Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Fiqh Kontemporer
Pegadaian Syariah

DISUSUN OLEH:

M.Khariska
Nurul Khotimah
Dosen pengampu Prof. Dr. Rohimin, MA.

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2014/2015

ABSTRAK

Syariat Islam memerintahkan umatnya supaya tolong-menolong yang kaya harus


menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk
tolong menolong ini bisa berbentuk pemberian dan bisa berbentuk pinjaman. Dalam
bentuk pinjaman islam menjaga kepentingan kreditur, jangan sampai ia dirugikan.
Oleh sebab itu, ia dibolehkan meminta barang dari debitur sebagai jaminan utangnya.
Sehingga, apabila debitur itu tidak mampu melunasi pinjamannya, barang jaminan
dapat dijual oleh kreditur. Maka konsep inilah yang dalam islam disebut dengan
istilah Rahn.
Dalam pegadaian penerima gadai hanya bertanggung jawab untuk menjaga,
memelihara dan berusaha memaksimal mungkin agar barang itu tidak rusak. Barang
jaminan yang rusak diluar kemampuan pihak yang menahan tidak harus diganti.
Barang jaminan adalah sebagai amanat yang tidak boleh diganggu oleh pihak yang
menahan. Sedang biaya pemeliharaannya boleh diambil dari manfaat barang itu
sejumlah biaya yang diperlukan.
Demikianlah sekilas pengertian pegadaian serta konsep dasar gadai syariat islam.
Semua itu tergambar bahwa gadai dalam islam mengandung nilai sosial yang sanrat
tinggi, yaitu untuk tolong-menolong, tidak bertujuan komersial. Namun demikian, hak
pihak yang menahan tidak diabaikan.

KATA PENGANTAR
2

Segala puji bagi Allah atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami
bisa menyelesaikan tugas makalah Fiqh Kontemporer ini dengan baik. Sholawat serta
salam Allah semoga senantiasa tercurahkan kepada nabi basar Muhammad SAW.
Yang telah mengajarkan kita pada kebaikan sehingga membawa kita pada dunia yang
penuh dengan ilmu pengetahuan. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah fiqh kontemporer, yang telah mengajarkan saya khususnya dan
kami umumnya mengenai sistematika pembuatan makalah dengan baik dan benar.
Sehingga dari ajaran beliau membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini.
Dengan tidak mengurangi rasa syukur dan rasa terima kasih, kami selaku penulis
meminta maaf yang sebesar-besarnya atas masih banyaknya kesalahan dalam
penulisan makalah ini. Walau dalam penulisan makalah ini belum sebaik sistemtika
yang mungkin seharusnya ada namun penulis berharap hasil penulisan makalah ini
memiliki manfaat untuk kita semua baik untuk bahan pengajaran bagi kami sebagai
penulis yang masih berlatih ataupun sebagai bahan bacaan kita untuk menambah ilmu
pengetahuan kita.
Penulis memahami bahwa hasil penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka penulis meminta kritik dan saran yang dapat membangun
sehingga dapat meninggkatkan kesempurnaan dalam penulisan makalah di kemudian
hari. Akhir kata semoga kita semua selalu diberikan keridhoan oleh Allah dalam
menuntut ilmu.

Bengkulu, 23 Agustus 2014


Penulis

PEMBAHASAN
3

A. Pengertian pegadaian (gadai/rahn)


Fiqh islam mengenal perjanjian gadai yang disebut al-rahn yaitu perjanjian
menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang. Gadai atau ar-rahn dalam bahasa
arabi (arti lughat) berarti al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal). Pengertian tetap
dan kekal dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang
berarti menahan.1 Kata ini merupakan makna yang bersifat materil. Karna itu, secara
bahasa kata ar-rahn berarti menjadikan suatu barang yang bersifat materi sebagai
pengikat utang.
Pengertian rahn secara bahasa seperti diungkapkan diatas adalah tetap, kekal dan
jaminan; sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang
diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta
dimaksud sesudah ditebus.
Adapun tarif (definisi) alrahn menurut istlah syara ialah:2
Menjadikan sesuatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara
untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau
sebagian utang dari benda itu.
Tarif yang lain terdapat dalam kitab al-Mughny yang dikarang oleh Imam Ibnu
Quddamah sebagai berikut:

