Anda di halaman 1dari 13

IJARAH, ARIYAH DAN WADI’AH

Disususn Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah


Dosen Pengampu: Dra.Siti Muhtamiroh.M.S.I

Disusun Oleh:

1. Djarot Eko Setyawan (33030200159)


2. Mufattikhah Khasbina (33030200053)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SALATIGA

2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur kehadiran Allah swt yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Fiqh Muamalah yang berjudul “IJARAH, ARIYAH
DAN WADI’AH”. Sholawat serta salam tidak lupa kami kepada Nabi Muhammad saw, semoga kita
mendapatkan syafa'at beliau di hari akhir.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada Ibu Dra.Siti Muhtamiroh.M.S.I. selaku dosen mata kuliah Fiqh
Muamalah. Terima kasih juga kepada teman-teman seperjuangan yang telah mendukung kami sehingga
kami bisa menyelesaikan tugas ini tepat waktu.

Kami berharap makalah ini dapat berguna untuk menambah wawasan kita. Semoga segala bantuan yang
telah diberikan akan mendapat balasan dari Allah SWT. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kami terbuka lebar menerima kritik dan saran dari semua pihak
yang dapat membangun dan memperbaiki makalah ini. Terima kasih.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salatiga, 29 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii

BAB I

PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan ..................................................................................................................... 1

BAB II

PEMBAHASAN ................................................................................................................. 2

A. Ijarah ....................................................................................................................... 2
B. Ariyah .................................................................................................................... 4
C. Wadi’ah .................................................................................................................. 7

BAB III

PENUTUP........................................................................................................................... 9

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 9
B. Saran ....................................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 10

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah adalah Ijarah. Ijarah sering
disebut dengan “upah” atau “imbalan”. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqh sering mmenerjemahkan
kata Ijarah dengan “sewa-menyewa”, maka hal tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu
barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas.
Manusia merupakan makhluk social yang tak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Dalam
hidupnya, manusia bersosialisi dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang termasuk
di dalamnya merupakan kegiatan ekonomi. Segala bentuk interaksi social guna memenuhi
kebutuhan hidup manusia memerlukan ketentuan-ketentuan yang membatasi dan mengatur
kegiatan tersebut.Selain dipandang dari sudut ekonomi, sebagai umat muslim, kita juga perlu
memandang kegiatan ekonomi dari sudut pandang islam. Ketentuan-ketentuan yang harus ada
dalam kegiatan ekonomi sebaiknya juga harus didasarkan pada ssumber-sumber hokum islam,
yaitu Al’Qur’an dan Al-Hadits.
Konsep Islam mengenai muamalah amatlah baik. Karena menguntungkan semua pihak
yang ada di dalamnya. Namun jika moral manusia tidak baik maka pasti ada pihak yang dirugikan.
Akhlakul Karimah secara menyeluruh harus menjadi rambu-rambu kita dalam ber-muamalah dan
harus dipatuhi sepenuhnya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana yang dimaksud dengan Ijarah ?


2. Bagaimana yang dimaksud dengan Ariyah ?
3. Bagaimana yang dimaksud dengan Wadi’ah ?
4. Bagaimana contoh dari Ijarah ?
5. Bagaimana contoh dari Ariyah ?
6. Bagaimana contoh dari Wadi’ah ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Ijarah


2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Ariyah
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Wadi’ah
4. Untuk mengetahui apa saja contoh Ijarah
5. Untuk mengetahui apa saja contoh Ariyah
6. Untuk mengetahui apa saja contoh Wadi’ah

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ijarah
a. Pengertian Ijarah

Menurut etimologi, ijarah adalah ‫( بيع المنفعة‬menjual manfa’at).1 Al-ijarah berasal dari kata
al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah
ganti dan upah. Sewa-menyewa atau dalam bahasa arab ijarah berasal dari kata ‫ اجر‬yang
sinonimnya:
1. ‫اكوى‬yang artinya menyewakan, seperti dalam kalimat ‫( اجرالشئ‬menyewakan sesuatu)
2. ‫اعطا ه اجرا‬yang artinya ia member upah, seperti dalam kalimat‫( اجرفالناعلى كذا‬ia
memerikan kepada si fulan upah sekian)
3. ‫اثابه‬yang artinya memberinya pahala, seperti dalam kalimat‫(اجرهللا عبده‬Allah
memberikan pahala kepada hamba-Nya)2

Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah, antara lain
adalah sebagai berikut:
a. Ulama Hanafiyah
‫علَى ال ُمنَاف ِِع بِعَ ْوض‬ َ ٌ‫ع ْقد‬ َ
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b. Ulama Asyafi’iyah
‫اإلبَا َح ِة ِب َع ْوض َم ْعلُ ْوم‬
ِ ‫صودة َم ْعلُو َمة ُمبَا َحة قَا ِبلَة ِللبَدْ ِل َو‬ ُ ‫علَى َم ْنفَ َعة َم ْق‬
َ ٌ‫ع ْقد‬َ
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah,
serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
‫ت َْم ِليْكُ َمنَاف ِِع شَيء ُمبَا َحة ُمدَّة ً َم ْعلُ ْو َمةً بِعَ ْوض‬
Artinya: “Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan
pengganti.”3

b. Dasar Hukum ijarah

Dasar-dasar hukum atau rujukan iajarah adalah al-qur’an, al-sunnah dan al-ijma’
Dasar hukum ijarah dalam alqur’an adalah
)‫فان ا رضعن لكم فا تو هن اجورهن (الطالق‬
Artinya: “Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berikanlah upah mereka” (Al-
Thalaq: 6).
Dasar hukum ijarah dari al-hadits adalah
‫اعطو ااالجيرا جره قبل ا ن يجف عر قه‬

1 Prof. DR.H. Rachmat Syafei,MA. FIQIH Muamalah. (Bandung:CV PUSTAKA SETIA. 2001) hlm.121
2 Drs. H.Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalat (Jakarta:Amzah.2010)hlm.315
3 Prof. DR.H. Rachmat Syafei,MA. FIQIH Muamalah. hlm.122

2
“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum krtingatnya kering.” (Riwayat Ibnu
Majah)
Landasan Ijma’nya ialah semua umat sepakat, tidak ada seorang ulama pun yang
membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang
berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap.4
c. Rukun dan Syarat-syarat Ijarah

Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah pihak
yang bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama ijarah ada empat yaitu:
1. Dua orang yang berakad
2. Sighat (ijab dan qabul)
3. Sewa atau imbalan
4. Manfaat

Adapun syarat-syarat ijarah sebagimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagai berikut:
1. Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafi’iyah dan
Hanabalah disyaratkan ytelah balig dan berakal.
2. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-
ijarah
3. Manfaat yang menjadi objek ijarah harus dikatahui, sehingga tidak muncul
perselisihan dikemudian hari
4. Objek ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada
cacatnya
5. Objek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’
6. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
7. Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan
8. Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas

d. Menyewakan Barang Sewaan

Menurut Sayyid sabiq, penyewa dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan tersebut
pada orang lain, dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang
dijanjikan ketika akad awal. Sementara itu, menurut Hendi Suhendi bila ada kerusakan
pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (al-mu’jir)
dengan syarat kerusakan itu bukan akibat dari kelalaian penyewa atau al-musta’jir maka
yang bertanggung jawab adalah penyewa atau al-musta’jir itu sendiri.5

Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat
kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiah berpendirian bahwa akad ijarah itu bersifat
mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur dari salah satu
pihak yang berakad seperti salah satu pihak sudah wafat atau kehilangan kecakapan
bertindak dalam hukum.

4 Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. FIQH MUAMALAH. hlm.116-117


5 PROF.DR.H.ABDUL RAHMAN GHAZALY,M.A dkk. FIQH MUAMALAT (Jakarta:KENCANA.2012) hlm.278-282

3
Adapun jumhur ulama dalam hal ini mengatakan bahwa akad ijaraj itu seperti mengikat
kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Akibat berbeda pendapat ini
dapat diamati dalam kasus apabila seorang meninggal dunia. Menurut ulama Hanafiah,
apabila salah seorang meninggal dunia maka akad ijarah batal karena manfaat tidak boleh
diwariskan. Akan tetapi jumhur ulama mengatakan, bahwa manfaat itu boleh diwariskan
karena termasuk harta (al-mal). Oleh sebab itu kematian salah satu pihak yang berakad
tidak membatalkan akad ijarah.6
Selanjutnya sampai kapankah akad ijarah itu berakhir?. Menurut al-kasani dalam kitab al-
Bada’iu ash-shanaa’iu, menyatakan bahwa akad ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai
berikut:
1. Objek ijarah hilang atau musnah
2. Tenggang waktu yang disepakati dala akad ijarah telah berakhir
3. Wafatnya salah seorang yamh berakad
4. Apabila ada udzur dari salah satu pihak
Sementara itu, menurut Sayyid sabiq, ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada
hal-hal sebagai berikut:
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa
2. Rusaknya barang yang disewakan
3. Rusaknya barang yang diupahkan
4. Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah
ditentukan dan selesainya pekerjaan.

