Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

AKAD PINJAMAN ARIYAH

OLEH :

WARSIH 2320203862201040

MELISA AMALIA 2320203862201062

ZAHRA NURJANNAH 2320203862201073

MUHAMMAD ALFIAN RASDI 2320203862201051

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih


Muamalah

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PROGRAM STUDI AKUNTANSI LEMBAGA KEUANGAN

SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

PAREPARE

2023
KATA PENGANTAR
Assalamua’alaikum wr.wb

Syukur Alhamdulillah Penulis Panjatkan kehadirat Allah SWT


yang telah memberikan taufiq serta hidayh-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam atas junjungan Nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukan dan mengarahkan umat manusia
pada kebenaran dan kebajikan.

Dalam penulisan makalah ini penulis mengucapkan terima kasih


yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
baik moril maupun materil, karena penulis yakin tanpa bantuan itu penulis
akan merasa kesulitan untuk menyelesaikan makalah ini. Atas segala amal
baiknya semoga Allah SWT melimpahkan pahala berlipat ganda.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih


banyak kekurangannya, oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis
harapkan.

Akhirnya penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat


khususnya bagi penulis dan bagi semua pihak pada umumnya, semoga
Ridho Allah SWT menyertai kita semua. Amin Ya Robbal Alamin.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Parepare Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iii

BAB I...................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................1

1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................................2

BAB II.................................................................................................................................3

PEMBAHASAN.................................................................................................................3

2.1 Pengertian ‘Ariyah.............................................................................................3

2.2 Dasar Hukum ‘Ariyah.......................................................................................6

2.3 Rukun dan Syarat ‘Ariyah................................................................................8

2.3.1. Rukun ‘Ariyah............................................................................................9

2.3.2. Syarat-Syarat ‘Ariyah...............................................................................9

2.4 Status Barang Pinjaman ‘Ariyah...................................................................11

2.5 Perbedaan Pinjaman dan Utang.....................................................................13

BAB III..............................................................................................................................16

PENUTUP.........................................................................................................................16

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................16

3.2 Saran.................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................18

i
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Tinjauan mengenai hukum pinjaman dalam konteks fiqih muamalah


memiliki relevansi yang signifikan dalam kehidupan kontemporer. Di era
modern, pinjaman telah menjadi alat yang sangat umum digunakan oleh
individu, perusahaan, dan pemerintah untuk memenuhi berbagai
kebutuhan keuangan mereka. Oleh karena itu, memahami hukum pinjaman
dalam Islam adalah esensial, mengingat kompleksitas transaksi keuangan
saat ini. Selain itu, Islam menekankan pentingnya etika dalam semua
aspek kehidupan, termasuk transaksi keuangan. Oleh karena itu,
pemahaman mendalam mengenai hukum pinjaman dalam Islam dapat
membantu individu menjalani transaksi keuangan mereka dengan
integritas dan berpegang pada prinsip-prinsip etika Islam.

Makalah ini akan membahas berbagai aspek hukum yang berkaitan


dengan pinjaman, termasuk permasalahan seperti riba (bunga), jaminan,
dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi pinjaman sesuai
dengan ajaran syariah. Selain itu, pandangan yang beragam dari ulama dan
cendekiawan Islam terkait dengan pinjaman juga akan dianalisis untuk
memberikan pemahaman yang lebih komprehensif. Makalah ini
diharapkan akan memberikan panduan penting bagi umat Muslim tentang
bagaimana menjalani transaksi pinjaman sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah, serta akan mengulas tantangan modern dalam transaksi keuangan,
seperti transaksi digital, dan bagaimana hukum Islam menghadapinya.

1.2 Rumusan Masalah

Berikut beberapa rumusan masalah dalam makalah ini diantaranya:

1. Apa yang dimaksud dengan ‘Ariyah?


2. Apa saja dasar-dasar hukum ‘Ariyah?

1
3. Bagaimana rukun dan syarat-syarat ‘Ariyah?
4. Bagaimana pendapat para ulama tentang status barang pinjaman?
5. Jelaskan perbedaan antara pinjaman dan utang!

