Anda di halaman 1dari 21

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Konseptual

1. Hakikat Gadai

a. Pengertian Gadai

Gadai merupakan jaminan dengan menguasai bendanya

sedangkan hak tanggungan merupakan jaminan dengan tanpa

menguasai bendanya. Gadai di Indonesia dalam praktek perbankan

sedikit sekali dipergunakan, kadang-kadang hanya sebagai jaminan

tambahan dari jaminan pokok yang lain. Hal demikian terjadi karena

terbentur pada syarat inbezitstelling pada gadai, padahal si debitur

masih membutuhkan benda jaminan tersebut.1

Al-Lahami sebagaimana dikutip al-Qurafi memberikan

penjelasan gadai dalam empat hal :

Pertama, sesuatu yang boleh diperjual-belikan, maka sesuatu


itu secara mutlak boleh di gadaikan.
Kedua, sesuatu yang boleh dimiliki dan boleh dan tidak boleh
diperjual belikan karena ada uzur dalam kondisi tertentu.
Misalnya, tidak diperbolehkan menjual buah di pohon sebelum
kelihatan matangnya. Tetapi hal tersebut boleh digadaikan.
Ketiga, sesuatu yang boleh dimiliki, namun tidak boleh
diperjualbelikan bukan karena ada uzur, seperti kulit bangkai
sebelum disamak; dan bukan sesuatu yang boleh dimiliki
seperti khamr, dan yang lainnya. Maka kedua hal tersebut tidak
boleh di gadaikan.
Keempat, sesuatu yang diperdebatkan oleh ulama mengenai
kebolehan memperjualbelikannya, seperti kulit bangkai setelah

1
Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, (Fakultas Hukum Undip, Semarang,
2003), h. 15
9
10

disamak. Jika kita mengikuti pendapat ulama yang


memperbolehkannya, maka boleh menggadaikannya.
Untuk kontek zaman sekarang kepemilikan mengenai suatu
barang dapat dibuktikan melalui surat kepemilikan, seperti
sertifikat jika barang itu berupa tanah, atau BPKB jika barang
itu berupa kendaraan. Oleh karena itu, bukti kepemilikan
barang tersebut yang dijaminkannya atau ditahannya oleh
orang yang memberikan pinjaman (murtahin) sampai melunasi
utang nya. Dengan demikian zat barangnya tetap berada di
tangan pemiliknya.2

Ali Hasan mengungkapkan bahwa gadai diadakan dengan

persetujuan dan hak itu hilang jika gadai itu lepas dari kekuasaan

piutang. Pemegang gadai berhak menguasai benda yang digadaikan

kepadanya selama hutang berhutang belum lunas, tetapi ia tak berhak

mempergunakan benda itu. Selanjutnya ia berhak menjual barang

jaminan gadai itu, jika yang berhutang tak mau membayar hutangnya.

Jika hasil penjualan barang jaminan gadai itu lebih besar daripada

hutang yang harus dibayar, maka kelebihan itu harus dikembalikan

kepada penggadai.3

Sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal

1150, gadai merupakan suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu

barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau

kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya dan yang memberi

wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya

dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain, dengan

2
Enang hidayat, Kaidah Fikih Muamalah, (Bandung: PT REMAJA
ROSDAKARYA),h.262
3
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 254.
11

pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas

tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya

penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu

diserahkan sebagai gadai dan yang harus didahulukan.

