Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-Qur’an dan Hadis

PENERAPAN AKAD IJARAH DALAM BERMUAMALAH

Dosen Pengampu :
Dr. H. Hamim Ilyas, M.Ag

Disusun Oleh :
A. Sofi Marzuki (23203011124)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh

Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT


yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya. Sholawat dan salam senantiasa tercurah
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa perubahan dari zaman jahiliyah menuju
zaman yang penuh dengan lampu penerangan ilmu pengetahuan.
Tentunya, penulisan makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Al-
Quran dan Hadis, penyusun menyadari bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan makalah ini
tidak lepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Atas jasa dari berbagai pihak
tersebut, penyusun berdoa semoga Allah SWT menerimanya sebagai amal ibadah dan
memberikan balasan sebagaimana mestinya.
Serta penyusun mohon maaf atas segala kekurangan dalam penyusunan makalah ini.
Selanjutnya, dengan segala kerendahan hati penyusun mengharapkan semua kritik dan saran
yang bersifat membangun demi penyempurnaan penyusunan makalah ini. Harapan penyusun
semoga dengan terselesaikannya makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan
pembaca lainnya.

Wassalamu’alikum warohmatullahi wabarokaatuh

Yogyakarta, Oktober 2023


Penyusun

A. Sofi Marzuki
23203011124

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Sewa-Menyewa (Al-Ijarah) .................................................................. 3

B. Rukun Dan Syarat Ijarah ......................................................................................... 4

C. Landasan Hukum Ijarah .......................................................................................... 8

D. Penerapan Ijarah Dalam Bermuamalah .................................................................. 10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Allah SWT menciptakan satu sifat saling membutuhkan antara satu dengan yang

lainnya, sehingga manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain.

Sudah menjadi ketentuan allah SWT, bahwa manusia tidak mungkin mampu memenuhi

kebutuhan mereka sendiri. Oleh karena itu, Allah SWT memberikan inspirasi (ilham) kepada

manusia untuk mengadakan penukaran dalam bidang jual beli, sewa menyewa, maupun

kegiatan muamalah lainnnya. Manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai arti bahwa

selain membutuhkan orang lain juga memerlukan lingkungan untuk bersosialisasi.

Bersosialisasi di sini memiliki arti bahwa manusia membutuhkan lingkungan sosial sebagai

habitatnya, maksudnya setiap manusia membutuh kan satu sama lain untuk berinteraksi yang

berkaitan dengan lingkungan dan tempat tinggal.1

Dalam memenuhi kebutuhan manusia, suatu hal yang paling mendasar adalah adanya

interaksi sosial dengan manusia lain. Dalam kaitannya dengan ini, Islam datang dengan

membawa prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang mengatur persoalan muamalah yang

dilakukan oleh manusia dalam kehidupan mereka. Jenis dan bentuk muamalah yang

dilaksanakan oleh manusia sejak dahulu sampai sekarang berkembang sejalan dengan

perkembangan kebutuhan dan pengetahuan manusia itu sendiri. Hal tersebut dapat dijumpai

dalam berbagai kalangan masyarakat jenis dan bentuk muamalah yang beragam, yang

tujuannya adalah melakukan interaksi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.

Muamalah secara etimologi berarti hubungan antar manusia. Dari pengertian tersebut

muamalah berarti perbuatan manusia di luar ibadah. Dengan kata lain, muamalah merupakan

1
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Yogyakarta : Fakultas Hukum UII, 1993), hlm 7.

1
kegiatan manusia dalam menjalin hubungan antar sesama manusia, sedangkan ibadah

merupakan hubungan manusia dengan sang pencipta. Dalam kegiatan muamalah terdapat

banyak akad-akad yang dapat dilakukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Diantaranya kegiatan ekonomi dalam Islam terdapat berbagai macam akad, yaitu: akad jual

beli, akad mudharabah, akad murabahah, akad sewa menyewa (ijarah), akad musaqah, akad

muzara’ah, akad mukhabarah, dan lain sebagainnya. Diantara akad-akad tersebut dalam

pelaksanaannya di masyarakat, salah satu akad yang sering dilakukan dan diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari adalah akad ijarah. Menurut bahasa ijarah berarti upah, ganti, atau

imbalan. Dalam istilah umum dinamakan sewa menyewa, oleh karena itu ijarah mempuyai

pengertian umum yang meliputi upah atau imbalan atas pemanfaatan barang atau suatu

kegiatan.2 Berikut salah satu dalil diperbolehkannya akad ijarah adalah firman Allah SWT

yang berbunyi :

َّ ِ َ ْ ِ ِ َّ ِ ْ ِ ٰ َ ْ ِ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ
َّۚ‫ف ّان ارضعن لكم فاثوهن اجورهن‬

Artinya : kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu maka


berikanlah kepada mereka upahnya. (QS At-Talaq : 6).

