Anda di halaman 1dari 15

Tugas Kelompok

“ Ijarah (sewa-menyewa) dan Rahn (gadai)”

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas


Mata kuliah : Tafsir Ayat Ekonomi dan Akuntansi
Dosen : Drs. Hajaji, M.pdi.

Disusun Oleh:
Nandita Sabella Audrey Putri Dany
NIM. 1804140160

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH
TAHUN 1441 H/2019 M

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya kepada kita semua, dan tak lupa shalawat serta salam kita hanturkan kepada
Nabi besar Muhammad SAW, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah pada mata
kuliah Tafsir Ayat Ekonomi dan Akuntansi ini tepat waktu. Makalah dengan judul “ Ijarah
(sewa-menyewa) dan Rahn (gadai)” ini kami susun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah
Tafsir Ayat Ekonomi dan Akuntansi yang diberikan oleh Drs. Hajaji, M.pdi. Saya mengucapkan
terima kasih kepada Drs. Hajaji, M.pdi. selaku dosen Tafsir Ayat Ekonomi dan Akuntansi, serta
pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari
masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Dengan kerendahan hati, kami memohon maaf.
Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Palangkaraya, 2 Desember 2019

Penulis

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
A. Latar Belakang.................................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................4
C. Tujuan Masalah...............................................................................................................................5
BAB II.........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6
A. Pengertian Sewa-menyewa (Ijarah).................................................................................................6
B. Dasar Hukum Syariat tentang Sewa-menyewa................................................................................7
D. Pengertian Rahn (Gadai)................................................................................................................10
E. Dasar Hukum Gadai (Rahn)...........................................................................................................11
F. Rukun dan Syarat Gadai................................................................................................................12
BAB III......................................................................................................................................................14
PENUTUP.................................................................................................................................................14

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa berinteraksi
dengan dengan orang lain. Dalam istilah di atur segala tingkah laku manusia yang
mengharuskan adanya interksi dengan sesama yakni dalam kajian fiqh muamalah,
yang mana didalamnya juga membahas aturan sewa-menyewa dan gadai. Dalam
masalah sewa-menyewa dan gadai ini, adanya suatu rukun dan syarat yang harus
dipenuhi antara kedua belah pihak yang mengadakan suatu interaksi tersebut baik itu
sewa-menyewa dan gadai. Adapun syarat secara umum bagi pihak yang melakukan
sewa-menyewa dan gadaiitu harus mesti orang yang sudah memiliki kecakapan
betindak sempurna, sehingga perbuatan yang dilakukannya dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Para ulama berpendapat tentang kecakapan
bertidak didalam lapangan muamalahini ditentukan oleh hal-hal yang bersifat pisik
dan kejiwaan sehingga segala tindakanyang dilakukanny dapat dipandang sebagai
sutu perbuatan yang sah sesuai dengan syariat islam. Dalam makalah ini akan dibahas
tentang pengertian sewa-menyewa dan gadai, hukum sewa-menyewa dan gadai,
syarat dan rukun sewa-menyewa dan gadai, serta jenis-jenis sewa-menyewa dan
gadai. sekaligus sebagai tugas dari dosen mata kuliyah fiqih muamalah abad klasik
dan menengah. Semoga dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membaca
makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ijarah(sewa menyewa) dan rahn(gadai) ?
2. Bagaimana dalil tentang ijarah(sewa menyewa) dan rahn(gadai)?
3. Bagaimana akad ijarah(sewa menyewa) dan rahn(gadai)?

4
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa pengertian ijarah(sewa menyewa) dan rahn(gadai).
2. Untuk mengetahui bagaimana dalil tentang ijarah(sewa menyewa) dan
rahn(gadai).
3. Untuk mengetahui bagaimana akad ijarah(sewa menyewa) dan rahn(gadai).

