Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

IJARAH (SEWA-MENYEWA DAN UPAH)


Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu:Mushofihin YH., S.H.I, M.S.I.

Disusun Oleh:

1. Lusiana Dewi (1902056097)


2. Muhammad Rifa’i (1902056100)
3. Maldini Faqih (1902056101)

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

2020

1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad Saw. yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Fiqih Muamalah
dengan judul “Ijarah (Sewa-Menyewa Dan Upah)”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Semarang, April 2020

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah adalah
Ijarah. Ijarah sering disebut dengan “upah” atau “imbalan”. Kalau sekiranya kitab-
kitab fiqih sering menerjemahkan kata Ijarah dengan “sewa-menyewa”, maka hal
tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya
saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas. Manusia merupakan makhluk
sosial yang tak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Dalam hidupnya, manusia
bersosialisi dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang termasuk di
dalamnya merupakan kegiatan ekonomi. Segala bentuk interaksi sosial guna
memenuhi kebutuhan hidup manusia memerlukan ketentuan-ketentuan yang
membatasi dan mengatur kegiatan tersebut. Selain dipandang dari sudut ekonomi,
sebagai umat muslim, kita juga perlu memandang kegiatan ekonomi dari sudut
pandang islam. Ketentuan-ketentuan yang harus ada dalam kegiatan ekonomi
sebaiknya juga harus didasarkan pada sumber-sumber hukum Islam, yaitu Al-
Qur’an dan Al-Hadits.

Sebagai transaksi umum, ijarah memiliki aturan-aturan tertentu.


Kebanyakan para pelaku ijarah saat ini melakukan transaksi ini hanya berdasarkan
kebiasaan saja, tanpa dasar hukum dan aturan-aturan yang berlaku. Oleh karena
itu, kita harus mengetahui seluk beluk tentang ijarah seperti landasan huku, rukun,
dan syaratnya. Dan di sini kami akan melakukan pembahasan lebih lanjut
mengenai Ijarah.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian ijarah dan bagaimanakah dasar hukum ijarah?

2. Bagaimanakah rukun dan syarat ijarah?

3. Bagaimanakah upah dalam pekerjaan ibadah?

4. Bagaimanakah pembayaran upah dan sewa?

3
5. Bagaimanakah menyewakan barang sewaan?

6. Bagaimanakah pembatalan dan berakhirnya ijarah?

7. Bagaimanakah pengembalian sewaan?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian ijarah dan dasar hukum ijarah.

2. Untuk mengetahui rukun dan syarat ijarah.

3. Untuk mengetahui upah dalam pekerjaan ibadah.

4. Untuk mengetahui pembayaran upah dan sewa.

5. Untuk mengetahui menyewakan barang sewaan.

6. Untuk mengetahui pembatalan dan berakhirnya ijarah.

7. Untuk mengetahui pengembalian sewaan.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah dan Dasar Hukum Ijarah.

1. Pengertian Ijarah

Menurut etimologi, ijarah berasal dari bahasa Arab yakni Al-ijarah, yang
berasal dari kata al-ajru yang artinya Al-Iwadh ialah ganti dan upah. Ijarah
menurut arti bahasa adalah nama upah. Menurut pengertian syara, Ijarah ialah
suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.1

Sedangkan secara terminologi, ada beberapa definisi ijarah yang


dikemukakan para ulama fiqih, yakni:

a. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan ijarah sebagai transaksi terhadap suatu


manfaat dengan suatu imbalan.

b. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya sebagai transaksi terhadap manfaat


yang dituju, tertentu bersifat bisa dimanfaatkan, dengan suatu imbalan tertentu.

c. Ulama Malikiyah dan Hanbaliyah mendefinisikannya sebagai pemilikan


manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.

Menurut Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya wakaf, al-ijarah syirkah


mengemukakan, ijarah secara bahasa berarti balasan atau timbangan yang
diberikan sebagai upah atas pekerjaan. Secara istilah ijarah berarti suatu
perjanjian tentang pemakaian atau pemungutan hasil suatu benda, binatang atau
tenaga manusia. Misalnya menyewa rumah untuk tinggal, menyewa kerbau untuk
membajak sawah, menyewa manusia untuk mengerjakan suatu pekerjaan dan
sebagainya.2

Menurut fatwa DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan


Ijarah, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau
jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Dengan demikian akad ijarah

1
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13 , terj. Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: Al Ma’arif , 1987), hlm. 7.
2
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah Syirkah, (Bandung, Al-ma‟rif, 1995),
hlm. 24.