Dalam kegiatan ekonomi sehari-hari masyarakat menggunakan akad ijarah untuk

berbagai macam objek sewa-menyewa seperti untuk sewa menyewa kendaraan, rumah, jasa,

dan lain sebagainya. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas mengenai penerapan akad

ijarah dalam bermuamalah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Rukun dan Syarat Sah Akad Ijarah Dalam Bermuamalah ?

2. Bagaimana Penerapan Akad Ijarah Dalam Bermuamalah ?

2
Helmi Karim, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm 9.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sewa-menyewa (Al-Ijarah)

Al-Ijarah berasal dari kata al ajru yang berarti al ’iwadhu atau berarti ganti. Dalam

Bahasa Arab, al-ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan

jalan penggantian sejumlah uang.3 Ijarah menurut arti lughat atau bahasa adalah balasan,

tebusan, atau pahala. Secara terminologi, ada beberapa defenisi al-ijarah yang dikemukakan

oleh para ulama fiqh.

Pertama, ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan: transaksi terhadap suatu

manfaat dengan imbalan.4 Kedua, menurut ulama Syafi’iyah mendefinisikannya dengan

“transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan boleh

dimanfaatkan dengan imbalan tertentu”.5 Ketiga, ulama Malikiyah dan Hanabilah

mendefinisikannya dengan “Pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu

tertentu dengan suatu imbalan”.6

Definisi mengenai prinsip ijarah juga telah diatur dalam hukum positif indonesia yakni

dalam Pasal 1 ayat 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 yang mengartikan

prinsip al-ijarah sebagai “transaksi sewa-menyewa atas suatu barang dan atau upah

mengupah atas suatu usaha jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan

jasa.7 Sedangkan menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000, ijarah

adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu

3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 13 (Bandung: PT al Ma’arif, 2007), hlm 15.
4
Al-Kasani, al-Bada’i’u al-Sana’i, Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1996.), hlm 174.
5
Al-Syarbaini al-Khathib, Mugni al- Muhtaj, Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), hlm 233.
6
Ibnu Qudama, al-Mugni, Jilid V (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm 398.
7
Zulfi Chairi, Pelaksanaan Kredit Perbankan Syariah Manurut UU No. 10 Tahun 1998 (e-usu Repository,
2005.), hlm 12.

3
melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu

sendiri, dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya

pemindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.8

Ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia, antara

sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional. Sewa biasanya digunakan untuk

benda, seperti seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah,

sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti karyawan yang berkerja di pabrik di bayar

gajinya (upahnya), maka dalam bahasa arab upah dan sewa disebut ijarah.

Jadi dari beberapa pengertian diatas dapat dikatakan bahwa al-ijarah adalah

pemindahan hak guna atau manfaat terhadap suatu barang atau jasa dari seseorang kepada

orang lain dalam kurun waktu tertentu sesuai kesepakatan.

B. Rukun Dan Syarat Ijarah

a. Rukun Ijarah

Menurut Hanafiyah, rukan dan syarat ijarah hanya ada satu, yaitu ijab dan qabul,

yaitu pernyataan dari orang yang menyewa dan meyewakan. 9 Sedangkan menurut jumhur

ulama, rukun dan syarat ijarah ada empat, yaitu Aqid (orang yang berakad), sighat, upah,

dan manfaat. Ada beberapa rukun ijarah di atas akan di uraikan sebagai berikut:

1). Aqid (Orang yang berakad)

Orang yang melakukan akad ijarah ada dua orang yaitu mu’jir dan mustajir.

Mu’jir adalah orang yang memberikan upah atau yang menyewakan. Sedangkan

Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang

8
Adiwarman A. Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan (Cet:I Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006), hlm 137.
9
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm 230.