Berdasarkan perumusan Pasal 1150 KUHPdt di atas dapat

diketahui, bahwa gadai merupakan suatu hak jaminan kebendaan atas

kebendaan bergerak tertentu milik debitur atau seseorang lain atas

nama debitur untuk dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang

tertentu, yang memberikan hak didahulukan (preferensi) kepada

pemegang hak gadai atas kreditur lainnya, setelah terlebih dahulu

didahulukan dari biaya untuk lelang dan biaya menyelamatkan

barang-barang gadai yang diambil dari hasil penjualan melalui

pelelangan umum atas barang-barang yang digadaikan.4

Gadai juga dapat diartikan sebagai suatu perjanjian yang dibuat

antara kreditur dengan debitur, dimana debitur menyerahkan benda

bergerak kepada kreditur, untuk jaminan pelunasan suatu utang gadai,

ketika debitur lalai melaksanakan prestasinya. Dalam definisi ini,

gadai dikonstruksikan sebagai perjanjian accesoir (tambahan),

sedangkan perjanjian pokoknya adalah perjanjian pinjam meminjam

uang dengan jaminan benda bergerak. Apabila debitur lalai dalam

melaksanakan kewajibannya, barang yang telah dijaminkan oleh

4
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.105
12

debitur kepada kreditor dapat dilakukan pelelangan untuk melunasi

utang debitur.5

Sedangkan dalam bahasa Arab, Istilah gadai disebut dengan

rāhn dan dapat juga dinamai al-habsu. Secara etimologis (bahasa), arti

rāhn adalah tetap dan lama.6 Sedangkan dalam pengertian istilah

adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan

secara hak dan dapat diambil kembali sejumlah harta yang diserahkan

sesudah ditebus.7

Gadai (rāhn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat

materi milik si peminjam (rāhin) sebagai jaminan atas pinjaman yang

diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis,

sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk

mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang yang

dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak membayar utang pada

waktu yang telah ditentukan.8

Sedangkan Imam Taqiyyuddin Abu Bakar al-Husaini

mendefinisikan rahn sebagai akad/perjanjian utang-piutang dengan

menjadikan marhun sebagai kepercayaan/penguat marhun bih dan

murtahin berhak menjual/melelang barang yang digadaikan itu pada

saat ia menuntut haknya.9 Selain pengertian gadai (rahn) yang

5
Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,
2004), h.34
6
Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Gajhah Mada
University Press, 2011) h. 88.
7
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 1
8
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 3
9
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Penerbit Alfabeta, Bandung : 2011), h.20
13

dikemukakan di atas, Zainuddin Ali lebih lanjut mengungkapkan

pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli hukum Islam

sebagai berikut:

1) Ulama Syafi’iyah Mendefinisikan Rahn adalah menjadikan suatu


barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari
harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
2) Ulama Hanabilah mengungkapkan Rahn adalah suatu benda yang
dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya,
bila yang berhutang tidak sanggup membayar utangnya.
3) Ulama Malikiyah Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta
(Mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan
pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
4) Ahmad Azhar Basyir mendefinisikan Rahn adalah perjanjian
menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang atau
menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara'
sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya
tanggungan utang seluruh atau sebagian utang dapat diterima.10

Berdasarkan definisi di atas, disimpulkan bahwa rahn itu

merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang

memiliki nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan

marhun bih, sehingga rahin boleh mengambil marhun bih.

b. Landasan Hukum Gadai

1) Al-Quran

Dasar hukum Rahn dalam Al-Qur`an Surat al-Baqarah

ayat 283:

َ ‫ َّم ۡقبُو‬ٞ‫وا َكاتِبٗا فَ ِر ٰهَن‬


ٞۖ‫ضة‬ ْ ‫َوِإن ُكنتُمۡ َعلَ ٰى َسفَرٖ َولَمۡ ت َِج ُد‬
Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang

10
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori Praktik, (Bulan Gema insani
14

dipegang (oleh yang berpiutang)” (Q.S. Al-


Baqarah:283)

Berdasarkan ayat di atas, sudah jelas bahwa gadai

merupakan suatu yang diperbolehkan dalam Islam sebagai bagian

dari muamalah. Bahkan Agama Islam mengajarkan kepada

umatnya supaya hidup tolong menolong, seperti firman Allah Swt

ْ ُ‫وا َعلَى ۡٱلبِ ِّر َوٱلتَّ ۡق َو ٰ ۖى َواَل تَ َعا َون‬


‫وا َعلَى ٱِإۡل ۡث ِم َو ۡٱلع ُۡد ٰ َو ۚ ِن‬ ْ ُ‫اون‬
َ ‫َوتَ َع‬
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. ( QS. al-
Ma’idah:2)

2) Hadits

Bahkan masalah gadai dipertegas dengan amalan

Rasullulah Saw, dimana beliau pernah melakukan praktik gadai.

Hal tersebut sebagaimana dikisahkan Ummul mukminin Aisyah

R.A. dalam pernyataan beliau berkata.