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk menjelaskan pengertian ‘Ariyah
2. Untuk mengetahui apa saja dasar hukum ‘Ariyah
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat-syarat Ariyah
4. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang status barang pinjaman
‘Ariyah
5. Untuk mengetahui apa perbedaan antara pinjaman dan utang

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian ‘Ariyah

‘Ariyah secara kebahasaan berarti “pinjaman”. Kata ini sudah menjadi


salah satu istilah teknis dalam ilmu fikih untuk menyebutkan perbuatan
pinjam meminjam, sebagai salah satu aktivitas antar manusia. Dalam
pelaksanaannya, ‘Ariyah diartikan sebagai perbuatan pemberian milik
untuk sementara waktu oleh seseorang kepada pihak lain, pihak yang
menerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil
manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus membayar imbalan, dan
waktu tertentu penerima hart itu wajib mengembalikan harta yang
diterimanya itu kepada pihak pemberi. Inilah kira-kira gambaran dari
kegiatan pinjam-meminjam (‘ariyah). Oleh sebab itu para ulama biasanya
mendefinisikan ‘ariyah itu sebagai pembolehan oleh seseorang untuk
dimanfaatkan harta miliknya oleh orang lain tanpa diharuskan memberi
imbalan.1

Secara etimologi, ‘ariyah diambil dari kata ‘Aara yang berarti datang
dan pergi. Menurut sebagian pendapat ‘ariyah berasal dari kata ‘Al-
Ta’aawuru yang sama artinya dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu yang
berarti saling menukar dan mengganti dalam konteks tradisi pinjam
meminjam.

Secara terminolongi syara’, ulama fiqh berbeda pendapat dalam


mendefinisikan ‘ariyah, antara lain:

1. Ibnu Rif’ah berpendapat, bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah


kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap
zatnya, supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.

1
M.A. Karim, Drs. Helmi. 1993. FIQH MUAMALAH. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2016

3
2. Menurut pendapat al-Malikiyah sebagaimana yang ditulis oleh
Wahbah al-Juhaili, ‘ariyah adalah pemilikan atas manfaat suatu barang
tanpa adanya imbalan. Adapun menurut al-Syafi’iyah dan al-
Hanabalah ‘ariyah adalah pembolehan untuk mengambil manfaat
suatu barang tanpa adanya imbalan.
3. Amir Syarifuddin berpendapat, bahwa ‘ariyah adalah transaksi atas
manfaat suatu barang tanpa imbalan, dalam arti sederhana ‘ariyah
adalah menyerahkan suatu wujud barang untuk dimanfaatkan orang
lain tanpa adanya imbalan.
Menurut Wahbah al-Juhaili akad ini berbeda dengan hibah, karebna
‘ariyah dimaksudkan hanya untuk mengambil manfaat dari suatu barang,
sedangkan hibah mengambil zat dan manfaat sekaligus. ’Ariyah berbeda
pula dengan ijarah, sebab pada ijarah, barang yang dimaanfatkan itu harus
diganti dengan imbalan tertentu.
Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi ‘ariyah pada berlaku
pada seluruh jenis tingkatan Masyarakat. Ia dapat berlaku pada
Masyarakat tradisional maupun Masyarakat modern, dan oleh sebab itu
dapat diperkirakan bahwa jenis akad atau transaksi ini sudah sangat tua,
yaitu sejak manusia yang satu berhubunan manusia yang lainnya.
Menurut Wahbah al-Juhailli tolong menolong dalam arti ‘ariyah
atau pinjam meminjamkan sesuatu hukumnya sunna, sedangkan Amir
Syarifuddin, transaksi dalam bentuk ini hukumnya boleh atau mubah
sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan syara’.2
Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat:
1. Menurut Hanafiyah, ‘ariyah ialah:
‫مليكمنا في مجنا‬
“Memilikan manfaat secara cuma-cuma”.
2. Menurut Malikiyah, ‘Ariyah ialah:

2
M.A.Ghazaly, Prof. Dr. H. Abdul Rahman, M.A. Ihsan, Drs. H. Ghufron, M.A. Shidiq, Drs.
Sapiudin.
FIQH MUAMALAT. Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP. 2010

4
‫ع َوض‬
‫َت ْم ِل ك اْل َم ْنَفعَ ِة ب‬
‫َغ ْي ِر‬ ‫ْي‬
“Memilikan manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan”.