4
menyewa sesuatu.10 Bagi yang berakad ijarah disyaratkan mengetahui manfaat

barang yang di jadikan akad sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan, dan

juga untuk kedua belah pihak disyaratkan berkemampuan, yaitu kedua-duanya

berakal dan dapat membedakan. Jika salah seorang yang berakal itu gila atau anak

kecil yang belum dapat membedakan baik ataupun buruk , maka akad menjadi tidak

sah.11

2). Sighat Akad

Yaitu suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul

adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai

gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad ijarah.12 Dalam Hukum Perikatan

Islam, ijab diartikan dengan suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak

pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.13 Sedangkan qobul adalah

suatu pernyataan yang diucapkan dari pihak yang berakad pula (musta’jir) untuk

penerimaan kehendak dari pihak pertama yaitu setelah adanya ijab.

3). Ujrah (upah)

Ujroh yaitu sesuatu yang diberikan kepada musta’jir atas jasa yang telah

diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu’jir. Dengan syarat hendaknya:

 Sudah jelas atau sudah diketahui jumlahnya. Karena ijarah akad timbal balik,

karena itu ijarah tidak sah dengan upah yang belum diketahui.

10
Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al Ja’fai, Shahih Bukhori, Juz VIII (Beirut:
Maktabah Syamilah Isdaar, 2004), hlm 117.
11
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 4 (Jakarta: Pena Ilmu dan Amal, 2006.), hlm 205.
12
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010), hlm 116.
13
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm 63.

5
 Uang yang harus diserahkan bersamaan dengan penerimaan barang yang

disewa. Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya harus

lengkap.14

4). Manfaat

Di antara cara untuk mengetahui ma’qud alaih (barang) adalah dengan

menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika

ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.15 Semua harta benda boleh diakadkan ijarah

di atasnya, kecuali yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

 Manfaat dari objek akad sewa-menyewa harus diketahui secara jelas. Hal ini

dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa atau pemilik memberikan

informasi secara transparan tentang kualitas manfaat barang.

 Objek ijarah dapat diserah terimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan

tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. Tidak dibenarkan

transaksi ijarah atas harta benda yang masih dalam penguasaan pihak ketiga.

 Objek yang disewakan manfaat langsung dari sebuah benda. Misalnya, sewa

rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, dan sebagainya. Tidak

dibenarkan sewa-menyewa manfaat suatu benda yang sifatnya tidak langsung.

Seperti, sewa pohon mangga untuk diambil buahnya, atau sewa-menyewa

ternak untuk diambil keturunannya, telurnya, bulunya ataupun susunya.

 Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslah harta benda yang bersifat

isty’mali, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan berulang kali tanpa

mengakibatkan kerusakan zat dan pengurusan sifatnya. Sedangkan harta benda


14
Muhammad Rawwas Qal ’Ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khattab (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1999), hlm 178.
15
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm 126.

6
yang bersifat istihlaki adalah harta benda yang rusak atau berkurang sifatnya

karna pemakaian. Seperti makanan, buku tulis, tidak sah ijarah diatasnya.16

b. Syarat Ijarah
Menurut M. Ali Hasan syarat-syarat ijarah adalah ;17
1. Menurut Mazhab Syafi’I dan Hambali syarat bagi kedua orang yang berakad
adalah telah baligh dan berakal. Dengan demikian apabila orang itu belum atau
tidak berakal seperti anak kecil atau orang gila menyewa hartanya, atau diri
mereka sebagai buruh (tenaga dan ilmu boleh disewa), maka Ijarah nya tidak sah.
Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki bahwa orang yang melakukan akad,
tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah mumayiz pun boleh
melakukan akad Ijarah dengan ketentuan disetujui oleh walinya.
2. Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya untuk
melakukan akad Ijarah itu, apabila salah seorang keduanya terpaksa melakukan
akad maka akadnya tidak sah.
3. Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara jelas, sehingga tidak
terjadi perselisihan dibelakang hari jika manfaatnya tidak jelas. Maka, akad itu
tidak sah.
4. Objek Ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada
cacatnya. Oleh sebab itu, ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa tidak boleh
menyewa sesuatu yang tidak dapat diserahkan, dimanfaatkan langsung oleh
penyewa. Umpamanya rumah atau toko harus siap pakai atau tentu saja sangat
bergantung kepada penyewa apakah dia mau melanjutkan akad itu atau tidak,
sekiranya rumah itu atau toko itu disewa oleh orang lain maka setelah itu habis
sewanya baru dapat disewakan oleh orang lain.
5. Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara. Oleh sebab itu ulama fikih
sependapat bahwa tidak boleh menggaji tukang sihir, tidak boleh menyewa orang
untuk membunuh (pembunuh bayaran), tidak boleh menyewakan rumah untuk
tempat berjudi atau tempat prostitusi (pelacuran).