ِw‫ ه‬ww‫ ْي‬wَ‫ ل‬w‫ َع‬wُ ‫ هَّللا‬w‫ى‬wَّ‫ ل‬w ‫ص‬wَ w‫ي‬ َّ ِw‫ب‬wَّ‫ن‬w‫ل‬w‫ ا‬w‫ َأ َّن‬w‫ ا‬wَ‫ ه‬w‫ ْن‬w‫ َع‬wُ ‫ هَّللا‬w‫ي‬ َ w‫ض‬ ِ w‫ َر‬wَ‫ ة‬w ‫ش‬wَ ‫ِئ‬w‫ ا‬w‫ َع‬w‫ن‬wْ w‫َع‬
w‫ ا‬w‫ ًع‬w‫ر‬wْ w‫ ِد‬wُ‫ ه‬wwَw‫ ن‬wَ‫ ه‬w‫ َر‬w‫ َو‬w‫ ٍل‬w‫ج‬wَ ‫ َأ‬w‫ ى‬wَ‫ ِإ ل‬w‫ي‬ ٍّ w‫ ِد‬w‫و‬wُ‫ ه‬wَ‫ ي‬w‫ن‬wْ w‫ ِم‬w‫ ا‬w‫ ًم‬w‫ ا‬w‫ َع‬wَ‫ ط‬w‫ ى‬w‫ َر‬wَ‫ ت‬w‫ ْش‬w‫ ا‬w‫ َم‬wَّ‫ ل‬w‫ َس‬w‫َو‬
)w‫ى‬w‫ر‬w‫ا‬w‫خ‬w‫ب‬w‫ل‬w‫ ا‬w‫ه‬w‫ا‬w‫و‬w‫ (ر‬w‫ ٍد‬w‫ ي‬w‫ ِد‬w‫ َح‬w‫ن‬wْ w‫ِم‬
Artinya: “Dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang
Yahudi yang akan dibayar Beliau pada waktu tertentu
di kemudian hari dan Beliau menjaminkannya (gadai)
dengan baju besi ( HR. Imam al-Bukhori No: 1926 ).
‫ ِه‬wwwwwْ‫لَّى هَّللا ُ َعلَي‬wwwww‫ص‬ َ ‫َأبِي هُ َري‬    ‫عن‬
َ ِ ‫و ِل هَّللا‬wwwww‫ َر ُس‬    ‫ا َل‬wwwwwَ‫ق‬    َ‫رة‬wwwwwْ
ُ‫ َرب‬w ‫ َّدرِّ ي ُْش‬w ‫ َولَبَ ُن ال‬,‫ا‬wwً‫ يُرْ َكبُ بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا َكانَ َمرْ هُون‬w‫ ُر‬w‫ ْه‬wَّ‫ظ‬w‫ل‬w‫ا‬    ‫َو َسلَّ َم‬
15

‫ةُ (رواه‬w َ‫ َربُ النَّفَق‬w ‫رْ َكبُ َويَ ْش‬wwَ‫ َو َعلَى الَّ ِذي ي‬,‫ا‬wwً‫بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا َكانَ َمرْ هُون‬
)‫مسلم‬
Artinya: “Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh
dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang
ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan
menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan 
kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan
biaya perawatan dan pemeliharaan”. (Shahih
Muslim) 11

‫لَّ َم‬w ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َأنَّهُ َم َشى ِإلَى النَّبِ ِّي‬ ِ ‫ن َعنَسْ َر‬ ْ ‫ع‬ َ
‫لَّ َم‬w ‫ ِه َو َس‬w‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬w ‫ص‬
َ ‫ ْد َرهَنَ النَّبِ ُّي‬w َ‫نِ َخ ٍة َولَق‬w ‫ير َوِإهَالَ ٍة َس‬
ٍ ‫بِ ُخب ِْز َش ِع‬
ُ‫ ِم ْعتُه‬w‫ ْد َس‬wَ‫ِدرْ عًا لَهُ بِ ْال َم ِدينَ ِة ِع ْن َد يَهُو ِديٍّ َوَأ َخ َذ ِم ْنهُ َش ِعيرًا َأِل ْهلِ ِه َولَق‬
‫ ٍّر َواَل‬wُ‫ع ب‬ُ ‫ا‬w ‫ص‬ َ ‫لَّ َم‬w‫ ِه َو َس‬w‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬w‫ص‬ ِ ‫يَقُو ُل َما َأ ْم َسى ِع ْن َد‬
َ ‫آل ُم َح َّم ٍد‬
)‫ع َحبٍّ َوِإ َّن ِع ْن َدهُ لَتِ ْس َع نِس َْو ٍة (رواه البخارى‬ ُ ‫صا‬ َ
Artinya: “Dari Anas ra, bahwa dia pernah di sore hari bersama
Nabi saw dengan hidangan roti terbuat dari gandum
dan sayur yang sudah basi. Sungguh Nabi saw telah
menggadaikan baju besi beliau kepada seorang Yahudi
untuk mendapatkan makanan di Madinah lalu dengan
itu beliau mendapatkan gandum untuk keluarga beliau.
Dan sungguh aku mendengar beliau bersabda:
“Tidaklah ada satu malampun yang berlalu pada
keluarga Muhammad dimana ada satu sha’ dari
gandum atau satu sha’ biji-bijian”. Padahal beliau
memililki sembilan isteri”. (HR. Bukhari).