5
tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari
yang menyewakan pada penyewa.3

Ada beberapa istilah dan sebutan yang berkaitan dengan ijarah, yaitu
mu’jir, musta’jir, ma’jur dan ajru atau ijarah. Ma’jir ialah pemilik benda yang
menerima uang (sewa) atas suatu manfaat. Musta’jir ialah orang yang
memberikan uang atau pihak yang menyewa. Ma’jur ialah pekerjaan yang
diakadkan manfaatnya. Sedangkan ajr atau ujrah ialah uang (sewa) yang diterima
sebagai imbalan atas manfaat yang diberikan.4

Jadi, dari beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa ijarah adalah
suatu jenis perikatan atau perjanjian yang bertujuan mengambil manfaat suatu
benda yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar upah sesuai dengan
perjanjian dan kerelaan kedua belah pihak dengan rukun dan syarat yang telah
ditentukan.

2. Dasar Hukum Ijarah

Al-ijarah dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah


mengupah merupakan muamalah yang telah disyariatkan dalam Islam. Hukum
asalnya menurut Jumhur Ulama adalah mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara’ berdasarkan ayat al-Qur’an, hadis-
hadis Nabi dan ketetapan Ijma Ulama.

a. Al-Quran

1) Surat at-Thalaq ayat 6:

3
Fatwa DSN NO.09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah. Lihat dalam Himpunan Fatwa
DSN untuk Lembaga Keuangan Syariah, Edisi Pertama, DSN-MUI, BI, 2001, hlm. 55.
4
Qomarul Huda, Fiqh muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 77.

6
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq)
itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan
lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (Al-Thalaq: 6).

2) Surat al-Qashash ayat 26:

Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling
baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya". (Q.S al-Qashash: 26).

b. Hadits

1) Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw.

bersabda:

7
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Rasulullah Saw. pernah
berbekam, kemudian memberikan kepada tukang bekam tersebut upahnya”. (HR
Bukhari)

2) Riwayat Ibnu Majah, Rasulullah bersabda:

“Dari Abdullah bin Umar ia berkata: telah bersabda Rasulullah “berikanlah upah
pekerja sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah)

c. Ijma

Adapun dasar hukum ijarah berdasarkan ijma’ ialah semua umat sepakat,
tidak ada seorang ulama pun membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada
beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak
dianggap. Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan
sebab bermanfaat bagi manusia.5

Jadi, berdasarkan nash al-Qur’an, hadis dan ijma tersebut di atas dapat
ditegaskan bahwa hukum ijarah atau upah mengupah boleh dilakukan dalam islam
asalkan kegiatan tersebut sesuai dengan syara’.

B. Rukun dan Syarat Ijarah

a. Rukun Ijarah

Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua
belah pihak yang bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada
empat yaitu:

1) Aqid (Orang yang berakad)

‘Aqid adalah orang yang melakukan perjanjian atau transaksi, yaitu orang
yang menyewakan (mu’jir) dan orang yang menyewa (musta’jir). Untuk kedua
belah pihak yang melakukan akad disyaratkan berkemampuan, yaitu kedua-
duanya berakal dan dapat membedakan. Jika salah seorang yang berakal itu gila
atau anak kecil yang belum dapat membedakan baik ataupun buruk, maka akad
menjadi tidak sah.

5
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 114.

8
2) Sighat (ijab dan qabul)

Yaitu suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan
qabul adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad
sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad ijarah.

3) Ujrah (upah)

Ujroh yaitu sesuatu yang diberikan kepada musta’jir atas jasa yang telah
diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu’jir.

