Anda di halaman 1dari 19

RAHN

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu


mata kuliah Fiqih Muamalah Iqtishodiyah

Dosen Pengampu :
Ahmad Badrut Tamam, M.H.I.

Kelompok 8 :
1. Anggita Putri Lestari 21602020135

Program Studi Ekonomi Syariah


Fakultas Ekonomi Bisnis Islam
Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah
Lamongan
Oktober 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada Penulis, sehingga Penulis mampu merampungkan salah satu
tugas yang berbentuk makalah sebagai salah satu persyaratan untuk menempuh
mata kuliah Fiqih Muamalah Iqtishodiyah.
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang Rahn. Terselesaikannya
makalah ini tidak lepas dari sumbangsih orang-orang terdekat Penulis, karena itu
dengan tulus Penulis sampaikan banyak terima kasih kepada:
1. Dosen pengampu mata kuliah studi Fiqih Muamalah Iqtishodiyah IAI TABAH
Kranji Parican Lamongan yang telah membimbing penulis dengan penuh
kesabaran.
2. Para Pegawai perpustakaan IAI TABAH Kranji Paciran Lamongan yang telah
membantu kami untuk menemukan referensi yang akurat.
3. Teman-teman sekelas prodi Ekomoni Islam Fakultas Ekonomi Bisnis Islam IAI
TABAH Kranji Paciran Lamongan yang selalu mengarahkan dan mengingatkan
penulis jika penulis terdapat kekurangan.
Segala upaya telah dilakukan untuk menyempurnakan makalah ini, namun
tidak mustahil dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Hal itu
dikarenakan kelemahan dan keterbatasan kemampuan Penulis semata. Saran dan
kritik yang konstruktif tetap kami harapkan dari audien/peserta diskusi yang
budiman. Akhirnya semoga makalah ini membawa manfaat tidak hanya bagi
Penulis namun juga bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Kranji, 01 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1


A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
C. Tujuan ...................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 3


A. Pengertian dan Dasar Hukum Rahn ........................................................ 3
B. Rukun dan Syarat Rahn ........................................................................... 4
C. Pengambilan Manfaat Marhun ................................................................ 5
D. Resiko Kerusakaan Marhun .................................................................... 6
E. Penyelesaian Rahn ................................................................................... 6
F. Fatwa DSN-MUI Rahn ............................................................................ 8
G. Aplikasi Rahn Dalam Perbankan Syariah ............................................. 12

BAB III PENUTUP .................................................................................. 14


A. Kesimpulan ............................................................................................ 14
B. Saran ...................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gadai dalam fiqh disebut Rahn, yang menurut bahasa adalah tetap,
kekal, dan jaminan. Menurut beberapa madzhab, Rahn berarti perjanjian
penyerahan harta oleh pemiliknya dijadikan sebagai pembayar hak piutang
tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian. Akad merupakan hal terpenting
dari sebuah transaksi sah atau tidaknya transaksi bergantung pada akad yang
dilakukan. Antara haramnya riba dan halalnya jual beli juga ditentukan oleh
akad yang dilakukannya.
Dalam literatur Islam istilah akad diartikan sebagai pertalian antara
ijab dan qabul dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum
terhadap objeknya. Ikrar merupakan salah satu unsur terpenting dalam
pembentukan akad. Akad ini berupa ijab dan qabul. Ijab adalah suatu
pertanyaan dari seseorang (pihak pertama) untuk menawarkan sesuatu,
sedangkan qabul adalah suatu pertanyaan dari seseorang (pihak kedua)
untuk menerima atau mengabulkan tawaran dari pihak pertama. Apabila
antara ijab dan qabul saling dilakukan saling bersesuaian, maka terjadilah
akad dan antara mereka.
Dalam masyarakat ada cara gadai yang hasil barang gadaian itu
langsung dimanfaatkan oleh pengadai (orang yang memberi piutang). Hal
tersebut banyak terjadi, terutama di desa-desa bahwa sawah dan kebun yang
digadaikan langsung oleh pengadai dan hasilnya pun sepenuhnya
dimanfaatkannya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dan Dasar Hukum Rahn?
2. Apa Rukun dan Syarat Rahn?
3. Bagaimana Pengambilan Manfaat Marhun?
4. Apa Resiko Kerusakan Marhun?
5. Bagaimana Penyelesaian Rahn?
6. Apa Fatwa DSN-MUI Rahn?
7. Bagaimana Aplikasi Rahn Dalam Perbankan Syariah?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian dan Dasar Hukum Rahn.
2. Untuk Mengetahui Rukun dan Syarat Rahn.
3. Untuk Mengetahui Pengambilan Manfaat Marhun.
4. Untuk Mengetahui Resiko Kerusakaan Marhun.
5. Untuk Mengetahui Penyelesaian Rahn.
6. Untuk Mengetahui Fatwa DSN-MUI Rahn.
7. Untuk Mengetahui Aplikasi Rahn Dalam Perbankan Syariah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Rahn


