Anda di halaman 1dari 19

KERJA SAMA ATAU (SYIRKAH)

(Tugas Ini Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah)
Dosen pengampu : Sumiati Tomadehe,M.E

OLEH:

(Kelompok X)

Moh.Gaibsal A.S.Lajini 22004197

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

SEKOLAH INGGI AGAMA ISLAM ALKHAIRAAT LABUHA

2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah dan puji syukuratas ke hadirat Allah SWT penulis mengucapkan
atas rampungnya makalah Fiqih Muamalah yang berjudul “KERJA SAMA ATAU
(SYIRKAH) “
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah. Besar
harapan penulis bahwa makalah ini dapat di gunakan pembaca sebagai buku tuntunan.
Akhirnya, penulis mengharapkan saran dan kritik dari beberapa pihak , khususnya
dari dosen yang mengajar mata kuliah fiqih muamalah. Karena kebenaran, kesempatan,
dan kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Labuha, 11 november 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PEMBUKA.......................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 1

C. Tujuan Pembahasan ........................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 2

A. Pengertian Syirkah............................................................................. 2

B. Hukum Syirkah ................................................................................. 3

C. Rukun Dan Syarat Syirkah ............................................................... 5

D. Macam-Macam Syirkah .................................................................... 6

E. Mengakhiri Syirkah ........................................................................... 13

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 14

A. Kesimpulan ......................................................................................... 14

B. Saran.................................................................................................... 14

C. Daftar Pustaka

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Banyaknya umat muslim yang belum mengetahui bagaimana seharusnya


menjalankan syirkah atau perkongsian dalam memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini
yang sesuai dengan tuntunan syari’at. Hal ini menyebabkan kami untuk membuat
sebuah makalah yang berjudul tentang “syirkah” guna untuk memberikan sebuah
pemahaman kepada para pembaca makalah ini. Pada zaman sekarang ini banyak
orangorang muslim yang menjalankan sistem syirkah atau perkongsian dengan
mengikuti tata cara orang eropa atu barat yang belum tentu sesuai dengan apa yang
diajarkan oleh syari’at.

Secara umum, prinsip syirkah atau bagi hasil dalam perbankan syariah dapat
dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyâ rakah, al-mudhâ rabah, al-muzâ
ra’ah dan al-musâ qah. Namun dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai al-musyâ
rakah saja. Sedangkan yang lainnya dalam pembahasan yang lain.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian dari syirkah?


2. Bagaimana landasan hukum tentang adanya syirkah?
3. Bagaimana rukun dan syarat dari syirkah?
4. Bagaimana saja macam-macam syirkah?
5. Bagaimana cara mengakhiri syirkah?

C. Tujuan

1. Memberikan informasi tentang pengertian dari syirkah.


2. Untuk mengetahui tentang yang mendasari dari syirkah.
3. Memberikan informasi tentang rukun, dan syarat dari syirkah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syirkah

Syirkah menurut Bahasa berarti Al-Ikhtilah yang artinya campur atau


percampuran. Demikian dinyatakan oleh Taqiyyudin. Maksud percampuran disini
adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak
mungkin untuk dibedakan.1

Sedangkan menurut istilah terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama

1) Menurut Hanafiah
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang
yang berserikat didalam modal dan keuntungan.
2) Menurut Malikiyah
Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang
dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling
mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik
keduanya, namun masingmasing memiliki hak untuk bertasharruf.
3) menurut syafi’iyah
Syirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas
suatu barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama
4) menurut Hanabilah
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atas
hak atau tasarruf.

1
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta. Rajawali Pers : 2014) h. 125

2
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa para ulama mengenai
pengertian dari syirkah bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja
sama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-
masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa
ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di
tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan.
Transaksi syirkah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja
sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama.
Termasuk dalam golongan musyâ rakah adalah semua bentuk usaha yang
melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama
memadukan seluruh bentuk sumber daya, baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud. Melalui akad ini, kebutuhan nasabah untuk mendapatkan
tambahan modal kerja dapat terpenuhi setelah mendapatkan pembiyaan dari
bank. Selain digunakan untuk pembiyayan modal kerja, secara umum
pembiyayaan musyarakah digunakan untuk pembelian barang investasi dan
pembiyayaan proyek, bagi bank, pembiyayaan musyâ rakah dan memberi
manfaat berupa keuntungan dari hasil pembiyayaan usaha. 2

