Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

AKAD IJARAH DAN ‘ARIYAH

Makalah ini disusun dan diajukan untuk

memenuhi tugas pada mata kuliah Fiqh Muamalah

Nama Dosen Pengampu Mata Kuliah

Anis Widya Khasanah, S.E., M.H.

Disusun oleh :
Agus Suhananto
Hidayatullah
Sudadi Kirmowiyoto

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


PERGURUAN TINGGI DA’WAH ISLAM
2023 M / 1445 H
KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah SWT Yang telah memberikan petunjuk ini
kepada kami, yang mana kami tidak akan pernah mendapatkan petunjuk apabila
Allah SWT tidak menunjukkannya kepada kami. Niscaya sungguh telah datang
Utusan Tuhan kami dengan membawa kebenaran, yang menyerukan kepada kami
bahwasannya surga diwariskan disebabkan amalan yang dikerjakan. Kami
bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah SWT, dan kami bersaksi bahwa baginda
Nabi Muhammad SAW adalah hamba dan utusan-Nya. Adapun selanjutnya, kami
penulis makalah “AKAD IJARAH DAN ‘ARIYAH” menyampaikan syukur
kepada Allah SWT atas segala kenikmatan, kemudahan, dan pertolongan-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata
kuliah Metode Penelitian.

Makalah ini disusun dari pengetahuan kami yang terbatas dan lebih
merepresentasikan materi-materi yang sudah banyak disharing oleh para pakar,
tentang “AKAD IJARAH DAN ‘ARIYAH”.
Semoga makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat. Dan kami
dari penulis mohon maaf atas segala keterbatasan ilmu kami dalam menyusun
makalah ini. Kami penulis meyakini bahwa makalah yang kami susun ini jauh
dari sempurna. Maka sekiranya sangat pantas kami menerima masukan yang
instruktif untuk kemajuan bersama.

Jakarta, 17 Januari 2023

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
A. Latar Belakang Penulisan Makalah...................................................................
B. Indentifikasi Masalah........................................................................................
C. Pembatasan Masalah.........................................................................................
D. Rumusan Masalah.............................................................................................
E. Tujuan Penulisan Makalah................................................................................

BAB I PEMBAHASAN............................................................................................
A. Pengertian Akad Ijarah......................................................................................
B. Macam-Macam Akad Ijarah.............................................................................
C. Hukum Akad Ijarah...........................................................................................
D. Dalil Akad Ijarah...............................................................................................
E. Pengertian Akad Ijarah......................................................................................
F. Macam-Macam Akad Ijarah..............................................................................
G. Hukum Akad Ijarah.........................................................................................
BAB III PENUTUP.................................................................................................
A. Kesimpulan.....................................................................................................
B. Saran...............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Telah kita ketahui bersama bahwa Allah SWT menciptakan manusia untuk
menjadi makhluk sosial dan saling tolong-menolong, artinya manusia
membutuhkan sesamanya untuk bertukar pikiran dan berinteraksi dalam
mencukupi segala kebutuhannya. Adapun cara mendapatkan gadai, pinjaman,
sewa-menyewa atau upah mengupah yang dapat menyatukan manusia dalam
komunitas yang tidak terpisah adalah dengan cara memperbanyak teman.
Akad Ijarah dan ‘Ariyah sangat bersentuhan langsung dengan kehidupan
manusia khususnya masalah mu’amalah, semua manusia pasti akan melakukan
interaksi dengan sesamanya. Akan tetapi yang menjadi masalah sekarang ini
adalah kesalah-pahaman masyarakat tentang istilah sewa-menyewa, upah
mengupah dan pinjam-meminjam. Banyak masyarakat yang belum
mengetahuinya, sehingga berakibat terjadi penyelewengan hukum-hukum
ijarah dan ‘ariyah.

B. Identifikasi Masalah
1. Akad Ijarah dan Ariyah bersentuhan langsung dengan muamalah.
2. Terjadi kesalahpahaman di masyarakat tentang istilah sewa-menyewa,
upah-mengupah, dan pinjam-meminjam.
3. Terjadi penyelewengan hukum-hukum ijarah dan Ariyah di masyarakat.

C. Pembatasan Masalah
Selanjutnya akan dibahas panjang lebar mengenai hal tersebut. Penulis tidak
banyak menguraikan secara detail dikarenakan menyesuaikan dengan kisi-kisi
yang telah diberikan dosen pengampu, sehingga kami membatasi pembahasan
dalam makalah kami ini hanya seputar akad Ijarah dan Ariyah.