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sewa-menyewa (Ijarah)


Secara etimologis, kata ijarah berasal dari kata ajru yang berarti ‘iwadhu
pengganti. Oleh karena itu, tsawah ‘pahala’ disebut juga dengan ajru ‘upah’. Pihak pemilik
yang menyewakan manfaat sesuatu disebut mu’ajjir. Adapun pihak yang menyawakan
disebut musta’jir. Dan, sasuatu yang diamil manfaatnya disebut ma’jur.Sedangkan jasa
yang diberikan sebbagai imbalan atas mannfaat tersebut disebut ajrahatau ujrah upah.
Menurut istilah para ulama mendefinisikan sewa (ijarah) sebagai berikut:1

- Menurut Hanafiyah bahwa ijarah adalah akad untuk memolehkan pemilikan manfaat
yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.
- Menurut Malikiyah ijarah adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat
suatu barang yang mubah uantuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal
dari manfaat.
- Menurut Syfi’iyah ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan
tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.
- Menurut Hanabilah ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal
ijarah dan kara’ dan semacamnya.
- Menurut Sayyid Sabiq bahwa ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat
dengan jalan penggantian.
- Menurut Sulaiman rasjid, mempersewakan adalah akad atas manfaat (jasa) dengan
maksudyang diketahui, dengan tukaran yang diktahui menurut syarat-syarat yang akan
dijelakan kemudian.

Dari definisi-definisi tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya


tidak ada perbedaan yang prinsip di antara para ulama dalam mengartikan ijarah atau
sewa-menyewa. Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa ijarah atau sewa-
1 Abu Azam Al Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer, (Depok: Rajawali Pers, 2017),h.80.

6
menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, objek sewa
menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang).

B. Dasar Hukum Syariat tentang Sewa-menyewa


Para fuqaha’ sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang dibolehkan oleh
syara’, kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail Bin Aliyah, Hasan
Al-Basri, Al-qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak membolehkan ijarah,
karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukannya akad,
tidak isa diserahterimakan. Setelah beberapa waktu barulah manfaat itu dapat dinikmati
sedikit demi sedikti. Sedangkan sesuatu yang tidak ada pada waktu akad tidak boleh
diperjuabelikan. Akan tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh Ibnu Rusyd, bahwa
manfaat walaupun pada waktu akad belum ada, tetapi pada galibnya ia (manfaat) akan
terwujud, dan inilah yang menjadi perhatian serta pertimbangan syara’.
Alasan jumhur ulama memperbolehkan Ijarah (sewa) adalah:2
1. Dalil Al-Qur’an
a. QS; Azzukhruf ayat 32

‫ت لخيذتتخخذذ‬ ‫ك نذعحهن قذذسعمذناَ بذعينذههعم ذمخعيذشتذههعم خفيِ اعلذحذياَخة الددعنذياَ ذوذرفذععذناَ بذعع ذ‬
‫ضههعم فذعو ذ‬
‫ق بذعع ت‬
‫ض ذدذرذجاَ ت‬ ‫أذههعم يذعقخسهموذن ذرعحذمةذ ذربب ذ‬
‫ضاَ هسعخخريياَ ذوذرعحذمةه ذربب ذ‬
‫ك ذخعيرْر خمتماَ يذعجذمهعوذن‬ ‫ضههعم بذعع ي‬
‫بذعع ه‬

Artinya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu Kami telah


menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan
Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa
derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan
rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (QS; Al Zukhruf
ayat 32).

b. QS; Al Qashash ayat 26 dan 27

ِ‫ي اعلذخمي‬ ‫ت اعستذأعخجعرهه ۖ إختن ذخعيذر ذمخن اعستذأعذجعر ذ‬


‫ت اعلقذخو د‬ ‫ت إخعحذداههذماَ ذياَ أذبذ خ‬
‫ذقاَلذ ع‬

Artinya :Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik

2 Imam Mustofa, Fiqih Muamalah,(Jakarta:Rajawali pers,2016)h.106-110

7
yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya."( QS; Al Qashash ayat 26).

c. QS Alkahfi ayat 94

‫ض خفيِ همعفخسهدوذن ذوذمأعهجوذج يذأعهجوذج إختن اعلقذعرنذعيخن ذذا ذياَ ذقاَهلوا‬


‫ نذعجذعهل فذهذعل العر خ‬-

‫ذسيدا ذوبذعينذههعم بذعينذذناَ تذعجذعذل أذعن ذعذلىَ ذخعريجاَ لذ ذ‬


‫ك‬

Artinya: Mereka berkata, "Wahai Dzulkarnain! Sungguh, Ya'juj dan Ma'jujitu


(sekelompok manusia) yang berbuat kerusakan di bumi, maka bolehkah kami
membayarmu imbalan agar engkau membuatkan dinding penghalang antara kami
dan mereka(Q.S.Alkahfi:94).

