Disusun Kelompok 3:
Kelas: PS 6 G
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
TAHUN AKADEMIK 2019
1
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam fiqh muamalah dikenal dengan kata pinjaman dengan jaminan yang
disebut Ar-rahn, yaitu menyimpan suatu barang sebagai tanggungan utang. Ar-
rahn menurut bahasa berarti Al-tsubut dan Al-habs yaitu penetapan dan
penahanan. Dan ada pula yang menjelaskan bahwa Rahn adalah terkurung atau
terjerat, di samping itu juga Rahn diartikan pula secara bahasa dengan tetap,
kekal, dan jaminan. 1
Menurut Imam Abu Zakariya Al Anshari, rahn adalah menjadikan benda yang
bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu marhun bih yang dapat dibayarkan
dari (harga) benda marhun itu apabila marhun bih tidak dibayar.
Menurut A.A. Basyir, rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai
tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan
syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan
utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.2
1
Hendi Suhendi, Fiqh MuamalahCet.1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 105.
2
A.A. Basyir, Hukum Tentang Riba, Hutang Piutang Gadai, (Bandung: Al-Ma`arif, 1983), hlm. 50
3
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2011), hlm. 20
2
pandangan syara’ sebagai jaminan marhun bih, sehingga rahin boleh mengambil
marhun bih.
Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan di atas, Zainuddin Ali lebih
lanjut mengungkapkan pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli
hukum Islam sebagai berikut:5
a. Ulama Syafi’iyah
b. Ulama Hanabilah
c. Ulama Malikiyah
Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta (Mutamawwal) yang diambil dari
pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
4
Fatwa DSN Nomor: 25/DSN-MUI/III/2012 tentang Rahn.
5
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori Praktik, (Jakarta: Bulan Gema insani Press,
2001), hlm. 41.
3
syara' sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanyatanggungan utang
seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
Mendefinisikan Rahn adalah menahan salah satu yaitu harta milik nasabah
(rahin) sebagai barang jaminan (marhum) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang
diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak
yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli Hukum Islam
di atas, dapat diketahui bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang
bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang
diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak
yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali
seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud bila pihak yang
menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.
Karena itu, tampak bahwa gadai syariah merupakan perjanjian antara seseorang
untuk menyerahkan harta benda berupa emas /perhiasan/kendaraan dan/atau harta
benda lainnya sebagai jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau
lembaga pegadaian syariah berdasarkan hukum gadai syariah.6
Dasar hukum gadai adalah ayat-ayat Al-Qur’an, hadist dan Ijma’ ulama.Hal
dimaksud diungkapkan sebagai berikut :
a. Al-Qur’an
6
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2011), hlm. 22.
4
•
Artinta: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”7
Berdasarkan ayat di atas, sudah jelas bahwa gadai merupakan suatu yang
diperbolehkan dalam Islam sebagai bagian dari muamalah. Bahkan Agama Islam
mengajarkan kepada umatnya supaya hidup tolong menolong, seperti firman
Allah Swt :
• •
Artinya: “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”
b. Hadist
Selain ayat di atas, juga terdapat hadist yang menjadi dasar hukum yangkedua,
antara lain diungkapkan sebagai berikut:
7
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004), hlm. 71.
5
1) Hadist Aisyah r.a, yang disepakati oleh Imam Muslim
Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa agama Islam tidak membedakan
antara orang muslim dan non-muslim dalam bidang muamalah, maka
seorangmuslim wajib membayar utangnya sekalipun kepada non-muslim.
c. Ijma ulama
3. Rukun Gadai
Rukun gadai ada 5 diantaranya pemberi gadai, penerima gadai, barang yang
digadaikan, utang, dan pernyataan gadai.
8
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 107.
6
Orang yang telah dewasa, berakal, dapat dipercaya dan memiliki barang yang
digadaikan.
3) Pemberi gadai berhak menerima sisa hasil penjualan barang gadai setelah
dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
2) Pemberi gadai wajib menjual atas barang gadai miliknya, apabila dalam
jangka waktu yang ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi
pinjamannya.
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan
modal dengan jaminan barang.9
Hak murtahin:
9
Ali Zainuddin, Hukum Gadai Syaiah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 21.
7
dapat digunakan untuk melunasi pinjaman marhun bih dan sisanya
dikembalikan kepada rahin.
Kewajiban murtahin:
10
Rahmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 164.