‫ ِه‬w‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬w‫ص‬


َ ِ ‫و ُل هَّللا‬w‫ت تُ ُوفِّ َي َر ُس‬
ْ َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهَا قَال‬
ِ ‫ع َْن عَاِئ َشةَ َر‬
‫ير (متفق‬ ٍ ‫صاعًا ِم ْن َش ِع‬ َ َ‫َو َسلَّ َم َو ِدرْ ُعهُ َمرْ هُونَةٌ ِع ْن َد يَهُو ِديٍّ بِثَاَل ثِين‬
)‫عليه‬
Artinya: “Dari ‘Aisyah ra, berkata; Ketika Rasulullah saw wafat
baju perang beliau masih tergadai kepada seorang
Yahudi seharga tiga puluh sha’ gandum”. (HR.
Muttafaqun ‘Alaihi).

3) Ijmak Ulama

Ibnu Hajar Al-atsqalani, Bulughul Maram, (Beirut: Dar El-Fiker, 1994, No.879) h.149


11
16

Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur

ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih

pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa

disyari’atkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu

bepergian, berdasarkan kepada perbuatan Rasulullah Saw dalam

hadits di atas.12

c. Rukun dan Syarat Gadai

Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat

gadai yang harus dipenuhi. Secara bahasa rukun adalah yang harus

dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan. Sedangkan syarat adalah

ketentuan (peraturan dan petunjuk) yang harus dipindahkan dan

dilakukan.

1) Rukun Gadai

Kesepakatan tentang perjanjian penggadaian suatu barang

sangat terkait dengan akad sebelumnya, yakni akad utang piutang

(al-Dain), karena tidak akan terjadi gadai dan tidak akan mungkin

seseorang menggadaikan benda atau barangnya kalau tidak ada

utang yang dimilikinya. Utang piutang itu sendiri adalah hukumnya

mubah bagi yang berutang dan sunnah bagi yang mengutangi

karena sifatnya menolong sesama.

12
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalat) (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2004), Edisi 1 cet ke-2, h.255
17

Hukum ini bisa menjadi wajib manakala orang yang

berutang benar-benar sangat membutuhkannya. Dalam

menjalankan gadai harus memenuhi rukun gadai, rukun gadai

tersebut adalah :

a) Marhun (barang yang digadaikan)


b) Marhun bih (hutang/tanggungan)
c) Sighat, Ijab, dan Qabul(ucapan serah terima)
d) Aqid (orang yang bertransaksi) 13

Gadai atau pinjaman dengan jaminan benda memiliki

beberapa rukun, sebagaimana yang dikutip oleh M. Abdul Majdid

dkk., yaitu sebagai berikut:

a) Aqid (orang yang melakukan akad) meliputi dua aspek:

(1) Rahin, adalah orang yang menggadaikan barang

(2) Murtahin adalah orang yang berpiutang yang menerima

barang gadai sebagai imbalan uang kepada yang

dipinjamkan

b) Ma’qud ‘alaih (yang diakadkan), yakni meliputi dua hal:

(1) Marhun (barang yang digadaikan/barang gadai)

(2) Dain marhun biih, (hutang yang karenanya diadakan

gadai)

c) Sighat (akad gadai) 14

Ibnu Rusyd dalam kitabnya mengatakan rukun gadai terdiri

dari tiga bagian:

13
HM.Dumairi Nor, dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf, (Jawa Timur, Sidogiri, 2008) h.
111
14
M. Abdul Majdid dkk.,Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 290
18

a) Orang yang menggadaikan

b) Akad Gadai

c) Barang yang digadaikan15

Pada umumnya aspek hukum perdataan Islam (fiqih

mu’amalah) dalam hal transaksi baik dalam jual beli, sewa

menyewa, gadai maupun semacamnya mempersyaratkan rukun dan

syarat sah termasuk dalam transaksi gadai. Demikian juga dalam

hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi

gadai.

Dalam fiqih diungkapkan rukun gadai ada empat yaitu:

a) Aqid (Orang Yang Berakad). Aqid adalah orang yang

melakukan akad yang meliputi dua hal yaitu: orang yang

menggadaikan barangnya (Rahin) dan orang yang menerima

gadai (murtahin).

b) Ma’qud alaih (barang yang diakadkan). Ma’qud alaih meliputi

dua hal yaitu marhun (barang yang digadaikan) dan marhun

bih (dain) atau hutang yang karenannya diadakan akad gadai.