d. Surat Atthalaq Ayat 6

‫ضيبهقوا ذعلذعيخهتن َّ ذوإخعن هكتن هأوذل خ‬


َ‫ت ذحعمتل فذأ ذعنفخهقوا ذعلذعيخهتن ذحتتىى‬ ‫ضاَدروههتن لخته ذ‬ ‫أذعسخكهنوههتن خمعن ذحعي ه‬
‫ث ذسذكعنتهعم خمعن هوعجخدهكعم ذوذل ته ذ‬
‫ضهع لذهه أهعخذرىى‬ ‫ضععذن لذهكعم ذفآَهتوههتن أههجوذرههتن ۖ ذوعأتذخمهروا بذعينذهكعم بخذمععهرو ت‬
‫ف ۖ ذوإخعن تذذعاَذسعرتهعم فذذستهعر خ‬ ‫ضععذن ذحعملذههتن َّ فذإ خعن أذعر ذ‬
‫يذ ذ‬

Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan
jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya.(Q.S.Atthalaq:6).

C. Rukun dan Syarat Akad Sewa


Menurut jumhur ulama bahwa rukun ijarah ada 4 (empat), yaitu:3
a. Sighat al-‘aqad (ijab dan qabul).
b. Al-aqidayn (kedua orang yang bertransaksi).
c. Al-ujrah (upah/sewa).
d. Al-manafi’ (manfaat sewa) .

Secara garis besar, syarat ijarah ada empat macam, yaitu syarat terjadinya akad
(syurut al-I’iqad), syarat pelaksanaan ijarah(syurut al-nafadz), syarat sah (syurut al-
3 Ibid,h.120.

8
Sihhah), dan syarat mengikat (syurut al-luzum). Adanya syarat-syarat in dimaksudkan
untuk menjamin bahwa ijarah yang dilakukan akan membawa kebaikan bagi para pihak
yang melakukannya.

Pertama, syarat terjadinya akad (syurut al-in’iqad).Syarat ini berkaitan dengan pihak
yang melaksanakan akad.Syarat yang berkaitan dengan para pihak yang melakukan akad
yaitu berakal.Dalam akad ijarah tidak dipersyaratkan mumayyiz.Dengan adanya syarat ini
maka transaksi yang dilakukan oleh orang gila maka tidak sah.Menurut Hanafiyah dalam
hal ini tidak disyaratkan baligh, transaksi yang dilakukan anak kecil yang sudah
mumayyizhukumnya sah. Menurut Malikiyah, mumayyiz adalah syarat bagi pihak yang
melakukan akad jual beli dan ijarah. Sementara baligh adalah syarat bagi berlakunya
akibat hukum ijarah (syuruh al-nafadz).Sementara kalangan Hanfiyah dan Hanbaliyah
menjelaskan bahwa syarat bagi para pihak yang melakukan akad adalah baligh dan
berakal.

Kedua, syarat pelaksanaan ijarah (syuruh al-nafadzh). Akad ijarah dapat terlaksana
bila ada kepemilikan dan penguasaan, karena tidak sah akad ijarah terhadap barang milik
atau sedang dalam penguasaan orang lain. Tanpa adanya kepemilikan atau penguasaan,
maka ijarah tidak sah.

Ketiga, syarat sah (syuruh al-sihhah).Syarat ini ada terkait dengan para pihak yang
berakad, objek akad dan upah.

Keempat, syarat-syarat yang mengikat dalam ijarah (syurut al-luzum). Syarat yang
mengikat ini ada dua syarat, yaitu :

1. Barang atau orang yang disewakan harus terhindar dari cacat yang dapat
menghilangkan fungsinya. Apabila sesudah transaksi terjadi cacat pada barang,
sehingga fungsinya tidak maksimal, atau bahkan tidak berfungsi, maka penyewa
berhak memilih untuk melanjutkan atau menghentikan akad sewa.Bila suatu ketika
barang yang disewakan mengalami kerusakan maka akad ijarah fasakh atau rusak dan
tidak mengikat kedua belah pihak
2. Terhindarnya akad dari udzur yang dapat merusak akad ijarah Udzur ini bisa terjadi
pada orang atau pihak yang berakad atau pada objek akad ijarah.