8
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya
tafsiran marhun. Utang adalah kewajiban bagi pihak berutang untuk membayar
kepada pihak yang memberi hutang. Marhun bih memungkinkan dapat
dibayarkan. Dan jika marhun bih tidak dapat dibayarkan, rahn tidak sah, sebab
menyalahi maksud dan tujuan dari disyariatkannya akad rahn.
1) Shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu
waktu dan masa depan .
2) Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti
halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau
dengan suatu waktu dimasa depan.
4. Syarat Gadai
Syarat râhn, ulama Fiqh mengemukakan sesuai dengan rukun râhn itu sendiri,
yaitu :
a. Baligh dan cakap hukum mensyaratkan cukup berakal saja, karena anak kecil
yang mumayyiz (dapat membedakan antara yang baik dan buruk) boleh
melakukan akad râhn, dengan syarat mendapatkan persetujuan dari walinya.12
b. Shighât. Dalam akad itu tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau
dengan masa yang akan datang, misalnya, orang yang mengadaikan hartanya
mempersyaratkan tenggang waktu utang habis dan utang belum dibayar,
kecuali jika syarat itu mendukung kelancaran akad.
11
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana Perss, 2010), hlm. 391.
12
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), hal.107
9
c. Syarat marhun bih Marhun bih adalah hak yang karenanya barang yang
digadaikan diberikan, yaitu tanggungan utang pihak râhin kepada pihak
murtahîn. Syarat-syarat marhun bih sebagai berikut :
2) Marhun bih harus berupa hutang yang dimungkinkan untuk dipenuhi dan
dibayar dari marhun (barang yang digadaikan).
d. Syarat marhun
Ulama Fiqh menyatakan bahwa râhn baru dianggap sempurna apabila yang
digadaikan itu secara hukum sudah berada ditangan penerima gadai (murtahîn),
dan uang yang dibutuhkan telah diterima oleh pemberi gadai (râhin).
Kesempurnaan râhn oleh Ulama disebut sebagai al-qobdh al-marhun barang
jaminan dikuasai secara hukum, apabila agunan telah dikuasi oleh murtahîni maka
akad râhn itu mengikat kedua belah pihak. Karena itu status hukum barang gadai
(marhun) terbentuk pada saat terjadinya akad atau kontrak utang piutang yang
dibarengi dengan penyerahan jaminan.misalnya, ketika seorang penjual meminta
13
Nusron Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal.255
10
pembeli untuk menyerahkan jaminan seharga tertentu untuk pembelian suatu
barang kredit.
Suatu gadai menjadi sah sesudah terjadinya utang. para Ulama menilai hal
dimaksud sah kerena utang memang tetap menuntut pengembalian jaminan. Hal
itu, menunjukkan bahwa status gadai dapat terbentuk sebelum muncul utang,
misalnya seorang berkata: “saya gadaikan barang ini dengan uang pinjaman dari
anda sebesar 10 juta rupiah”. Gadai tersebut sah, menurut pendapat madzhab
Maliki dan madzhab Hanafi seperti yang dikutip oleh Muhammad Syafi’i
Antonio. Karena itu barang tersebut merupakan jaminan bagi hak tertentu.14
Jenis barang gadai (marhun) adalah barang yang dijadikan agunan oleh
pemberi gadai (râhin) sebagai pengikat utang, dan dipegang oleh penerima gadai
(murtahîn) sebagai jaminan utang , menurut Ulama Hanafi, barang barang yang
dapat digadaikan adalah barang-barang yang memenuhi kategori:
1) Barang-barang yang dapat dijual, karena itu, barang barang yang tidak
berwujud tidak dapat dijadikan barnag gadai, misalnya mengadaikan buah
dari sebuah pohon yang belum berbuah, menggadaikan binatang yang
belum lahir, menggadaikan burung yang ada di udara.
2) Barang gadai harus berupa harta menurut syara’ tidak sah mengadaikan
sesuatu yang bukan harta, seperti bangkai, hasil tangkapan ditanah haram,
arak, anjing, serta babi. Semua barang ini tidak diperbolehkan menurut
syara’ dikarenakan status haram.
14
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah : Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta: Bank
Indonesia dan Tazkia Institute, 2001), hal. 21
11
a) Akad râhn adalah akad tabarru’ Gadai (râhn) merupakan salah satu
akad tabarru’ (kebajikan). Sebab pinjaman yang diberikan oleh
murtahîn tidak dihadapkan dengan sesuatu yang lain. berbeda dengan
jual beli yang merupakan akad mu’awadah (pertukaran) diantara
penjual dan pembeli yang melakukan pertukaran harta dengan barang.