3. Menurut Syafi’iyah, ‘ariyah ialah:

‫ِ ه م ع ن ˚ردُ علَى‬ ‫ْ ي ِه أَ ْ ه ِليَّ ِة التَ ّب ن اال ْن‬ ‫شخ‬ ْ ‫ِ إ حة˚ اال ْن‬
ِ َ
‫َبَقا ِء ِه ه˚ ل‬ ‫ِتَفا‬ ‫ُّرعِ ِ ب َما َي ِح‬ ‫ص‬ ‫ِتَفاع ن‬ ‫َبا‬
‫َي‬ ‫ع‬
‫ْي‬ ‫م‬
‫ا ْل ˚متَ َب ُّر‬
“Kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang
membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap
zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya”.
4. Menurut Hanabilah, ‘Ariyah ialah:
‫ض م سَت ِم ِر غ ْي ِر ِه‬
ْ ‫ا ْل َ ع ْي‬ ‫َ با حة‬
‫أ َ ْو‬ ‫ْي ِ ن ِر و َن ا ْل ˚م‬ ‫˚ن‬
‫َغ‬ ‫ْف‬
‫ع‬
“Kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari
pinjaman atau yang lainnya”.
5. Ibnu Rif’ah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘Ariyah ialah:
‫ل َي ˚رُّده‬
‫ِن‬ ‫م قَا‬ ‫َ با حة˚ اال ْن َ ِ ح ُّ ل ا‬
‫ِه‬ ‫َع ِ ء‬ ‫ِتَفاع ما ِْل ْن ِت َفا‬
‫ع‬ ‫ِه‬
‫ْي‬
“Kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap
zatnya supaya dapat dikembalikan”.
6. Menurut al-Mawardi, yang dimaksud dengan ‘ariyah ialah:
‫هبة المنافع‬
“Memberikan manfaat-manfaat”.
7. Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang
diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa ganti.

5
Dengan dikemukakannya definisi-definisi menurut para ahli diatas,
kiranya dapat dipahami bahwa meskipun menggunakan redaksi yang
berbeda, namun materi permasalahannya dari definisi tentang ‘ariyah
tersebut sama. Jadi, yang dimaksud dengan ‘ariyah adalah memberikan
manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-

6
cuma (gratis). Bila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal
itu tidak dapat disebut ‘ariyah.3

2.2 Dasar Hukum ‘Ariyah

‘Ariyah atau I’arah merupakan perbuatan qurbah (Pendekatan diri


kepada Allah) dan dianjurkan berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah. Dalil
dari Al-Qur’an sebagai berikut.

a. Surah Al-Ma’idah (5) ayat 2:


‫َّ ْ و َال َت َعاو‬
‫والت ق‬ ِ ‫ا ْل ِب‬ ‫ب‬ ‫وا ْلع˚د واتَ ّق˚وا ِ ديد˚ ا‬ ‫عَلى ا‬ ‫ن˚ و ا‬
‫َو ى‬ ‫ر عَلى‬ ‫وتعاونوا‬ ‫ْل ِعَقا ش‬ ‫َوا ِ ن‬ ‫ِْلثْ ِم‬
َ‫َلّال َ ّلال‬
ّ
‫ن‬
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran, dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.
b. Surah Al-Ma’un (107) ayat 7:
‫و َي ْمتَ ع˚و َ ن ا ْل‬
Dan enggan (Menolong dengan) barang ‫َماع˚و َ ن‬
berguna.
c. Surah Al-Nisa: 58
‫َ َ ˚رك˚ ْم أَ ْن ت˚ َؤُدّوا ت َلى أَ ْ ه ِل َها )النساء‬
‫ا ْْلَ َما نَ ا أْ ˚م‬ ّ‫ّ ل‬
‫ن ل‬
‫ا‬
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya.

Dalam ayat pertama (Surah Al-Maidah (5) ayat 2) Allah


memerintahkan umat islam untuk saling tolong-menolong dalam
mengerjakan kebaikan dan melarang untuk tolong-menolong dalam
keburukan. Salah satu perbuatan baik itu adalah ‘ariyah, yakni

7
meminjamkan kepada orang lain barang yang dibutuhkan olehnya.
Sedangkan dalam ayat yang kedua (Surah Al-Mau’un (107) ayat 7)

