“Fiqh Muamalah”
Dosen Pengampu :
2022
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, serta
hidayahnya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah
tentang “Ijarah” sebagai salah satu tugas mata kuliah “Fiqh Muamalah” . Dan tidak lupa
sholawat serta salam tetap kami curahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad
S.A.W. yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam terang benderang dan
dengan kerendahan hati kami meminta kritik dan saran yang membangun untuk kepada para
pembaca makalah kami yang masih banyak memiliki kekurangan, semoga dengan adanya
makalah dari kami dapat bermanfaat bagi kami penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya. Aamin. Cukup sekian pengantar dari kami, mohon maaf jika ada salah salah
penulisan karena kesempurnaan hanya milik Allah semata. Terima Kasih.
Wassalamualaikum wr.wb
PENYUSUN
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 4
BAB II ....................................................................................................................................... 6
BAB III.................................................................................................................................... 15
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan
makhluk lain. Manusia bersosialisasi dengan manusia lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dan melakukan kegiatan ekonomi. Segala bentuk interaksi sosial yang dilakukan
manusia untuk memenuhi kebutuhannya, memiliki ketetapan yang membatasi dan
mengatur kegiatan tersebut.
Dalam islam hubungan yang mengatur tentang interaksi sosial disebut dengan
muamalah. Salah satu contoh hukum islam yang termasuk muamalah adalah ijarah atau
sewa-menyewa dan upah. Ijarah merupakan salah satu bentuk transaksi muamalah yang
banyak dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam bahasa Arab
ijarah bermakna sewa menyewa dan upah, sewa digunakan untuk benda, dan upah untuk
tenaga.
Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan seseorang bersama orang lain sesuai
dengan syariat islam. Kegiatan ijarah ini tak bisa lepas dari kehidupan manusia sebagai
makhluk sosial dalam kehidupan sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun
masyarakat. Oleh sebab itu untuk mengetahui lebih jelas tentang ijarah, dalam makalah ini
akan dijelaskan secara rincin tentang apa itu jarah.
B. Rumusan Masalah
4
C. Tujuan Penulisan
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah
Menurut bahasa kata ijarah berasal dari kata “alajru” yang berarti “al-iwadu” (ganti)
dan oleh sebab itu “ath-thawab”atau (pahala) dinamakan ajru (upah).1 Al-ijarah dalam
bahasa arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk
muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-meyewa, kontrak, atau
menjual jasa perhotelan dan lain-lain.2
Adapun menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan ijarah, antara
ain sebagai berikut :
1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13, (Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006), h .203
2
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000), h. 228
3
Ibid, h. 122
4
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik, (Gema Insani Press, Jakarta), h. 177
6
kerbau untuk membajak sawah, menyewa manusia untuk mengerjakan suatu pekerjaan
dan sebagainya.5
f) Menurut Gufron A. Mas‟adi
dalam bukunya Fiqh muamalah kontekstual mengemukakan, ijarah secara bahasa
berarti upah dan sewa jasa atau imbalan. Sesungguhnya merupakan transaksi yang
memperjualbelikan suatu harta benda.6
Dalam arti luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan
jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu, hal ini sama artinya dengan menjual manfaat
suatu benda, bukan menjual ‘ain dari suatu benda itu sendiri.
Dasar-dasar hukum atau rujukan ijarah adalah Al – Qur’an, Al – Sunnah, dan Al – Ijma’.7
a. Berdasarkan Al-quran
Dalam QS-at-Thalaq : 6 yang menjelaskan :
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anakanak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS
ath-Thalaq:(65) :6)
Artinya: “salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik
yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
(QS al-Qashas:(28) :26)”
5
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah Syirkah,( Al-ma‟rif, Bandung, 1995), h. 24
6
Gufron A.Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002), h. 181
7
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010), h. 116
7
b. Berdasarkan Sunnah
Hadist-hadist Rasulullah Saw yang membahas tentang ijarah atau upah
mengupah di antaranya diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi
bersabda : yang artinya : “Ðari Abdullah bin „Umar ia berkata: telah bersabda
Rasulullah “berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah)”
8
. Terdapat juga pada Hadist riwayat Abd Razaq dari Abu Hurairah Rasulullah
Saw bersabda: yang artinya “Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh,
beritahukanlah upahnya”.(HR.Abd Razaq dari Abu Hurairah).9
c. Berdasarkan Ijma’
Para ulama sepakat bahwa ijarah itu dibolehkan dan tidak ada seorang ulama
pun yang membantah kesepakatan (ijma‟) ini. Jelaslah bahwa Allah SWT telah
mensyariatkan ijarah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan umat, dan tidak ada
larangan untuk melakukan kegiatan ijarah. Jadi, berdasarkan nash al-Qur‟an, Sunnah
(hadis) dan ijma’ tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa hukum ijarah atau upah
mengupah boleh dilakukan dalam islam asalkan kegiatan tersebut sesuai dengan syara’.
a. Rukun Ijarah
Menurut Hanafiyah, rukan dan syarat ijarah hanya ada satu, yaitu ijab dan qabul,
yaitu pernyataan dari orang yang menyewa dan meyewakan.10
Sedangkan menurut jumhur ulama, Rukun-rukun dan syarat ijarah ada empat, yaitu
Aqid (orang yang berakad), sighat, upah, dan manfaat. Ada beberapa rukun ijarah di
atas akan di uraikan sebagai berikut:
1) Aqid (Orang yang berakad)
Orang yang melakukan akad ijarah ada dua orang yaitu mu’jir dan mustajir.