Namun demikian ulama fiqih berbeda pendapat mengenai

masuknya siqhot dari rukun rahn.16

Sedangkan menurut Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al

Malibary:

15
Al-Faqih Abul Walid, Muhammad ibn Ahmad dan Muhammad ibn Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid
al-Muqasid, (Beirut: Dar al-Jiih, 1990), h. 204
16
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syari’ah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 20-21.
19

“ Rahn (penggadaian) adalah shah dengan adanya Ijab dan


Qobul, misalnya “saya menerima gadai” Rahn yaitu
menjadikan barang yang boleh dijual sebagai kepercayaan
hutang dimana akan dibayar dari padanya jika terpaksa
tidak bisa melunasi hutang tersebut, maka berarti tidak shah
menggadaikan barang wakaf atau budak Ummu walad.17

2) Syarat Gadai

Adapun syarat-syarat gadai diantaranya:

a) Rahin dan Murtahin


Tentang pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya
merupakan orang yang cakap untuk melakukan sesuatu
perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syariat Islam yaitu
berakal dan baligh.
b) Sighat
a. Sighat tidak boleh berkaitan dengan syarat tertentu dan juga
dengan suatu waktu dimasa depan.
b. Rahn mempunyai sisi melepaskan barang dan pemberian
hutang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh
diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu di
masa depan.
c. Marhun bih (hutang) menyangkut adanya hutang bahwa
hutang tersebut disyaratkan merupakan hutang yang tetap
dengan kata lain hutang tersebut bukan merupakan hutang
yang bertambah tambah atau hutang yang mempunyai
bunga, sebab seandainya hutang tersebut merupakan hutang
yang berbunga maka perjanjian yang mengandung unsur
riba, sedangkan perbuatan riba bertentangan dengan
ketentuan syariat Islam. 18

Menurut ulama fiqih mengemukakan syarat-syarat ar-rahn

sesuai dengan rukun itu sendiri. Dengan demikian, syarat-syarat ar-

rahn meliputi:

a) Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap

bertindak hukum, kecakapan bertindak hukum menurut jumhur

ulama adalah orang yang baligh dan berakal.


Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibary, fathul mu’in (kudus, Menara, 1979), h.214, juz 2.
17

Chairuman Hasibu, Suhrawardi, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta, 2009, hlm. 143.
18
20

b) Syarat Marhun Bih (utang) syarat dalam hal ini adalah wajib

dikembalikan oleh debitor kepada kreditor, utang dapat

dilunasi dengan agunan tersebut, dan utang itu harus jelas dan

tertentu.

c) Syarat marhun (agunan) syarat agunan menurut ahli fiqih

adalah harus dapat dijual dan nilainya seimbang dengan

besarnya utang, agunan harus bernilai dan dapat dimanfaatkan

menurut ketentuan hukum islam, agunan harus jelas dan dapat

ditunjukkan, agunan milik sah debitor, agunan tidak terkait

dengan pihak lain, agunan harus merupakan harta yang utuh

dan agunan dapat diserahterimakan kepada pihak lain, baik

materi maupun manfaatnya.

d) Ulama Hanafiah mengatakan dalam akad itu ar-rahn tidak

boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan

masa yang akan datang, karena akad ar-rahn sama dengan

akad jual beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat

tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka

syaratnya batal.19

Dalam menjalankan transaksi rahn harus memenuhi syarat-

syarat sebagai berikut:

a) Syarat Aqid, baik rahin dan murtahin adalah harus ahli tabarru’
yaitu orang yang berakal, tidak boleh anak kecil, gila, bodoh
dan orang yang terpaksa. Seperti tidak boleh seorang wali.
b) Marhun Bih (utang)
Dada Muttaqien, Aspek Legal Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Safira Insani Press,
19

2009.) Cet.1, h.109


21

1) Harus merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada


murtahin.
2) Merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak
dapat dimanfaatkan, maka tidak sah.
3) Barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.
c) Marhun (Barang)
1) Harus berupa harta yang dapat dijual dan nilainya
seimbang dengan Marhun Bih.
2) Marhun harus mempunyai nilai dan dapat dimanfaatkan.
3) Harus jelas dan spesifik.
4) Marhun itu sah dimiliki oleh rahin.
5) Merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam
beberapa tempat.
d) Shighad (Ijab dan Qabul) syaratnya adalah shighad tidak boleh
diselingi dengan ucapan yang lain ijab dan qabul dan diam
terlalu lama pada transaksi. Serta tidak boleh terikat waktu. 20

3) Dampak Akad Gadai

Hukum Islam ar-rahn adalah perjanjian gadai yaitu suatu

perjanjian dalam menahan barang sebagai jaminan hutang.21

Gadai (rahn) merupakan salah satu akad tabarru (kebajikan).

Pinjaman yang diberikan oleh murtahin tidak boleh diharapkan

dengan sesuatu yang lain, karena apa yang diserahkan oleh pihak

al-murtahin adalah tanpa imbalan atau ganti rugi.