9
D. Pengertian Rahn (Gadai)
Gadai atau al-rahn (‫ )الرهههن‬secara bahasa dapat diartikan sebagai (al stubut,al
habs) yaitu penetapan dan penahanan. Azhar Basyir memaknai rahn (gadai) sebagai
perbuatan menjadikan suatu benda yang bernilai menurut pandangan syara’ sebagai
tanggungan uang, dimana adanya benda yang menjadi tanggungan itu di seluruh atau
sebagian utang dapat di terima. Dalam hukum adat gadai di artikan sebagai menyerahkan
tanah untuk menerima sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual
(penggadai) tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.
Ar-Rahn secara bahasa artinya ats-Tsubuut atau ad-Dawaam (tetap),
dikatakan, “maa’un raahinun (air yang diam, menggenang, tidak mengalir),” “haalatun
raahinatun (keadaan yang tetap), atau ada kalanya berarti al-Habsu dan al-Luzuum
(menahan). Allah Swt. Berfirman:

ْ‫ت ذرخهعينذ ةةر‬ ‫هكدل نذعف س ت‬


‫س بخذماَ ذكذسبذ ع‬

Tiap-tiap diri tertahan (bertanggung jawab) oleh apa yang telah diperbuatnya. (QS. Al-
Muddatstsir: 38).
Namun jika diperhatikan, kata al-Habsu secara zhahir juga mengandung
arti ats-Subuut dan ad-Dawaam (tetap). Maka oleh karena itu, salah satu arti di atas
merupakan pengembangan arti yang satunya lagi. Namun zhahirnya, makna kata ar-Rahn
yang utama adalah al-Habsu (menahan), karena ini adalah arti yang bersifat materi.
Namun walau bagaimanapun juga, yang terpenting adalah bahwa arti ar-Rahnu menurut
istilah memiliki keterkaitan yang erat dengan arti secara bahasa. Sedangkan definisi akad
ar-Rahn menurut istilah syara adalah menahan sesuatu disebabkan adanya hak yang
memungkinkan hal itu bisa dipenuhi dari sesuatu tersebut. Maksudnya, menjadikan
al-‘Ain(barang, harta yang barangnya konkrit, kebalikan dari ad-Dain atau utang) yang
memiliki nilai menurut pandangan syara’, sebagai watsiiqah (pengukuhan, jaminan)
utang, sekiranya barang itu memungkinkan untuk digunakan membayar seluruh atau
sebagian utang yang ada. Ulama Syafi’iyah mendifinisikan
akad ar-Rahn seperti berikut, menjadikan al-‘Ain (barang) sebagai watsiiqah (jaminan)
utang yang barang itu digunakan untuk membayar utang tersebut (al-Marhuun bihi) ketika
pihak al-Madiin (pihak yang berutang, ar-Raahin) tidak bisa membayar utang tersebut.

10
Ulama Hanabilah mendifinisikan ar-
Rahn seperti berikut, harta yang dijadikan sebagai watsiiqah utang yang ketika pihak
yang menanggung utang tidak bisa melunasinya, maka utang tersebut dibayar dengan
menggunakan harta hasil penjualan harta yang dijadikan watsiiqah tersebut.
Ulama Malikiyah mendifinisikan ar-Rahn
seperti berikut, sesuatu yang mutamawwal (berbentuk harta dan memiliki nilai) yang
diambil dari pemiliknya untuk dijadikan watsiiqah utang yang lazim (keberadaannya
sudah positif dan mengikat) atau yang akan menjadi lazim.
Dapat disimpulkan bahwa ar-Rahn adalah
akad watsiiqah (penjaminan) harta, yang mana sebuah akad berdasarkan atas pengambilan
jaminan berbentuk harta yang konkrit atau barang yang nyata, dapat dilihat dan diraba
bukan jaminan dalam bentuk tanggungan seseorang.