1. Pengertian Rahn
Gadai syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa
diartikan al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian ulama
lughat memberikan arti al-hab (tertahan). Sedangkan definisi rahn
menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai
harta dalam pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga
memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian utang dari benda itu.
Istilah Rahn menurut Imam Ibnu Manzur diartikan apa-apa yang
diberikan sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan.
Dari kalangan Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta
yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat
mengikat. Ulama Syafii dan Hambali mengartikan Rahn dalam arti akad
yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat
dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa
membayar hutangnya.1
2. Dasar Hukum Rahn
Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya
rahn yakni bersumber pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283 yang
menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai yang
berbunyi:
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak
mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan
yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, hendajlah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya

1
Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Sumatera Utara: FEBI UIN-SU Press, 2018) 219

3
(utangnya) dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah. Dan
jangnalah kamu menyembunyikan kesaksian karena barang siapa
menyembunyikannya sungguh hatinya kotor (berdosa). Allah maha
mengetahui apa yang yang kamu kerjakan.”
Di samping itu terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa
Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan
menjadikan baju besinya sebagai jaminan.
Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa
rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian
besar (jumhur) ulama, ada beberapa rukun bagi akad yang terdiri dari,
orang yang mengadaikan (ar-rahn), barang-barang yang digadai
(marhun), orang yang menerima gadai (murtahin) sesuatu yang
karenanya diadakan gadai yakni, harga dan bersifat akad rahn.

B. Rukun dan Syarat Rahn


1. Pelaku akad yaitu Ar-Rahin (orang yang mengadaikan) dan Al-Murtahin
(orang yang menerima gadai).
2. Objek akad Al-Marhun (barang yang digadaikan) dan Al-Marhun bih
(pembiayaan).
3. Shighat (ijab dan qabul).
Syarat sahnya akad dalam rahn ada empat macam yaitu:
a. Berakal
b. Baligh
c. Bahwa barang yang digadaikan itu ada pada saat akad
d. Al-Mrtahin atau wakilnya mengambil barang yang digadaikan.
Menurut ulama Syafi’i syarat rahn ada tiga macam yaitu:2
a. Harus berupa barang karena utang tidak bisa digadaikan
b. Kepemilikan barang yang digadaikan tidak terlarang

2
Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Sumatera Utara: FEBI UIN-SU Press, 2018) 222

4
c. Barang yang digadaikan tidak dijual manakala perlunasan utang yang
sudah jatuh tempo
Syarat-syarat rahn yang disebut dalam syara’ ada dua macam:
a. Syarat sah, syarat yang dimaksud syara’ dalam rahn yakni dalam
keadaannya sebagai rahn.
b. Syarat batal, syarat yang haram dan dilarang berdasarkan nash.

C. Pengambilan Manfaat Marhun


Pengambilan manfaat oleh orang yang memegang gadai dipandang
sebagai perbuatan riba. Karena terdapat di dalam transaksi gadai itu unsur
penambahan dari pokok hutang, perbuatan riba inilah yang paling besar
dosanya. Seperti, ada keinginan untuk menolong saudara yang lain, tetapi
ada hakikatnya hanya ingin mengambil keuntungan. Dalam gadai yang ada
adalah transaksi peminjaman uang.
Di dalam transaksi gadai niat semula dari orang yang memberikan
pinjaman kepada orang lain adalah perasaan untuk menolong (at-ta’awun),
tetapi niat itu berubah atau tidak berwujud karena terjadinya perubahan niat,
yaitu mencari keuntungan bukan dengan jalan jual beli (transaksi saling
ridha) melainkan dengan jalan yang memaksa orang lain karena tidak ada
alternative.3 Selanjutnya di dalam proses gadai itu, orang yang memiliki
dagai memberikan izin bagi yang memegang gadai untuk
memanfaatkannya, maka ulama pun berbeda pendapat. Jumhur ulama
berpendapatbahwa orang yang memegang gadai tidak boleh memanfaatkan
barang gadaian itu, sekalipun pemilik jaminan telah membolehkan. Karena
itu masih masuk dalam kategori riba, yaitu memberikan utang kepada orang
lain berharap boleh mengambil manfaat.
Pengambilan manfaat itu sifatnya terbatas. Pengambilan itu harus
disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan. Pendapat kedua
bahwa manfaat yang diambil pada barang gadaian adalah pada biaya dan

3
Nasruddin Yusuf, Pemanfaatan Barang Gadaian Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Al-
Syir’ah, vol. 4 No. 2, 2006, 9

5
tenaga untuk pemeliharaan. Pada batas ini kebolehkan yang ada pada
penutupan biaya pemeliharaan bukan dalam rangka mencari keuntungan.