1
D. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi Ijarah ?
2. Apakah macam-macam Ijarah ?
3. Apa hukum Ijarah ?
4. Apa dalilnya Ijarah ?
5. Apakah definisi Ariyah ?
6. Apakah macam-macam Ariyah ?
7. Apakah hukum Ariyah ?
8. Apakah dalil Ariyah ?

E. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi akad Ijarah.
2. Mengetahui dan memahami macam-macam akad Ijarah.
3. Mengetahui dan memahami hukum Ijarah.
4. Mengetahui dasar dalil Ijarah.
5. Mengetahui dan memahami definisi akad Ariyah.
6. Mengetahui dan memahami macam-macam akad Ariyah.
7. Mengetahui dan memahami hukum Ariyah.
8. Mengetahui dasar dalil Ariyah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Ijarah

Menurut etimologi, ijarah adalah  ‫ِة‬ ‫الم ْن َف َع‬


َ ‫ب ْي ُع‬  
َ (menjual manfaat). Menurut

kaidah sharraf kata Ijarah diderivasi dari bentuk fi’il “ajara – ya’juru – ajran ”,


yang berarti upah, sewa, imbalan atau ganti. Secara terminologi,
pengertian ijarah ialah akad atas beberapa manfaat atas penggantian. Adapun
pengertian ijarah yang dikemukakan oleh para ulama’ madzhab fiqih adalah
sebagai berikut :
1) Menurut ulama Hanafiyah :

‫عقد على المنافع بعوض‬


“Akad atas sesuatu kemanfaatan dengan pengganti.”
2) Menurut ulama Syafi’iyah:

‫عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل واالباحة بعوض معلوم‬
“Transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat
mubahdanboleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.”
3) Menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah:

‫تمليك منافع شىء مباحة م ّدةً معلومةً بعوض‬


       “Pemilikan manfaat suatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu
dengan suatu pengganti.”
Ijarah secara sederhana diartikan dengan “transaksi manfaat atau jasa
dengan imbalan tertentu”. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau
jasa dari suatu benda disebut ijarat al-‘ain atau sewa menyewa ; seperti menyewa
rumah untuk ditempati. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau

3
jasa dari tenaga seseorang, disebut ijarat al-zimmah atau upah mengubah menjahit
pakaian. Keduanya disebut al-Ijarah  dalam literatul arab.1
Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat,
dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu,
mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk
diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dll, sebab semua itu bukan
manfaatnya melainkan bendanya. Manfaat sesuatu dalam konsep ijarah,
mempunyai pengertian yang sangat luas meliputi imbalan atas manfaat suatu
benda atau upah terhadap suatu pekerjaan tertentu.

B. Macam-macam Ijarah
Akad ijarah terbagi menjadi dua, yaitu Ijarah ‘ala al-manafi’ dan Ijarah ‘ala
al-‘ammaal ijarah. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
1. Ijarah ‘ala al-manafi’, yaitu ijarah yang objek akadnya adalah manfaat,
seperti menyewakan rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, baju
untuk dipakai, dll.
2. Ijarah ‘ala al-‘amaal ijarah, yaitu ijarah yang objek akadnya jasa atau
pekerjaan, seperti membangun gedung atau menjahit pakaian. Akad ijarah
ini terkai erat dengan masalah upah mengupah. Oleh karena itu
pembahasannya lebih dititikberatkan kepada pekerjaan atau buruh (ajir).
Al- ijarah seperti ini, menurut ulama fiqh, hukumnya boleh apabila
jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh
pabrik dan tukang sepatu. Al-ijarah seperti ini ada yang bersifat pribadi,
seperti menggaji seorang pembantu rumah tangga, dan yang bersifat
serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang menjual jasanya untuk
kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik, dan tukang
jahit.
Menurut ulama fiqih hukum kedua bentuk al-ijarah terhadap pekerjaan ini
adalah mubah/boleh.

1 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor : Prenada Media, 2003),  hlm. 215-216

4
C. Hukum Ijarah
Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan
tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan, sebab ijarah termasuk
jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah
mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar
lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Akan tetapi, jika kerusakan
disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah
harus diberikan semestinya.
Ijarah terbagi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa,
dan ijarah terhadap pekerjaan atau upah-mengupah.
1) Hukum sewa-menyewa
Dibolehkan ijarah atas barang mubah, seperti rumah, kamar, dll, tetapi
dilarang ijarah atas barang-barang yang diharamkan.
2) Hukum upah-mengupah
Upah-mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual beli jasa, biasanya
berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah,
dll. Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi menjadi dua:
a) Ijarah Khusus
Ijarah Khusus yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja.
Hukumnya orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang
telah memberinya upah.
b) Ijarah Musytarik
Ijarah Musytarik yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau
melalui kerja sama. Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.