3
M. Si. Suhendi, Dr. H. Hendi. FIQH MUAMALAH. Jakarta: Rajawali Pers.

8
Allah menjelaskan bahwa salah satu ciri orang yang mendustakan
agama adalah enggan menolong orang lain. Jumhur mufassirin
menafsirkan ayat ini dengan “enggan meminjamkan barang kepada
tetangga, seperti ember, piring, gelas, dan sebagainya”.
Selain mandub atau sunnah, hukum ‘ariyah bisa berubah-ubah
sesuai dengan situasi dan kondisi. Suatu Ketika ‘ariyah kadang-
kadang bisa wajib, seperti meminjamkan baju untuk menahan panas
atau dingin yang luar biasa, dan kadang-kadang bisa haram, seperti
meminjamkan amah (hamba sahaya perempuan) kepada orang lain. Di
samping itu, ‘ariyah kadang-kadang bisa juga makruh, seperti seorang
muslim meminjamkan barang kepada orang kafir.
Di samping Al-Qur’an, dasar hukum ‘ariyah juga terdapat dalam
sunnah Rasulullah, antara lain:
1. Hadis Shafwan bin Umayyah:
‫علَ ْي ِه قال رجع‬ ˚‫لال‬ ‫استَ َعا َر الن‬ ‫وعن أَ نَ س ب ِ ك َقا كا َ ن ع با ْل َم‬
‫واله‬ ‫ص َّلى‬ ‫ِبي‬ ‫ َف َز ِدي َن ِة‬:‫ِن ل َل‬
‫م‬
‫ا‬
‫رأ ْ „ء و وجْد نَ اه˚ َلبحرا‬ َ‫وسلَّ َم َف َرسا م ْ ن أ ْ ي˚قَا ا ْل َمند˚ و ب َف َر ل‬.
‫ْينَا ن شي ِإن‬ ‫ل لَه˚ ِك َبه˚ َما‬ َ‫ِبي ل حة‬

‫م‬ ‫ط‬
Dari shafwa bin umayyah bahwa Nabi meminjam darinya pada saat
Perang Hunain beberapa baju perang, maka berkata Shafwan: “Apakah
Anda merampas hai Muhammad?” Nabi bersabda: “Bukan, melainkan
pinjaman yang ditanggungkan,” Berkata Shafwan: “Sebagian dari baju
perang tersebut hilang,” maka Nabi menyodorkan kepadanya untuk
menggantikannya. Maka Shafwan berkata: “Saya pada hari ini lebih
senang kepada Islam.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
2. Hadis Anas bin Malik:
‫منه يوم حني ِ ن‬
‫وسَّل َم استَ عا‬ ‫وعن صفوان بن أ˚ َمَّيةَ أَ َّن ال َّنبي صلى لال عليه وآله‬
‫أدْرعا‬
‫َر‬
ِ‫ض علَ ْي ِه النَّ ِبي‬ َ َ ‫ضاع‬ ‫˚مو ا‬ ‫عا ِر َيةً م‬ ‫ َ ب مح‬:‫˚ َقا َ ل‬
‫ع ر‬ ˚
:‫نَ ة ض َل‬ ‫ْل َّمد‬

9
‫ص ًبا ا‬ ‫َفَقا‬ ‫ أ َ غ َل‬:
‫ اليوم س ََلم أَرغب‬:‫َ م َن َها لَه˚ َ فَقا َ ل‬ ‫صلَّى ّلال علَ ِ ل وسلَّ َم أ‬
‫ِفي ا ْ ِْل ض‬ ‫ْن‬ ‫˚ ْي ِه‬
‫ِه وآ‬
Dari Anas bin Malik ia berkata: Telah terjadi rasa ketakutan (atas
serangan musuh) di kota Madinah. Lalu Nabi meminjam seekor kuda
dari Abi Thalhah yang diberi nama Mandub, kemudian beliau
mengendarainya. Setelah beliau Kembali beliau bersabda: Kami tidak

1
melihat apa-apa, dan yang kami temukan hanyalah lautan. (HR.
Muttafaq ‘alaih)
3. Hadis Riwayat Abu Dawud
‫ك )رواه أبو داود‬
‫م ْ ن إثْت َ ال ْ ْ خ‬ ‫)أَدَّ ا ْْل لَى‬
‫َمنَّك َت و ن ن ا‬ ‫َمانَة‬
‫َن‬
‫خ م‬
"Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu,
dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu"
(Hadis riwayat Abu Dawud).
(‫ا ْل َ عا ِر م َؤَذاة˚ )رواه ابو داود‬
˚‫َّية‬
"Barang pinjaman ialah barang yang wajib dikembalikan" (Hadits
riwayat Abu Dawud).
4. Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim
˚‫ّلال ع ْنه‬‫ي˚ ِر ْيد˚ ها‬ ‫و َم ْ ن أَ َ خذَ م ْ ن أَ َ خَذ أَ ْم‬
˚ ‫آدَا َء س أَ لَّى‬ ‫َوا َ ل ا نل َّا‬ ˚‫ي˚ ِر ْيد‬
( ‫لال ˚َفه َل اتْ إ َتلفها ˚ )البخاري رواه‬
"Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan mem
bayarnya, maka Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang
meminjam dengan kemauan melenyapkannya maka Allah akan
melenyapkan hartanya". (Hadits riwayat Al-Bukhari).
‫مط ُّ ل ا ْل َ غنِي ْ ل ˚م )رواه البخاري و‬
(‫مسلم‬
"Orang kaya yang memperlambat kewajiban membayar
utang/pinjaman adalah zalim atau berbuat aniaya". (HR. al-Bukhari
dan Muslim).