D. Resiko Kerusakan Marhun


Menurut Syafi’iyah bila barang gadai atau al-marhun hilang
dibawah penguasaan al-murtahin, maka al-murtahin tidak wajib
menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian al-
murtahin atau karena disia-siakan. Umpamanya, al-murtahin bermain-main
api lalu barang gadai itu terbakar atau gudangnya tidak dikunci lalu barang
gadai itu dicuri orang kongkretnya al-murtahin diwajibkan memelihara al-
marhun secara layak dan wajar. Sebab bila tidak demekian, ketika ada cacat
atau kerusakan apalagi hilang menjadi tanggung jawab al-murtahin.4
Dengan mengutip pendapat Hendi Suhendi menyatakan bahwa al-
murtahin yang memegang al-marhun menanggung risiko kerusakan atau
kehilangan al-marhun, bila al-marhun itu rusak atau hilang, baik karena
kelalaian maupun tidak. Perbedaan dua pendapat tersebut ialah jika menurut
Hanafi al-murtahin harus menanggung risiko kerusakan atau kehilangan al-
marhun yang dipegangnya, baik al-marhun itu hilang atau disia-siakan atau
dengan sendirinya. Sedangkan menurut Syafi’iyah al-murtahin
menanggung risiko kehilangan atau kerusakan al-marhun bila al-marhun itu
rusak atau hilang karena tidak diurus atau disia-siakan oleh al-murtahin.

E. Penyelesaian Rahn
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan dalam gadai
tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalnya ketika kad gadai diucapkan
“apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah
ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran
utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah
ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil dari pada

4
Abdul Rahman Ghazaly Dll, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010) 270

6
utang rahin yang harus dibayar yang mengakibatkan ruginya pihak
mrttahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu
pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya dari pada
utang yang harus dibayar yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.
Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad ganda, maka akad
gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.
Apabila waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar
utangnya, maka hak murtahin adalah menjual marhun pembelinya,5 tetapi
dengan harga umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut.
Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga
penjualan marhun lebih besar dari jumlahnya hutang sisanya dikembalikan
kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari
jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.

5
Agus Salihin, Pengantar Lembaga Keuangan Syariah, (Praya: Guepedia, 2021) 273

7
F. Fatwa DSN-MUI Rahn

FATWA
DEWAN SYARIAH NASIONAL
Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002
Tentang
RAHN
ِ‫سمِِاللهِالرِحِْ َمنِالرِحِيْم‬
ْ ِ‫ب‬
Dewan Syariah Nasional setelah,
Menimbang : a. bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang
menjadi kebutuhan masyarakat adalah pinjaman dengan
menggadaikan barang sebagai jaminan utang;
b. bahwa lembaga keuangan syari'ah (LKS) perlu
merespon kebutuhan masyarakat tersebut dalam
berbagai produknya;
c. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan
prinsip-prinsip syari’ah, Dewan Syariah Nasional
memandang perlu menetapkan fatwa untuk dijadikan
pedoman tentang Rahn, yaitu menahan barang sebagai
jaminan atas utang.

Mengingat : 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah [2]: 283:

.....ٌ‫وَاِنََ ُكنَت ُمَعلَىَسَفرََولمََتَ ِج َدُوَاَكا ِتباًَفَ ِرها ٌنَمقَبُوَضَ َة‬


“Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu
tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklahَ
ada barang tanggungan yang dipegang ...”.
2. Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyahَ
r.a., ia berkata:
َّ ‫أ ّنَرسولَاللهَصلّىَاللهَعليهَوسلّمَاشترَطعاماًَمنَيهود‬
َ‫ىَالىَاجلَورهنه‬
.‫درعَا ًَمنَحديد‬

8
“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeliَ
makanan denganَ berutang dari seorang Yahudi, danَ
Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.”
3. Hadits Nabi riwayat al-Syafi'i, al-Daraquthni dan Ibnu
Majah dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda:
‫َلهَغنمهَوعليهَغرمه‬,‫الَيغلقَالرهنَمنَصاحبهَالذيَرهنه‬
"Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik
yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan
menanggung resikonya."