5
D. Dasar Hukum Ijarah
Ijarah baik dalam bentuk sewa–menyewa maupun dalam bentuk upah
mengupah itu merupakan muamalah yang telah disyariatkan dalam islam. Hukum
asalnya adalah boleh atau mubah bila dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan islam. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa ijarah disyariatkan
berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’.

1) Al-Qur’an

Firman Allah dalam surat At-Thalaq :

6 ‫ االية * سورة الطالق‬... ‫ور ُه َّن َو ۡأتَ ِم ُرو ۟ا بَ ۡینَ ُكم بِ َم ۡع ُرو ࣲۖف‬
َ ‫ُأج‬
ُ ‫وه َّن‬ َ ‫فَِإ ۡن ۡرَأ‬ 
ُ ُ‫ض ۡع َن لَ ُك ۡم فَـَٔات‬
Artinya: “jika mereka menyusui (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah
mereka upahnya”. (QS. At-Thalaq : 6)

Firman Allah dalam surat Al-Qashash :

‫ال ِإنِّ ۤی ُأ ِری ُد َأ ۡن‬


َ َ‫ ق‬. ‫ین‬ ِ ُّ ‫ت ٱ ۡل َق ِو‬
َ ‫ت ٱ ۡستَ ۡٔـ ِج ۡر ُۖه ِإ َّن َخ ۡی َر َم ِن ٱ ۡستَ ۡٔـ َج ۡر‬
ِ ‫قَ الَ ۡت ِإ ۡح َد ٰى ُهما یٰـَۤأب‬ 
ُ ‫ی ٱ ۡلَأم‬ ََ َ
ِ ‫ت َع ۡش ࣰرا فَ ِم ۡن ِع‬
‫ند َۖك‬ َ ‫ك ِإ ۡح َدى ٱ ۡبنَتَ َّی َهٰـتَ ۡی ِن َعلَ ٰۤى َأن تَ ۡأ ُج َرنِی ثَ َمٰـنِ َی ِح َج ࣲۖج فَ ِإ ۡن َأ ۡت َم ۡم‬ ِ
َ ‫ُأنك َح‬

27-26 ‫ین * سورة القصاص‬ ِ ِ َّ ‫وماۤ ُأ ِری ُد َأ ۡن َأ ُش َّق َعلَ ۡی َ ۚك; ستَ ِج ُدنِی ِإن َشاۤء ٱللَّهُ ِمن‬
َ ‫ٱلصـٰلح‬ َ َ ۤ َ ََ

 Artinya : “salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Ya ayahku, ambilah
ia sebagai orang yang bekerja (pada kita),karena sesungguhnya orang yang
paling baik kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi
dipercaya”. Berkatalah dia” (Syu’aib), “sesungguhnya aku bermaksud
menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar
bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun. Dan jika kamu cukupkan

6
sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari diri kamu, dan aku tidak
bermaksud memberatkan kamu. InsyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk
orang yang baik.” QS. Al-Qashash: 26-27.

2) As-Sunnah

.‫يجف عرقُه‬
ّ ‫اجره قبل ان‬
َ ‫االجير‬
َ ‫اعطوا‬
Artinya: “berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu
Majah dari Ibnu Umar)

.‫اجره‬
َ ‫َمن استأجر اجيرا فليَعمل‬
Artinya: “barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah
upahnya.” (HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)
3) Ijma’
Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan
sebab bermanfaat bagi manusia.

E. Pengertian ‘Ariyah

Menurut etimologi, ‘ariyah adalah (‫)العارية‬ diambil dari kata (‫)ع َار‬


َ yang

berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ‘ariyah berasal dari kata (


‫َّع ُاو ُر‬
َ ‫)الت‬ yang sama artinya dengan (‫ب‬
ُ ‫)التنَ ُاو ُل او التَّنَ ُاو‬
ّ (saling menukar dan
mengganti), yakni dalam tradisi pinjam meminjam.2
Menurut terminologi syara’ ulama fiqih berbeda pendapat dalam
mendefinisikannya, antara lain :
1) Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah :

‫اباحة المنفعة بال عوض‬


Artinya: “pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti.” 3
2) Menurut ulama Hanafiyah :
2 Muhammad Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, Juz II, Hlm. 263
3 Abd. Ar-Rahman al-Jaziri, kitab al-fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz III, hlm. 238

7
ً‫مجنا‬
ّ ‫تملك المنافع‬

Artinya: “pemilikan manfaat secara cuma-cuma atau geratis.” 4

3) Menurut ulama Malikiyah:

‫تمليك منفعة مؤقتة ال بعوض‬

Artinya: “pemilikan manfat dalam jangka waktu dengan tanp imbalan.” 5


Akad ini berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksudkan untuk
mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat
benda tersebut.
Pengertian pertama memberikan makna kebolehan, sehingga peminjam tidak
boleh meminjamkan kembali barang pinjman tersebut kepada orang lain. Adapun
pengertian kedua memberikan makna kepemilikan, sehingga peminjam
dibolehkan untuk meminjamkan barang pinjaman tersebut kepada orang lain.
Dalam arti sederhana ‘ariyah adalah menyerahkan suatu wujud barang untuk
dimanfaatkan tanpa imbalan. Sehubungan dengan pengertian tersebut, maka bila
barang yang di manfaatkan itu harus dengan imbalan tertentu, maka dia dinamai
sewa-menyewa atau ijarah bukan ‘ariyah. Karena yang di transaksikan dalam hal
ini hanya manfaatnya, yang dapat dikuasai oleh yang meminjam hanyalah
mannfaatnya sedangkan wujud bendanya tetap milik bagi yang punya yang harus
dikembalikan. Bila yang  dikembalikan itu bukan wujud barangnya, tetapi nilai
atau harganya atau dalam bentuk lain tidak dinamakan pinjam meminjam, tetapi
utang- piutang.6
‘Ariyah secara kebahasaan berarti “pinjaman”. Kata ini sudah menjadi suatu
istilah teknis dalam ilmu fiqih untuk menyebutkan perbuatan pinjam
meminjam,  sebagai salah satu aktivitas antara manusia.

4 Ibid, hlm. 239


5 Ibid.
6 Qamarul Huda, Fiqih Mu’amalah, cet I, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 72

8
Dalam pelaksanaannya,’ariyah di artikan sebagai perbuatan pemberian milik
untuk sementara waktu oleh seseorang kepada pihak lain, pihak yang menerima
kepemilikan itu dipebolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta
yang diberikan itu tanpa harus membayar imbalan,dan pada waktu tertentu
penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang diterimanya itu kepada pihak
pemberi. Oleh sebab itu, para ulama biasanya mendefinisikan ‘ariyah itu sebagai
pembolehan oleh seseorang untuk di manfaatkan harta miliknya oleh orang lain
tanpa diharuskan memberi imbalan.7

F. Macam-macam ‘Ariyah
1) ‘Ariyah Mutlak
‘Ariyah mutlak yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya
(transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah
pemanfaatannya hanya untuk meminjam saja atau dibolehkan orang lain, atau
tidak dijelaskan cara penggunaannya. Contohnya, seorang meminjam
binatang, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan
penggunaan binatang tersebut, misalnya waktu tempat mengendarainya. Jadi
hukumnya sebagaimana pemilik hewan-hewan, yaitu dapat mengambil.
Namun, demikian, harus sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada
masyarakat. Tidak dibolehkan menggunakan binatang tersebut siang dan
malam tanpa henti. Sebaliknya, jika penggunaannya tidak sesuai kebiasaan
dan barang pinjaman rusak, peminjam harus bertanggung jawab.
2) Ariyah Muqayyad
'Ariyah muqayyad adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari
segi waktu dan kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun
salah satunya. Hukumnya, peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga
batasan tersebut. Hal ini karena asal dari batas adalah menaati batasan, kecuali
7 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, cet, III, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 37

9
ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil manfaat
barang. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut
apabila kesulitan untuk memanfaatkannya. Jika ada perbedaan
antara mu’ir ( orang yang meminjamkan barang) dengan musta’ir (peminjam)
tentang lamanya waktu meminjam, berat barang yang dibawa barang
pinjaman, atau tempat meminjam, pendapat yang harus dimenangkan atau
diterima adalah mu’ir (yang meminjamkan barang), karena dialah yang
pemberi izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut seuai dengan
keinginannya.8
G. Dasar Hukum ‘Ariyah