16
Ibid, hlm 127.
17
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta Raja Grafindo Persada)., hlm 227.

7
C. Landasan Hukum Ijarah

Dalam Al-Qur’an, ketentuan tentang upah dari jasa tidak tercantum secara terperinci.

Namun pemahaman upah dari jasa dicantumkan dalam bentuk pemaknaan tersirat, seperti

firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2):233 yaitu:

ِ ِْ َ ِ ْ َ َ َ َ َ َّ َّ ُّ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َّ ِ َ َ ْ َ َ ْ ْ ِ ِ ٰ ٰ ْ َ
‫الرضاعةۗ َوعلى ال َم ْول ْو ّد لٗ ّرزُ َُِّن َو ِّ ْْ َوث َُِّن‬ ‫والو ّلدت ير ّضعن اولادهن حولي ّن ك ّاملي ّن ّلمن اراد ان ي ّجم‬
َ َ ْ َ َ ٰ ِْ ْ َ َ َ َّ ٌ ِ َ َ َ ٌَ ُ ِ َ َ َّ ْ َ ِ ََّ ِ َ ْ ْ
‫ّبال َمع ِر ْو ّفۗ لا ثكلف نف ٌس ّالا ِو ْسع َُاَّۚ لا ثض ۤاَّر َوا ّلدة ّۢب َول ّدها َولا َم ْول ْود لٗ ّب َول ّد ٖه َوعلى ال َو ّار ّث ّمثل ذ ّلكَّۚ ف ّان ا َرادا‬
َ ِ ََ َ َ ِ َ َ ِ َ َ َ ِ ْ َ َ ْ َ ُّ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ ِ َ َ ِ َ َ َ َ ِ ْ َ ْ َ ً ُ
‫ۗواّ ن ا َردث ْم ان ت ْستد ّضع ْوْٓا ا ْولادِ ْم فلا جناح عَ ْْك ْم ّاذا‬ ‫اض ّمنُما وتشاو ٍر فلا جناح علي ُّما‬ ٍ ‫ر‬َ ‫ث‬ ‫ّفصالا عن‬
َ ِ ْ َ َ َ ‫ه َ َ ْ َ ِ ْ ََّ ه‬ ِ َّ ْ ْ ِ ْ َٰ ِ َّ
٢٣٣ ‫اّٰلل ّبما ثع َمل ْون َب ّص ْي ٌد‬ ‫َسل ْمج ْم َّمآْ اثيج ْم ّبال َمع ِر ْو ّفۗ َواثقوا اّٰلل واعلموْٓا ان‬

Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.18

Ayat tersebut menerangkan bahwa setelah seseorang mempekerjakan orang lain

hendaknya memberikan upahnya. Dalam hal ini menyusui adalah pengambilan manfaat dari

orang yang dipekerjakan yaitu jasa dari diri seorang ibu yang menghasilkan air susu lalu

kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Hal

itu termakna dari satu kata yaitu al-maulud yang artinya “orang tua laki-laki”.19 Maksudnya

untuk menjelaskan bahwa anak (bayi) tersebut adalah milik ayahnya. Kepada Ayahnya lah ia

18
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang CV Toha Putra 1996), hlm 29.
19
Mustafa al-Babi al-Halabi, Tafsir al-Maragi Juz I (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992), hlm 317.

8
dinasabkan dan dengan nama ayah pula disebut, Sedangkan ibunya berfungsi sebagai

gudangnya anak-anak.

Bila dikaji dari sisi Munasabah Ayat, maka ayat ini memuat aturan terkait dengan

konsekuensi hubungan perceraian suami istri, sedangkan anak masih menyusui dan

membutuhkan pengasuhan ibu maka ibu berhak atas Ujrahnya. Karena anak adalah bagian

dari orang tua sehingga orang tua harus mengusahakan kemaslahatan anaknya ketika si anak

belum mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu sebaliknya, ketika orang tua sudah

tidak mampu bekerja dan memenuhi kebutuhannya, maka anak harus memenuhi semua

kebutuhan hidup orang tua baik nafkah atau pakaian.