B. ARIYAH
a. Pengertian ‘Ariyah
Ariyah menurut bahasa adalah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ariyah ada
beberapa pendapat :
a. Menurut hanafiyah ‘ariyah ialah “memiliki manfaat secara Cuma-Cuma”.
b. Menurut Malikiyah, ‘ariyah ialah “memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan
tanpa imbalan”.
c. Dan menurut Syafi’iyah, ‘ariyah ialah kebolehan mengambil manfaat dari
seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatka, serta
tetap zat barangnya supaya ddapat dikembalikan kepada pemiliknya.
Jadi yang dimaksud dengan ‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari
seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila digantikan dengan
sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ‘aariyah.

6 PROF.DR.H.ABDUL RAHMAN GHAZALY,M.A dkk. FIQH MUAMALAT hlm.283

4
Berdasarkan definisi ini, maka tidak boleh meminjamkan sesuatu yang tidak boleh
diambil manfaatnya dan sesuatu yang jika diambil manfaatnya akan mengakibatkan
kerusakan padanya seperti makanan dan minuman.7
b. Dasar Hukum ‘Ariyah
Landasan hukum adalah hadits:
“Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan janganlah
kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu.”
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud Al ‘Ariyata Muadzaatun artinya
barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan.

c. Rukun dan syarat ‘Ariyah


Menurut Hanafiyah, rukun ‘Ariyah adalah satu, yaitu ijab dan qobul, tidak wajib
diucapkan, tapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang
dipinjam dan boleh hukum ijab qobul dengan ucapan.
Menurut jumhur ulama dalam akad ‘ariyah harus terdapat beberapa unsur (rukun),
sebagai berikut:8
1) Orang yang memberi pinjaman (al-mu’iir), kapan saja boleh meminta
pinjamannya kembali, kecuali jika hal itu mengakibatkan kerugian bagi si
peminjam, dan ini didasarkan pada inisiatif sendiri bukan paksaan.
2) Orang yang meminjam (al-musta’iir), si peminjam wajib menjaga benda yang
dipinjamkan kepadanya melebihi penjagaannya terhadap miliknya sendiri.
Sehingga dapat dikembalikan dalam keadaan baik.
3) Barang yang dipinjamkan (mu’ar), manfaat yang boleh diambil adalah yang
diperbolehkan saja dan mu’ar tetap harus dalam keadaan utuh (tidak merusak
zatnya).

7 Saleh al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 493.

8 Tim Kajian Ilmiah FKI Ahla Suffah 103, Kamus Fiqih (TK: Purna Siswa MHM, 2013), 258.

5
d. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki
utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib di bayar sehingga berdosalah
orang yang tidak mau membayar hutang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga
termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rosulullah
bersabda :” orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
(H.R.Bukhari dan Muslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu
merupakan kemauan dari yang berutang semata .Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi
yang membayar utang. Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya di antara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-
baiknya dalam membayar utang” (HR. Bukhari dan Muslim).

e. Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya


Abu hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-
benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya jika
penggunaanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman.
Menurut mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa
saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika
barang tersebut disewakan.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain,
kemudian rusak di tangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah
seorang diantara keduanya.

f. Tanggung Jawab Peminjam


Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut
rusak, ia brkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun
karena yang lainnya. Rosulullah Saw bersabda, bahwasanya pemegang berkewaiban
menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya.

6
C.WADI’AH
Barang titipan dikenal dalam bahasa fiqh dengan sebutan al-Wadi’ah, dan secara
bahasa al-wadi’ah ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya
dijaganya. Menurut Hasbi ash-Shidiqie, al-Wadi’ah ialah” akad yang intinya minta
pertolongan kepada seseorang dalam meelihara harta penitip”.

1) Dasar Hukum Wadi’ah


Wadi’ah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib
mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali, firman Allah SWT :” jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu
menunaikan amanatnya dan bertaqwalah kepada Allah sebagai Tuhannya “ (Al-
Baqarah: 283). Orang yang menerima titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali
bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah
terhadap barang titipan .
2) Rukun dan Syarat Wadi’ah
Menurut hanafiyah rukun al-wadi’ah ada satu, yaitu ijab dan qobul, sedangkan yang
lainnya termasuk syarat dan tidak termasuk rukun. Menurut hanafiyah dalam sighat
ijab dianggap sah apabila ijab tersebut dilakukan dengan perkataan yang jelas (sharih)
maupun dengan perkataan samaran (kinayah). Hal ini berlaku juga untuk kabul,
disyaratkan bagi yang menitipkan dan yang dititipi barang dengan mukalaf. Tidak sah
apabila yang menitipkan dan yang menerima benda titipaan adalah orang gila atau anak
yang masih kecil/ belum dewasa.

Menurut syafi’iyah al-wadi’ah memiliki 3 rukun, yaitu:


a. Barang yang dititipkan, syaratnya adalah barang/benda tersebut merupakan sesuatu
yang dapat dimiliki menurut syara’.
b. Orang yang menitipkan dan yang menerima titipan, disyaratkan bagi penitip dan
penerima titipan sudah baligh, berakal serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan
syarat-syarat berwakil.