Suatu benda yang dujadikan kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi dari
harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang
berpiutang.
Sedangkan Al-Imam Abu Zakaria al-Anshori menetapkan tarif ar-rahn didalam
kitabnya Fathul Wahab sebagai berikut:

Menjadikan benda yang bersifat harta (harta benda)sebagai kepercayaan dari suatu
utang yang dapat dibayarkan dari (harta) benda itu bila utang tidak dibayar.
Setelah penulis mengemukakan ketiga tarif diatas, yang ditulis oleh tiga orang
ulama, terdapat kesamaan pendapat, yaitu:
1. Gadai menggadai itu adalah salah satu kategori dari utang piutang.
1

Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam


Kontemporer III, ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 79
2

Ibid, Hal. 79-80

2. Untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang
berutangmenggadaikan barangnya (ain maliyah) sebagai jaminan terhadap
utangnya itu, yang disebut dalam tarif dengan kata watsiqatin (kepercayaan).
3. Barang jaminan itu dapat dijual untuk mebayar utang orang yang berutang,
baik sebagian maupun seluruhnya, sebanyak utang yang diperolehnya. Dan
bila terdapat kelebihan dari penjualan benda itu, maka harus dikembalikan
kepada orang yang puny harta benda itu, sedangkan bagi orang yang
menerima jaminan (yang berpiutang) ia mengambil sebagiannya yaitu sebesar
uang yang dipinjamkannya.
4. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang)
tetapi dikuasai oleh si penggadai (orang yang berpiutang).
5. Gadai menurut syariat islam berarti penahanan atau pengekangan, sehingga
dalam akad gadai menggadai kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab
bersama, yang punya utang bertanggung jawab melunasi utangnya dan orang
yang berpiutang dan bertanggung jawab menjamin keutuhan barang
jaminannya.
6. Didalam ketiga tarif tersebut ada kata yajalu dan jaala yang berarti
menjadikan dan dijadikan, yang mempunyai makna bahwa pelaksana adalah
orang yang memiliki harta benda itu, karna harta benda yang bukan miliknya
tidak dapat digadaikan.
Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ulama, penulis
berpendapat bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi
milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan
barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan
(murtahin)memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
utangnya dari barang gadai yang dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak dapat
membayar utang pada waktu yang telah ditentukan. Karena itu, tampak bahwa gadai
syariah merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda
berupa emas/perhiasan/kendaraan atau harta benda lainnya sebagai jaminan atau
agunan kepada seseorang atau lembaga pegadaian syariah berdasarkan hukum gadai
syariah.
B. Sejarah Pegadaian Secara Umum Dan Khusus
1. Sejarah pegadaian secara umum
Berdasrkan catatan sejarah yang ada, lembaga pegadaian dikenal diindonesia
sejak tahun 1746 yang ditandai dengan Gubernur Jendral VOC Van Imhoff
mendirikan Bank Van Leening. Perum pegadaian merupakan sarana alternatif
pertama dan sudah sejak lama serta sudah banyak dikenal oleh masyarakat
indonesia. Namun ketika VOC bubar di indonesia pada tahun 1800 maka usaha
pegadaian diambil alih oleh pemerintah Hindia-Belanda dibawah pimpinan
5

