Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

” Akad ”
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqh Muamalah Iqtishadiyah
Dosen : Mahfiyah, S.Pd,M.E

Disusun Oleh :
1. Anggun Puspita Sari (2203806131002)
2. M. Rifki (2203806131003)

PROGRAM STUDY MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM JEMBER
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan kami
kekuatan serta kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata kuliah Fiqh Muamalah
Iqtishadiyah yang berjudul “ Akad ” dapat selesai seperti waktu yang telah kami rencanakan.
Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan
bantuan secara materi dan moral, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
Ibu Mahfiyah, S.Pd,M.E dosen PengampudiUniversitas Islam Jember
1. Rekan satu kelompok yang ikut menyusun
2. Teman-teman yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat agar makalah
ini dapat di selesaikan.
Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah, dan kami juga sangat
mengharapkan kritik serta saran dari paca pembacauntuk bahan pertimbangan perbaikan
makalah.
.
Jember, 05 september 2023

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................
Daftar Isi...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang....................................................................................
B. Perumusan masalah............................................................................
C. Tujuan masalah........................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad .................................................................................
B. Tujuan Akad........................................................................................
C. Jenis-jenis Akad..................................................................................
D. Bentuk Akad Finansial........................................................................
E. Bagaimana Syarat sahnya...........................................................
F. Asas Berakad dalam islam............................................................
G. Berakhirnya Akad........................................................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.........................................................................................
B. Saran...................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Akad atau perjanjian dalam kehidupan masyarkat menduduki posisi yang sangat penting.
Akad merupakan salah satu dasar dari sekian banyak aktivitas keseharian manusia. Melalui
akad berbagai kegiatan bisnis dan usaha manusia dapat dijalankan. Akad memfasilitasi
setiap orang dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Karena akad itulah yang
membatasi hubungan antara kedua belah pihak yang terlibat dalam usaha tersebut dan akan
mengikat hubungan itu dimasa sekarang maupun masa yang akan datang. Warisan ilmu
fikih memuat berbagai rincian dan penetapan dasar perjanjian usaha tersebut sehingga dapat
merealisasikan tujuannya, memenuhi kebutuhan umat pada saat yang sama, serta melahirkan
beberapa kaidah dan pandangan bagi umat islam untuk digunakan memenuhi kebutuhan
modern saat ini. Semakin jelas rincian dan kecermatan dalam membuat akad, maka semakin
kecil pula adanya konflik dan pertentangan antara kedua belah pihak di masa yang akan
datang. Akad menurut Ahmad Azhar Basyir adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul
dengan cara yang dibenarkan oleh syara’ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum
pada obyeknya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Akad?
2. Bagaimana syarat Sahnya Akad ?
3. Apa saja jenis-jenis akad ?
4. Apa saja bentuk Akad Finansial ?
5. Asas Berakad dalam Islam ?

iii
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui Tujuan Akad.
2. Untuk mengetahui asas berakad dalam islam.
3. Untuk mengetahui Bagaimana Berakhirnya Akad.
4. Untuk mengetahui bentuk Akad Finansial.
5. Untuk mengetahui jenis-jenis akad.

iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. Akad Dalam Hukum Islam


1. Pengertian dan Dasar Hukum Akad Dalam Islam
Pengertian akad berasal dari bahasa Arab, al-‘aqd yang berarti
perikatan,perjanjian, persetujuan dan pemufakatan. Dalam melakukan suatu kegiatan
mua’malah, Islam mengatur ketentuan- ketentuan perikatan (akad). Dalam islam dikenal
dengan isthilah aqad, ketentuan akad berlaku dalam kegiatan perbankan Islam. Berikut
akan dijelaskan pengertian akad secara bahasa (etimologi) dan isthilah (terminologi)
yaitu menurut bahasa (etimologi) akad mempunyai beberapa arti antara lain:
a. Mengikat (‫ )اﻟﺮﺑﻂ‬yaitu: Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya
dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai
sepotong benda.
b. Sambungan (‫ ) ﻋﻘﺪة‬yaitu: Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan
mengikatnya.
Dari segi fiqh, akad diartikan sebagai “(pernyataan penerimaan obligasi) daa kabul
(pernyataan penerimaan obligasi) sesuai dengan kehendak syariat yang mempengaruhi
obyek perikatan. Pencantuman kata “sesuai dengan kehendak syariat” berarti segala
perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dianggap tidak sah apabila tidak
sejalan dengan kehendak syariat. Misalnya saja perjanjian melakukan transaksi riba,
menipu orang lain, atau merampok harta orang lain. Pencantuman kata “mempengaruhi
objek perikatan” berarti terjadi peralihan kepemilikan dari satu pihak (yang melakukan
ijab kabul) kepada pihak lain (yang menyatakan qabul). Hasbi Ash-Shiddieqy mengutip
definisi yang dikemukakan oleh Al-Sanhury, akad adalah “perjanjian ijab qabul yang
dibenarkan syara’ yang menentukan kemauan kedua belah pihak”. Ada pula yang
mengartikan akad sebagai “ikatan, penguatan dan pengukuhan salah satu pihak atau kedua
belah pihak”.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa akad adalah
“suatu pertalian persetujuan (pernyataan penawaran pada salah satu pihak yang