Akad akad tabarru’ dalam konsep fiqh Mua’malah meliputi akad
hibah, ji’alah (pinjam meminjam), wadiah (titipan), qord dan râhn
(gadai). Sebagai akad tabarru’ maka akad yang dimaksud mempunyai
ikatan hukum yang tetap apabila barang byang digadaikan sudah
diserahkan kepada pihak penerima gadai.
12
berhutang tidak sanggup membayar utangnya dari orang yang
berpiutang. Karena itu barang gadai dapat dijual untuk membayar
utangnya, dengan cara mewakilkan penjualannya kepada orang yang
adil dan terpercaya. Mengenai penjualan baranag gadai oleh wakil dan
adil, para Ulama menyepakati akan kebolehannya. Namun mereka
berbeda pendapat bila yang menjual adalah murtahîn menurut Abu
Hanifah dan Imam Malik seperti dikutip oleh Ibnu Qudamah “apabila
dalam akad gadai disyaratkan penjualan oleh penerima gadai setelah
jatuh tempo, maka hal itu dibolehkan”. Lain halnya pendapat
dikalangan madzhab Imam Syafi’i seperti yang dikutib oleh Abi
Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Ibnu Qudamah murtahîn
tidak tidak boleh menjual barang gadai (marhun) setelah jatuh tempo.
Penjualan barang gadai hanya bisa dilakukan oleh wakil yang adil dan
terpercaya. Argumentasi beliau adalah râhin menghendaki kesabaran
terhadap barang yang akan dijual dan kecermatan terhadap harganya.
Hal ini berbeda kondisi dengan murtahîn yang menghendaki hak
pelunasan utangnya dapat dipenuhi secepatnya. Karena itu, bila
penjualan dlakukan oleh murtahîn dikhawatirkan penjualan tersebut
tidak dengan harga yang tepat. Sebab, yang terpenting bagi murtahîn
adalah barang tersebut cepat terjual yang kemudian menerima
harganya.
Menurut Imam Ahmad, Ishak , al Laits, dan al-Hasan, jika barang gadai itu
berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat
13
diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua
benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan
selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Rosulullah SAW
bersabda :
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya, apabila
digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena
pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya
maka wajib memberi biaya”.
Pengambilan manfaat pada benda benda gadai diatas ditekankan kepada biaya
atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang
gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan.pemegang barang gadai
berkewajiban memberikan makanan bial barang gadaian itu adalah hewan. Harus
memberikan bensin apabila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi
yang dibolehan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian
yang ada pada dirinya.15
7. Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak
boleh diadakan syarat-syarat, misalnya, ketika akad gadai diucapkan, “apabila
râhin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka
marhun menjadi milik murtahîn sebagai pembayaran utang. Sebab ada
kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar
utang harga marhun akan lebih kecil dari pada utang râhin yang harus dibayar,
yang mengakibatkan ruginya pihak murtahîn. Sebaliknya ada kemungkinan juga
harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukanakan lebih besar
jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya merugikan pihak
râhin.
15
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah……., hal. 215
14
Apabila waktu pembayaran yang telah ditentukan râhin belum membayar
utangnya, maka hak murtahîn adalah menjual marhun, pembelian boleh muthain
sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu
dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahîn hanya sebesar piutangnya, dengan
akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya
dikembalikan kepada râhin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang
dari jumlah utang, râhin masih menanggung pembayaran kekurangannya.16
1. Madzhab Hanafi
a. Pengertian gadai
b. Rukun Gadai Ulama Hanafiyah berpendapat, rukun râhn itu hanya Ijâb dan
Qabul, yakni Ijab dari râhin dan Qobul dari murtahîn, yakni pernyataan
menyerahkan barang sebagai jaminan oleh pemilik barang (ijab) dan pernyataan
kesdiaan menerima barang jaminan untuk utang tersebut (qâbul).17
c. Syarat-Syarat Gadai
2) Berkaitan dengan syarat sahnya akad râhn, (1) berhubungan dengan akad,
akad tidak boleh disandarkan pada waktu tertentu, (2) berhubungan
dengan marhun, barang dalam penguasaan penerima gadai, barangnya
16
Ahmad Irsyadul Ibad, Skripsi Pemanfaatan Barang Gadai (Studi Komparatif Fiqh Empat Madzhab),
(Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2017), hlm. 34.