‘Ariyah dianjurkan (mandub) dalam islam, yang didasarkan pada al-Qur’an


dan al-Sunnah.
1) Al-Qur’an

‫ االية * سورة المائدة‬... ‫ َوَت َع َاونُو ۟ا َعلَى ٱ ۡلبِ ِّر َوٱلتَّ ۡق َو ٰۖى َواَل َت َع َاونُو ۟ا َعلَى ٱ ۡلِإ ۡث ِم َوٱ ۡلعُ ۡد َوٰ  ۚ ِن‬ 
2
Artinya : “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2)
2) Al-Sunnah
Dalam hadits Imam Bukhari dan Muslim dari Anas, dinyatakan bahwa
Rasulullah SAW. telah meminjam kuda dari Abu Thalhah kemudian beliau
mengendarainya. Dalam hadits lain yng diriwayatkan oleh Abu Daud dengan
sanad yang jayyid dari Shafwan bin Umayyah, dinyatakan bahwa Rasulullah
SAW. pernah meminjam perisai kepada Shafwan bin Umayyah pada
wktu perang hunain. Shafwan bertanya: “Apakah engkau merampasnya wahai
Muhammad ?” Nabi menjawab: “Cuma meminjam dan aku yang
bertanggung-jawab.”
Berdasarkan ayat dan hadis diatas para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa
hukum al-’ariyah adalah mandub (sunah, karena melakukan’ariyah ini merupakan
salah satu bentuk ta’abbud (ketaatan) pada Allah SWT.9

8 Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001),hlm. 145


9 Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 239

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ijarah adalah “transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu”. Bila yang
menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut ijarat
al-‘ain atau sewa menyewa ; seperti menyewa rumah untuk ditempati. Bila yang
menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari tenaga seseorang, disebut
ijarat al-zimmah atau upah mengubah menjahit pakaian. Keduanya disebut AL-
Ijarah  dalam literatul arab.
Sedangkan macam-macam ijarah terbagi menjadi dua: Ijarah ‘ala al-
manafi’ dan Ijarah ‘ala al-‘amaal ijarah. Adapun dalil tentang ijarah yaitu
berlandaskan pada al-Qur’an, al-Hadits dan Ijma’.
‘Ariyah adalah menyerahkan suatu wujud barang untuk dimanfaatkan tanpa
imbalan. Sehubungan dengan pengertian tersebut, maka bila Barang yang di
manfaatkan itu harus dengan imbalan tertentu, maka dia dinamai sewa-menyewa
atau ijarah bukan ‘ariyah. Karena yang di transaksikan dalam hal ini hanya
manfaatnya, yang dapat dikuasai oleh yang meminjam hanyalah mannfaatnya
sedangkan wujud bendanya tetap milik bagi yang punya yang harus dikembalikan.
Bila yang  dikembalikan itu bukan wujud barangnya, tetapi nilai atau harganya
atau dalam bentuk lain tidak dinamakan pinjam meminjam, tetapi utang- piutang.
Macam-macam ‘Ariyah itu ada dua macam, yaitu ‘Ariyah Muthlak dan ‘Ariyah
Muqayyad. Dan dasar hukum yang menerangkan tentang ‘Ariyah ini juga sama
halnya dengan ijarah, yaitu juga menggunakan al-Qur’an dan al-Hadits.

A. Saran
Kami penulis makalah ini memberikan saran agar makalah ini dapat
dimanfaatkan untuk penambahan wawasan dari para mahasiswa. Tentunya
dengan segala keterbatasan semoga bisa bermanfaat untuk semua.

11
DAFTAR PUSTAKA

Harun, Nasrun , Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.

Syarifuddin Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Bogor : PrenadaMedia, 2003.

Rozalinda, Fiqh Mu’amalah Dan Aplikasinya Pada Perbankan Syari’ah, Padang:


Haifa Press, 2005.

Karim, Helmi, Fiqh Mu’amalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009.

Syafe’i  Rachmat, Fiqih Mu’amalah,Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001.

Asy-Syarbini, Muhammad, Mughni Al-Muhtaj, Juz II.

al-Jaziri, Abd. Ar-Rahman, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz III.

Huda, Qamarul, Fiqih Mu’malah, Yogyakarta: Teras, 2011.

Abi ‘Abdillah, Syekh Syamsuddin, Fathul Qarib; fi syarhi alfadzi at-taqrib, alih


bahasa oleh Mistha Bin Jamid, Surabaya: Al-Hidayah.

http://blogushuluddin.blogspot.com/2016/04/pengertian-macam-macam-hukum-
dan-dalil.html

12

Anda mungkin juga menyukai