1
mengadakan suatu akad) dengan qabul (pernyataan penerimaan oleh pihak yang lain) yang
memberi akibat pada suatu akad.

B. Tujuan Akad
Tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum atau maksud bersama yang
dituju dan yang hendak diwujudkan oleh pihak melalui pembuatan akad. Tujuan akad untuk
akad bernama sudah ditentukan secara umum oleh Pembuat Hukum, sementara tujuan akad
untuk akad tidak bernama ditentukan oleh pihak sendiri sesuai dengan maksud mereka
menutup akad.. Menurut para ulama fiqih, tujuan suatu akad haruslah sesuai dengan
kehendak syara’, sehingga apabila tujuannya bertentangan dengan syara’ maka berakibat
batalnya perjanjian yang dibuat. Tujuan tersebut harus ada pada saat diadakannya akad,
dapat berlangsung sampai berakhirnya akad, dan harus dapat dipertanggung jawabkan
syariah.

Lebih tegas lagi tujuan akad adalah maksud bersama yang dituju dan yang hendak
diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan akad. Bila maksud para pihak dalam akad
jual beli adalah untuk melakukan pemindahan milik atas suatu benda dari penjual kepada
pembeli dengan imbalan yang diberikan oleh pembeli, maka terjadinya perpindahan milik
tersebut merupakan akibat hukum akad jual beli. Akibat hukum akad dalam hukum islam
dibedakan menjadi dua macam yaitu akibat hukum pokok akada dan akibat hukum
tambahan akad. Bila tujuan dalam akad jual beli, misalnya adalah melakukan pemindahan
milik atas suatu barang dari penjual kepada pembeli dengan imbalan dari pembeli, maka
akibat hukum pokok akad jual beli adalah terjadinya perpindahan milik atas barang yang
dimaksud. Islam memandang suatu perbuatan harus senantiasa diniatkan karena Allah
semata. Niat yang baik karena Allah kemudian harus diwujudkan dalam bentuk amal
perbuatan yang sesuai dengan ketentuan syariah yang telah ditetapkan oleh Allah. Untuk
mencapai tujuan, suatu niat atau kemauan perlu ditindaklanjuti dalam bentuk perbuatan.
Tujuan melakukan perbuatan menyusun akad adalah maksud utama yang disyariat- kan
akad itu sendiri. Dikatakan demikian, karena tujuan yang akan dicapai dalam penyusunan
akad ditentukan oleh jenis akad yang akan digunakan. Maksud menempatkan tujuan

2
penyusunan akad secara lahir dan batin pada waktu permulaan akad, diharapkan akan lebih
menuntut kesungguhan dari masing- masing pihak yang terlibat sehingga apa yang menjadi
tujuan akad itu sendiri dapat tercapai.

C. Jenis Akad
Akad digolongkan kedalam berbagai jenis akad jika dilihat dari berbagai segi, baik dari segi
terpenuhinya rukun dan syarat akad, segi penamaan, dan dari segi tujuan akad.