B. Hukum Syirkah

Syirkah hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, Al-


Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan
dalildalilnya, di antaranya:

1. Al-qur’an
َ ‫َع َب ۡعض إ ََّّل َّٱَّل‬ َ َ ۡ ُ ُ ۡ َ ۡ َ ٓ َ َ ُ ۡ َ ٗ َ َّ َ ‫جت َِك إ َ َٰل ن‬ َ ََ َ ۡ ََ َ َ
َ ‫ك ب ُس َؤال َن ۡع‬
‫ِين‬ ِ ٍ ٰ ‫جهِۖۦ ِإَون كثِريا مِن ٱۡللطاءِ َلَب ِِغ بعضهم‬ ِ ‫ا‬ ‫ِع‬ ِ ِ ِ ‫قال لقد ظلم‬

٢٤ ۩‫اب‬ َ َ‫ٱستَ ۡغ َف َر َر َّب ُهۥ َو َخ َّرَّۤ ۤاٗعِكاَر َو َأن‬


ۡ َ‫ۥد َأ َّن َما َفتَ َّنٰ ُه ف‬
ُ ‫ِيل َّما ُه ۡم َو َظ َّن َد ُاو‬ ٞ َ َ ٰ َ ٰ َّ ْ ُ َ َ ْ ُ َ َ
‫ت وقل‬ ِ ‫ءامنوا وع ِملوا ٱلصلِح‬
ۡۗ

2
H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), h. 51

3
Artinya: “Dia (Dawud) berkata, “sungguh, dia telah berbuat zalim kepadamu
dengan meminta kambingmu itu untuk di tambahkan kepada kambingnya.
Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim pada
yang lain, kecuali orang-orang beriman yang mengerjakan kebajikan; dan
hanya sedikit mereka yang begitu.” Dan Dawud menduga bahwa kami
mengujinya; maka dia memohon ampunan kepada tuhannya lalu menyungkur
sujud dan bertaubat.

2. Hadist

Dalam hadits qudsi, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah


dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah
‘azza wa jalla berfirman,
‫ فَإِذَا خَانَه خ ََرجْ ت ِم ْن بَ ْينِ ِه َما‬،‫احبَه‬
ِ ‫ص‬َ ‫ش ِر ْي َكي ِْن َما َل ْم يَخ ْن أَ َحده َما‬
َّ ‫أَنَا ثَا ِلث ال‬
“Aku adalah pihak ketiga (Yang memberikan penjagaan, pertolongan, dan
keberkahan) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang di
antara mereka tidak berkhianat kepada kongsiannya. Apabila di antara mereka
ada yang berkhianat, maka aku akan keluar dari mereka (tidak memberikan
penjagaan, pertolongan, dan keberkahan).” (HR. Abu Daud, no. 3383).3

3. Ijma’

Ijma’ ulama mengatakan, bahwa muslimin telah berkonsensus akan


legitimasi syarikah secara global, walaupun perbedaan pendapat dalam
beberapa elemen dari padanya. Maka secara tegas dapat dikatakan bahwa
kegitan syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam islam, sebagai dasar
hukumnya telah jelas dan tegas.4

3
Musthofa Dayb al-Baghâ , at Tadzhîb Fî Adillah Matni al Ghô yah wa al-taqrîb, (Malang: Ma’had Sunan
Ampel al Ali, 2013), h. 135

Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah, Edisi I (Cet. I; Yogyakarta: Bpfe
4

Yogyakarta, 2005), h. 32

4
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata, “Kaum
muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global
walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa elemen darinya.

C. Rukun Dan Syarat Syirkah

Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Ada
perbedaan terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah
hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan melakukan penawaran perserikatan) dan kabul
(ungkapan penerimaan perserikatan), istilah ijab dan kabul sering disebut dengan serah
terima. Jika ada yang menambahkan selain ijab dan kabul dalam rukun syirkah seperti
adanya kedua orang yang berakad dan objek akad menurut Hanafiyah itu bukan
termasuk rukun tetapi termasuk syarat.

Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi


empat bagian, sebagai berikut.5

1. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan harta
maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a)
berkenaan dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat diterima
sebagai perwakilan, dan b) berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian
keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
2. Semua yang bertalian dengan syirkah mâ l. Dalam hal ini terdapat dua perkara
yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah
adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal dan rupiah, dan b)
benda yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya
sama maupun berbeda.
3. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan; a)
modal (harta pokok) harus sama, b) orang yang bersyirkah adalah ahli untuk

5 Sohari Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Cet. I; Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 179

5
kafalah, dan c) orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan melakukan
syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
4. Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat syirkah
mufâ wadhah.

Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan


akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd). Imam Syafi’i berpendapat bahwa
syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang lainnya
batal.

Akad syirkah ada kalanya hukumnya shahih ataupun fasid. Syirkah fasid adalah akad
syirkah di mana salah satu syarat yang telah disebutkan tidak dipenuhi, jika semau
syarat sudah terpenuhi maka syirkah dinyatakan shahih.6

D. Macam-Macam Syirkah

1. Syirkah Amlâ k (Hak Milik)

Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli,
hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini kedua belah pihak
tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa
seijin rekannya. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah amlâ k adalah
bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa akad baik bersifat ikhtiâri
atau jabari.7

Syirkah milik juga dibagi menjadi dua yaitu:


a. Syirkah milk jabr, ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan
suatu benda secara paksa.

6
Dimyauddin Djuwaini, pengantar Fiqh Muamalah, (Cet. 1; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 217
7
Sohari Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, h. 181

6
b. Syirkah milk al-ikhtiyar, ialah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih untuk
menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil dengan
cara mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian yang
ditentukan dari keuntungan.

Syirkah milik tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lain yang
mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini,
kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam dua aset nyata dan berbagi dari
keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.8

Misalnya: Si A dan si B diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil oleh
seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya dengan uang keduanya, atau
mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka berdua berserikat dalam kepemilikan
mobil tersebut.

2. Syirkah Uqû d (Transaksional/kontrak)

Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan
keuntungan, artinya kerjasama ini didahului oleh transaksi dalam penanaman modal
dan kesepakatan pembagian keuntungan. Misalnya, dalam transaksi jual beli atau
lainnya. Bentuk syirkah seperti inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini.
Dalam syirkah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang
syirkah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai
pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang
yang dipergunakan adalah milik rekannya.

8
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Cet. 1; Bogor: Ghalia Indonesia,2012), h. 153

7
Macam-Macam Syirkah Uqû d (Transaksional/kontrak) Berdasarkan penelitian
para ulama fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat
lima macam syarikah, yaitu:9

a. syirkah al-‘inân
Yaitu penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak
selalu sama jumlahnya. Boleh satu pihak memiliki modal lebih besar dari pihak
yang lain.
Sementara itu, Ibn Qudamah sebagaimana dikutip oleh Muhammad
Abdurrahman Sadique menyebutkan bahwa syirkah al-‘inâ n adalah kerjasama
dua orang atau lebih dalam hal modal yang dilaksanakan oleh mereka yang
berserikat dalam hal modal tersebut sementara hasilnya dibagi bersama.
Keuntungan dibagi dua sesuai presentase yang telah disepakati maupun
kerugiannya.Dan hukum syirkah ini diperbolehkan berdasarkan konsensus para
ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Mundzir.
Contoh syirkah inân: A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat
menjalankan bisnis dengan memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-
masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-
sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya
harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau
mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung
nilainya pada saat akad.
Keuntungan di dasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian di
tanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarik) berdasarkan porsi modal.
Jika, masing-masing modalnya 50% , maka masing-masing menanggung
kerugian 50%.
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya

9
Abdu Rahman Ghazali, Ghufron Ihsan,Sapiudin Sidiq, Fiqih Muamalah, h.132

8
modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-
pihak yang bersyirkah).”
b. syirkah al-abdân
Yaitu perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama
sesuai dengan kesepakatan, tanpa konstribusi modal (mâl), seperti kerja sama
sesama dokter di klinik, tukang besi, kuli angkut atau sesama arsitek untuk
menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima
order pembuatan seragam sekolah dan sebagainya.
Kerja sama semacam ini dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah,
Malikiyah, dan Hanabilah, namun imam Syafi’i melarangnya.
Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut
bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan
dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan
B sebesar 40%.
Syirkah ‘abdâ n hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari
Abdullah binMas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah berserikat
dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan
perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku
dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu
Majah).
c. syirkah al-mudârabah
Yaitu, persetujuan seseorang sebagai pemilik modal (investor)
menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola (mudhâ rib) dalam suatu
perdagangan tertentu yang keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan
bersama. Adapun kerugiannya ditanggung oleh pemilik modal saja.
Menurut jumhur ulama (Hanafiyah, malikiyah, Syafi’iah, Zahiriyah, dan
Syiah Imamiyah) tidak memasukkan transaksi mudharabah sebagai salah satu
bentuk perserikatan, karena mudharabah menurut mereka merupaka akad

9
tersendiri dalam bentuk kerja sama yang lain yang tidak dinamakan dengan
perserikatan.

Syarat-syarat mudâ rabah antara lain:


1) modal harus dinyatakan dengan jelas mengenai jumlahnya.
2) modal harus diserahkan kepada mudâ rib untuk memungkinkannya melakukan
usaha.
3) modal harus dalam bentuk tunai bukan utang.
4) pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam persentase dari keuntungan
yang mungkin dihasilkan nanti.
5) kesepakatan ratio persentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan
dalam kontrak.
6) pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudâ rib mengembalikan
seluruh atau sebagian modal kepada shahib a-mâl.

d. syirkah al-wujûh
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan
nama baik serta ahli dalam bisnis atau perserikatan tanpa modal. Mereka
membeli barang secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan dan menjual
barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama atas
dasar kesepakatan di antara mereka.
Syirkah semacam ini juga dibolehkan menurut kalangan hanafiyah dan
hanbaliyah, namun tidak sah menurut kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan
Zhahiriyah.
Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada reputasi (wajâ hah)
kepercayaan (amâ nah), kedudukan, ketokohan, atau keahlian seseorang di
tengah masyarakat. Tak seorang pun memiliki modal, namun mereka memiliki
nama baik, sehingga mereka membeli barang secara hutang dengan jaminan
nama baik tersebut.

10
Contohnya: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan
B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang
(misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50%
dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan
keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C
(pedagang). Dalam syirkah wujûh ini, keuntungan dibagi berdasarkan
kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki;
sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan
prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan.
e. syirkah al-mufâwadhah.
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan
suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak
membagi keuntungan dan kerugian secara sama.
Syirkah Mufâ wadhah juga merupakan syirkah komprehensif yang dalam
syirkah itu semua anggota sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja
sama, seperti ‘înan, abdâ n dan wujû h. Di mana masing-masing menyerahkan
kepada pihak lain hak untuk mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi
komitmen kerja sama tersebut, seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa
menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya. Atau syirkah ini bisa pula
diartikan kerja sama dalam segala hal. Namun tidak termasuk dalam syirkah ini
berbagai hasil sampingan yang didapatkannya, seperti barang temuan, warisan
dan sejenisnya. Dan juga masing-masing tidak menanggung berbagai bentuk
denda, seperti mengganti barang yang dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti
barang-barang yang dirusak dan sejenisnya.
Dengan demikian, syarat utama dari Syirkah ini adalah kesamaan dalam
hal-hal berikut: Dana (modal) yang diberikan, kerja, tanggung jawab, beban
utang dibagi oleh masing-masing pihak, dan agama.
Hukum Syirkah ini dalam pengertian di atas dibolehkan menurut
mayoritas ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Sebab, setiap

11
jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan
dengan jenis syirkah lainnya. Namun, imam asy-Syafi’i melarangnya karena
sulit untuk menetapkan prinsip persamaan modal, kerja dan keuntungan dalam
perserikatan ini.
Adapun keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini dibagi sesuai
dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis
syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika
berupa syirkah‘inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah
mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase
barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contohnya: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua
insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing
berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi
modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang
kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdâ n, yaitu ketika
B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi
kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara
mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal,
sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa
masingmasing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja,
berarti terwujud syirkah‘inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli
barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti
terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah
seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut
syirkah mufâwadhah.