Kemudian dalam Q.S Al- Qasas ayat 26 Allah Berfirman:

ِ َْ َْ َ َ َْ َ َّ ِ ْ ْ َ ْ ِ ‫َُ َال ْت ا ْح ٰد‬


َ ‫ىُ َما ي ٰٓ َا‬
٢٦ ‫ۖان خ ْي َد َم ّن ْاسجأج ْرت الق ّو ُّي الا ّم ْين‬
ّ ‫ه‬‫ر‬‫ج‬ّ ‫أ‬ ‫ج‬‫اس‬ ‫ت‬
ّ ‫ب‬ ّ

Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (Q.S Al-
Qasas:26).

Ayat ini berkisah tentang perjalanan Nabi Musa as bertemu dengan kedua putri nabi

Ishaq, salah seorang putrinya meminta Nabi Musa as untuk disewa tenaganya guna

menggembala domba. Kemudian nabi Ishaq as bertanya tentang alasan permintaan putrinya

tersebut. Putri Nabi Ishaq mengatakan bahwa Nabi Musa as mampu mengangkat batu yang

hanya bisa diangkat oleh sepuluh orang, dan mengatakan “karena Sesungguhnya orang yang

paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat

9
dipercaya”. Cerita ini menggambarkan proses penyewaan jasa seseorang dan bagaimana

pembayaran upah itu dilakukan.20

Tidak diragukan lagi, perkataan wanita itu termasuk perkataan yang padat dan

mengandung hikmah yang sempurna. Sebab manakala kedua sifat ini yaitu keterpercayaan

dan kemampuan yang terdapat pada seseorang yang mengerjakan suatu perkara, Maka ia

akan mendatangkan keuntungan keberhasilan.21 Begitu pula dengan hal ijarah dimana

seseorang yang ingin memperkerjakan orang untuk dimanfaatkan jasanya harus adanya

kepercayaan terhadap kemampuan orang yang bekerja supaya apa yang diharapkan oleh

pemberi upah nantinya akan merasakan manfaatnya.

D. Penerapan Ijarah Dalam Bermuamalah

Telah menjadi sunnatullah bahwa setiap manusia hidup dalam suatu kegiatan

bermuamalah. Kegiatan bermuamalah itu seperti melakukan suatu kegiatan ekonomi.

Kegiatan ekonomi tersebut memerlukan kerja sama. Tanpa adanya kerja sama mustahil bagi

manusia untuk hidup secara normal. Ekonomi Islam adalah merupakan suatu ilmu yang

mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat islam yang mengikuti

Al-Qur’an, Hadits Nabi Muhammad SAW, Ijma’ dan Qiyas.22

Ekonomi syari’ah berbicara masalah menjamin berputarnya harta diantara manusia,

sehingga manusia dapat memaksimalkan fungsi hidupnya sebagai hamba Allah untuk

mencapai kedamaian dan kesejahteraan dunia akhirat. Dengan demikian, ilmu ekonomi islam

harus mempunyai sistem ekonomi yang dapat memakmurkan bumi, mampu membahagiakan

20
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm 155-156.
21
Ibid, hlm 93.
22
Bambang Hermanto, Hukum Perbankan Syariah (Pekanbaru: Suska Press, 2012), hlm 9.

10
manusia baik selama hidup di dunia maupun di akhirat kelak.23 Mewujudkan kesejahteraan

yang hakiki bagi umat manusia merupakan dasar sekaligus tujuan utama dari syariat islam.

Oleh karena itu tujuan akhir dari ekonomi islam adalah sebagaimana tujuan dari syariat islam

tersebut yakni mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Perkembangan dunia bisnis makin pesat dengan di dukung oleh teknologi dan

keilmuan yang semakin berkembang pula. Bisnis yang telah berkembang mempunyai aturan

main yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, dikenal dengan istilah hukum

bisnis. Di Indonesia, bisnis syariah pun telah berkembang. Perkembangan tersebut

memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembangunan perekonomian di Indonesia.

Perkembangan ini harus mendapatkan apresisasi dengan dibentuknya regulasi yang

berdasarkan pada prinsip syariah.

Adapun dinamika penerapan Ijarah dalam Bermuamalah di Indonesia dikutip oleh

Nawawi sebagai berikut:24

1. Barang siapa menyewa sesuatu dan mendapatkan cacat di dalamnya ia berhak

membatalkan sewa, jika ia tidak mengetahui sebelumnya dan tidak merelakannya.