1) Jenis akad menurut terpenuhinya unsur dan syarat


Jika dilihat dari terpenuhinya rukun dan syarat dari akad, maka akad terbagi atas dua,
yaitu:
1. Akad Sahih
Akad sahih adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syarat akad. Hukum
dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu
dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Oleh ulama Hanafiyah, akad sahih
digolongkan kedalam dua macam yaitu Akad Nafiz, yang memenuhi rukun dan
syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya dan Akad Mawquf, yaitu
akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak secara hukum, tetapi ia tidak
memiliki kekuasaan untuk melaksanakan akad tersebut.
2. Akad yang tidak sah
Akad yang tidak sah apabila terdapat kekurangan pada rukun atau syarat- syarat akad,
sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak
yang berakad. Ulama Hanafiyah membagi akad yang tidak sah kedalam dua macam:
a) Akad batil, yaitu akad yang tidak memenuhi sebagian rukun, maupun syarat akad
ataupun ada larangan langsung dari hukum Islam atas akad tersebut.
b) Akad fasad, yaitu akad yang pada dasarnya sesuai syariat, tetapi sifat yang
diakadkan itu tidak jelas. Contohnya, menjual televise yang tidak ditunjukkan
jenis, bentuk ataupun merek-nya, sehingga dapat menimbulkan perselisihan. Akad
ini dapat menjadi sah apabila hal yang diperjelas mengenai hal-hal yang
diperselisihkan.

3
2) Jenis akad menurut penamaan
Dilihat dari segi penamaannya, para ulama fiqih membagi akad kedalam dua macam,
yaitu :
1. al-uqud al-musammah, yaitu akad yang terdapat penamannya dalam Al- Qur’an dan
hadis serta telah dijelaskan hukumnya, seperti jual beli, sewa- menyewa, perikatan,
hibah, wakalah, hiwalah, wasiat, dan perkawinan
2. al-uqud ghair al-musammah, yaitu akad yang penamaannya berdasar oleh masyarakat,
yang muncul sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan disepanjang zaman,
dibidang muamalah, seperti murabahah, al-istishna, dan lain-lain.

3) Jenis akad menurut tujuannya


Akad dalam fiqih muamalah dibagi ke dalam dua bagian menurut tujuannya, yaitu:
1. Akad Tabarru’ : Akad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut

4
transaksi yang tidak mengejar keuntungan (non profit transaction). Akad
tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan,
sehingga pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan
apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah, bukan dari
manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta
kepada rekan transaksi-nya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk
dapat melakukan akad, tanpa mengambil laba dari tabarru’ tersebut. Contoh dari akad
tabarru’ adalah qard, wadi’ah, wakalah, rahn, hibah, dan sebagainya.
2. Akad Tijarah: Akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut
transaksi yang mengejar keuntungan (profit orientation). Akad ini dilakukan dengan
tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersiil. Hal ini didasarkan atas
kaidah bisnis bahwa bisnis adalah suatu aktivitas untuk memperoleh keuntungan.
Contoh dari akad tijarah adalah akad-akad bagi hasil berupa mudharabah, musyarakah,
dan sebagainya, akad-akad jual beli berupa murabahah, salam, dan sebagainya, dan
akad- akad sewa menyewa berupa ijarah, ijarah muntahia bi at tamlik, dan sebagainya.

D. Bentuk Akad Finansial


1. Jual Beli (Al-Bai)
Jual beli adalah hadapan si pembeli maupun tidak, dan barang tersebut telah diketahui
sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih. Menurut pandangan fuqaha Malikiyah, jual beli
dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual beli
yang bersifat khusus. Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar menukar
sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Artinya sesuatu yang bukan manfaat
ialah benda yang ditukarkan adalah berupa dzat (berbentuk) dan ia berfungsi sebagai objek
penjualan. Sedangkan jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang
mempunyai kriteria antara lain bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan, yang
mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bendanya dapat
direalisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan hutang baik barang
tersebut ada di akan diberikan dengan begitu saja, namun harus ada kompensasi sebagai
timbal baliknya. Oleh karena itu, dengan disyariatkannya jual beli tersebut merupakan
salah satu cara untuk merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada

5
dasarnya manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dan bantuan orang lain
. Dengan demikian, pada intinya jual beli itu adalah tukar menukar antara benda dan benda,
atau pertukaran antara benda dengan uang.
2. Pinjam Menganti (Al-Qard)
Pinjam Mengganti (al-Qardh) Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain
yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa
mengharapkan imbalan. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa al-Qardh merupakan
memberikan (menghutangkan) harta kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan, untuk
dikembalikan dengan pengganti yang sama dan dapat ditagih atau diminta kembali kapan
saja penghutang menghendaki. Akad al-Qardh ini diperbolehkan dengan tujuan
meringankan (menolong) beban orang lain.
3. Sewa-Menyewa (al-Ijarah)
Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan
manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa, dan lain-lain . Dalam hal ini,
al-Ijarah dapat diartikan sebagai akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu
sendiri. Menurut jumhur ulama, hukum asal al-Ijarah adalah mubah (boleh) bila
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara’. Dalam hal ini termasuk
di dalamnya jasa penyewaan. Oleh sebab itu, tujuan disyariatkannya al-Ijarah adalah untuk
memberikan keringanan kepada umat dalam kehidupan. Seseorang mempunyai uang tetapi
tidak dapat bekerja, namun dipihak lain ada yang punya tenaga dan membutuhkan uang.
Dengan adanya al-Ijarah, keduanya saling mendapat keuntungan dan memperoleh manfaat.
Implementasi dari al-Ijarah ini, lembaga keuangan syariah dapat melakukan leasing. Akan
tetapi pada umumnya, lembaga keuangan syariah tersebut lebih banyak menggunakan al-
Ijarah al Muntahia bit-Tamlik (IMB). karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain
itu, lembaga keuangan syariah pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset,
baik pada saat leasing maupun sesudahnya.

4. Persekutuan (al-Syirkah)
Al-Syirkah merupakan suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang
yang berserikat di dalam modal dan keuntungan (Syafei, 2000, p. 183). Dalam hal ini, al-

6
Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di
mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan
kesepakatan bahwa keuangan dan resiko ditanggung bersama. Transaksi al-Syirkah
dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset
yang mereka miliki secara bersama-sama. Dalam implementasinya di lembaga keuangan
syariah, al-Syirkah dapat diaplikasikan pada pembiayaan suatu proyek, di mana lembaga
keuangan syariah bekerja sama dengan sebuah perusahaan untuk sebuah proyek. Dalam hal
ini, kedua belah pihak masing-masing mengeluarkan dana guna membiayai proyek yang
akan berlangsung. Setelah proyek itu selesai, perusahaan mengembalikan dana tersebut
bersama bagi hasil yang telah disepakati.
5. Penitipan (Al-Wadi’ah)
Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan merupakan titipan murni
dari satu pihak ke pihak lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan
dikembalikain kapan saja bila si penitip menghendaki. Sementara itu, menurut
UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan
akad wadiah adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang
atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan,
keamanan, serta keutuhan barang atau uang.
Dalam al-wadi’ah, para ulama fikih sepakat menggunakan akad dalam rangka tolong-
menolong sesama manusia, disyariatkan dan dianjurkan dalam Islam.

6. Al-Mudharabah
Al-Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak
pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul mal) yang menyediakan seluruh modal
(100%), sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola usaha (mudharib). Keuntungan usaha
yang didapatkan dari akad mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak dan biasanya dalam bentuk nisbah (persentase). Jika usaha yang dijalankan
mengalami kerugian, maka kerugian itu di tanggung oleh shahibul mal sepanjang kerugian
itu bukan akibat kelalaian mudharib. Sedangkan mudharib menanggung kerugian atas
upaya, jerih payah dan waktu yang telah dilakukan untuk menjalankan usaha.
7. Pemberian Kuasa (al-Wakalah)