Daendels. Pada tanggal 1 April 1901 di Sukabumi, Jawa Barat, berdiri lembaga
gadai pertama milik pemerintah Belanda pada wakt itu dengan nama pegadaian,
tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai hari berdiri kantor pegadaian di Indonesia.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan situasi, sehingga pegadaian
telah beberapa kali mengalami pergantian status, mulai sebagai Jawatan (1901),
IBW ditahun 1928, Perusahaan Negara (1960), kembali kestatus Perjan ditahun
1969, dan Perusahaan Umum (PERUM) mulai tahun 1990 hingga saat ini.
Lembaga pegadaian dimaksudkan sebagai suatu lembaga yang memberi fasilitas
bagi warga masyarakat untuk dapat memperoleh pinjaman uang secara praktis.
Apabila pegadaian konvensional lebih memposisikanperusahaan sebagai pihak yang
pasif, tidak terlibat dengan aktivitas bisnis nasabah, maka lain halnya dengan sistem
gadai syariah, untuk produk-produk tertentu mengharuskan perusahaan terlibat
dalam menelaah usaha produktif yang ditekuni oleh pihak nasabah.
Apabila memperhatikan sejarah Pegadaian maka ditemukan bahwa peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tentang perum pegadaian mengubah status pegadaian
dari perusahaan Jawatan menjadi perusahaan umum (PERUM). Hal itu berarti
pegadaian ditetapkan sebagai badan usaha tunggal dilingkungan Departemen
Keuangan Republik Indonesia yang diberi wewenang untuk menyalurkan uang
pinjaman atas dasar hukum gadai yang bertujuan:
1) Menunjang program pemerintah dibidang ekonomi atas dasar hukum gadai.
2) Mencegah praktek ijon, pegadaian gelap, riba dan pinjaman tidak wajar.
Peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1990 dimaksud, diubah menjadi peraturan
pemerintah No. 103 Tahun 2000 tentang pegadaian. Aturan dimaksud, yang
menandai kedinamisan ruang gerak pegadaian dalam menjalankan usaha dalam
status masih sebagai perusahaan umum dengan mengemban misi, yaitu
a) Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah
kebawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai dan bidang
keuangan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b) Menghindarkan masyarakat dari gadai galap, riba, dan pinjaman tidak wajar
lainnya.
2. Sejarah pegadaian secara khusus (syariah)
Sejarah pegadaian syariah di Indonesia tidak dapat dicerai-pisahkan dari
kemauan warga masyarakat islam untuk melaksanakan transaksi akad gadai
berdaarkan prinsip syariah dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan praktek
ekonomi dan lembaga keuangan yang sesuai dengan nilai dan prinsip hukum islam.
Dengan semakin populernya praktik bisnis ekonomi syariah, sehingga memiliki
peluang yang cerah untuk dikembangkan.
6

Berdasarkan hal diatas, pihak pemerintah mengeluarkan peraturan perundangundangan untuk melegitimasi secara hukum positif pelaksanaan praktek bisnis
sesuai dengan syariat yang termasuk gadai syariah. Karena itu, pihak pemerintah
bersama DPR merumuskan rancangan perundang-undangan yang kemudian
disahkan pada bulan Mei menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan.
Undang-undang dimaksud, memberi peluang untuk diterapkan praktek
perekonomian sesuaisyariah di bawah perlindungan hukum posotif. Melihat adanya
peluang dalam mengimplementasikan praktek gadai berdasarkan prinsip syariah,
perum pegadaian yang telah bergelut dengan bisnis pegadaian konvensional selama
beratus-ratus tahun lebih, berinisiatif untuk mengadakan kerja sama dengan PT Bank
Muamalat Indonesia (BMI)dalam mengusahakan praktek gadai syariah sebagai
diversifikasi usaha gadai yang sudah dilakukannya sehingga pada bulan Mei tahun
2002, ditandatangani sebuah kerja sama antara keduanya untuk meluncurkan gadai
syariah, yaitu BMI sebagai penyandang dana.3
Landasan hukum pegadaian syariah adalah kisah di masa Rasulullah, ketika
seseorang menggadaikan kambingnya. Saat itu Muhammad saw. Mengizinkan,
sekedar untuk menutup biaya pemeliharaan. Artinya, Rasulullah mengizinkan bagi
penerima gadai untuk mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk
menutup biaya pemeliharaan. Nah, biaya pemeliharaan inilah yang kemudian
dijadikan objek ijtihad dari para pengkaji keuangan syariah, sehingga gadai atau
rahn ini menjadi produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan. Dewan syariah
nasional telah menetapkan bahwa lembaga gadai diperkenankan mengambil biaya
yang memang diperlukan, tanpa ada unsur mengambil keuntungan berlebihan.
C. Hak Dan Kewajiban Penerima Dan Pemberi Gadai
1. Hak dan kewajiban penerima gadai
a. Penerima gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi
kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan harta benda gadai
(marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman dan sisanya dikembalikan
kepada rahin.
b. Penerima gadai berhak mendapat penggantian biaya yang telah dikeluarkan
untuk menjaga keselamatan harta benda gadai (marhun).
c. Selama pinjaman belum dilunasi maka pihak pemegang gadai berhak menahan
harta benda gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
Berdasarkan hak penerima gadai dimaksud, muncul kewajiban yang harus
dilaksanakannya, yaitu sebagai berikut.
a. Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya harta benda
gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
3

Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), Hal : 9-18

b. Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan


pribadinya.
c. Penerima gadai berkewajiban memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum
diadakan pelelangan harta benda gadai.
2. Hak dan kewajiban pemberi gadai (rahn)
a. Pemberi gadai (rahin)berhak mendapat pengembalian harta benda yang
digadaikan sesudah ia melunasi pinjaman utangnya.
b. Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi atau kerusakan atau hilangnya harta
benda yang digunakan, bila hal itu disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
c. Pemberi gadai berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda gadai
sesudah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
d. Pemberi gadai berhak meminta kembali harta benda gadai bila penerima gadai
diketahui menyalah gunakan harta benda gadaiannya.
Berdasarkan hak-hak pemberi gadai diatas maka muncul kewajiban yang harus
berkewajiban dipenuhinya, yaitu
a. Pemberi gadai berkewajiban melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam
tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan
oleh penerima gadai.
b. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan harta benda gadaiannya,
bila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat
melunasi pinjamannya.
D. Pendapat Para Ulama Tentang Kedudukan Manfaat Barang Gadaian
1. Pendapat Imam Syafii
Dalam judul bab Yang Merusak Gadai, Imam Syafii mengatakan, ...manfaat
dari barang jaminan adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada sesuatupun dari
barang jaminan itu bagi yang menerima gadai. Ulama-ualama Syafiiyah
mengemukakan alasan-alasan mereka adalah hadis Rasulullah saw. Yang berbunyi
Dari Abu Hurairah dari Nabi saw. Ia bersabda: gadaikan itu tidak menutup akan
yang punyanya dari manfaat barang itu, faidahnya kepunyaan dia dan dia wajib
mempertanggungjawabkan segala resikonya (kerusakan dan biaya). HR. AsySyafii dan Daruquthny dan ia berkata bhwa sanadnya Hasan dan bersambung. 4
Pendapat Imam Syafii ialah bahwa manfaat dari barang jaminan secara mutlak
adalah hak bagi yang menggadaikan. Demikian pula biaya pengurusan terhadap
barang jaminan adalah kewajiban bagi yang menggadaikan.
4