E. Dasar Hukum Gadai (Rahn)


Gadai (rahn) hukumnya dibolehkan berdasarkan Al-quran, sunnah, dan ijma’.
Adapun dasar dari Al-quran tercantum dalam suah Al-Baqarah (2) ayat 283:

‫اذ ذربتهه ُ ذوذل‬ ‫ضاَ فذعليهذؤبد التخذي اعؤتهخمذن أذذماَنذذته ذوعليذتت خ‬


‫ق ت‬ ‫ضةرْ ۖ فذإ خعن أذخمذن بذعع ه‬
‫ضهكم بذعع ي‬ ‫ذوخإن هكنتهعم ذعلذىىَ ذسفذتر ذولذعم تذخجهدوا ذكاَتخيباَ فذخرذهاَرْن تمعقهبو ذ‬
‫هتذعكتههموا التشذهاَذدةذ َّ ذوذمن يذعكتهعمذهاَ فذإ خنتهه آثخرْم قذعلبههه ُ ذو ت‬
‫اه بخذماَ تذععذمهلونذذعخليرْم‬

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabb-nya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan kesaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha-mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 283).

Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:

‫ى ذوأذذخذذ خمعنهه‬
‫ لذقذعد ذرهذذن النتبخدىَ – صل ا عليه وسلم – خدعريعاَ لذهه خباَعلذمخدينذخة خععنذد يذههوخد ى‬: ‫س – رضىَ ا عنه – قاَل‬
‫ذععن أذنذ ت‬
‫ى‬ ‫ذشخعييرا‬

11
Artinya: " Rasullulah SAW, telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi
di Madina, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk
keluarga itu untuk keluarga beliau". (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).

F. Rukun dan Syarat Gadai


Rukun ar-Rahn menurut ulama Hanafiyah adalah ijab dari ar-Raahin dan qabul
dari al-Murtahin, seperti akad-akad yang lain. Akan tetapi akad ar-Rahn belum sempurna
dan belum berlaku mengikat kecuali setelah adanya al-Qabdhu (serah terima barang yang
digadaikan). Seperti pihak ar-Raahin berkata. “Saya menggadaikan barang ini kepadamu
dengan utang saya kepadamu,” atau, “Barang ini sebagai borg atau gadai untuk utangku
kepadamu,” atau bentuk-bentuk ijab yang sejenis. Lalu pihak al-Murtahin berkata, “saya
terima” atau “saya setuju”, dan lain sebagainya. Sementara itu, selain ulama Hanafiyah
mengatakan bahwa rukun ar-Rahn ada empat, ijab qabul, pihak yang mengadakan akad,
barang yang digadaikan, dan tanggungan utang yang dijamin dengan barang gadaian.

Syarat Rahn antara lain :

1. Rahin dan murtahin


Tentang pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya merupakan orang
yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan
syari'at Islam yaitu berakal dan baligh.
2. Sighat
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai
syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika
memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
3. Marhun bih (utang)
Menyangkut adanya utang, bahwa utang tersebut disyaratkan merupakan utang
yang tetap, dengan kata lain utang tersebut bukan merupakan utang yang bertambah-
tambah atau utang yang mempunyai bunga, sebab seandainya utang tersebut
merupakan utang yang berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian
yang mengandung unsur riba, sedangkan perbuatan riba ini bertentangan dengan
ketentuan syari'at Islam.

12
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

13
Ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan
demikian, objek sewa menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang). Dari
segi imbalannya, ijarah ini mirip dengan jual beli, tetapi kedunya berbeda, karena dalam
jual beli obyeknya benda, sedangkan dalam ijarah, obyeknya adalah manfaat dari benda.
Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menyewa pohon untuk diambil buahnya karena
buah itu benda, buakan manfaat. Demikian pula tidak diperbolehkan menyewa sapi untuk
diperah susunya karena susu bukan manfaat, melainkan benda. Gadai (rahn) adalah
menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas utang, dengan ketentuan bahwa apabila
terjai kesulitan dalam pembayarannya maka utang tersebut bisa dibayar dari hasil
penjualan barang yang dijadikan jaminan itu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, Jakarta 2010

2. Al-Quran dan Terjemahan terbitan UII Press

3. Said Sabiq, Fiqih Sunnah.

14
4. Tafsir Al ahkam

6. Tafsir jalalain

7. Tafsir Al Ahkam

15

Anda mungkin juga menyukai