Kart u BPJS Ket enagakerjaan sebagai jaminan perspekt if KUH-per dan KFIwA
Muhammad AG
Disusun Oleh:
Kelas C
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah (HESy)
A. Pendahuluan
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-
kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam
ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk) . Setiap orang mesti
butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling
tolong menolong diantara mereka.
Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak
bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya
dizaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda
atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya. Dalam hal jual beli
sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan salah
satunya dengan cara Rahn (gadai) . Menurut bahasa, al-rahn berarti tetap dan
lestari, seperti juga dinamakan al-hasabu,artinya penahanan.begitupun
dikatakan “ni`matun rohinah”artinya: karunia yang tetap dan lestari.Ar-rahnu
juga berati al-tsubut dan al habs, yaitu penetapan dan penahan.1
Gadai dalam fiqh disebut rahn, yang menurut bahasa adalah nama
barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut
syara’ artinya menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan
secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.2
Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak
termasuk riba jika memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali
orang yang melalaikan masalah tersebut senghingga tidak sedikit dari mereka
yang melakukan gadai asal-asalan tampa mengetahui dasar hukum gadai
tersebut. Oleh karena itu kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai
dan hukumnya
1
Sohari,S,dan Ru`fah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) , h. 157.
2
Budiman Setyo Haryanto, “Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem Hukum
Jaminan di Indonesia), dalam Jurnal Dinamika Hukum, (Purwokerto, Fakultas Syariah Universitas
Jenderal Soedirman), Vol. 10 No. 1 Januari 2010, h. 24
B. Pengertian Rahn
Gadai atau al-rahn ( )الرهنsecara bahasa dapat diartikan sebagai (al
stubut,al habs) yaitu penetapan dan penahanan.3 Istilah hukum positif di
indonesia rahn adalah apa yang disebut barang jaminan, agunan, rungguhan,
cagar atau cagaran, dan tanggungan.
Azhar Basyir memaknai rahn (gadai) sebagai perbuatan menjadikan
suatu benda yang bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan
uang, dimana adanya benda yang menjadi tanggungan itu di seluruh atau
sebagian utang dapat di terima. Dalam hukum adat gadai di artikan sebagai
menyerahkan tanah untuk menerima sejumlah uang secara tunai, dengan
ketentuan si penjual (penggadai) tetap berhak atas pengembalian tanahnya
dengan jalan menebusnya kembali.4
Al-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam atas
pinjaman yang diterimanya. Barang yang di tahan tersebut memiliki nilai
ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk
dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana
dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai.
Pemilik barang gadai disebut rahin dan orang yang mengutangkan yaitu orang
yang mengambil barang tersebut serta menahannya disebut murtahin,
sedangkan barang yang di gadaikan disebut rahn
Sedangkan, dalam dalam dunia perbankan syari`ah biasa disebut
dengan agunan dan jaminan.Agunan adalah jamianan tambahan,baik berupa
benda bergerak menerima maupun tidak bergerak yang diserahkan oleh
pemilik agunan kepada bank syari`ah/UUS,gunah menjamin pelunasan
kewajiban nasabah penerima fasilitas.dari ketentuan pasal 1 angka 26 tersebut
terdapat dua istilah,yaitu”agunan dan jaminan”5 Pasal 20 ayat 14 (KHES)
3
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001), h. 152.
4
Dadan Muttaqien, Aspek Legal Lembaga Keungan Syari’ah, cet 1, (Yogyakarta: Safira
Insani Press, 2009), h.106-107.
5
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syari`ah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012),
h. 299
mendefinisikan Rahn adalah punguasa barang milik pinjaman oleh pemberi
pinjaman sebagai jaminan.6
Rahn (gadai) adalah sebuah akad utang piutang yang disertai angunan
(jaminan). Sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak
yang menyerahkan jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima
jaminan disebut murtahin.7
Sedangkan secara terminology para ulama fiqih mendefisikannya
sebagai berikut:8
1. Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan: Harta yang dijadikan
pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan ( angunan ) bukan
saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat
tertentu. Harta yang dijadikan barang jaminan tidak harus diserahkan
secara actual, tetapi boleh juga penyerahan secara hukum, seperti
menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang diserahkan itu adalah surat
jaminannya.
2. Ulama Hanafiyah mendefinisikan dengan :Menjadikan sesuatu barang
sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai
pembayar hak (piutang ) itu, baik seluruhnya maupun sebagiannya.
