Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

AL-ARIYAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Fiqih Muamalah Klasik

Dosen Pembimbing :
( Naili Velayati,S. Sy., M.H.I )

Disusun Oleh:
1. AHMAD SYAFI HUMAIDI
2. DEVI SILATURROHMI
3. RISKA NUR MAULIDIYAH

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM ( IAI ) QOMARUDDIN GRESIKTAHUN
AKADEMIK 2019-2020

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Puja dan puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah
memberi hidayah serta rahmatnya sehingga memudahkan kami dalam
penyelesaian dalam pembuatan makalah dengan judul “AL-ARIYAH” yang
bermanfaat ini.
Tak lupa sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi
besar kita Muhammad SAW, yang telah mengajarkan kita dari jalan yang
jahiliyah menuju jalan yang di ridhoi oleh Allah SWT.
Makalah ini telah kami susun dengan sebaik-baiknya semoga apa yang
kami tuangkan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Makalah yang telah kita tulis ini tentunya tak lepas dari kekurangan
maupun kelebihan dari segi bahasa maupun dari segi susunan kalimatnya. Maka,
dengan kelapangan hati, kami akan menerima kritik dan saran yang dari pembaca
semoga dapat memperbaiki apa-apa yang kurang baik dari makalah ini dan
menjadikan kami menjadi semakin berwawasan luas.
Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk masyarakat
luas, serta dapat menjadikan wawasan dan media informasi bagi msyarakat. Kami
mohon maaf jika ada kesalahan dari pembuatan makalah yang di sengaja maupun
tidak di sengaja.

Gresik, 11 Juni 2020

Penyusun

DAFTAR ISI

2
Halaman
KATA PENGANTAR…………………………………….…………….. 2

DAFTAR ISI…………………………………………………………….. 3

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ................................................................... 4
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Ariyah ...................................... 5
B. Rukun Ariyah .......................................................................... 6
C. Syarat Ariyah ........................................................................... 7
D. Macam-macam Ariyah............................................................. 8
E. Problematika Ariyah dalam Hukum Islam .............................. 9

KESIMPULAN…………………………………………………….......... 12

DAFTAR PUSTAKA ……………………..……………………………... 13

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial di mana dalam kehidupan sehari-hari

manusia saling berinteraksi antara yang satu dengan yang lain termasuk dalam

hal untuk memenuhi kebutuhannya.Untuk memenuhi kebutuhan pokok

tersebut, selain dengan dilakukannya suatu transaksi yang disebut dengan jual

beli cara lain yang dapat dilakukan yaitu dengan dilakukannya suatu proses

pinjam meminjam atau yang dalam istilah muamalah lebih dikenal dengan

istilah al-ariyah, proses peminjaman ini biasanya dilakukan oleh seseorang

dengan keadaan ekonomi menengah kebawah hal ini karena proses pinjam

meminjam dianggap sebagai suatu alternatif ketika seseorang tidak mampu

memenuhi kebutuhan pokok secara kontan, tujuan utama adanya suatu proses

pinjam meminjam adalah untuk menolong sesama, sehingga ketika seseorang

memberikan pinjaman kepada orang lain dengan tujuan untuk menolong atau

membantu sesama maka itu akan bernilai ibadah, namun jika pemberian

pinjaman tersebut bukan didasari dengan adanya keinginan untuk menolong

sesama maka hukumnya akan berbeda.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian dan dasar hukum Al-Ariyah?

2. Bagaimana syarat dan rukun ‘Ariyah?

3. Apa macam-macam ‘Ariyah?

4. Bagaiana problematika ‘Ariyah dalam hukum islam?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Ariyah

Al-Ariyah berasal dari bahasa Arab (‫ )ﺍﻠﻌﺎﺭﻴﻪ‬diambil dari kata (‫ )ﻋﺎﺭ‬yang

berartidatang atau pergi. Menurut sebagian pendapat al-ariyah berasal dari

kata (‫ )ﺍﻝﺗﻌﺎﻮﺭ‬yang artinya sama dengan ( ‫ ﺍﻟﺗﻧﺎﻭﺐ‬P‫ )ﺍﻟﺗﻧﺎﻭﻞ‬artinya saling tukar

menukar.

Ariyah (pinjam meminjam), menurut para fuqoha adalah pembolehan

oleh pemilik akan miliknya untuk dimanfaatkan oleh orang lain dengan tanpa

mengganti. Dan ada pula yang mendefinisikannya dengan memberikan

manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya

dengan tidak merusak zatnya agar dapat dikembalikan zat barag itu. ‘Ariyah

dapat berlangsung dengan ucapan, perbuatan dan apa saja yang menunjukkan

itu. ‘Ariyah adalah suatu pekerjaan yang tergolong disunahkan oleh islam.

Seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an:

Artinya: “....Dan tolong menolonglahkalian dalam kebajikan dan taqwa, dan

jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah

kepada Allah, sungguh Allah sangat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah:2)

5
Dari Anas ra. berkata: pada suatu hari terjadi suara gemuruh yang

mengejutkan Madinah, lalu Rasulullah SAW meminjam kuda dari Thalhah

yang langsung dia naiki menuju sumber suara itu, setelah itu beliau kembali

seraya bersabda: “Kami tidak melihat sesuatupun yang membahayakan, dan

jika memang ada tentu suara itu berasal dari gemuruhnya suara air laut”.

Maka dari itu, dapat diketahui bahwa hukum meminjamkan sesuatu

adalah sunnah dan bernilai pahala selama hal itu bertuuan untuk menolong

sesama, namun jika dilihat dari segi lain dapat menjadi wajib jika dalam

keadaan darurat dan kepada orang yang memang benar-benar membutkan,

seperti meminjamkan kain untuk menutup aurat. Adakalanya menjadi haram,

jika barang yang dipinjamkan tersebut diketahui akan dipergunakan untuk hal

yang tidak baik atau mencelakakan orang lain.

B. Rukun Ariyah

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang

meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.

Menurut ulama Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafadz sighat

akaf, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan

barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bertanggung

pada adanya izin. Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa

rukun ariyah ada empat, yaitu:

1) Mu’ir (yang meminjamkan)

2) Musta’ir (yang meminjam)

3) Musta’ar (barang yang dipinjamkan)

6
4) Shighat (ijab dan qabul), yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan

untu mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

C. Syarat Ariyah

Adapun syarat dari al-ariyah sebagai berikut:

1) Bagi orang yang meminjamkan:

a) Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya, anak kecil dan orang

yang dipaksa tidak sah meminjamkan,

b) Manfaat barang yang dipinjamkan dimiliki oleh yang meminjamkan.

2) Bagi peminjam: hendaknya seseorang yang ahli (berhak) menerima

kebaikan, anak kecil atau orang gila tidak sah memijam sesuatu karena ia

tidak ahli (tidak berhak) menerima kebaikan.

3) Bagi barang yang dipinjamkan:

a) Barang yang benar-benar ada manfaatnya,

b) Sewaktu diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak), oleh karena

itu makanan dengan sifat makanan untuk dimakan tidak sah

dipinjamkan.

Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad al-ariyah sebagai berikut:

1) Mu’ir berakal sehat, dengan demikian orang gila dan anak kecil yang

tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang,

2) Pemegangan barang oleh peminjam, al-ariyah adalah transaksi dalam

bentuk kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah meminjam,

seperti halnya dalam hibah,

7
3) Barang (musta’ar), dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika

musta’ar tidak dapat dimanfaatkan maka akad tidak sah. Para ulama telah

menetapkan bahwa al-ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang

diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan

tanah, pakaian, binatang, dan lain-lain.

D. Macam-macam Ariyah

a.) Al-Ariyah Mutlak

Al-ariyah mutlak yaitu, bentuk pinjam meminjam barang yang dalam

akadnya (tarnsaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah

pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan orang lain,

atau tidak dijelaskan cara peggunaannya.

b.) Al-Ariyah Muqayyad

Al-ariyah muqayyad adalah meminjamkan sesuatu barang yang dibatasi

dari segi waktu dan kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya

maupun salah satunya. Hukumnya, peminjam harus sedapat mungkin

untuk menjaga batasan tersebut. Hal ini karena asal dari batas adalah

menaati batasan, kecuali ada kesuliatan yang menyebabkan peminjam

tidak dapat mengambil manfaat barang.

1) Batasan penggunaan al-ariyah oleh diri peminjam

Jika mu’ir membatasi penggunaan manfaat itu untuk dirinya sendiri

dan masyarakat memandang adanya perbedaan tentang penggunaan

dalam hal lainnya, seperti mengendarai binatang dan memakai

8
pakaian. Dengan demikian, peminjam tidak boleh mengendarai

binatang atau memakai pakaian yang ada.

2) Pembatasan waktu atau tempat

Jika al-ariyah dibatasi waktu dan tempat kemudian peminjam melewati

tempat atau batas waktunya, maka ia bertanggung jawab atas

penambahan tersebut.

3) Pembatasan ukuran berat dan jenis

Jika yang disyaratkan adalah berat barang atau jenis kemudian ada

kelebihan dalam bobot tersebut, ia harus menanggung sesuai dengan

kelebihannya. Dari penjelasan diatas maka antara al-ariyah mutlak dan

al-ariyah muqayyad memiliki perbedaan, perbedaan tersebut terletak

pada adanya persyaratan atau tidak, dalam al-ariyah mutlak pemberi

pinjaman tidak menjelaskan persyaratan apapun terkait tentang barang

yang dipinjamkan, sementara dalam al-ariyah muqayyad pemberi

pinjaman memberikan persyaratan terkait tentang batasan penggunaan,

waktu peminjaman, dan ukuran maupun jenis dari barang pinjaman.

