Anda di halaman 1dari 16

TEORI AKAD

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah
Prodi Hukum Ekonomi Syariah pada Fakultas Syariah
Institut Agama Islam Negeri Bone

Oleh :

KELOMPOK 8

FERDI SAPUTRA
742342022027

MUH YASIR FAUZI MALIK


742342022012

IMAN MAULANA
742342022009

Dosen Mata Kuliah:


MUAMMAR HASRI, M.H

FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

     Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ Teori Akad “ pembuatan makalah dengan tepat waktu. Tidak lupa
shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya. Tidak lupa penulis
sampaikan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Fiqih Muamalah
yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini,
orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas kami, serta pada anggota tim
yang selalu kompak dan konsisten dalam penyelesaian tugas ini.
        Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap
makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi tim
penulis khususnya dan pembaca yang budiman pada umumnya. Tak ada gading
yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati,
saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca
guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu
mendatang.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Watampone, 19 Mei 2023

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 2
A. Pengertian Akad........................................................................................... 2
B. Rukun Akad................................................................................................. 4
C. Sejarah Asal muasal Akad........................................................................... 7
D. Dampak Akad.............................................................................................. 9
E. Sifat-sifat Akad............................................................................................ 10
BAB III PENUTUP......................................................................................... 12
A. Kesimpulan.................................................................................................. 12
B. Saran............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akad merupakan suatu ikatan dan kesepakatan antara dua orang atau lebih
untuk melakukan suatu perjanjian. Tidak semua perjanjian dapat dikatakan
sebagai akad karena akad juga memiliki syarat-syarat tertentu untuk menjadi
dasaran akad yaitu dengan adanya ijab qobul sesuai dengan ketentuan syariat
islam. Ijab qobul itu sendiri merupakan suatu ungkapan atau kesepakatan dua
orang maupun lebih untuk melakukan kontrak. Suatu akad akan terpenuhi jika
rukun terpenuhi dengan adanya akid (orang yang berakad) dan Ma’qud Alaih
(suatu yang diakadkan).
Di Indonesia akad sudah sering dilakaukan oleh masyarakat bahkan
mayoritas masyrakat menggunakan akad dalam hal jual beli. Kata akad sering
terdengar dikalangan masyarakat bahkan sudah sering dilakukan, akan tetapi
masih ada beberapa masyarakat yang belum mengerti dan memahami tentang
syarat-syarat serta rukun dalam melakukan akad sehingga dengan adanya masalah
tersebut maka perlunya makalah ini dibuat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian akad ?
2. Apa saja rukun-rukun akad ?
3. Bagaimana Sejarah asal muasal akad ?
4. Bagaimana dampak dari akad ?
5. Bagaimana sifat akad ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu akad
2. Untuk mengetahui rukun-rukun akad
3. Untuk mengetahui Sejarah asal muasal akad
4. Untuk mengetahui dampak dari akad
5. Untuk mengetahui sifat akad

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad
Dalam bahasa Arab, akad berasal dari kata ‘aqada yang berarti mengikat.
Maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan
mengikatkan salah satunya pada yang lainnya sehingga keduanya tersambung dan
menjadi seutas tali yang satu.1
Kata ‘aqada juga berarti mengeras atau membeku. Digunakan untuk
mengungkapkan suatu benda cair yang mengeras karena didinginkan atau
dipanaskan.2 Kata akad dalam bahasa Arab juga berarti jaminan atau perjanjian.3
Sedangkan akad dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah
perjanjian, perikatan, atau kontrak.4Perjanjian berarti suatu peristiwa yang mana
seseorang berjanji kepada orang lain atau pihak lain (perorangan maupun badan
hukum) atau suatu peristiwa yang mana dua orang atau pihak saling berjanji untuk
melakukan suatu hal.5
Akad menurut terminologi ulama fiqih, akad dapat ditinjau dari dua segi,
yaitu secara umum dan secara khusus.
1. Pengertian umum

Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan
pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah,
malikiyah, dan hanabilah, yaitu