7
Al-Wakalah berarti mewakilkan atau menyerahkan sesuatu pekerjaan atau urusan
kepada orang lain agar bertindak atas nama orang yang mewakilkan dalam masalah dan
waktu yang ditentukan. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa al-Wakalah adalah
penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat dari satu pihak kepada pihak lain.
Mandat ini harus dilakukan sesuai dengan yang telah disepakati oleh si pemberi mandat.
8. Penanggungan (al-Kafalah)
Al-Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian
lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan
berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Oleh karena itu, kafalah
merupakan akad yang mengandung kesanggupan seseorang untuk mengganti atau
menanggung kewajiban hutang orang lain apabila orang tersebut tidak dapat memenuhi
kewajibannnya.
9. Pemindahan Utang (al-Hiwalah)
Al-Hiwalah adalah memindahkan hutang dari tanggungan orang yang memindahkan
(almuhil) kepada tanggungan orang yang dipindahi hutang (muhal ‘alaih). Dengan kata
lain, pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya. Misalnya, A memberi pinjaman kepada B, sedangkan B masih
mempunyai piutang kepada C. Begitu B tidak mampu membayar utangnya pada A, ia lalu
mengalihkan beban utang tersebut pada C. Dengan demikian, C yang harus bayar utang B
kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada B dianggap selesai. Menurut jumhur
ulama, al-Hiwalah diperbolehkan.

10. Ar-Rahn
Ar-Rahn merupakan menahan sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara
hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus Antonio (2015,
p. 128) mengemukakan bahwa ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki
nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat

8
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan
bahwa ar-Rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.

E. Syarat Sah Akad


Syarat sahnya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syari’at untuk menjamin
dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi maka rusaklah akadnya. Menurut pendapat
yang dikemukakan oleh Ibnu Abidin33 mengemukakan adanya kekhususan syarat akad
setiap terjadinya akad. Ulama’ Hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seorang dari enam
kecacatan dalam jual-beli, yaitu :
1) kebodohan, kepaksaan,
2) pembatasan waktu,
3) perkiraan,
4) ada unsure kemadharatan,
5) dan syarat-syarat jual beli yang rusah (fasid).

F. Asas Berakad dalam islam


Istilah asas berasal dari bahasa arab yang berarti dasar atau landasan, sedangkan
secara terminologi, yang dimaksud dengan asas adalah nilai-nilai dasar yang menjadi
bahan pertimbangan untuk melakukan perbuatan. Karena nilai-nilai dasar itu sangat
berpengaruh terhadap perbuatan atau perilaku manusia secara lahiriah (akhlak), maka
nilai-nilai dasar tersebut harus mengandung unsur-unsur kebenaran hakiki.

Rumusan asas-asas dalam hukum akad syariah bersumber dari Al-Quran dan As-
Sunnah. Upaya ini dimaksudkan agar asas-asas yang dijadikan sebagai dasar hukum
penyusunan akad mengandung kebenaran yang bersumber dari Allah. Apabila digali dari
sumber syariat, keberadaan asas-asas yang terkait dengan hukum akad sangatlah
beragam, di antaranya:

1. Asas Ibadah
Dengan demikian, adanya keyakinan terhadap unsur ketuhanan dalam aspek ibadah
merupakan hal yang prinsip dalam Islam. Di samping akidah, suatu perbuatan akan
bernilai ibadah apabila sesuai dengan hukum syara’ yang telah ditetapkan. Keberadaan

9
asas inilah yang menjadi perbedaan mendasar antara hukum akad syariah dengan
hukum akad lainnya.

2. Asas Hurriyyah at-Ta’aqud (Asas Kebebasan Berakad)


Asas ini merupakan wujud dari asas kebebasan berakad. Masing-masing pihak yang
akan mencapai tujuan akad mempunyai kebebasan untuk mengadakan penyusunan akad
(freedom of making contract). Pengertian asas kebebasan berakad dalam Islam berbeda
dengan apa yang dimaksud kebebasan berakad dalam hukum konvensional. Perbedaannya
bahwa kebebasan berakad dalam Islam adalah kebebasan yang bersifat terikat dengan
hukum syara’. Maka dari itu, kebebasan berakad itu akan dibenarkan selama syarat-
syarat

3. Asas al-Musawah (Asas Persamaan). Muamalah merupakan ketentuan hukum yang


mengatur hubungan sesama manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di dalam
Al-Quran dijelaskan bahwa Allah telah melebihkan sebagian kamu dari sebagian
yang lain dalam hal rezeki. Namun, hikmah yang dapat diambil dari adanya
perbedaan tersebut adalah agar di antara mereka saling kerja sama. Dengan adanya
perilaku saling membutuhkan, maka setiap manusia memiliki kesamaan hak untuk
mengadakan perikatan. Dikatakan demikian karena pada prinsipnya manusia adalah
sama.