Dari ayat Alquran dan hadis tersebut jelaslah bahwa ariyah


merupakan salah satu akad yang dibolehkan bahkan dianjurkan
dalam Islam. Oleh karena itu, dilihat dari sisi orang yang
meminjamkan, 'ariyah merupakan perbuatan ibadah yang diberi
pahala oleh Allah.4

1
2.3 Rukun dan Syarat ‘Ariyah

4
M. Si. Suhendi, Dr. H. Hendi. FIQH MUAMALAH. Jakarta: Rajawali Pers.

1
2.3.1. Rukun ‘Ariyah
Menurut ulama Hanafiah, rukun ‘ariyah hanya satu, yaitu ijab dari
orang yang meminjamkan (al-mu’ir), sedangkan qobul dari orang yang
meminjam (al-musta’ir) menurut jumhur ulama hanafiah yang
menggunakan istihsan, bukan merupakan rukun. Akan tetapi, Imam Sufar
yang menggunakan qiyas berpendapat bahwa qobul juga termasuk rukun
‘ariyah, seperti halnya dalam hibah.
Jumhur ulama termasuk syafi’iyah berpendapat bahwa rukun ‘ariyah
itu ada empat, yaitu :
a. Orang yang meminjamkan (Mu’ir)
b. Orang yang meminjam (Musta’ir)
c. Barang yang dipinjamkan (Mu’ar), dan
d. Sighat.

2.3.2. Syarat-Syarat ‘Ariyah


Syarat-syarat ‘ariyah berkaitan dengan rukun yang telah dikemukakan
di atas,yaitu orang yang meminjamkan, orang yang meminjam, barang
yang dipinjamkan dan sighat.
a. Syarat-Syarat orang yang meminjamkan
Orang yang meminjamkan disyaratkan harus memiliki
kecakapan untuk melakukan tabarru (pemberian tanpa imbalan),
yang meliputi.
1) Baligh. ‘Ariyah tidak sah dari anak yang masih dibawah umur,
tetapi ulama Hanafiah, tidak memasukkan baligh sebagai
syarat ‘ariyah, melainkan cukup mumayyiz.
2) Berakal. Ariyah tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila
3) Tidak mahjur ‘alaih karena bosor atau pailit. Maka tidak sah
‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang mahjur ‘alaih, yakni
orang yang dihalangi tasarruf-nya.

1
4) Orang yang meminjamkan harus pemilik atas manfaat yang
dipinjamkan. Dalam hal ini tidak perlu memiliki bendanya
karena objek ‘ariyah adalah manfaat, bukan benda.
b. Syarat Orang yang meminjam
Orang yang meminjam harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut.
1) Orang yang meminjam harus jelas. Apabila peminjam tidak
jelas (Majhul), maka ‘ariyah hukumnya tidak sah.
2) Orang yang meminjam harus memiliki hak tasarruf atau
memiliki ahliyatul ada’. Dengan demikian, meminjamkan
barang kepada anak dibawah umur, dan gila hukumnya tidak
sah. Akan tetapi, apabila peminjam boros, maka menurut qaul
yang rajih dalam mazhab Syafi’I, ia dibolehkan menerima
sendiri ‘ariyah tanpa persetujuan wali.
c. Syarat-Syarat Barang yang Dipinjam
Barang yang dipinjam harus memenuhi syarat sebagai berikut.
1) Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, baik pada waktu
sekarang maupun nanti. Dengan demikian, barang yang tidak
bisa diambil manfaatnya, seperti mobil yang mogok, tidak
boleh dipinjamkan. Manfaat yang diperoleh peminjam ada dua
macam, yaitu
a) manfaat murni yang bukan benda, seperti menempati
rumah. mengendarai mobil, dan semacamnya;
b) manfaat yang diambil dari benda yang dipinjam, seperti
susu kambing, buah dari pohon, dan semacamnya. Apabila
seseorang meminjam seekor kambing untuk diambil
susunya, atau meminjam pohon durian untuk diambil
buahnya, maka dalam hal ini 'ariyah hukumnya sah
menurut pendapat yang mu'tamad.
2) Barang yang dipinjamkan harus berupa barang yang mubah,
yakni barang yang dibolehkan untuk diambil manfaatnya