‫ َرا ِء‬B ‫ف َو ْاال ِء ْب‬ ِ ‫ا َ ْل َو ْق‬B ‫د ََربا ِ َراَد ٍة ٌم ْنفَ ِر َد ٍةك‬B ‫ص‬
َ ‫ ِه َس َوا ٌء‬B ِ‫رْ ُء َعلَى فِ ْعل‬BB‫ َز َم ْالَم‬B‫ا َ َع‬B ‫لُّ م‬BB‫ُك‬
‫ ِل‬B‫ا َ ْلبَي ِْع َو ْا ِاليْجا َ ِر َوالتَّوْ ِك ْي‬B ‫اَِئ ِه ك‬B ‫فى ا ْنش‬ ْ ‫ق‬
َ ‫واليَ ِم ْي ِن ا ْم اِحْ تا َ َج‬
ِ ‫الى ا َرا َدتَي ِْن‬ ِ َ‫َوالطّال‬
‫َوال َّر ْه ِن‬
1
Ibnu Manzhur, Lisan al’Arab (Beirut: Dar Shadir, cet. III tahun 1414 H), jilid 3, h. 296
2
Ibrahim Mushtafa, dkk., al-Mu’jam al-Wasith (t.tp: Dar adDa’wah, t.th.) jilid 2, h. 613
3
Muhammad bin Ya’kub al-Fairuzabadi, al-Qamus al-Muhith (Beirut: Muassasah ar-
Risalah, cet. II tahun 2005), h. 300
4
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Edisi II,
h. 15
5
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 14, (Jakarta: Intermasa, 1992), h. 1.
2
3

Artinya: “ segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan


keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang
pembentukannya membutukan keingina dua orang seperti jual beli,
perwakilan, dan gadai.”

2. Pengertian khusus

Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqih, antara
lain:

ُ ‫لى َوجْ ٍه َم ْشر ُْو ٍءيَ ْثب‬


ِ ُ‫ُت اثَ ُره‬
‫فى َم َحلِ ِه‬ Bٍ َ ‫ارْ تِباَطُ ايُجا‬
َ ‫ب بِقَب ُْو ٍل َع‬
Artinya: “ perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qobul berdasarkan
ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.”

Dan

‫تعلق كامل أحد العاقدین بااخلر شرعا على وجه یظهراثره ىف امحلل‬

Artinya: “Keterkaitan ucapan salah satu orang yang membuat aqad


dengan lainnya sesuai syara’ pada suatu objek dan berdampak pada obyek
itu”6

Dengan demikian, ijab-qobul merupakan suatu perbuatan atau


pernyataan untuk menujukan sesuatu keridohan dalam berakad diantara dua
orang atau lebih untuk terhidar dari suatu ikatan yang tidak sesuai
berdasarkan syaro’.

Contohnya ijab dari pernyataan seorang penjual seperti :

“Saya telah menjual barang ini kepadamu” atau ”saya serahkan barang
ini kepadamu.”

Contohnya qobul dari pernyataan seorang pembeli seperti :

“ Saya beli barangmu.” Atau “ Saya terima barangmu.”


6
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, ( Bandung, Pustakan Setia, 2001), h. 44
4

B. Rukun Akad
Adapun dalam muamalat ijab dan qabul termasuk dalam rukun
akad,dengan demikian menurut ulama Hanafiah rukun akad adalah segala sesuatu
yang mengungkapkan kesepakatan dua kehendak atau yang menempati tempat
keduanya baik berupa perbuatan,isyarat, atau tulisan.7
Ada beberapa rukun dalam akad sebagai berikut:
1. Aqid (orang yang melakukan akad) Dalam muamalat aqid
terdiri dari para pihak yang melakukan akad/perjanjian. Pihak-pihak yang
berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang melakukan akad
atau perjanjian dan melaksanakan perbuatan hukum.8
Aqid sendiri terbagi menjadi dua:
a. Ahliyah (kecakapan)
Ahliyah adalah “kemampuan atau kepantasan seseorang untuk
menerima beban syara‟berupa hak-hak dan kewajiban serta kesahan
tindakan hukumnya seperti; berakal dan mumayyiz”9
b. Wilayah (Kekuasaan) Secara khusus, pihak yang melakukan akad (aqid)
disyarat kan harus orangmukallaf (aqil, balligh, berakal, sehat, dan
dewasa atau cakap hukum). Namun mengenai batasan umur maka
diserahkan kepada urf‟ atau peraturan perundangundangan yang tentunya
sudah diatur dan dapat menjamin kemaslahatan para pihak
2. Ma‟qud Alaih (objek akad) Objek akad adalah “sesuatu
yang berbentuk harta benda atau barang yang dijadikan objek yang
dibutuhkan / diperlukan oleh para pihak yang melakukan akad”. Dalam islam
tidak semua barang/usaha dapat dijadikan objek akad, maka para fuqaha
menetapkan beberapa syarat dalam objek akad antara lain:10
a. Objek akad harus halal menurut syara‟ atau masyru‟ (legal) Barang harus
merupakan sesuatu yang menurut hukum Islam sah dijadikanobjek akad,
yaitu harta yang dimiliki serta halal dimanfaatkan.