4) Manfaat

Di antara cara untuk mengetahui ma’qud alaih (barang) adalah dengan


menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan
jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.6

b. Syarat-Syarat Ijarah

Menurut M. Ali Hasan syarat-syarat ijarah adalah sebagai berikut:

1) Syarat bagi kedua orang yang berakad adalah telah baligh dan berakal (Mazhab
Syafi’i Dan Hambali). Dengan demikian apabila orang itu belum atau tidak
berakal seperti anak kecil atau orang gila menyewa hartanya, atau diri mereka
sebagai buruh (tenaga dan ilmu boleh disewa), maka Ijarah nya tidak sah. Berbeda
dengan Mazhab Hanafi dan maliki bahwa orang yang melakukan akad, tidak
harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah mumayiz pun boleh melakukan
akad Ijarah dengan ketentuan disetujui oleh walinya.

2) Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya untuk


melakukan akad Ijarah itu, apabila salah seorang keduanya terpaksa melakukan
akad maka akadnya tidak sah.

3) Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara jelas, sehingga tidak
terjadi perselisihan dibelakang hari jika manfaatnya tidak jelas. Maka, akad itu
tidak sah.

6
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung, Pustaka Setia, 2001), hlm. 125.

9
4) Objek Ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak
ada cacatnya. Oleh sebab itu, ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa tidak boleh
menyewa sesuatu yang tidak dapat diserahkan, dimanfaatkan langsung oleh
penyewa. Umpamanya rumah atau toko harus siap pakai atau tentu saja sangat
bergantung kepada penyewa apakah dia mau melanjutkan akad itu atau tidak,
sekiranya rumah itu atau toko itu disewa oleh orang lain maka setelah itu habis
sewanya baru dapat disewakan oleh orang lain.

5) Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara. Oleh sebab itu ulama fikih
sependapat bahwa tidak boleh menggaji tukang sihir, tidak boleh menyewa orang
untuk membunuh (pembunuh bayaran), tidak boleh menyewakan rumah untuk
tempat berjudi atau tempat prostitusi (pelacuran). Demikian juga tidak boleh
menyewakan rumah kepada non-muslim untuk tempat mereka beribadat.7

C.Upah dalam Pekerjaan Ibadah

Pada saat ini para fuqaha menyatakan bahwa boleh mengambil upah dari
pengajaran al–qur’an dan ilmi-ilmu syariah lainnya,karena para guru
membutuhkan penunjang kehidupan mereka dan kehidupan orang-orang yang
berada dalam tanggungan mereka.Dan waktu mereka juga tersita untuk
kepentingan pengajaran al-qur’an dan ilmu-ilmu syari’ahtersebut, maka dari itu
diperbolehkan memberikan kepada mereka sesuatu imbalan dari pengajaran ini.

Madzhab Maliki,Syafi’i dan ibnu Hazm memperbolehkan mengambil upah


sebagai imbalan mengajar al-qur’an dan kegiatan-kegiatan sejenis karena hal ini
termasuk imbalan dari perbuatan yang diketahui (terukur) dan dari tenaga yang
diketahui pula . Ibnu Hazm mengatakan bahwa mengambil upah sebagai imbalan
mengajar al-qur’an dan sejenisnya baik secara bulanan atau sekaligus dibolehkan
dengan alasan tidak ada nash yang melarangnya.8

Ulama yang mengharamkan menerima upah dari ketaatan adalah dari kalangan
ulama hanafiyyah dan hanabilah. Mereka berpendapat bahwa segala sesuatu yang
bersifat ketaatan kepada Allah merupakan kewajiban bagi setiap individu.
7
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),
hlm. 227-231.
8
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Penerjemah Nor Hasanudin,(Jakarta : Pena Pundi Aksara
Cetl,2006), 22

10
Kewajiban tersebut harus dilakukan tanpa mengaharapkan balasan berupa upah
atau hadiah . Karena balasan itu akan di dapatkan di akhirat nanti. Dan apabila
seseorang melakukan ketaatan,berharap mendapatkan upah maka dia seperti
memperjual belikan perintah Allah dengan harga yang sangat murah. Disebut
murah karena masih bisa diukur oleh benda atau uang .Dia juga seperti orang
yang hanya memperkaya diri dan mencari kesenangan dunia. Dalam sebuah hadist
diriwayatkan oleh imam Abu Daud, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW
bersabda:” Barang siapa yang mencari ilmu tujuannya adalah untuk mendapatkan
dunia,maka dia tidak akan mencium bau surga” . Secara menuntut ilmu adalah
sebuah bentuk ketaatan kepada Allah SWT .Namun ulama hanafiyyah dan
hanabilah memperbolehkan pemberian hadiah atau upah apabila dalam kondisi
darurat atau sangat membutuhkan. Apabila diberi hadiah karena berbuat ketaatan
hendaknya dikembalikan. Menerima hadiah atau upah dapat merusak keikhlasan
seseorang dalam beribadah.