2. Sewa (Ijarah) menjadi batal dengan kerusakan pada sesuatu yang disewakan, misal

rumah yang disewakan roboh, namun penyewa harus membayangkan uang sewa

selama ini memanfaatkan sesuatu yang disewanya sebelumnya rusak.

3. Barang siapa mengobati orang sakit kemudian diberi upah, namun sebenarnya ia bukan

ahli pengobatan, kemudian merusak salah satu dari anggota tubuh pasiennya, ia harus

menggantinya, karena Rasulullah Saw bersabda “Barang siapa mengobati padahal ia

23
H. Ahmad Mujahidin, Ekonomi Islam: Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan Pasar. (Jakarta: PT: Raja
Grafindo Persada, 2007), hlm 23.
24
H Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik Dan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia, 2020), hlm 20.

11
tidak dikenal ahli mengobati, ia mengganti (kerusakan yang dilakukannya” (H.R Abu

Daud, An Nasani, dan Ibnu Majah).

4. Uang sewa harus dilakukan dengan akad dan penyerahannya dilakukan setelah

selesainya pemanfaatan sesuatu yang disewakan atau selesainya pekerjaan, kecuali jika

disayaratkan uang sewanya harus dibayar pada saat akad, karena Rasulullah Saw

bersabda “Bagi pekerja, upahnya dibayarkan jika ia telah menyelesaikan

pekerjaannya”. (H.R Ahmad).

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam praktik kehidupan bermuamalah ijarah diterapkan pada sewa tenaga kerja dan

sewa barang. Dalam transaksi keuangan, ijarah dibagi menjadi dua yaitu ijarah dan ijarah

muntahiya bittamlik. Penulisan makalah ini berkontribusi pada wacana keilmuan mengenai

ijarah di bidang ekonomi Islam baik yang klasik maupun yang kontemporer. Secara

etimologis, ijarah diambil dari kata ajru yang berarti pengganti. Karena itu, kata tsawab

bermakna ganjaran. Sebuah perbuatan dikenal pula dengan sebutan al-ajru. Menurut istilah,

ijarah adalah akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi upah. Ijarah ada dua bentuk

manfaat yang bisa diambil, yaitu manfaat barang dan manfaat jasa. Ijarah merupakan

kegiatan ekonomi dan bisnis yang bertujuan saling memenuhi kebutuhan dalam menunjang

kehidupan yang baik. Dasar hukum ijarah terdapat dalam beberapa surah di antaranya surah

al-Baqarah (2):233, surah al-Qashash (28):26. Surah-surah yang menggambarkan ijarah

(sewa menyewa) tidak semua ayatnya terdapat asbabun nuzul, namun ayat tersebut bisa

dikorelasikan dengan melihat kepada munasabahnya dan beberapa kejadian yang terjadi pada

saat itu.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat Yogyakarta : Fakultas Hukum UII, 1993.

Helmi Karim, Fiqh Muamalah Jakarta: Rajawali Press, 1993

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 13 Bandung: PT al Ma’arif, 2007.

Al-Kasani, al-Bada’i’u al-Sana’i, Jilid IV Beirut: Dar al-Fikr, 1996..

Al-Syarbaini al-Khathib, Mugni al- Muhtaj, Jilid II Beirut: Dar al-Fikr, 1978.

Ibnu Qudama, al-Mugni, Jilid V Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Zulfi Chairi, Pelaksanaan Kredit Perbankan Syariah Manurut UU No. 10 Tahun 1998 e-usu
Repository, 2005..

Adiwarman A. Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan Cet:I Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006

Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000

Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al Ja’fai, Shahih Bukhori, Juz VIII
Beirut: Maktabah Syamilah Isdaar, 2004.

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 4 Jakarta: Pena Ilmu dan Amal, 2006.

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010.

Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia Jakarta: Prenada Media, 2005.

Muhammad Rawwas Qal ’Ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khattab Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1999.

Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001.

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta Raja Grafindo Persada

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang CV Toha Putra 1996.

Mustafa al-Babi al-Halabi, Tafsir al-Maragi Juz I Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992.

Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

14
Bambang Hermanto, Hukum Perbankan Syariah Pekanbaru: Suska Press, 2012

H. Ahmad Mujahidin, Ekonomi Islam: Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan Pasar. Jakarta:
PT: Raja Grafindo Persada, 2007.

H Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik Dan Kontemporer Bogor: Ghalia Indonesia, 2020.

15

Anda mungkin juga menyukai