7
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2017), h. 114.
8
Mardani, Hukum Perikatan Syariah diIndonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 54.
9
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h.48
10
Rachmat Syafe‟I, Fiqh Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h.58
5

b. Objek akad harus ada pada waktu akad Objek akad harus sudah ada secara
konkret ketika akad dilangsungkan atau diperkirakan akan ada pada masa
datang dalam akad-akad tertentu seperti akad salam, istishna, ijarah, dan
mudharabah11
c. Objek akad harus jelas diketahui oleh para pihak yang berakad Objek akad
harus jelas kelihatan sehingga tidak menimbulkan adanyakesamaran dari
objek yang diakadkan dan tidak ada unsur penipuan serta perselisihan
dikemudian hari, baik dari segi sifat, warna, bentuk maupun kualitasnya.
Sehingga objek yang diakadkan tidak mengandung gharar12
d. Objek akad diserahterimakan pada waktu akad Objek akad harus bisa
diserahterimakan pada saat waktu akad atau kemungkinan bisa saja
diserahterimakan dikemudian hari.
e. Objek akad dimiliki penuh oleh pemiliknya Sesuatu yang dijadikan objek
akad harus dimiliki penuh hak milik nya oleh pemilik misalnya, bukan
barang curian atau barang hak milik orang lain.
f. Barang yang dijadikan Objek akad harus suci Barang yang dijadikan Objek
akad harus suci artinya tidak najis dan tidak mutanajis, misalnya anjing,
babi, darah, Dan lain lain.
3. Shighat (ijab dan qabul)
Rukun akad yang ketiga menurut jumhur ulama adalah shighat (ijab
danqabul). Pengertian ijab menurut Muhammad Abu Zahrah adalah Ijab adalah
pernyataan yang timbul pertama dari salah seorang yang melakukan akad.13
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa ijab adalah pernyataan
yang keluar pertama kali dari salah seorang yang melakukan akad, Baik ia
pemilikbarang maupun calon pemilik barang.
Adapun definisi qabul yakni didefinisikan oleh Muhammad Abu
Zahrah sebagai pernyataan kedua yang timbul dari pelaku akad yang kedua.14
11
Oni Sahroni, Fikih Muamalah; Dinamika Teori Akad dan Implementasinya
dalamEkonomi Syariah (Jakarta: Rajawali pers, 2016), h.38.
12
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syari‟ah (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2016), h.19.
13
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah; Studi Tentang Teori Akad dalam
FikihMuamalat (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007), h.93
14
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2017), h.115.
6

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa qabul adalah pernyataan


yang dikeluarkan belakangan sebagai jawaban atas pernyataan pertama, dengan
tidak memandang siapa yang menyatakannya. Dengan demikian didalam
mazhab Hanafi, siapa yang menyatakan lebih dulu pernyataannya itu disebut
ijab, dan siapa yang menyatakan belakangan maka pernyataannya itu disebut
qabul.
Ijab adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna
demikian yang datang dari orang yang memiliki barang. Qabul adalah
ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari
orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang tersebut kepadanya. Jika
transaksi itu jual-beli, maka ucapan si penjual kepada pembeli : "Saya jual
buku ini kepada anda" adalah ijab sekalipun hal itu diucapkan belakangan.
Dalam transaksi jual-beli di sini, qabul adalah ucapan si pembeli kepada si
penjual: "Saya beli buku ini" sekalipun ucapan itu dikeluarkan di depan. Jika
ijab dan qabul ini sudah diikat satu sama lain sementara keduanya diucapkan
oleh orang yang sehat akalnya maka akan terjadi perubahan status hukum ke
atas barang yang diselenggarakan akad atasnya (dalam hal ini adalah buku
yang dijual).
Sedangakan Rukun akad sendiri merupakan sesuatu yang ada didalam
akad yang mempengaruhi sah tidaknya suatu akad. Ulama Hanafiah
berpendapat bahwa rukun akad itu adalah ijab dan qobul. Menurut Jumhur
Ulama selain Hanafiah berpendapat bahwasanya akad memiliki tiga rukun
yaitu :
a. Akid (orang yang berakad) seperti penjual dan pembeli. Akid adalah
pihak-pihak yang malakukan transaksi. Akid didalam fiqih memiliki dua
syarat yang pertama Ahliyyah, orang yang dianggap cakap melakukan
transaksi. Didalam fiqih Ahliyyah itu adalah seorang mukallaf atau
mumayis. Akid kedua yang disyaratkan yaitu harus memiliki wilayah.
Wilayah adalah hak dan kewenangan seseorang yang mendapatka legalitas
sya’i untuk melakukan transaksi atas suatu objek tertentu.
7