1
menurut syara Apabila barang tersebut diharamkan maka
'âriyah hukumnya tidak sah.
3) Barang yang dipinjamkan apabila diambil manfaatnya tetap
utuh. Dengan demikian, tidak sah meminjamkan makanan dan
minuman karena apabila ia dimakan atau diminum, sudah pasti
akan habis.
d. Syarat Sighat
Shighat ariyah disyaratkan harus menggunakan lafal yang
berisi pemberian dimiliki oleh orang barang kepada anak yang
meminjamkan (mu'îr), baik lafal tersebut timbul dari peminjam
atau izin kepada peminjam untuk memanfaatkan barang yang -
Akan tetapi, apabi dari orang yang meminjamkan. Contoh
pernyataan peminjam: ‫( إيرني‬Pinjam- dalam mazhab Syafikan
kepadaku).
Contoh pernyataan orang yang meminjamkan: ‫عرتك‬ ‫ ا‬Saya
pinjamkan kepadamu). Pernyataan tersebut cukup disampaikan
oleh salah satu pihak, sedangkan pihak lainnya cukup dengan
perbuatan langsung, baik memberi (pihak yang meminjamkan) atau
menerima (pihak peminjam).5

2.4 Status Barang Pinjaman ‘Ariyah


Para ulama berbeda pendapat mengenai hak peman- faatan pihak
peminjam terhadap barang yang dipinjamkan mu'ir kepadanya. Jumhur
ulama mengatakan, bahwa pemin- jam hanya boleh memanfaatkan benda
yang dipinjamnya sesuai dengan izin mu'ir. Adapun ulama Hanafiyah
membeda- kan 'ariyah menjadi dua macam, yaitu 'ariyah muthlaqah dan
'ariyah muqayyadah. 'Ariyah muthlaqah adalah seseorang yang meminjam
suatu barang dari orang lain tanpa menyebutkan secara spesifik siapa yang
boleh memanfaatkan barang ter- sebut dan bagaimana cara
penggunaannya,

1
5
Muslich, Drs.H. Ahmad Wardi. FIQH MUAMALAT. Jakarta: AMZAH. 2010

1
Adapun 'ariyah muqayyadah ialah seseorang yang me minjam suatu
barang dari orang lain dengan menyebutkan tempat, waktu, maupun
peruntukannya secara spesifik. Dalam 'ariyah muqayyadah ini, apabila
peminjam melampaui batas yang telah ditetapkan dalam akad, maka dia
harus bertang gung jawab terhadap segala konsekwensi yang diakibatkan
oleh tidakan di luar akad tersebut.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai kedudukan benda
yang dipinjamkan oleh mu'ir kepada musta'ir. Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa barang yang dipinjam- kan itu merupakan benda
amanah di tangan peminjam. Mereka mendasarkan pada informasi hadits
yang berbunyi: "Peminjam dan pemegang titipan tidak wajib mengganti,
kecuali karena khianat". Karena itu, peminjam tidak wajib mengganti
barang yang rusak atau hilang yang disebabkan bukan karena kelalaian
Peminjam
Ulama Malikiyah pada dasarnya sependapat dengan kelompok
Hanafiyah, bahwa benda yang dipinjamkan itu merupakan amanah. Hanya
saja, Malikiyah mengelompok- kan benda yang dipinjam menjadi dua
bagian, yaitu benda yang dapat dihilangkan dan benda yang tidak dapat
dihilangkan. Untuk benda yang pertama, musta'ir wajib mengganti, apa-
bila dia menghilangkannya, contohnya pakaian, perhiasan dan lain-lain.
Sedangkan untuk benda yang kedua, menurut mereka peminjam tidak
wajib mengganti apabila benda tersebut hilang. Termasuk kategori benda
ini antara lain tanah, dan rumah.
Sedangkan ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa, barang yang
dipinjam dianggap sebagai tanggungan si peminjam, karena itu peminjam
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap barang yang dipinjamnya,
termasuk apabila barang itu rusak atau hilang dengan sengaja atau tidak.12
Pendapat ini juga dianut oleh ulama Hanabilah.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai hukum menyewakan
atau meminjamkan barang pinjaman kepada pihak lain. Ulama Hanafiyah
dan Malikiyah berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan barang-
barang pinjaman kepada orang lain, sekalipun pemiliknya belum