4. Hadits Nabi riwayat Jama’ah, kecuali Muslim dan al-


Nasa’i, Nabi SAW bersabda:
َ‫َولبنَال َدّ ّرَيشربَبنفقتهَاذاَكان‬,ً ‫الظهرَيركبَبنفقتهَاذاَكانَمرهونَا‬
.‫َوعلىَالذيَيركبَويشربَالنّفقة‬,ً ‫مرهونَا‬
"Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan bolehَdinaikiَ
dengan menanggung biayanya dan binatangَternak yangَ
digadaikan dapat diperah susunya denganَ menanggung
biayanya. Orang yang menggunakanَ kendaraan dan
memerah susu tersebut wajibَ menanggung biaya
perawatan dan pemeliharaan."
5. Ijma:
Para ulama sepakat membolehkan akad Rahn (al-Zuhaili,
al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1985, V: 181).
6. Kaidah Fiqih:
.‫األصلَفيَالمعامالتَاالباحةَاالَانَيدلَدليلَعلىَتحريمها‬
Pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukanَ
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Memperhatikan : َََ
1. Pendapat Ulama tentang Rahn antar lain:
‫ىَجوازَالرهنَفيَالجملة‬
َّ ‫واماَاالجماعَفأجمعَالمسلمونَعل‬

9
Mengenai dalil ijma’ ummat Islam sepakat
(ijma’)َ bahwa secara garis besar akad rahn
(gadai/penjaminanَutang) diperbolehkan
‫ال ّراهنَكلَانتفاعَبالرهنَالَيترتبَعليهَنقصَالمرهون‬
Pemberi gadai boleh memanfaatkan barang
gadaiَ secara penuhَ sepanjang tidak
mengakibatkanَ berkurangnya (nilai) barang
gadai tersebut.
َ‫يرَالجمهورَغيرَالحنابلةَأنّهَليسَللمرتهنَأنَينتفعَبشيءَمن‬
‫الرهن‬
ّ
Mayoritas Ulama selain mazhab Hanbali
berpendapatَ bahwa penerima gadai tidak boleh
memanfaatkanَbarang gadai sama sekali.
2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada hari
Kamis, 14 Muharram 1423 H./ 28 Maret 2002 dan hari Rabu, 15
Rabi’ul Akhir 1423 H. / 26 Juni 2002

MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG RAHN
Pertama : Hukum
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai
jaminan utang dalam bentuk Rahn dibolehkan dengan
ketentuan sebagai berikut.
Kedua : Ketentuan Umum
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan
Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang
menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada
prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin
kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun

10
dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya
pemeliharaan dan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya
menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh
Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan
tetap menjadi kewajiban Rahin.
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak
boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan Marhun
a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan
Rahin untuk segera melunasi utangnya.
b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka
Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai
syariah.
c. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang,
biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar
serta biaya penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan
kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.

Ketiga : Ketentuan Penutup


1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan
jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan
diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 15 Rabi’ul Akhir 1423 H
26 Juni 2002 M

11
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,

K.H.M.A. Sahal Mahfudh Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin

G. Aplikasi Rahn Dalam Perbankan Syariah


Sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, rahn tidak
hanya berlaku antar pribadi melainkan tiga antar pribadi dan lembaga
keuangan seperti bank. Untuk mendapatkan kredit dari lembaga keuangan
pihak bank juga menuntut barang agunan yang dipegang bank sebagai
jaminan atas kredit.
Dalam istilah bank barang agunan disebut sebagai collateral.
Collateral ini sejalan dengan marhun yang berlaku dalam akad rahn yang
dibicarakan ulama klasik. Perbedaan terletak pada pembayaran hutang yang
dientukan oleh bank. Kredit di bank biasanya harys dibayar sekaligus
dengan bunga uang yang ditentukan oleh bank. Oleh sebab itu, jumlah uang
yang dibayar oleh debitur akan lebih besar yang dipinjam dari bank.
Kontrak Rahn dipakai dalam perbankan ada dua hal sebagai berikut:
1. Produk Pelengkap
Rahn dipakai produk pelengkap artinya, sebagai akad tambahan
(jaminan) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’al-
murabahah. Bank dapat menahan barang sebagai konsekuensi akad
tersebut.
2. Produk Tersendiri
Akad rahn telah dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensional.
Bedanya dengan akad biasa rahn nasabah biaya penitipan,
pemeliharaan, penjagaan serta biaya penaksiran yang dipungut dan
ditetapkan diawal perjanjian. sedangkan dalam perjanjian gadai biasa