b. Ma’qud Alaih (suatu yang diakadkan) baik berupa harga atau yang
dihargakan. Ma’qud alaih memiliki beberapa syarat barang yang
diakadkan yaitu harus ada ketika akad dilakuakan, harus berupa Mal
mutaqawim, harus dimiliki penuh pemiliknya, bisa diserah terimakan dan
berupa barang yang suci (tidak najis). Dimana jika persyaratan itu tidak
dipenuhi maka jual beli tidak sah.
c. Ijab Qobul adalah ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan
dua pihak yang melakukan kontrak atau akad.ijab qobul menurut Ulama
fiqih memiliki beberapa syarat yaitu : adanya kejelasan maksud dari kedua
pihak, adanya kesesuaian antara ijab daan qobul, berurutan, adanya satu
majlis dan tidak ada penolakan. Dimana ijab qobul dinyatakan batal jika :
penjual menarik kembali ucapannya sebelum ada qobul pembeli, adanya
penolakan, berakhirnya majlis akad dan salah satu atau kedua pihak hilang
ahliyahannya, barang yang ditransaksikan rusak sebelum ada kesepakatan.
4. Maudhu’ al-‘aqd
Maudhu‟ al-Aqd adalah tujuan atau maksud mengadakan akad. Berbeda akad
maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya, tujuan
pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan
diberikan ganti. Syaratnya akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.15
Adapun apabila rukun dan syaratnya kurang maka akad dianggap tidak sah.
C. Sejarah Asal Muasal Akad
Perkembangan manusia dari zaman ke zaman pastilah mengalami
peningkatan dalam hal jumlahnya, selain itu kebutuhan yang ada juga mengalami
peningkatan, yang pasti sejalan dengan perkembangan jumlah manusia
tersebut. maka dari itu tidak heran jika terjadi interaksi antar individu dengan
yang lain, atau kelompok satu dengan yang lain guna memenuhi
kebutuhannya.Adanya interaksi tersebut kemudian menimbulkan suatu
kesepakatan yang bermula dari ketiadaan menjadi suatu yang ada. Artinya jika

15
Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Bandung: Fokus Media, 2010),
h. 21
8

tidak ada interaksi antara individu satu dengan yang lain maka tidak ada suatu
kesepakatan atau suatu kehendak yang harus dilakukan atau dijalani dan begitu
pula sebaliknya. Terjadinya interaksi tersebut bisa menggambarkan dalam dua
hal, yaitu:pertama interaksi yang tidak menyebabkan tanggungan, kedua interaksi
yang dengannya menjadikan salah satu pihak mendapatkan tanggungan atas pihak
yang lain, atau bahasa singkatnya antar individu tersebut secara langsung
mendapatkan beban hak dan kewajiban.
Contoh dalam interaksi yang pertama, yaitu interaksi yang tidak
menyebabkan tanggungan antar kedua belah pihak adalah ketika ada
seseorang bertemu dengan orang lain dan mereka mengadakan kontak atau
berkomunikasi namun dalam interaksi merekahanya saling tukar informasi
tanpa adanya pembebanan pada salah satu pihak, maka hal tersebut bisa
dikatakan interaksi tanpa tanggungan.Kemudian contoh untuk interaksi yang
kedua, yaitu interaksi yang menyebabkan tanggungan. Jika ada seorang
individu mengadakan kontak dengan individu lain yang mana bertujuan untuk
mendapatkan manfaat, benda, atau jasa dari individu lain. Hal ini seperti
terjadinya jual beli, sewa menyewa atau memanfaatkan jasa orang lain. Hal
seperti ini biasa dinamakan dengan transaksi.Hal tersebut kemudian menyebabkan
terjadinya suatu akad atau perjanjian antara individu satu dengan yang lain
agar keduanya sama-sama memiliki keuntungan yang setimpal atas apa yang
mereka lakukan.
Dalam setiap transaksi syariah, akad perjanjian dibuat oleh para pihak untuk
dilaksanakan/dipenuhi bersama bukan untuk dilanggar atau diabaikan, karena akad
perjanjian itu mempunyai sifat yang mengikat bagi para pihak yang membuat
perjanjian, sehingga akad adalah merupakan piranti yang substansial dan memiliki
posisi yang urgen dalam setiap transaksi syariah. Akad harus ditunaikan dan dijaga
sebagai sebuah komitmen bersama dan akad merupakan rujukan dasar bila terjadi
perselisihan di antara para pihak serta untuk mendapatkan solusi dan jalan keluar
dari perselisihan.16