1
mengizinkan, jika penggunaanya untuk hal-hal yang berlainan dengan
tujuan pemakaian pinjaman. Ulama Hanabilah juga mempunyai pendapat
yang sama dengan Hanafiyah dan Malikiyah, yaitu bagi peminjam
dibolehkan untuk memanfaatkan barang pin- jaman atau siapa saja yang
menggatikan statusnya, selama peminjaman berlangsung, kecuali jika
barang tersebut disewa- kan. Maka, menurut ulama Hanabilah, haram
hukumnya me- nyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.
Apabila barang yang dipinjamkan tersebut dipinjam lagi oleh
musta'ir kepada orang lain dan mengalami kerusakan tat- kala di
tangannya, maka pemilik barang berhak meminta ganti rugi kepada salah
seorang di antara keduanya. Dalam keadaan seperti ini lebih baik pemilik
barang meminta jaminan kepada pihak kedua, kerena dialah pihak yang
memegang barang ter- sebut, ketika ia rusak.
Adapun mengenai hak permintaan kembali barang pin- jaman,
dalam hal ini, jumhur ulama berpendapat, bahwa mu'ir berhak untuk
meminta kembali barang yang dipinjamkan kepada musta'ir kapan saja.
Ketentuan ini berlaku dalam akad 'ariyah muthlaqah. Tetapi dalam akad
'ariyah muqayyadah, pemilik barang tidak boleh begitu saja mengambil
barang itu apabila kemungkinan untuk pemanfaatannya belum ber- akhir.
Hal ini dimaksudkan adanya kemungkinan untuk meng- hindari
kemungkinan dirugikannya pihak peminjam. Karena itu, apabila tuntutan
barang tersebut mengakibatkan kerugi an pada musta'ir, maka hendaklah
pengembalian dan tuntutan-nya ditunda, agar kerugiannya dapat
dihindarkan. Namun apabila masa pengambilan manfaat barang telah
selesai, maka musta'ir harus segera mungkin mengembalikan barang ter-
sebut kepada mu'ir.6

2.5 Perbedaan Pinjaman dan Utang

6
Huda, Qomarul. FIQH MU’AMALAH. Depok Sleman Yogyakarta: Teras perum POLRI Gowok
Blok D 3 No. 200. 2011

1
Kita sebagai makhluk sosial sudah pasti mengenal yang namanya
pinjam meminjam dan utang piutang. Sudah tentu, kita sendiri sering
bermuamalah yang seperti ini. Kegiatan ini, seperti pinjam meminjam dari
anak SD juga sudah ada yang pernah melakukannya. Seperti meminjam
pulpen, meminjam buku, dan barang lainnya. Tapi masih banyak orang
tidak tahu istilah dalam Islam tentang pinjam meminjam dan utang
piutang. Seperti kita lihat, di antara keduanya tidak ada perbedaan antara
arti utang piutang dengan pinjam meminjam.
Tapi, sebenarnya dalam istilah dan pengertiannya dari keduanya itu
sangat berbeda. Dalam kitab-kitab fikih seperti kitab Yaqut an-Nafis, Fath
al-Qarib dan yang lainnya, dikatakan bahwa istilah yang cocok untuk akad
pinjam meminjam sering disebut ‘ariyah, sedangkan istilah yang cocok
disematkan untuk akad utang piutang adalah qardh.
Pengertian qardh adalah memberikan kepemilikan sesuatu dan jika
sudah saatnya dikembalikan, itu disebut sebagai gantian. Masalah hukum
pinjam meminjam (‘ariyah), mayoritas para ulama fikih mengatakan
sunnah. Dikatakan sunnah karena mengacu pada potongan ayat dari QS.
al- Ma’idah; 2, artinya “Dan tolong menolonglah kamu dalam
mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan janganlah kalian tolong menolong
dalam perbuatan dosa.
”Sedangkan dalam hukum utang piutang (qardh) hukumnya wajib
jika keadaan terdesak. Ini mengacu pada potongan ayat QS. Al-Baqarah;
245 yang artinya, “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahi hartanya dijalan Allah maka Allah akan
melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.
Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezeki dan kepadanyalah
kamu dikembalikan”.
Selain didalam al-Qur’an, hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majjah juga menyebutkan bahwa siapa yang memberi pinjaman kepada
sesamanya, maka akan diganti dengan ganti dua kali lipat dari apa yang

1
dipinjamkannya. “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada
sesamanya dua kali, maka itu seperti sedekah dua kali” (H.R Ibnu Majjah).
Dalam fiqih muamalah, terdapat perbedaan antara qardh dan ‘ariyah.
Perbedaan antara qardh dan ‘ariyah terletak pada objeknya. Jika qardh
adalah memberikan kepemilikan suatu harta dengan sistem
mengembalikan penggantinnya tanpa unsur tambahan, maka ariya adalah
akad yang memberikan wewenang untuk mengambil manfaat sesuatu yang
halal, dan saat pengembalian barang masih tetap utuh. Barang yang
dipijamkan pada qardh harus diganti dengan jenis yang sama persis,
sedangkan pada ariyah barang yang dipinjamkan tidak diganti atau
dikembalikan dengan jenis yang sama persis. Hukum qardh dibolehkan
dan dibenarkan oleh syariat islam sedangkan hukum ariyah mayoritas para
ulama fiqih mengatakan sunnah.7