E. Problematika Ariyah dalam Hukum Islam

1. Membayar pinjaman dengan yang lebih baik dari yang dipinjam

Bagi peminjam diperbolehkan membayar dengan barang yang lebih baik

dari apa yang dipinjamnya. Karena sebaik-baiknya orang yang meminjam

adalah orang yang membayar dengan lebih dari apa yang dipinjamnya.

9
2. Membayar pinjaman dengan hasil dari pinjaman

Apabila ada orang yang membayar pinjaman itu dengan hasil dari

meminjam juga, tidak dilarang, semua itu sah-sah saja. Yang penting tidak

merugikan kedua belah pihak. Dahulu Nabi juga pernah melakukan hal itu

ketika ada seseorang yang menagih hutang kepadanya, ia menyuruh

seorang utusan agar menemui Khaulah binti Qaid, kemudian utusan itupun

berkata kepada Khaulah: jika engkau mempunyai tamar, pinjamilah kami

sehingga tamar kami nanti berbuah maka kami akan bayar.

3. menerima hadiah dari orang yag dipinjami

Bagi orang yang meminjamkan sesuatu kepada orang lain kemudian pada

saat mengembalikannya orang yang dipinjami tersebut memberikan

hadiah, maka sebaiknya kita tidak menerimanya karena hal itu bisa saja

sebagai suap supaya kita melakukan sesuatu. Kecuali kalau hal itu

memang telah menjadi kebiasaan antara orang yang meminjami dengan

orang yang dipinjami sebelum itu.

4. Mengambil manfaat barang yang dipinjam

Yang meminjam boleh mengambil manfaat dari barang yang dipinjamnya

hanya sekedar menurut izin dari yang punya, atau kurang dari yang

diizinkan. Umpama dia meminjam tanah untuk menanam padi, dia

diperbolehkan menanam padi dan yang sama umurnya dengan padi atau

yang kurang seperti kacang. Tidak boleh dipergunakan untuk tanaman

yang lebih lama dari padi, kecuali kalau tidak ditentukan massanya, maka

dia boleh bertanam menurut kehendaknya. 

10
5. Ariyah merupakan tanggungan atau amanat

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa barang pinjaman itu merupakan

amanat bagi peminjam baik dipakai atau tidak. Dengan demikian dia tidak

menanggung barang tersebut jika terjadi kerusakan, seperti juga dalam

sewa-menyewa atau barang titipan kecuali bila kerusakan tersebut

disengaja atau disebabkan kelalaian.

Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa peminjam menanggung harga

barang bila terjadi kerusakan dan bila ia menggunakannya tidak sesuai

dengan izin yang diberikan pemilik walaupun tanpa disengaja. Tetapi

apabila barang tersebut digunakan sesuai dengan izin pemilik, peminjam

tidak menanggungnya ketika terjadi kerusakan.

Ulama Hanabilah menyatakan jika barang yang dipinjam adalah benda

wakaf, seperti buku-buku ilmiah atau barang wakaf lainnya, kemudian

rusak tanpa disengaja, maka ia tidak harus menanggung kerusakannya

sebab tujuan peminjaman barang itu ditujukan untuk kemaslahatan umum.

11
KESIMPULAN

Ariyah (pinjam meminjam), menurut para fuqoha adalah pembolehan oleh

pemilik akan miliknya untuk dimanfaatkan oleh orang lain dengan tanpa

mengganti. Dan ada pula yang mendefinisikannya dengan memberikan manfaat

sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak

merusak zatnya agar dapat dikembalikan zat barag itu.

Hukum meminjamkan sesuatu adalah sunnah, namun jika dilihat dari

segi lain dapat menjadi wajib jika dalam keadaan darurat,dan juga bisa menjadi

haram, jika barang yang dipinjamkan tersebut diketahui akan dipergunakan untuk

hal yang tidak baik atau mencelakakan orang lain.

Rukun Ariyah:

1) Mu’ir (yang meminjamkan)

2) Musta’ir (yang meminjam)

3) Musta’ar (barang yang dipinjamkan)

Macam-macam Ariyah ada dua, yaitu Al-Ariyah Mutlak (dalam akadnya

(tarnsaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun) dan Al-Ariyah Muqayyad

(dibatasi dari segi waktu dan kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya

maupun salah satunya).

12
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.uinsby.ac.id/8665/23/Choirun%20Nisa%27_C02205108.pdf

http://makalahasli.blogspot.com/2016/01/makalah-fiqih-muamalah-

ariyah-atau-pinjam-meminjam.html?m=1

http://repository.radenintan.ac.id/526/1/skripsi.pdf

https://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/ariyah/

https://www.academia.edu/40015547/Vol._02._No._2_Artikel_1_Konseku

ensi_akad_al_ariyah_dalam_fiqh_muamalah_maliyah_perspektif_OKE

13

Anda mungkin juga menyukai