7
c. Sighat ijab dan qabul al-wadi’ah, disyaratkan pada ijab qabul ini dimengerti oleh kedua
belah pihak, baik dengan jelas maupun samar.9

3) Rusak atau Hilangnya Barang


Jika orang menerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa
adanya unsur kesengajaan darinya, maka ucapannya harus disertai dengan sumpah
supaya perkataannya itu kuat kedudukannya menurut hukum, namun ibnu al-Munzir
berpendapat bahwa orang yang menerima titipan sudah dapat diterima ucapannya
secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah, sedangkan menurut ibnu Taimiyah,
jika seseorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa benda titipan
ada yang mencuri, sementara harta yang ia kelola tidak ada yang mencuri maka orang
yang menerima benda titipan tersebut wajib menggantinya.
Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda-benda titipan
milik orang lain, ternyata barang-barang titipan tersebut tidak dapat ditemukan maka
ini merupakan utang bagi yang menerima titipan dan wajib dibayar oleh para ahli
warisnya.
Bila seseorang menerima benda-benda titipan sudah lama waktunya, sehingga ia
tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemilik benda-benda titipan tersebut dan
sudah berusaha mencarinya dengan cara yang wajar, namun tidak lagi diperoleh
keterangan yang jelas maka benda titipan tersebut dapat digunakan untuk kepentingan
agama, dan mendahulukan masalah yang paling penting.

9 Ismail Nawawi. fikih muamalah klasik dan kontemporer. Bogor: ghalia indnesia, 2012, h.

8
BAB III

A. KESIMPULAN
Ijarah adalah akad atas manfaat suatu produk atau barang dalam jangka waktu
tertentu, melalui pembayaran upah sewa, dengan tanpa diikuti pemindahan kepemilikan
atas barang tersebut. Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari
dua belah pihak yang bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama ijarah ada empat
yaitu: Dua orang yang berakad ,Sighat (ijab dan qabul),Sewa atau imbalan, Manfaat.
Menurut al-kasani dalam kitab al-Bada’iu ash-shanaa’iu, menyatakan bahwa akad
ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut: Objek ijarah hilang atau musnah, Tenggang
waktu yang disepakati dala akad ijarah telah berakhir , Wafatnya salah seorang yamh
berakad , Apabila ada udzur dari salah satu pihak.
Ariyah, yaitu pengalihan kepemilikan dengan jaminan, yaitu yang mengeluarkan
uang dari pemilik dan pihak lain menyatakan akan menjamin keutuhan bendanya jika
barang dan menjaga nilainya jika berubah. Menurut Hanafiyah, rukun ‘Ariyah adalah satu,
yaitu ijab dan qobul, tidak wajib diucapkan, tapi cukup dengan menyerahkan pemilik
kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab qobul dengan ucapan.
Wadi’ah ialah akad yang intinya minta pertolongan kepada seseorang dalam
meelihara harta penitip. Menurut syafi’iyah al-wadi’ah memiliki 3 rukun, yaitu:
Barang yang dititipkan, syaratnya adalah barang/benda , Orang yang menitipkan dan yang
menerima titipan , Sighat ijab dan qabul al-wadi’ah, disyaratkan pada ijab qabul ini
dimengerti oleh kedua belah pihak.

B. SARAN
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Kami berharap dengan adanya
makalah ini dapat menambah wawasan dan memperdalam keimanan kepada Allah swt.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat kekurangan dalam penyajian. Oleh
karena itu, sudilah kiranya pembaca memberi kritik untuk menyempurnakan makalah
ini. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

9
DAFTAR PUSTAKA

Prof. DR.H. Rachmat Syafei,MA. FIQIH Muamalah. (Bandung:CV PUSTAKA SETIA.


2001) hlm.121
Drs. H.Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalat (Jakarta:Amzah.2010)hlm.315
Prof. DR.H. Rachmat Syafei,MA. FIQIH Muamalah. hlm.122
Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. FIQH MUAMALAH. hlm.116-117
PROF.DR.H.ABDUL RAHMAN GHAZALY,M.A dkk. FIQH
MUAMALAT (Jakarta:KENCANA.2012) hlm.278-282
PROF.DR.H.ABDUL RAHMAN GHAZALY,M.A dkk. FIQH MUAMALAT hlm.283
Saleh al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 493.
Tim Kajian Ilmiah FKI Ahla Suffah 103, Kamus Fiqih (TK: Purna Siswa MHM, 2013),
258.
Ismail Nawawi. fikih muamalah klasik dan kontemporer. Bogor: ghalia indnesia, 2012, h.

10

Anda mungkin juga menyukai