D. Pembayaran Upah dan Sewa

Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad ,Jika mu’jir menyerahkan zat benda yang
disewa kepada musta’jir ,ia berhak menerima bayarannya, karena penyewa
(musta’jir) setelah menerima kegunaan .Hak menerima upah bagi musta’jir adalah
sebagai berikut:

 Ketika pekerjaan selesai dikerjakan , beralasan kepada hadis Rasulullah


yang diriwayatkan oleh ibnu majah dengan arti sebagai berikut: “
Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu kering”.
 Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila
dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang di-ijarah kan mengalir
selama proses penyewaan berlangsung 9
E. Menyewakan Barang Sewaan

Dalam fiqih , menyewakan barang atau benda sewaan hukumnya boleh. Kita tidak
dilarang untuk menyewakan barang sewaan kepada orang lain dengan syarat
barang tersebut sudah diterima atau akadnya belum selesai dengan pemiliki

9
Malayu Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia,(Jakarta:Haji Masaguna,1994) h 45.

11
barang. Sebaliknya ,jika belum diterima atau akadnya belum selesai dengan
pemilik barang, maka tidak menyewakan barang tersebut,

Dalam kitab al-mughni, Ibnu Qudamah menyebutkan beberapa ulama yang


berpendapat boleh menyewakan barang sewaan.Diantaranya adalah Imam Ahmad,
Sa’id bin Musayyab, Ibnu Sirin, Mujahid ,Ikrimah, Al-Nakha’i, Al-Tsauri dan
Imam Syafi’i .Ibnu Qudamah berkata:”Boleh bagi orang yang menyewa untuk
menyewakan barang sewaan jika sudah menerima barang tersebut.

Dalam kitab al-Muhazzab,Imam Syairazi menjelaskan alasan kebolehan


menyewakan barang sewaan ini .Menurut beliau,barang sewaan yang sudah
diterima atau akadnya sudah selesai dihukumi seperti jual beli. Ketika akad jual
beli sudah selesai dilakukan ,maka barang hasil transaksi jual beli tersebut boleh
dijual. Begitu juga dengan barang sewaan .Setelah selesai akadnya ,ia boleh
disewakan kepada orang lain.

Imam Syairazi berkata sebagai berikut:

“Boleh bagi penyewa untuk menyewakan barang sewaan jika barang tersebut
diterima oleh penyewa . hal ini karena akad sewa seperti akad jual beli. Menjual
barang hasil jual beli boleh dilakukan setelah barang itu diterima.Begitu juga
10
boleh menyewakan barang sewaan bagi penyewa.”

F.Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah

a.Pembatalan Ijarah

Diantara beberapa hal yang dapat menyebabkan batalnya ijarah(sewa menyewa)


ialah disebabkan oleh bebrapa hal-hal sebagai berikut:

 Rusaknya objek disewakan


 Terjadinya aib pada barang sewaan
 Berakhirnya masa sewa-menyewa
 Adanya uzur
b.Berakhirnya Ijarah

10
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 4 , Pena Ilmu dan Amal, Jakarta,2006, h 205