Chuzaimah T. Yanggo, Op.cit. hlm. 84

2. Pendapat Imam Malik (Malikiyah)


Imam Maliki berpendapat bahwa manfaat dari barang jaminan itu adalah hak
yang menggadaikan dan bukan bagi penerima gadai. Akan teapi walaupun deikian
penerima gadaipun bisa mengambil manfaat dengan syarat-syarat yaitu:
a. Utang terjadi disebakan karena jual beli yang bukan karena menguntungkan.
b. Pihak penerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat dari barang gadai adalah
untuknya.
c. Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan itu waktunya harus
ditentukan, apabila tiak ditentukan dan tidak diketahui batas waktunya, maka
menjadi tidak sah.
Jadi pendapat Imam Maliki dan Imam Syafii pada pokoknya sama,yaitu bahwa
manfaat barang jaminan gadai adalah bagi yang menggadaikan. Tetapi ada
perbedaan sedikit mengenai syarat yang dibuat oleh pihak penerima gadai untuk
memberikan manfaat dari barang jaminan gadai bagi dirinya. Imam Maliki
membolehkan dengan syarat, sedangkan Imam Syafii tidak.
3. Pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal (Hanbaliyah)
Pendapat Imam Ahmad mengenai pengambilan manfaat dari barang gadaian yang
pada pokoknya membagi kepada dua bagian yaitu pertama bagi barang yang bisa
diperah susunya atau ditunggangi, maka si penerima gadai dapat mengambil manfaat
daripadanya sesuai dengan nafkah yang dikeluarkan. Kedua bagi barang yang tidak
bisa diperah dan tidak bisa ditunggangi, maka penerima gadai tidak boleh
mengambil manfaat dari barang gadaian tersebut.
4. Pendapat Abu Hanifah
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa yang berhak mengambil manfaat dari
barang gadaian adalah bagi penerima gadai. Nafkah bagi barang yang digadaikan itu
adalah kewajiban yang menerima gadai, karena barang tersebut ditangan dan
kekuasaan penerima gadai. Oleh karena yang mengambil nafkah adalah penerima
gadai, maka dia pulalah yang berhak mengambil manfaat dari barang tersebut. Hal
ini berdasarkan hadis Rasulullah saw. yang dijadikan alasan, yang artinya dari Abu
Shalih dari Abi Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda: barang jaminan utang
bisa ditunggangi dan diperah dan atas menunggangi dan memeras susunya wajib
nafkah.(HR. Bukhari).
Demikianlah pendapat serta alasan ulama hanafiyah yang pada dasarnya
menyatakan bahwa yang berhak untuk mengambil manfaat dari barang jaminan
adalah penerima gadai, karena barang tersebut ada dibawah kekuasaan tangannya.

Demikian pulalah pendapat para ulama madzhab tentang pengambilan manfaat


dari barang jaminan yang diikuti dengan alasan-alasan serta dalilnya masing-masing.
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Manfaat dari barang yang dugadaikan adalah hak yang menggadaikan. Pendapat
ini dipegang oleh Imam Maliki, Imam Syafii dan Imam Ahmad serta merupakan
pendapat jumhur ulama.
2. Manfaat dari barang gadaian adalah hak yang menerima gadai, pendapat ini
dipegang oleh Imam Hanafi.
E. Fatwa DSN-MUI Yang Berkenaan Gadai Syariah

Fatwa no:25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn


Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No;25/DSN-MUI/III/2002,
tentang Rahn.5
Dewan Syariah Nasional

Menimbang:
a.

Bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan

masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang.


b.

Bahwa lembaga keuangan syariah (LKS) perlu merespon kebutuhan masyarakat

tersebut dalam berbagai produknya.


c.

Bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, Dewan

Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa untuk dijadikan pedoman tentang
rahn, yaitu menahan barang sebagai jaminan atas utang.
Mengingat:
1.

Firman Allah, QS. Al-Baqarah (2) ayat 283


x.html.

http://anggistlicious.blogspot.com/2013/11/normal-0-false-false-false-in-x-none-

10

283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
2.

Hadis Nabi riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah, ia berkata:





dari aisyah berkata : Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang yahudi dan
menggadaikannya dengan baju besiHR Bukhari dan Muslim
3.

Hadis nabi riwayat Asy-Syafii, Ad-Daraquthni, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah,
Nabi saw. Bersabda:

Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda : Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari
pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya. HR
AsySyafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah
4.

Hadis Nabi riwayat jamaah, Kecuali Muslim dan An-Nasai, Nabi saw. Bersabda:

Nabi Bersabda : Tunggangan ( kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan
menanggung biayanya dan bintanag ternak yang digadaikan dapat diperah susunya
dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu
wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. HR Jamaah, kecuali
Muslim dan An Nasai.

5.

Ijma: Para ulama sepakat membolehkan akad rahn (Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa
Adillatuhu, 1985, V:181).

6.

Kaidah fikih:


7.