Kaidah fiqih menegaskan bahwa at-tabarru atau derma

belum dianggap sempurna dan memiliki konsekuensi-

konsekuensi hukum kecuali dengan adanya al-qabdhu (serah

terima barang yang menjadi objek akad). Oleh karena itu,

20
Amin Ma’ruf, Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syariah, (Jakarta:
Renaisan,2005) h.25.
21
Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshori, Problamatika Islam Kontemporer, (Jakarta,
Pustaka Firdaus), 2004, hlm. 79
22

sebelum adanya al-qabdhu akad tersebut belum memiliki dampak

atau konsekuensi hukum.22

Secara garis besar, fuqaha sepakat bahwa al-qabdhu adalah

salah satu syarat ar-rahn, hal ini berdasarkan surat Al-baqarah

ayat 283, yang artinya: “Jika kamu dalam perjalanan dan

bermuamalah tidak secara tunai sedang kamu tidak memperoleh

seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang

dipegang oleh yang berpiutang. Akan tetapi jika sebagian dari

kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang

dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hedaklah

ia bertakwa kepada Allah tuhannya, dan janganlah kamu para

saksi menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang

menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang

berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu

kerjakan”.23

Maksud dari syarat al-qabdhu terhadap marhun (barang

yang digadaikan) adalah memberikan jaminan kepada pihak ad-

daain, yaitu murtahin, serta memberikan rasa aman dan percaya

di dalam dirinya dengan memberi kuasa untuk menahan dan

memegang marhun dibawah kekuasaannya agar bisa memperoleh

haknya dari marhun itu, jadi yang dimaksud dengan penyerahan

al-qabdhu bukanlah hanya bersifat murni (at-ta‟abbud),

22
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa-Adilatuhu, Beirut, Damaskus, 1997, hlm. 107.
23
Departemen Agama, RI, Al-qur‟an dan Terjemahnya, Op. Cit., hlm. 49.
23

maksudnya melaksanakan apa yang diperintahkan tanpa ada

makna dan tujuan.

Berdasarkan hal ini, maka sah menggunakan segala

medium yang bisa memberikan jaminan kepada pihak ad-daain

sebagai ganti dari al-qabdhu. Dan diantara medium tersebut

adalah peraturan yang dikeluarkan oleh undang-undang sipil

berupa bentuk atau prosedur formalitas penggadaian harta tidak

bergerak yang digadaikan tersebut dijadikan sebagai bukti bahwa

harta tersebut dalam status digadaikan.

Harta yang dijaminkan itu harus diserah terimakan oleh

rahin kepada murtahin, jika harta (agunan) itu adalah harta

bergerak maka serah terimanya adalah dengan melepaskan barang

agunan tersebut kepada murtahin. Bisa juga diserah terimakan

adalah sesuatu yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas

harta itu keterangan murtahin, jika harta tersebut merupakan

barang yang tidak bergerak seperti tanah, rumah, dan lain-lain.24 .

d. Status Barang Gadai

Ulama Fiqih menyatakan bahwa râhn baru dianggap sempurna

apabila yang digadaikan itu secara hukum sudah berada ditangan

penerima gadai (murtahîn), dan uang yang dibutuhkan telah diterima

oleh pemberi gadai (râhin). Kesempurnaan rahn oleh Ulama disebut

sebagai al-Qobdh al-Marhun barang jaminan dikuasai secara hukum,

apabila agunan telah dikuasai oleh murtahin maka akad râhn itu
24
Andrian Sutedi, Hukum Gadai Sariah, Op. Cit., hlm. 28
24

mengikat kedua belah pihak. Karena itu status hukum barang gadai

(marhun) terbentuk pada saat terjadinya akad atau kontrak utang

piutang yang dibarengi dengan penyerahan jaminan. misalnya, ketika

seorang penjual meminta pembeli untuk menyerahkan jaminan seharga

tertentu untuk pembelian suatu barang kredit.

Suatu gadai menjadi sah sesudah terjadinya utang. para Ulama

menilai hal dimaksud sah kerena utang memang tetap menuntut

pengembalian jaminan. Hal itu, menunjukkan bahwa status gadai dapat

terbentuk sebelum muncul utang, misalnya seorang berkata: “saya

gadaikan barang ini dengan uang pinjaman dari anda sebesar 10 juta

rupiah”. Gadai tersebut sah, menurut pendapat madzhab Maliki dan

madzhab Hanafi seperti yang dikutip oleh Muhammad Syafi’i Antonio.