3. Sedangkan Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mendefenisikan rahn dengan
:Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan
pembayaran utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar
utangnya itu.9
Definisi yang dikemukakakn Syafiiyah dan Hanabilah ini mengandung
pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan utang itu hanyalah
harta yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang
6
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Yogyakarta: Kaukaba, 2015) , h. 164
7
Ghufron A.Mas'adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002, h. 175-176
8
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2000), h 252
9
Elimartati, “Perbedaan Ar-Rahn dan Bay’ Al-Wafa”, dalam Jurnal Innovatio (Sumatera
Barat: STAIN Batusangkar), Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012, h. 325
dikemukakan ulama Malikiyah, sekalipun sebenarnya manfaat itu, menurut
mereka ( Syafiiyah dan Hanabilah), termasuk pengertian harta.10
Sejalan dengan pengertian di atas, menurut Muhammad Syafi’I
Antonio, ar-rahn adalah menahan harta salah satu harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Menurut Masjfuk Zuhdi, ar-
rahn adalah perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang
sebagai tanggungan hutang. Sementara menurut al-Ustad H.Idris Ahmad
berpandangan, ar-rahn adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan atas
utang.
Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar Al-Husaini dalam kitabnya
Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtisar berpendapat bahwa definisi rahn
adalah: “Akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan harta sebagai
kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual
barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya”. Dalam buku lain
didefinisikan bahwa rahn adalah menahan sesuatu dengan hak yang
memungkinkan pengambilan manfaat darinya atau menjadikan sesuatu yang
bernilai ekonomis pada pandangan syari’ah sebagai kepercayaan atas hutang
yang memungkinkan pengambilan hutang secara keseluruhan atau sebagian
dari barang itu.
Sedangkan menurut S.A Hakim, yang mengatakan jual gadai ialah
penyerahan tanah dengan pembayaran sejumlah uang secara kontan, demikian
rupa sehingga yang menyerahkan tanah itu, masih mempunyai hak untuk
mengembalikan tanah itu kepadanya dengan pembayaran kembali sejumlah
uang yang tersebut.
Dengan demikian gadai menurut syariat Islam berarti penahanan atau
pengekangan. Sehingga dengan adanya akad gadai menggadai, kedua belah
pihak mempunyai tanggung jawab bersama, yang punya utang bertanggung
jawab melunasi utangnya dan yang berpiutang bertanggug jawab menjamin
keutuhan barang jaminannya. Apabila utang telah dibayar maka pemahaman
10
Ibid
oleh sebab akad itu dilepas, dan keadaannya bebas dari tanggung jawab dan
kewajiban masing-masing.
.....
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang, (Q.S. Al-Baqarah: 283)
11
Ibid
dari orang Yahudi secara angsuran dan menjaminnya dengan
menggadaikan baju besi Beliau".
12
Ibid, h. 308
13
Ira Ikasa Putri, “Analisis Perlakuan Akuntansi Pembiayaan Gadai Syariah (Rahn) Pada
PT. Bank Syariah Mandiri, Tbk. Cabang Pontianak”, dalam Jurnal Audit dan Akuntansi,
(Pontianak: Universitas Tanjungpura), Vol.2, No. 2, Desember 2013, h. 4-5
c. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi
kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murta hin,
sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi
kewajiban Rahin.
d. Besarnya biaya administrasi dan penyimpanan Marhun tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
e. Penjualan Marhun
1) Apabila jatuh tempo, Murtahin Harus memperingatkan Rahin
untuk segera melunasi utangnya.
2) Apabila Rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka Marhun dijual
paksa/dieksekusi.
3) Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
4) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya
menjadi kewajiban Rahin.
2. Ketentuan Penutup
a. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui B adan Arbriterase Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
b. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan
sebagai mana mestinya.
14
Fatwa DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002
2. Rahn emas boleh digunakan berdasarkan prinsip Ar-Rahn.
3. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (Marhun) ditanggung oleh
penggadai (Rahin).
4. Biaya penyimpanan barang ( Marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah.
15
KHES Pasal 20 ayat 14
D. Hukum Hukum Gadai dan Dampaknya
Ada dua hal yang menjadi pembahasan hokum gadai (rahn) :
1. Hukum gadai yang shahih adalah akad gadai yang syarat syaratnya
terpenuhi
2. Hukum gadai yang ghair shahih adalah akad yang syarat syaratnya tidak
terpenuhi.
2. Syarat-Syarat Rahn
Para ulama fikih mengemukakan syarat-syarat ar rahn sesuai
dengan rukun ar-rahn itu sendiri yaitu :
16
Ahmad Wahdi Muslich, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 304.