12
nasabah dibebankan juga bunga pinjaman yang dapat terakumukasi dan
berlipat ganda.6
Dalam mekanisme perjanjian gadai syariah akad perjanjian yang
dilakukan antara lain:
1. Akad al-qardhul hasan
Akad ini dilakukan pada kasus nasabah yang menggadaikan barangnya
untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah (rahin) akan
memberikan biaya upah atau free kepada pegadaian yang telah menjaga
atau merawat barang gadaian.
2. Akad al-mudharabah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya
untuk menambah modal usaha (pembiayaan investasi dan modal kerja).
Dengan demikian, rahin akan memberikan bagi hasil kepada murtahin
sesuai dengan kesepakatan, sampai modal yang dipinjam terlunasi.
3. Akad bai’ al-muqayadah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang mengadaikan jaminannya
untuk menambah modal usaha berupa pembelian barang modal.
Dengan demikian murtahin akan membelikan barang yang dimaksud
oleh rahin.

6
Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, 224

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ulama Syafii dan Hambali mengartikan Rahn dalam arti akad yakni
menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan
pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar
hutangnya. Dasar Hukum Rahn Dasar hukum yang digunakan para ulama
untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada Al-Quran surat Al-
Baqarah ayat 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah
tidak secara tunai yang berbunyi: “Dan jika kamu dalam perjalanan sedang
kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang
jaminan yang dipegang. Allah maha mengetahui apa yang yang kamu
kerjakan.” Di samping itu terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa
Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan
menjadikan baju besinya sebagai jaminan.
Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa
rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar
(jumhur) ulama, ada beberapa rukun bagi akad yang terdiri dari, orang yang
mengadaikan (ar-rahn), barang-barang yang digadai (marhun), orang yang
menerima gadai (murtahin) sesuatu yang karenanya diadakan gadai yakni,
harga dan bersifat akad rahn. Syarat sahnya akad dalam rahn ada empat
macam yaitu: (a.) Berakal (b.) Baligh (c.) Bahwa barang yang digadaikan
itu ada pada saat akad (d.)Al-Mrtahin atau wakilnya mengambil barang
yang digadaikan. Menurut ulama Syafi’i syarat rahn ada tiga macam yaitu:
(a.) Harus berupa barang karena utang tidak bisa digadaikan (b.)
Kepemilikan barang yang digadaikan tidak terlarang (c.) Barang yang
digadaikan tidak dijual manakala perlunasan utang yang sudah jatuh tempo
Syarat-syarat rahn yang disebut dalam syara’ ada dua macam: a. Syarat sah,

14
syarat yang dimaksud syara’ dalam rahn yakni dalam keadaannya sebagai
rahn.
Di dalam transaksi gadai niat semula dari orang yang memberikan
pinjaman kepada orang lain adalah perasaan untuk menolong (at-ta’awun),
tetapi niat itu berubah atau tidak berwujud karena terjadinya perubahan niat,
yaitu mencari keuntungan bukan dengan jalan jual beli (transaksi saling
ridha) melainkan dengan jalan yang memaksa orang lain karena tidak ada
alternative.
Penyelesaian Rahn Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang
dirugikan dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalnya ketika
kad gadai diucapkan “apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga
waktu yang telah ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai
pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang
telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil dari
pada utang rahin yang harus dibayar yang mengakibatkan ruginya pihak
murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu
pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya dari pada
utang yang harus dibayar yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.

B. Saran
Setitik harapan dari kami sebagai penyusun kepada semua pihak
baik pengkoreksi maupun pembaca untuk memberikan kritik dan saran
kepada kami. Karena makalah yang kami susun ini masih terlihat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat
kami butuhkan untuk memperbaiki kekurangan yang ada dalam makalah
ini.

15
DAFTAR PUSTAKA

Dll, A. R. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana.

Salihin, A. 2021. Pengantar Lembaga Keuangan Syariah. Praya: Guepedia.

Sudiarti, S. 2018. Fiqh Muamalah Kontemporer. Sumatera Utara: FEBI UIN-SU


Press.

Yusuf, N. 2006. Pemanfaatan Brang Gadai Dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal
Al-Syir'ah, 9-11.

16

Anda mungkin juga menyukai