Karena itu barang tersebut merupakan jaminan bagi hak tertentu.25

e. Berakhirnya Gadai

Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam

gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai

diucapkan, “Apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga

waktu yang telah di tentukan, maka marhun menjadi milik murtahin

sebagai pembayar utang, sebab ada kemungkinan pada waktu

pembayaran yang telah ditentukan, untuk membayar utang harga

marhun akan lebih kecil dari pada utang rahin yang harus dibayar,

yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada

25
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Wacana Ulama dan Cendekiawan,
(Jakarta: Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 2001), h. 21
25

kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah

di tentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus

dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.26

Apabila syarat seperti di atas di adakan dalam akad gadai, akad

gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan perlu di perhatikan,

Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum

membayar hutangnya, hak murtahin adalah menjual marhun,

pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga

yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut.

Hak murtahin hanyalah sebesar piutang, dengan akibat apabila

harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya

dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan

marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung

pembayaran kekuranganya.

2. Gadai Menurut Ulama Syafi’iyah

a. Pengertian, Rukun dan Syarat-syarat

‫َين يَستَوفِي ِمنهَا ِعن َد تَع ُذ ِر َو فَاِئ ِه‬


ٍ ‫َجع ُل عَي ٍن يَجُو ُز بَي ُعهَا َوثِيقَةٌ بِد‬
Menjadikan suatu barang yang bisa dijual sebagai jaminan

utang dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang tidak sanggup

membayar utangnya.

Adapun rukun gadai menurut Ulama Syafi’iyah ada 4

macam:27
26
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persado), h.108.
27
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar Kitab al-Arabi,1971), Jilid III Juz III, h. 132
26

1) Adanya lafadz, yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai

2) Adanya pemberi dan penerima gadai

3) Adanya barang yang digadaikan

4) Adanya utang

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dalam akad râhn

ada 2 macam Pertama, syarat lazim yakni penahanan barang gadai

Kedua, syarat sah, yang dibedakan dalam beberapa bagian,

diantranya:

a) Berkaitan dengan pihak yang berakad, yakni harus berakal dan

baligh, sehingga apabila dilakukan oleh anak kecil maka tidak sah

meskipun dengan izin wali.

b) Berkaitan dengan barang gadai atau marhun, barang harus dalam

kekuasaan râhin, barang itu utuh tidak terbagi bagi, bukan barang

yang mudah rusak, barang harus suci, barang yang mempunyai

nilai menurut syara’. Penganut madzhab syafi’i mengatakan

bahwa segala sesuatu yang yang dapat diterima atau dijual, dapat

juga digadaikan, dihibahkan atau disedekahkan, karena itu

menurut mereka barang-barang seperti hewan ternak, hewan

melata, hamba sahaya (budak), dinar, dirham, tanah, dan barang-

barang lainnya selama halal diperjualbelikan, maka halal pula

digadaikan.28

28
Abi Abdillah Muhammad bin Idris As- Syafi’i, Al- Umm, Jilit III, (Bairut : Dar al Kutub,
tth), h.169
27

c) Berkaitan dengan utang atau marhun bih, utang harus bisa

dilunasi malalui penjualan barang gadai, utang tersebut harus

mengikat dalam akad, utang hendaknya diketahui jumlah dan

sifatnya oleh kedua belah pihak, dan marhun harus dalam bentuk

utang bukan pinjaman.

B. Tinjauan Penelitian yang Relevan

No Judul Terdahulu Persamaan Perbedaan


Hasil penelitian
tersebut bahwa praktik
gadai sawah
Skripsi Adam Reka dimasyarakat Desa
Membahas tentang
Cipta Adi, Fakultas Kedung Kecamatan
bagaimana praktik
Syari’ah Kesamben Malang,
gadai yang ada di
Universitas Islam dari segi rukun dan
Desa Kedung Betik
Negeri Maulana syarat gadai yang
ketika dikaitkan
Malik Ibrahim telah ditentukan di
dengan Hukum
Malang 2014, yang HES sudah terpenuhi
Ekonomi Syariah,
1 berjudul “Praktik dan sudah sah di mata
apakah sudah sesuai
Gadai Sawah pada hukum. Sedangkan
dengan ketentuan
Masyarakat Desa dalam penelitian saya
yang ada dalam HES
Kedung Betik menggadai barang
atau belum memenuhi
Kecamatan yang masih dalam
ketentuan yang ada
Kesamben keadaan kredit tidak
dalam HES (Hukum
Kabupaten sah karena barang
Ekonomi Syari’ah).
Jombang”. tersebut belum
sepenuhnya milik
orang yang
menggadaikan.
Skripsi Ade Tri Hasil penelitiannya
Cahyani, Fakultas Membahas tentang bahwa praktik gadai di
Syariah dan bagaimana praktik tempat tersebut tidak
Hukum, Universitas gadai pada masyarakat sah karena dalam
Islam Negeri Syarif Kecamatan Tapos praktiknya orang yang
2 Hidayatullah Kota Depok menerima gadai
Jakarta 2015, yang Apakah sudah sesuai mengambil manfaat
berjudul “Tinjauan dengan ketentuan dari barang gadai
Hukum Islam Hukum Ekonomi tersebut tanpa
terhadap Praktik Syariah atau belum. sepengetahuan orang
Gadai pada yang menggadaikan 29
28