17
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer, h. 166- 169
a. Para pihak dalam pembiayaan rahn (rahin dan murtahin) para pihak
yang melakukan akad rahn harus cakap bertindak menurut hukum
(ahliyyah) .
b. Adanya kesepakatan (sighat) atau ijab Kabul
c. Marhun bih (utang) , utang (marhun bih) wajib dibayar kembali oleh
debitur (rahin) kepada kreditur (murtahin) .utang boleh di lunasi
dengan agunan,dan hutang harus jelas serta tertentu (dapat di
kuantifikasikan atau di hitung jumlahnya) .
d. Marhun (barang) 18
18
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syari`ah, h. 310
19
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer, h.169
20
Sohari,S,dan Ru`fah, Fikih Muamalah, h. 163
H. Berakhirnya Akad Rahn
Berakhirnya akad rahn (gadai) ,adalah karena hal hal berikut :
1. Barang telah diserahkan kembali pada pemiliknya
2. Rahin (penggadai) membayar hutangnya
3. Dijual secara pakasa
Maksudnya, yaitu apabila hutang telah jatuh tempo danrahin tidak
mampu melunasi maka atas permintaan hakim,rahin bisa menjual borg (barang
gadaian) .apabila rahin tidak mau menjual hartanya maka hakim yang
menjualnya untuk melunasi utangnya (rahin) .dengan telah di lunasinya hutang
tersebut,maka akad gadai telah berakhir.
Pembatalan hutang dengan cara apapun sekalipun dengan pemindahan
oleh murtahin
1. Pembatalan oleh murtahin,meskipun tidak ada persetujuan dari pihak
rahin.
2. Rusaknya barang gadaian oleh tindakan/penggunaan murtahin.
3. Memanfatkan barang gadai dengan penyewaan,hibah,atau sedekah,baik
dari pihak rahin atau murtahin
4. Meningglnya rahin (menurut Malikiyah) atau murtahin (menurut
Hanafiyah) .sedangkan syafi`iyah dan Hambali,menganggap kematian para
pihak tidak mengakhiri akad rahn21
21
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syari`ah, h. 315
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita ambil sebuah kesimpulan yaitu:
1. Menurut bahasa,al-rahn berarti tetap dan lestari.
2. Dasar hokum rahn adalah Q.S al baqarah ayat : 283 dan Assunnah3.
3. Hokum gadai ada 2 yaitu :Gadai (rahn) yang shahih adalah akad gadai
yang syarat syaratnya terpenuhi,sedangkan gadai (rahn) ghair shahih
adalah akad yang syarat syaratnya tidak terpenuhi.
4. Rukun dan syarat rahn,dalam hal ini beberapa ulama berbeda pendapat
dalam menentukan rukun dan syarat rahn menurut jumhur ulama ada 5
5. Dalam pemanfaatan barang gadai para ulam berbeda pendapat,diantaranya
: ulama hanafiyah yang membolehkan dan ualama hambali,maliki,dan
syafi`tidak membolehkan
6. bila rahin tidak mampu membayar hutangnya hingga waktu yang telah di
tentukan,kemudian rahin menjual marhun dengan tidak mengembalikan
kelebihan harga marhun pada rahin,maka disini telah berlaku terjadinya
riba
7. Berakhirnya akad rahn (gadai) ,adalah karena hal hal beriku :
a. Barang telah diserahkan pada pemiliknya
b. Rahin (penggadai) membayar hutangnya
c. Dijual paks
d. Pembebasan hutang dengan cara apapun,sekalipun pemindahan oleh
murtahin
e. Pembatalan oleh murtahin meskipun tidak ada persetujuan dari pihak
rahin
f. Rusaknya barang gadaian oleh tindakan/penggunaan murtahin
g. Memanfaatkan barang gadai dengan penyewaan,hibah,atau
sedekah,baik dari pihak rahin atau murtahin
h. Meningglnya rahin (menurut Mlikiyah) dan/atau murtahin (menurut
Hanafiyah) .sedangkan syafi`iyah dan Hambali,menganggap kematian
para pihak tidak mengakhiri akad rahn
B. Saran
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan dari segi penulisan maupun isi. Untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan pembuatan
makalah di masa yang akan datang.
Demikianlah makalah ini penulis susun, semoga dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman Setyo Haryanto. “Kedudukan Gadai Syariah Rahn dalam Sistem Hukum
Jaminan di Indonesia. dalam Jurnal Dinamika Hukum. Purwokerto.
Fakultas Syariah Universitas Jenderal Soedirman. Vol. 10 No. 1 Januari
2010.
Ira Ikasa Putri. “Analisis Perlakuan Akuntansi Pembiayaan Gadai Syariah Rahn
Pada PT. Bank Syariah Mandiri. Tbk. Cabang Pontianak”. dalam Jurnal
Audit dan Akuntansi. Pontianak: Universitas Tanjungpura. Vol.2. No. 2.
Desember 2013.
Nasrun Haroen. Fiqih Muamalah. Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2000.