16
Johar Arifin, Substansi Akad Dalam Transaksi Syariah, h. 167
9

Oleh karena itu, akad menempati kedudukan sentral dalam lalu lintas ekonomi
antara manusia (muamalah). Akad menjadi kunci lahirnya hak dan kewajiban
(prestasi) yang lahir sebagai akibat hubungan kontraktual.17
Proses pembentukan akad terjadi melalui tiga tahap:
Pertama, dalam taraf al ‘ahdu yaitu pernyataan seseorang untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu. Janji ini mengikat pada yang bersangkutan dan
agama mengharuskan untuk menunaikannya.
Kedua, persetujuan yang berupa pernyataan setuju dari pihak kedua untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu sebagai respons terhadap janji yang
dilakukan pihak pertama.
Ketiga, apabila kesepakatan itu direalisasikan oleh kedua belah pihak maka
terjadilah apa yang dinamakan akad.18 Kesepakatan tersebut kemudian dituangkan
dalam bentuk tertulis, yang dikenal juga dengan istilah perjanjian atau kontrak.19
D. Dampak Akad
Setiap akad memiliki dua dampak, yaitu umum dan khusus.
1. Dampak Khusus
Dampak khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaan
suatu akad atau maksud utama dilaksanakannya suatu akad, seperti
pemindahan kepemilikan dalam jual-beli, hibah, wakaf, upah, dan lain-lain.
2. Dampak Umum
Segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagaian besar akad, baik dari segi
hukum maupun hasil.

17
Imron Rosyadi, Jaminan Kebendaan Berdasarkan Akad Syariah: Aspek Perikatan,
Prosedur Pembebanan dan Eksekusi, (Depok: Kencana, 2017), h. 3
18
Abdoerraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1970), h. 23
19
Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan
Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 1999), h. 127
10

E. Sifat-Sifat Akad.

Segala bentuk tasharuf ( aktivitas hukum ) termasuk akad yang memiliki dua
keadaan umum diantaranya yaitu :

1. Akad tanpa syarat( akat munjiz) yaitu suatu akad yang di ucapkan seseorang,
tanpa memberi batasan dengan suatu khaidah dan tanpa menetapkan suatu
syarat. Akat seperti ini di hargai syara’ sehingga menimbulkan damapak
hukum .
Contoh : seseorang yang berkata, “ saya membeli rumah kepadamu.” Lalu di
kabulkan oleh seorang lagi, maka berwujudlah akad dan berakhibat pada
hukum saat waktu itu juga, yakni pembeli memiliki rumah dan penjual
memiliki uang.
2. Akad bersyarat ( akad ghair munjiz ) yaitu akad yang diucapkan oleh sesorang
dan dikaitkan dengan sesuatu, yakni apabila syarat itu tidak ada akad pun tidak
jadi, baik dikaitkan dengan wujud sesuatu atau ditangguhkan pelaksanaannya
Contoh : seorang berkata, “ saya jual mobil ini dengan harga Rp 40.000.000,-
jika disetujui oleh atasa saya. “ atau berkata, “ saya jual mobil ini dengan syarat
saya boleh memakainya selama satu bulan, sesuda itu saya serahkan kepadamu.
Akad ghair munjiz terbagi menjadi tiga macam :
a. Ta’liq syarat
b. Taqyid syarat
c. Syarat idhafah
d. Ta’liq syarat
3. Syarat idhofah maknanya menyandarkan kepada suatu masa yang akan datang
atau idhofa mustaqbal

َ ‫ف ْالقَوْ لِ ِّي ِإ‬


‫لى َزما َ ٍن ُم ْستَ ْقبَ ٍل ُم َعي ٍَّن‬ َ َّ‫تَْأ ِخ ْي ُر ُح ْك ِم الت‬.
ِ ُّ‫صر‬

Artinya : “ melambatkan hukum tasharruf qauli ke masa yang akan


datang.”
11

Seperti dikatakan, “saya menjadikan anda sebagai wakil saya mulai awal
tahun depan.”