Sedangkan dalam
penelitian saya praktik
gadai di kp pacet
babakan tidak sah
Masyarakat karena barang yang di
Kecamatan Tapos gadaikan masih dalam
Kota Depok”. keadaan kredit yang
mana masih belum
sepenuhnya milik
orang yang
menggadaikan

ANALISIS KAIDAH FIKIH AKAD RAHN MENURUT MADZHAB


SYAFI’I TERHADAP STATUS BARANG KREDITAN YANG
DIJADIKAN JAMINAN (PENELITIAN DI KP. PACET BABAKAN
DESA CIPENDAWA KECAMATAN PACET KABUPATEN
CIANJUR).

FIKIH KAIDAH FIKIH GADAI


MUAMALAH
1. Pengertian Kaidah
1. Pengertian Fikih Fikih
1. Pengertian Gadai
29
Ade Tri Cahyani, “Tinjauwan Hukum Islam Terhadap
Kaidah fiqih Praktik Gadai pada Masyarakat
Muamalah Gadai merupakan jaminan
Kecamatan Tapos Kota Depok”,adalah generalisasi
Jurnal Repertorium, ISSN:
Fikih adalah hukum fiqih2355-2646. Vol. 1. No 2. November
2014 dengan menguasai
islam itu sendiri, yang dapat dijadikan
bendanya sedangkan hak
yaitu kumpulan rujukan para ulama dalam
norma-norma atau tanggungan merupakan
menetapkan hukum-
hukum-hukum syarak jaminan dengan tanpa
hukum fiqih yang
yang mengatur menguasai bendanya
tingkah laku manusia tercakup dalam kaidah
tersebut.
29

2. Gadai Menurut
Ulama Syafi’iyah
2. Ruang Lingkup Ulama Syafi’iyah
Fikih Muamalah Mendefinisikan Rahn
Ruang lingkup fikih 2. Kaidah Fikih adalah menjadikan
muamalah mencakup Muamalah
suatu barang yang
adab dan akhlak serta Kaidah fikih muamalah
biasa dijual sebagai
kebendaan yang halal merupakan kumpulan
hukum universal yang jaminan utang dipenuhi
atau haramnya
dibuat oleh para ulama dari harganya, bila
yang berguna untuk yang berutang tidak
3. Prinsip Dasar memudahkan kita ketika sanggup membayar
Fikih Muamalah menyelesaikan utangnya.
Mendatangkan
permasalahan hukum 3. Dasar Hukum Gadai
kemaslahatan dan
muamalah (jual beli, - Al-Qur’an
menghindari
kemudharatan bagi waris, hibah, wakaf, dll.) - Hadis
manusia dalam kehidupan sehari- - Ijmak
hari. - Qiyas

1. Bagaimana praktik gadai terhadap status barang kreditan yang


dijadikan jaminan di Kp. Pacet Babakan Desa Cipendawa Kec.
Pacet?
1. praktik gadai terhadap 2. Analisis kaidah fikih akad rahn
2. Bagaimana analisis kaidah fikih akad rahn menurut mazhab syafi’i
status barang kreditan yang menurut mazhab syafi’i terhadap
terhadap statusjaminan
dijadikan barang kreditan yang dijadikan
di Kp. Pacet jaminan
status di Kp.
barang Pacet yang dijadikan
kreditan
Babakan
Babakan DesaDesa Cipendawa
Cipendawa Kec. Kec.
Pacet? jaminan di Kp. Pacet Babakan Desa
Pacet Cipendawa Kec. Pacet
Fenomena di lapangan praktik Berdasarkan hasil penelitian tentang
gadai yang terjadi di Kp. Pacet Analisis Kaidah Fikih Akad Rahn menurut
Babakan menggunakan jaminan Mazhab Syafi’i terhadap Status Barang
barang kreditan, karena Kreditan yang dijadikan Jaminan di Kp.
masyarakat beranggapan bahwa Pacet Babakan, dapat ditarik kesimpulan
barang tersebut memiliki nilai bahwa tidak sah menggadaikan motor
ekonomis yang tinggi dan mudah
kredit karena belum sepenuhnya milik si
untuk menggadaikanya
pemberi gadai.

Anda mungkin juga menyukai