17
Ibid., hlm. 39
15
halal bukan barang najis, sudah diketahui dengan jelas, bukan termasuk
barang yang tidak dapat diambil manfaatnya.
3) Berkaitan dengan pihak yang berakad, yakni kedua belah pihak harus
berakal dan mumayyiz, baligh tidak menjadi akad, sehingga anak kecil
yang mumayyiz dapat melakukan akad dengan izin walinya.18
“tidak boleh bagi pemberi gadai untuk memanfaatkan barang gadai (marhun)
dengan cara bagaimanapun kecuali atas izin penerima gadai (murtahîn)”.19
18
Ibid., hal. 40
19
Ibid., hal 57
16
lalu marhun itu rusak ketika digunakan, maka ia mengganti nilai marhun secara
keseluruhan, karena berarti ia telah menggashab. Dan apabila râhin memberi izin
kepada murtahîn untuk memanfaatkan marhun, maka menurut sebagian Ulama
Hanafiyah ,murtahîn boleh memanfaatkannya secara mutlak. Namun ada sebagian
lagi yang melarangnya secara mutlak.20
2. Madzhab Maliki
a. Pengertian
Gadai adalah sesuatu yang berbentuk harta dan memiliki nilai (mutawammil)
yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap
(mengikat).
b. Rukun
Selain ulama madzhab Hanafi, rukun rahn menurut Ulama Malikiyah dibagi
menjadi 5 (lima) pilar:
c. Syarat-syarat
1) Syarat yang berhubungan dengan kedua belah pihak yang berakad, yaitu
pihak rahin dan mutarhin.
20
Ibid., hal. 60.
17
4) Syarat yang berhubungan dengan akad.21
3. Madzhab Syafi’i
a. Pengertian
Gadai adalah menjadikan suatu barang yang bisa dijual sebagai jaminan utang
dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayar utangya.
b. Rukun
21
Ibid., hal. 44—46.
22
Ibid., hal. 57.
23
Ibid., hal. 63.
18
4) Adanya utang
c. Syarat-syarat
a) Berkaitan dengan pihak yang berakad, yakni harus berakal dan baligh,
sehingga apabila dilakukan oleh anak kecil maka tidak sah meskipun
dengan izin wali.
c) Berkaitan dengan utang atau marhun bih, utang harus bisa dilunasi
melalui penjualan barang gadai, utang tersebut harus mengikat dalam
akad, utang hendaknya diketahui jumlah dan sifatnya oleh kedua belah
pihak, dan marhun harus dalam bentuk utang bukan pinjaman.24
24
Ibid., hal 49—50.
25
Ibid., hal. 58
19
Hurairah r.a : barang gadai tidak boleh disembunyikan dari pemilik yang
menggadaikan, baik resiko dan hasilnya.26
4. Madzhab Hambali
a. Pengertian
Gadai adalah satu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk
dipenuhi dari harganya, bila yang hutang tidak sanggup membayar hutangnya.
b. Rukun
c. Syarat-syarat
a) Berkaitan dengan akad, akad tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu.
b) Berkaitan dengan pihak yang berakad, yakni tidak boleh dilakukan oleh
orang gila, muflis (orang yang bangkrut).
d) Berkaitan dengan marhun bih, Marhub bih harus merupakan hak yang
wajib dikembalikan kepada pemiliknya.27
26
Ibid., hal. 64
27
Ibid., hal.
20
d. Pemanfaatan barang gadai (marhun) oleh pemberi gadai (rahin)
28
Ibid., hal. 59
29
Ibid., hal. 66—67.
21
DAFTAR PUSTAKA
Putritama, Afrida. 2018. Jurnal Nominal. Penerapan Etika Bisnis Islam Dalam
Industri Perbankan Syariah. Volume VII, No. 1.
Zulfari, Sukri Bin. Ethics in The Perspective of Learning Al-Ghazali (Riviewover the
book IhyaUlumuddin). Tesis IAIN Tulungagung, (repo.iain-tulungagung.ac.id).
Rinol, Sumantri dan Yuliza Aisyah Nur. 2015. I-Economics Journal, Teori-Teori
Etika Perilaku Bisnis Dan Pandangan Islam Tentang Perilaku Etika Bisnis. Vol. 1.
No. 1. Palembang : Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang.
22