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH (ES)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT ILMU KEISLAMAN ANNUQAYAH (INSTIKA)

GULUK-GULUK SUMENEP MADURA

TAHUN AKADEMIK 2022-2023


BAB I

A. Latar Belakang

Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di
dunia dengan jumlah penganut muslim sebesar 85%dari jumlah penduduk di
Indonesia. Dengan demikian tidak heran jika lembaga keuangan syariah saat ini
berkembang dengan pesat di Indonesia, salah satunya adalah pegadaian. Pada tahun
2016 pegadaian mampu memperoleh laba sebesar 2,2 triliun rupiah, pencapaian ini
naik sebesar 15,2% dari tahun 2015 dengan perolehan laba 1,9 triliun rupiah,
bahkan di tahun 2017 pegadaian menargetkan laba sebesar 2,5 triliun rupiah.
Pegadaian merupakan lembaga perkreditan dengan sistem gadai. Lembaga
semacam ini awalnya berkembang di Italia, yang kemudian dipraktikan di wilayah-
wilayah Eropa. Sistem gadai masuk ke Indonesia dibawa oleh orang Belanda
(VOC). Bentuk usaha pegadaian di Indonesia berawal dari Bank Van Leening pada
masa VOC, yang mempunyai tugas memberikan pinjaman uang kepada masyarakat
dengan jaminan gadai. Sejak itu bentuk pegadaian berubah sejalan dengan
perubahan-perubahan yang mengaturnya
Pegadaian Syariah sendiri atau biasa disebut rahn lahir karena adanya
kekhawatiran masyarakat terhadap gadai konvensional yang mengandung riba,
masyarakat menginginkan adanya gadai yang dalam transaksinya tidak
mengandung riba dan sesuai dengan hukum islam. Sesuai dengan misi pegadaian
syariah pada pasal 5B ayat (2)b yaitu mencegah ijon, riba, dan pinjaman tidak
wajar. Dan berdasarkan hukum Islam bahwa gadai syariah sifatnya adalah untuk
menolong, bukan untuk mencari keuntungan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian gadai syari’ah?
2. Bagaimana dasar hukum gadai syari’ah?
3. Apa saja syarat dan rukun akad gadai syari’ah?
BAB II

A. PEGADAIAN SYARIAH
1. Pengertian Pegadaian Syariah
Gadai dalam bahasa Arab disebut Rahn. Rahn menurut bahasa adalah jaminan
hutang, gadaian, seperti juga dinamai Al-Habsu, artinya penahanan 1.Sedangkan
menurut syara’ artinya akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak
yang mungkin diperoleh bayaran yang sempurna darinya.2 Dalam definisinya rahn
adalah barang yang digadaikan, rahin adalah orang mengadaikan, sedangkan
murtahin adalah orang yang memberikan pinjaman.
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang berpiutang atas suatu
barang yang bergerak yang diserahkan padanya oleh seseorang atau oleh orang lain
atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada orang berpiutang itu untuk
mengambil pelunasan dari barang tersebut didahulukan dari pada orang-orang
berpiutang lainnya; dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan
biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu
digadaikan.
Adapun pengertian rahn menurut Imam Abu Zakaria Al-Anshary, dalam
kitabnya Fathul Wahab, mendefinisikan rahn adalah menjadikan benda sebagai
kepercayaan dari suatu yang dapat dibayarkan dari harta itu bila utang tidak
dibayar.3 Sedangkan menurut Ahmad Azhar Basyir Rahn adalah menahan sesuatu
barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut
pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya
tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
Jadi, kesimpulanya bahwa rahn adalah menahan barang jaminan pemilik,baik
yang bersifat materi atau manfaat tertentu, sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya. Barang yang diterima memperoleh jaminan untuk mengambil kembali

1
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Cet ke-2, h.126
2
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Cet. Ke-1, h. 105
3
Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003),
seluruh atau sebagian hutangnya dari barang gadai tersebut apabila pihak yang
mengadaikan tidak dapat membayar hutang tepat pada waktunya.Pegadaian syariah
menjawab kebutuhan transaksi gadai sesuai syariah, untuk solusi pendanaan yang
cepat, praktis, dan mententramkan.
2. Dasar Hukum Gadai Syariah
a. Al-quran
Firman Allah di dalam Al-Quran QS Al-Baqarah (2) : 283 yang berbunyi;
Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
b. Hadist
Artinya : ”Telah menceritakan kepada kami [Mu'alla bin Asad] telah
menceritakan kepada kami ['Abdul Wahid] telah menceritakan kepada kami
[Al A'masy] berkata; Kami membicarakan tentang gadai dalam jual beli
kredit (Salam) di hadapan [Ibrahim] maka dia berkata, telah menceritakan
kepada saya [Al Aswad] dari ['Aisyah radliallahu 'anha] bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam pernah membeli makanan
dari orang Yahuid yang akan dibayar Beliau pada waktu tertentu
dikemudian hari dan Beliau menjaminkannya (gadai) dengan baju besi”.4
c. Ijma Ulama
Ijtihad atau kesepakatan para ulama membolehkan akad Rahn (al-Zuhaili,
al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985). Ijtihad tersebut diperkuat dengan
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni
2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang

4
Shahih Bukhari, Abu Abdullah bin Ismail bin Ibrahim Albukhari Alja’fi, Kitab: Jual Beli, juz 3, (Darul
Fikri, Bairut –Libnon, 1981 M),
sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan
berikut:
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun
(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang)
dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya
marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin,
dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar
pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.
3.Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun
a) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk
segera melunasi utangnya.
b) Apabila rohin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual
paksa /dieksekusi.
c) Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan .
d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rohin dan kekurangannya
menjadi kewajiban rohin..
3. Syarat dan Rukun Akad Gadai
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat syarat dan rukun gadai yang
harus dipenuhi. Syarat adalah berupa ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus
dipindahkan dan dilakukan. Sedangkan rukun adalah yang harus dipenuhi untuk
sahnya suatu pekerjaan yang terdiri atas rahin (orang yang menyerahkan barang),
murtahin (penerima barang), marhun/rahn (barang yang digadaikan) dan marhun
bih (utang) serta ijab kabul. Adapun rukun selebihnya merupakan turunan dari
adanya ijab dan kabul.5
4. Syarat Akad Gadai
Dalam hukum Islam, untuk terbentuknya suatu akad (perjanjian) yang sah
dan mengikat haruslah dipenuhi syarat akad. Syarat akad dibedakan menjadi empat
macam, yakni:6
a. Syarat terbentuknya akad (syuruth al-in’iqad)
b. Syarat keabsahan akad (syuruth ash-shihhah)
c. Syarat berlakunya akibat hukum akad (syuruthan-nafadz)
d. Syarat mengikatnya akad (syuruth al-luzun).
Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat, antara lain :
a) Harus diperjualbelikan
b) Harus berupa harta yang bernilai
c)Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah.
d) Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk digadaikan
harus berupa barang yang diterima secaralangsung.
e) Harus dimiliki oleh rahin (pinjaman atau pegadai) setidaknya harus seizin
pemiliknya.7
Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut
meliputi :
1) Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin
mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2) Marhun bih (pinjaman) . Merupakan hak yang wajib
dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang
yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan
tertentu.
3) Marhun (barang yang dirahnkan ). Marhun bisa dijual dan
nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas

5
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),h. 263.
6
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), h..95.
7
Nurmala,dkk, Perbankan Syariah Indonesia dalam perkembangan danPermasalahannya. Jurnal ESAI.Edisi3 Vol 1, 2009.
ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan
hak orang lain.
4) Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likidasi barang yang
dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam
prosedur.
5) Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa : Biaya
asuransi, biaya penyimpanan, biaya keamana, dan biaya
pengolalan serta administrasi.
Persyaratan yang wajib dipenuhi dalam melaksanakan gadai syariah
disebut dengan rukun gadai syariah adalah sebagai berikut :8
1. Ar-Rahn (yang menggadaikan) dan al-mMurtahin (penerima
gadai /yang memberikan pinjaman) adalah orang yang telah
dewasa, berakal dan bisa dipercaya.
2. Al-Marhun/Rahn (barang yang digadaikan) harus ada pada saat
perjanjian gadai dan barang tersebut merupakan milik
sepenuhnya dari pemberi gadai.
3. Al-Mahruun bih (utang) adalah sejumlah dana yang diberikan
murtahin kepada rohin atas dasar besarnya tafsiran marhun.
4. Sighat , Ijab dan Qobul adalah kesepakatan antara rohin dan
murtahin dalam melakukan transaksi gadai.
Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut
meliputi :
5. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin
mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
6. Marhun bih (pinjaman) . Merupakan hak yang wajib
dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang
yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
7. Marhun (barang yang dirahnkan ). Marhun bisa dijual dan
nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas

8
(http://pawnshop-sharia.blogspot.com/2008)
ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak
orang lain.
8. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likidasi barang yang
dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa : Biaya asuransi,
biaya penyimpanan, biaya keamana, dan biaya pengolalan serta
administrasi.9
Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat, antara lain
:
a) Harus diperjualbelikan
b) Harus berupa harta yang bernilai
c)Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah.
d) Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk
digadaikan harus berupa barang yang diterima secaralangsung.
e) Harus dimiliki oleh rahin (pinjaman atau pegadai) setidaknya harus
seizin pemiliknya.
5. Rukun Akad Gadai
Dalam konsep hukum Islam, unsur-unsur yang membentuk sesuatu itu
disebut rukun. Masing-masing rukun (unsur) yang membentuk akad memerlukan
syarat-syarat agar rukun itu dapat berfungsi membentuk akad. Tanpa adanya
syarat-syarat dimaksud, rukun akad tidak dapat membentuk akad di antaranya
adalah:10
a. Pelaku akad, yakni rahin (yang menyerahkan barang) dan murtahin
(penerima barang);
b. Objek akad, yakni marhun (barang jaminan) dan marhun bih
(pembiayaan); dan
c. Shigat, yakni ijab dan kabul.
Dalam perbankan syariah, rahn atau gadai diterapkan dalam dua bentuk, yakni
sebagai produk pelengkap dan sebagai produk tersendiri. Jika rahn sebagai produk
pelengkap dari perbankan syariah, maka rahn merupakan akad tambahan terhadap
9
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah (Bandung: alfabeta, 2011)
10
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), h. 97.
produk lain dari perbankan syariah. Produk lain tersebut adalah murabahah, salam dan
lain-lain. Sebagai produk pelengkap, bank menahan barang nasabah sebagai jaminan
bagi pelaksanaan kewajiban nasabah yang timbul dari akad yang dijaminkan. Dalam hal
ini, bank biasanya tidak menahan barang jaminan itu secara fisik. Akan tetapi, hanya
surat-suratnya. Jika rahn merupakan produk tersendiri, maka bank menerima akad rahn
sebagai jaminan atas utang
nasabah yang timbul dari pembiayaan yang diberikan oleh bank. Besarnya nilai jaminan
utang tersebut ditetapkan oleh bank. Rahn sebagai produk ini biasanya menjadi dasar
untuk transaksi gadai, seperti gadai emas dan lainnya.
Gadai syariah atau gadai emas syariah adalah menahan salah satu harta milik
nasabah sebagai barang jaminan atas utang atau pinjaman yang diterimanya dan barang
tersebut memiliki nilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan atau menerima gadai
memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya.
Seyogyanya utang itu lazim, seperti harga barangdagangan atau pengganti utang atau
nilai yang hilang atau utang itu menjadi lazim, seperti mengambil rahn dari pengusaha
atau peminjam yang dikhawatirkan adanya waktu yang hilang, sehingga rahn menjadi
nilai pada barang yang lazim.11
Lembaga keuangan (financial institution) adalah suatu perusahaan yang usahanya
bergerak di bidang jasa keuangan. Artinya, kegiatan yang dilakukan oleh lembaga ini
akan selalu berkaitan dengan bidang keuangan, apakah penghimpunan dana,
menyalurkan dan/atau jasa-jasa keuangan lainnya, sehingga lembaga keuangan
sebagaimana halnya suatu lembaga atau institusi pada hakikatnya berada di tengah-
tengah masyarakat. Lembaga yang merupakan organ masyarakat merupakan sesuatu
yang keberadaanya untuk memenuhi tugas social dan kebutuhan khusus masyarakat.
Oleh karenanya, berbagai jenis lembaga ada. dan dikenal dalam masyarakat masing-
masing mempunyai tugas sendiri sesuai dengan maksud dan tujuan dari tiap lembaga
yang bersangkutan.

11
Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 3
BAB III

A. Kesimpulan
Pegadaian Syariah sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, maka perusahaan
gadai dengan sistem ini akan mempunyai segmentasi dan pangsa pasar yang baik sekali
di Indonesia. Dengan sedikit modifikasi dan disesuaikan dengan ketentuan umum yang
berlaku, peluang untuk dapat dikembangkannya Pegadaian Syariah cukup besar.
DAFTAR PUSTAKA

Sudarsono Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Cet ke-2, h.126.
Suhend Hendii, Fiqih Muamalah, Cet. Ke-1, h. 105.
Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003).
Shahih Bukhari, Abu Abdullah bin Ismail bin Ibrahim Albukhari Alja’fi, Kitab: Jual Beli,
juz 3, (Darul Fikri, Bairut –Libnon, 1981 M).
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008),h. 263.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007),
h..95.
Nurmala,dkk, Perbankan Syariah Indonesia dalam perkembangan danPermasalahannya.
Jurnal ESAI.Edisi3 Vol 1, 2009
(http://pawnshop-sharia.blogspot.com/2008).
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah (Bandung: alfabeta, 2011)
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), h.
97.
Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 3
s

Anda mungkin juga menyukai