Pendapat peserta rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada hari kamis tanggal 14
Muharam H/28 Maret 2002 dan hari rabu, 15 Rabiul akhir 1423H/26 juni 2002
11

Memutuskan, Menetapkan:
Fatwa tentang rahn
Pertama: Hukum
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk
rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
Kedua: ketentuan umum
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang)
sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi
nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan
perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin,
namun dapat juga dilakukan oleh murtahin; sedangkan biaya dan pemeliharaan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun:
a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera
melunasi hutangnya,
b. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya maka marhun dijual
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c. Hasil

penjualan

marhun

digunakan

untuk

melunasi

hutang,

biaya

pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.


d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi
kewajiban rahin.
12

Ketiga: ketentuan penutup


1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan dirubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di: jakarta
tanggal: 5 rabiul akhir 1423H/26 juni 2002 M

Fatwa no: 26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas


Fatwa dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 26/DSN-MUI/III/2002,
tentang rahn emas.6

Menimbang :
a.

Bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah
rahn, yaitu menahan barang sebagai jaminan atas utang.

b.

Bahwa bank syariah perlu merespon kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai
produknya.

c.

Bahwa masyarakat pada umumnya telah lazim menjadikannya emas sebagai barang
berharga yang disimpan dan menjadikannya objek rahn sebagai jaminan utang untuk
mendapatkan pinjaman uang.

d.

Bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-;rinsip syariah, Dewan
Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang hal itu untuk
menjadikan pedoman.

Mengingat:
1.

Firman Allah, QS. Al-baqarah (2) ayat 283.


283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
2.

Hadis Nabi riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah, ia berkata:

Lihat, ibid., hlm. 160

13

dari aisyah berkata : Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang yahudi dan
menggadaikannya dengan baju besiHR Bukhari dan Muslim
3.

Hadis nabi riwayat Asy-Syafii, Ad-Daraquthni, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah,
Nabi saw. Bersabda:

Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda : Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari
pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya. HR
AsySyafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah
4.

Hadis Nabi riwayat jamaah, Kecuali Muslim dan An-Nasai, Nabi saw. Bersabda:

Nabi Bersabda : Tunggangan ( kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan
menanggung biayanya dan bintanag ternak yang digadaikan dapat diperah susunya
dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu
wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. HR Jamaah, kecuali
Muslim dan An Nasai.

5.

Ijma: Para ulama sepakat membolehkan akad rahn (Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa
Adillatuhu, 1985, V:181).

6.

Kaidah fikih:


Pada dasarnya segala bentuk muamlah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.

Memperhatikan:
1.

Surat dari bank syariah Mandiri no. 3/305/DPM tanggal 23 oktober 2001 tentang
permohonan fatwa atas produk gadai emas.
14

2.

Hasil Rapat Pleno Dewan Syariah nasional pada hari kamis, 14 muharam 1423H/28
Maret 2002 M.
MEMUTUSKAN

Dewan Syariah Nasional Menetapkan: Fatwa tentang Rahn Emas.


Pertama:
1.

Rahn emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn (lihat fatwa DSN nomlr

25/DSN_MUI/III/2002 tentang rahn).


2.

Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).

3.

Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang

nyata-nyata diperlukan.
4.

Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah.

Kedua:
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata
terdapat kekeliruan, akan dirubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di: Jakarta
Tanggal: 14 Muharam 1423H/28 Maret 2002 M
KESIMPULAN
Berdasarkan fatwa DSN MUI bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai
jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang)
sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi
nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan
perawatannya.
15

Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin,


namun dapat juga dilakukan oleh murtahin; sedangkan biaya dan pemeliharaan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera
melunasi hutangnya,
Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya maka marhun dijual
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan
dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi
kewajiban rahin.

DAFTAR PUSTAKA
Chuzaimah T. Yanggo. 2004. Problematika Hukum islam Kontemporer III cet.3. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Zainuddin, Ali. 2008. Hukum Gadai Syariah, , cet.1. Jakarta: Sinar Gafika
http://pegadaianislam.blogspot.com/2012/05/pegadaian-dalam-islam.html
http://anggistlicious.blogspot.com/2013/11/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html

16

17

Anda mungkin juga menyukai