Mu’jir adalah orang yang memberikan upah atau yang menyewakan.
Sedangkan Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan
sesuatu dan yang menyewa sesuatu.30 Bagi yang berakad ijarah di
syaratkan mengetahui manfaat barang yang di jadikan akad sehingga dapat
8
Muhammad bin Yazid Abu „Abdullah al-Qazwiniy, Sunan Ibnu Majah Jilid II, (Dar al- Fikr, Beirut, 2004), h.
20
9
Ibid.,h.124
10
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000), h. 230
8
mencegah terjadinya perselisihan. Untuk kedua belah pihak yang
melakukan akad disyaratkan berkemampuan, yaitu kedua-duanya berakal
dan dapat membedakan. Jika salah seorang yang berakal itu gila atau anak
kecil yang belum dapat membedakan baik ataupun buruk maka akad
menjadi tidak sah.11
2) Sighat Akad
Yaitu suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan
qabul adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang
berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad ijarah.
3) Ujroh (upah)
Ujroh yaitu sesuatu yang diberikan kepada musta’jir atas jasa yang telah
diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu’jir.
Dengan syarat hendaknya :
- Sudah jelas/sudah diketahui jumlahnya. Karena ijarah akad timbal balik,
karena itu iijarah tidak sah dengan upah yang belum diketahui.
- Pegawai khusus seperti hakim tidk boleh mengambil uang dari
pekerjaannya, karena dia sudah mendapatkan gaji khusus dari pemerintah.
Jika dia mengambil gaji dari pekerjaannya berarti dia mendapat gaji dua kali
dengan hanya mengerjakan satu pekerjaan saja.
- Uang yang harus diserahkan bersamaan dengan penerimaan barang yang
disewa. Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya harus
lengkap.
4) Manfaat
Di antara cara untuk mengetahui ma’qud alaih (barang) adalah dengan
menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis
pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang. Semua harta benda
boleh diakadkan ijarah di atasnya, kecuali yang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
- Manfaat dari objek akad sewa-menyewa harus diketahui secara jelas. Hal
ini dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa atau pemilik memberika
informasi secara transparan tentang kualitas manfaat barang.
11
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 4, (Pena Ilmu dan Amal, Jakarta), 2006, h. 205
9
- Objek ijarah dapat diserahterimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan
tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. Tidak dibenarkan
transaksi ijarah atas harta benda yang masih dalam penguasaan pihak ketiga.
- Objek ijarah dan manfaatnya tidak bertentangan dengan Hukum Syara’.
Misalnya menyewakan VCD porno dan menyewakan rumah untuk kegiatan
maksiat tidak sah.
- Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslh harta benda yang bersifat
isty’mali.
b. Syarat Ijarah
Menurut M. Ali Hasan syarat-syarat ijarah adalah :12
1) Syarat bagi kedua orang yang berakad adalah telah baligh dan berakal (Mazhab
Syafi‟i Dan Hambali). Dengan demikian apabila orang itu belum atau tidak
berakal seperti anak kecil atau orang gila menyewa hartanya, atau diri mereka
sebagai buruh (tenaga dan ilmu boleh disewa), maka Ijarah nya tidak sah.
Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan maliki bahwa orang yang melakukan akad,
tidak harus mencapai usia baligh , tetapi anak yang telah mumayiz pun boleh
melakukan akad Ijarah dengan ketentuan disetujui oleh walinya.
2) Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya untuk
melakukan akad Ijarah itu, apabila salah seorang keduanya terpaksa melakukan
akad maka akadnya tidak sah.
3) Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara jelas, sehingga tidak
terjadi perselisihan dibelakang hari jika manfaatnya tidak jelas. Maka, akad itu
tidak sah.
4) Objek Ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak
ada cacatnya. Oleh sebab itu, ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa tidak
boleh menyewa sesuatu yang tidak dapat diserahkan, dimanfaatkan langsung
oleh penyewa. Umpamanya rumah atau took harus siap pakai atau tentu saja
sangat bergantung kepada penyewa apakah dia mau melanjutkan akad itu atau
tidak, sekiranya rumah itu atau toko itu disewa oleh orang lain maka setelah itu
habis sewanya baru dapat disewakan oleh orang lain.
5) Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara. Oleh sebab itu ulama fikih
sependapat bahwa tidak boleh menggaji tukang sihir, tidak boleh menyewa
12
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Raja Grafindo Persada, Jakarta), 2003, h. 227
10
orang untuk membunuh (pembunuh bayaran), tidak boleh menyewakan rumah
untuk tempat berjudi atau tempat prostitusi (pelacuran). Demikian juga tidak
boleh menyewakan rumah kepada non-muslim untuk tempat mereka
beribadat.13
D. Macam-Macam Ijarah
13
Ibid.,h. 329
14
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Gaya Media Pratama, Jakarta), 2000, h. 230
11
E. Upah dalam Pekerjaan Ibadah
Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti : shalat, zakat, puasa, haji, dan membaca
Al-Qur’an diperdebatkan kebolehannya oleh ulama, karena berbeda cara pandang terhadap
pekerjaan-pekerjaan ini.
Pada saat ini para fuqaha menyatakan bahwa boleh mengambil upah dari pengajaran al-
Qur’an dan ilmu-ilmu syariah lainnya, karena para guru membutuhkan penunjang
kehidupan mereka dan kehidupan orang-orang yang berada dalam tanggungan mereka. Dan
waktu mereka juga tersita untuk kepentingan pengajaran al-Qur’an dan ilmu-ilmu syariah
tersebut, maka dari itu diperbolehkan memberikan kepada mereka sesuatu imbalan dari
pengajaran ini.
Madzhab Maliki, Syafi’i dan Ibnu Hazm memperbolehkan mengambil upah sebagai
imbalan mengajar al-Qur’an dan kegiatan-kegiatan sejenis karena hal ini termasuk imbalan
dari perbuatan yang diketahui (terukur ) dan dari tenaga yang diketahui pula. Ibnu Hazm
mengatakan bahwa mengabil upah sebagai imbalan mengajar al-Qur’an dan sejenisnya
baik secara bulanan atau sekaligus dibolehkan dengan alasan tidak ada na>sh yang
melarangnya.15
Jika ijarah merupakan suatu pekerjaan, maka kewajiban pembayaran upah pada waktu
berakhirnya sebuah pekerjaan. Jika tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung
dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya,
menurut Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat
yang diterima. Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad
itu sendiri. Jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jir, ia berhak
menerima bayarannya karena penyewa (musta’jir) sudah menerima kegunaannya.16
15
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Penerjemah Nor Hasanudin, (Jakarta : Pena Pundi Aksara CetI, 2006), 22
16
Prof.Dr.H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqh Muamalah, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) hal 118
12
2. Jika menyewa barang. Uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam
akad ditentukan lain. Manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan
berlangsung.
Musta’jir diperbolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain dengan
syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad,
seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewakan
untuk membajak sawah, kemudian kerbau disewakan lagi dan timbu musta’jir kedua, maka
kerbau itu harus digunakan untuk membajak sawah pula. Harga penyewaan yang kedua ini
bebas, boleh lebih kecil, lebih besar, maupun seimbang.17
Jika ada kerusakan pada benda yang disewakan, maka yang bertanggung jawab adalah
pemilik barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat kelalaian musta’jir. Dan
apabila kerusakan berasal dari kelalaian musta’jir maka yang bertanggungjawab adalah
musta’jir itu sendiri.
3. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), misal baju yang diupahkan untuk
dijahit,
4. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan
selesainya pekerjaan,
5. Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa
toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia diperbolehkan
memfasakhkan sewaan itu
17
Prof.Dr.H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqh Muamalah, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) hal 121
18
Prof.Dr.H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqh Muamalah, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) hal 122
13
I. Pengembalian Sewaan
Jika ijarah telah berakhir, maka penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan,
jika barang tersebut dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya, dan jika
bentuk barang sewaan berupa barang tetap (‘Iqar), maka ia wajib menyerahkan kembali
dalam keadaan kosong, jika barang sewaan berupa tanah, ia wajib menyerahkan kepada
pemiliknya dalam keadaan tanah kosong dari tanaman, kecuali apabila ada kesulitan untuk
menghilangkannya.19
19
Prof.Dr.H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqh Muamalah, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) hal 123
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
15
DAFTAR PUSTAKA
A.Mas‟adi Gufron. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Ali Hasan M. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Azhar Basyir Ahmad. Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah Syirkah. Bandung: Al-ma‟rif,
1995.
Ibid.
Sabiq Sayyid. Fiqih Sunnah 13. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
Sabiq Sayyid. Fikih Sunnah jilid 4. Jakarta: Pena Ilmu dan Amal, 2006.
Sabiq Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Penerjemah Nor Hasanudin. Jakarta : Pena Pundi Aksara CetI,
2006.
Syafi‟I Antonio Muhammad. Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Yazid Abu Abdullah al-Qazwiniy Muhammad. Sunan Ibnu Majah Jilid II. Beirut: Dar al- Fikr,
2004.
16