Contohnya syarat yang di-idhafa-kan ke masa yang akan datang.

Zaman mustaqabal ini adakalahnya malhudh dapat dirasakan


sendiri atau terpahami sendiri dari akal, separti pada wasiat. Wasiat
memberi pengertian bahwa wasiat itu berlaku sesudah yang berwasiat
wafat.

Adapun tabarru’ (derma) muanjiz yang berlangsung berlaku ialah


seperti hibah dan sedekah.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Islam telah mengatur begitu detail bagaimana terjadinya suatu akad antara
kedua belah pihak dengan rukun dan syarat tertentu untuk menghindari adanya
ketidaksempurnaan atau kecacatan dalam akad. Dalam bermuamalah memang
tiada aturan untuk membatasi segala macam transaksi secara umum, karena
berlandas kepada kaidah al-aslu fi al-muamalah ibaḥaḥ karena keluasan hal
tersebut Islam hadir dengan menegaskan bagaimana akad itu bisa terbentuk dan
tidak hanya itu saja, setelah terbentuk suatu akad harus bisa memenuhi
syaratsyarat agar suatu akad itu bisa dijalankan sesuai dengan koridor Islam.
Jika Islam klasik merumuskan rukun terbentuknya akad hanya ada tiga,
yaitu para pihak, objek akad, dan ṣigah (ijab dan kabul), maka ulama kontemporer
menambahkan satu hal lagi dalam rukun tersebut, yaitu tujuan akad yang tak lain
dan tak bukan pemindahan barang atas hak milik ke orang lain dengan imbalan
dalam jual beli, jika dalam sewa menyewa dengan pemindahan milik atas jasa dan
lain sebagainya. Maka dari itu terbentuknya suatu akad harus memenuhi keempat
rukun tersebut kemudian ditambah syarat-syarat seperti syurūṭ al-in‟iqād, syurūṭ
al- 116 ṣiḥah, syurūṭ al-nafadz, dan syurūṭ al-luzūm, dengan terpenuhi semua
syarat tersebut suatu akad bisa terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan antar
kedua belah pihak dan menjadikan akad tersebut bisa berlaku dan sah di mata
hukum Islam.
Sehingga suatu muamalat yang bersifat umum bisa kita sikapi dengan cara
yang baik menurut syarak dan bisa menghindari dari akad-akad yang tidak
dilarang karena terdapat cacat baik dalam rukun maupun syaratnya.
B. Saran
Demikian makalah yang kami buat. Semoga dapat bermanfaat bagi
pemakalah khususnya dan bagi pembaca umumnya. Dan pastinya makalah ini
terdapat kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdoerraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study, (Jakarta: Bulan


Bintang, 1970)

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2017)

Djuwaini, Dimyauddin 2010 Pengantar Fiqh Muamalah, Yogayakarta : Pustaka


Kencana

Harisudin Noor, Fiqih Muamalah 1 (Surabaya: Pena Salsabila, 2014 )

Ibnu Manzhur, Lisan al’Arab (Beirut: Dar Shadir, cet. III tahun 1414 H)

Ibrahim Mushtafa, dkk., al-Mu’jam al-Wasith (t.tp: Dar adDa’wah, t.th.)

IKAPI Anggota, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Bandung: Fokus Media,


2010).

Imron Rosyadi, Jaminan Kebendaan Berdasarkan Akad Syariah: Aspek Perikatan,


Prosedur Pembebanan dan Eksekusi, (Depok: Kencana, 2017)

Muhammad bin Ya’kub al-Fairuzabadi, al-Qamus al-Muhith (Beirut: Muassasah


ar-Risalah, cet. II tahun 2005)

Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan
Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, (Bandung: PT
Alumni, 1999)

Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 14, (Jakarta: Intermasa, 1992)

Syafe’i Rachmat, Fiqih Muamalah ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2001 )

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah; Studi Tentang Teori Akad dalam
FikihMuamalat (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007)

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995)

13

Anda mungkin juga menyukai