12
E. Mengakhiri Syirkah

Menurut Ahmad Azhar Basyir terdapat enam penyebab utama berakhirnya


syirkah yang telah diakadkan oleh pihak-pihak yang melakukan syirkah, yaitu :10

1. Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal dimana jika salah satu pihak
membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lainnya. Hal ini
disebabkan syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua
belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu
pihak tidak menginginkannya lagi.
2. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian mengelola
harta) baik karena gila ataupun karena alasan lainnya.
3. Salah satu pihak meninggal dunia. Tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua
orang yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus pada
anggota-anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris anggota yang meninggal
menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut maka dilakukan perjanjian baru
bagi ahli waris yang bersangkutan.
4. Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampuan. Pengampuan yang dimaksud di
sini baik karena boros yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah
berjalan maupun sebab yang lainnya.
5. Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta
yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Mazhab Maliki,
Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat bahwa keadaan bangkrut itu tidak
membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
6. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama Syirkah.
Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi percampuran harta hingga tidak
dapat dipisah-pisahkan lagi yang menanggung resiko adalah para pemilikya.
sendiri.

10Deny Setiawan, Kerja Sama (Syirkah) Dalam Ekonomi Islam, Jurnal Ekonomi, Volume 21, Nomor 3,
September 2013

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau
modal yang masing-masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur
menjadi satu tanpa ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan
kerugiannya di tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan.
Mengenai landasan hukum tentang syirkah ini terdapat dalam al-qur’an, sunnah dan
ijma.

Adapun rukun syirkah ada dua yaitu, ucapan (sighah) penawaran dan penerimaan
(ijab dan qabul) dan pihak yang berkontrak. Dan mengenai syaratnya ada tiga yaitu,
pertama, ucapan: berakad dianggap sah jika diucapkan secara verbal atau ditulis.
Kontrak musyarakah dicatat dan disaksikan. Kedua, pihak yang berkontrak:
disyaratkan mitra harus kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan
perwakilan. Ketiga, objek kontrak (dana dan kerja): modal yang diberikan harus tunai,
emas, perak atau yang bernilai sama. Para ulama menyepakati hal ini.

Kemudian macam-macam syirkah ada dua macam yakni syirkah milk dan syirkah
‘uqû d. Adapun yang membatalkan syirkah ada yang secara umum dan ada pula yang
secara khusus, seperti yang telah dijelaskan diatas.
B. Saran
Pastikan semua pihak yang terlibat dalam syirkah memiliki pemahaman yang
jelas mengenai tujuan, tanggung jawab, dan pembagian keuntungan atau kerugian.
Kesalahpahaman dapat menyebabkan konflik di masa depan

14
DAFTAR PUSTAKA

Al-baghâ , Musthofâ Dayb. al-Tadzhîb fî adillah Matan al-Ghô yah wa al-taqrîb. Cet.1.
Malang: Ma’had Sunan Ampel al-Ali Uin Maulana Malik Ibrahim, 2013.

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Cet. 1 Jakarta: Gema
Insani, 2001.

Deny Setiawan, Kerja Sama (Syirkah) Dalam Ekonomi Islam. Jurnal Ekonomi,
21(03), 2013.

Ghazaly, Abdul Rahman dan Ihsan, Ghufron dan Shidiq, Sapiudin. Fiqh Muamalat.
Edisi 1. Cet. 1. Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2010.

Muhammad. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Edisi 1. Cet. 1.


Yogyakarta: Bpfe-Yogyakarta, 2005

Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Edisi 1. Cet. 1. Jakarta: Amzah, 2010.

Naja, H.R. Daeng. Akad Bank Syariah. Cet. 1. Yogyakarta: pustaka Yustisia, 2011.

Nawawi, Ismail.Fikih Muamalah Klasik dan kontemporer. Cet. 1. Bogor: Ghalia


Indonesia, 2012.

Syafei’, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Cv Pustaka Setia, 2001.

1
1

Anda mungkin juga menyukai