12
Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al-ijarah akan berakhir apabila:
1. Objek hilang atau musnah,seperti rumah terbakar atau baju yang dijahitkan
hilang
2. Tenggang waktu yang di sepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir.
Apabila yang disewakan itu rumah,maka rumah itu dikembalikan kepada
pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang maka ia
berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama
fiqh
3. Menurut ulama hanafiyyah,wafatnya salah seorang yang berakad.Karena
akad al-ijarah menurut mereka tidak boleh diwariskan.Sedangkan menurut
jumhur ulama ,akad al-ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang
yang berakad.Karena manfaat ,menurut mereka boleh diwariskan dan al-
ijarah sama dengan jual beli,yaitu mengikat kedua belah pihak yang
berakad
4. Menurut ulama hanfiyyah ,apabila uzur dari salah satu pihak.Seperti
rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang anyak,maka
al-ijarah batal .Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad al-ijarah
itu,menurut ulama hanfiyyah adalah salah satu pihak muflis,dan berpindah
tempat penyewa.Misalnya, seseorang digaji untuk menggali sumur di
suatu desa, sebelum sumur itu selesai penduduk desa itu pindah ke desa
lain.Akan tetapi menurut jumhur ulama, uzur yang boleh membatalkan
akad itu hanyalah apabila objeknya mengandung cacat atas manfaat yang
dituju dalam akal itu hilang,seperti kebakaran dan dilanda banjir.11
G.Pengembalian Sewaan
Menurut sayyid sabiq, sebagaimana dikutip oleh Abdul Rahman Ghazali, et al
dalam bukunya menyatakan bahwa, jika akad ijarah telah berakhir, penyewa
berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu berbentuk barang
yang dapat dipindah, seperti kendaraan, binatang, dan sejenisnya, ia wajib
menyerahkan langsung pada pemiliknya. Dan jika berbentuk barang yang tidak
dapat dipindahkan seperti, rumah, tanah, bangunan, ia wajib menyerahkan semula

11
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah , Gaya Media Pratama,Jakarta,2000,h 237-238

13
Madzhab hambali berpendapat, sebagaimana djelaskan oleh Hendi Suhendi dalam
bukunya bahwa, ketika ijarah telah berakhir penyewa harus melepaskan barang
sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahkanterimakannya
seperti, barang titipan,. Selanjutnya, mereka uga berpendapat bahwa setelah
berakhirya masa akad ijarah dan tidak terjadi kerusakan yang tanpa
disengaja,maka tidak ada kewajiban menanggung bagi penyewa.
Dari dua pendapat diatas,bahwa penyewa wajib mengembalikan barang
sewaannya ketika akad telah berakhir, dan apabila barang sewaan tersebut
mengalami kerusakan yang tanpa disengaja, maka tidak ada kewajiban
menanggung kerusakan bagi penyewa.12

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijarah(persewaan) yaitu suatu akad yang berkaitan dengan pemanfaatan
barang yang telah dikehendaki yang telah diketahui penggunaanya. Barang
tersebut dapat diserahkan kepada penyewa dengan ongkos yang jelas atau pasti.
Akad persewaan ini adalah akad tetap, artinya kedua orang yang melakukan akad

12
Abdul Rahman Ghazaly, et al. Fiqh Muamalah, Jakarta : Kencana,2012, h 284

14
sewa-menyewa ini tidak boleh menghentikan akad sekehendaknya, kecuali
setelah selesai atau habis waktunya menurut perjanjian yang telah
ditetapkan.dasar akad ijarah ini adalah Al-Qur'an,Hadist dan ijma'.

Rukun ijarah ada 4 yaitu : 'aqid(orang yang berakad), Sighat akad, Ujrah
dan ma'qud alaih(manfaat barang). Syarat sah ijarah terdiri dari 7 macm yaitu :
syarat terjadinya akad, syarat pelaksanaan(an-nafadz), Syarat sah ijarah, syarat
barang sewaan(ma'qud alaih),syarat ujrah(upah),syarat yang kembali pada rasul
akad, dan syarat kelaziman.

B. Saran
Demikian Makalah Ijarah (Sewa-Menyewa Dan Upah) yang telah kami
susun. Kami menyadari masih terdapat banyak kesalahan dalam makalah yang
kami susun. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif
demi terciptanya kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca maupun penyusun.

DAFTAR PUSTAKA

Sabiq sayyid,1987,fiqh sunnah 13,Bandung

Ahmad azhar basyir,1995,Hukum islam tentang wakaf,ijarah syirkah,Bandung

Qomarul Huda,2011,fiqh muamalah,yogyakarta

Hendi suhendi,2010,fiqh muamalah,Jakarta

Rahmat Syafei,2001,fiqh muamalah,Bandung

M.Ali Hasan,2003,berbagai macam transaksi dalam islam,Jakarta

Nasrun Harun,2000,fiqh muamalah,Jakarta

Malayu Hasibuan,1994,manajemen sumber daya manusia,Jakarta

Abdul Rahman Ghazali,2012,fiqh muamalah,Jakarta

15

Anda mungkin juga menyukai