7
Aly, Mahad “Ariyah dan Qardh” History of Islamic Civilization, 24/10/2023,
https://www.mahadalyjakarta.com/ariyah-dan-qardh/

2
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Secara etimologi, ‘ariyah diambil dari kata ‘Aara yang berarti datang
dan pergi. Menurut sebagian pendapat ‘ariyah berasal dari kata ‘Al-
Ta’aawuru yang sama artinya dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu yang
berarti saling menukar dan mengganti dalam konteks tradisi pinjam
meminjam. ‘Ariyah secara kebahasaan berarti “pinjaman”. Kata ini sudah
menjadi salah satu istilah teknis dalam ilmu fikih untuk menyebutkan
perbuatan pinjam meminjam, sebagai salah satu aktivitas antar manusia.
Dalam pelaksanaannya, ‘Ariyah diartikan sebagai perbuatan pemberian
milik untuk sementara waktu oleh seseorang kepada pihak lain, pihak yang
menerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil
manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus membayar imbalan, dan
waktu tertentu penerima hart itu wajib mengembalikan harta yang
diterimanya itu kepada pihak pemberi.

Jumhur ulama termasuk syafi’iyah berpendapat bahwa rukun ‘ariyah


itu ada empat, yaitu orang yang meminjamkan (Mu’ir), orang yang
meminjam (Musta’ir), orang yang dipinjamkan (Mu’ar) dan sighat
begitupum dengan syaratnya ada empat seperti yang berkaitan dengan
rukunnya. Dasar hukum ‘ariyah ada dua yaitu Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah SAW.

Ada beberapa pendapat berbeda dari para ulama yakni salah satunya
Para ulama berbeda pendapat mengenai hak peman- faatan pihak
peminjam terhadap barang yang dipinjamkan mu'ir kepadanya. Jumhur
ulama mengatakan, bahwa pemin- jam hanya boleh memanfaatkan benda
yang dipinjamnya sesuai dengan izin mu'ir. Adapun ulama Hanafiyah
membeda- kan 'ariyah menjadi dua macam, yaitu 'ariyah muthlaqah dan
'ariyah muqayyadah. 'Ariyah muthlaqah adalah seseorang yang
meminjam suatu

2
barang dari orang lain tanpa menyebutkan secara spesifik siapa yang boleh
memanfaatkan barang ter- sebut dan bagaimana cara penggunaannya,

Dalam fiqih muamalah, terdapat perbedaan antara qardh dan ‘ariyah.


Perbedaan antara qardh dan ‘ariyah terletak pada objeknya. Jika qardh
adalah memberikan kepemilikan suatu harta dengan sistem
mengembalikan penggantinnya tanpa unsur tambahan, maka ariya adalah
akad yang memberikan wewenang untuk mengambil manfaat sesuatu yang
halal, dan saat pengembalian barang masih tetap utuh.

3.2 Saran
Saya sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali
kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan, tentunya penulis akan terus
memperbaiki makala dengan mengacu pada sumber yang dapat
dipertanggung jawabkan nantinya. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.

2
DAFTAR PUSTAKA

M.A. Karim, Drs. Helmi. 1993. FIQH MUAMALAH. Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada. 2016
M.A.Ghazaly, Prof. Dr. H. Abdul Rahman, M.A. Ihsan, Drs. H. Ghufron,
M.A. Shidiq, Drs. Sapiudin. FIQH MUAMALAT. Jakarta:
KENCANA PRENADA MEDIA GROUP. 2010
M. Si. Suhendi, Dr. H. Hendi. FIQH MUAMALAH. Jakarta: Rajawali Pers.
Muslich, Drs.H. Ahmad Wardi. FIQH MUAMALAT. Jakarta: AMZAH.
2010
Huda, Qomarul. FIQH MU’AMALAH. Depok Sleman Yogyakarta: Teras
perum POLRI Gowok Blok D 3 No. 200. 2011
Aly, Mahad “Ariyah dan Qardh” History of Islamic Civilization,
24/10/2023, https://www.mahadalyjakarta.com/ariyah-dan-
qardh/

Anda mungkin juga menyukai