4. Asas at-Tawwazun (Asas Kesetimbangan). Hukum Islam tetap menekankan perlunya


berpegang pada asas kesetimbangan, meskipun secara faktual masing-masing pihak yang
akan mengadakan akad memiliki berbagai latar belakang yang berbeda. Karena asas
kesetimbangan dalam akad terkait dengan pembagian hak dan kewajiban. Misalnya, ada
hak mendapatkan keuntungan dalam investasi, berarti harus disertai kewajiban
menanggung risiko.
5. Asas Mashlahah (Asas Kemaslahatan). Tujuan mengadakan akad pada hakikatnya
adalah untuk mencapai kemaslahatan bagi masing-masing pihak. Pengertian maslahat
dalam Islam meliputi dimensi kehidupan dunia dan akhirat. Kemaslahatan dicapai dan
mencegah timbulnya kemudaratan, dalam fikih dijumpai adanya hak khiar. Maksud hak
khiar adalah hak yang memberikan opsi kepada para pihak untuk meneruskan atau
membatalkan akad karena adanya sebab yang merusak keridhaan.

10
6. Asas al-Amânah (Asas Kepercayaan). Asas amanah merupakan bentuk kepercayaan
yang timbul karena adanya iktikad baik dari masing-masing pihak untuk mengadakan
akad. Dalam hukum akad syariah, terdapat bentuk akad yang bersifat amanah. Maksud
amanah di sini dapat diartikan sebagai kepercayaan kepada pihak lain untuk menjalin
kerja sama. Asas kepercayaan dapat berlaku baik dalam akad yang bersifat tijarah
maupun tabarru.
7. Asas al-‘Adalah (Asas Keadilan). Para pihak yang melakukan penyusunan akad, wajib
berpegang teguh pada asas keadilan. Pengertian asas keadilan adalah suatu asas yang
menempatkan segala hak dan kewajiban berdasarkan pada prinsip kebenaran hukum
syara’. Karena dengan berbuat adil, seseorang tidak akan berlaku zalim terhadap yang
lain.
8. Asas al-Ridla (Asas Keridhaan). Segala transaksi yang dilakukan harus berdasarkan
keridhaan di antara masing-masing pihak. Apabila dalam transaksi tidak terpenuhi asas
ini, maka sama artinya dengan memakan harta secara batil.
9. Asas al-Kitâbah (Asas Tertulis). Akad merupakan perjanjian atau perikatan yang dibuat
secara tertulis. Namun, perlu dipahami bahwa dalam Islam asas tertulis tidak hanya
berlaku dalam hukum akad, melainkan juga berlaku pada semua akad muamalah yang
dilakukan tidak secara tunai (utang).
10. Asas ash-Shiddiq (Asas Kejujuran). Apabila dalam penyusunan akad kejujuran tidak
diamalkan, maka akan merusak keridhaan (‘uyub al-ridha). Selain itu, ketidakjujuran
dalam penyusunan akad akan berakibat perselisihan di antara para pihak
11. Asas Iktikad Baik. Mengadakan akad harus dilaksanakan berdasarkan iktikad baik. Asas
iktikad baik muncul dari pribadi seseorang sebagaimana apa yang telah diniatkannya.
Dalam pandangan Islam, niat merupakan prinsip mendasar terkait dengan unsur
kepercayaan (akidah) sebelum melakukan suatu amal perbuatan

G. Berakhirnya Akad
Pada dasarnya, suatu akad berakhir bila telah tercapai tujuan dari akad tersebut.
Namun, selain itu ada sebab lain yang dapat membuat suatu akad berakhir,
meskipun tujuannya belum tercapai.Akad berakhir di sebabkan oleh beberapa hal, di
antaranya sebagai berikut :

11
1. Berakhirnya masa berlaku akad tersebut,apabila akad tersebut tidak mempunyai
tenggang waktu.
2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad tersbeut sifatnya tidak
mengikat.
3. Dalam akad sifatnya mengikat,suatu akad dapat dianggap berakhir jika :
a. Jual beli yang di lakukan fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun
atau syaratnya tidak terpenuhi,
b. Berlakunya khiyar syarat,aib, atau rukyat,
c. Akad tersebut tidak di lakukan oleh salah satu pihak secara sempurna,
d. Salah satu pihak yang melakukan akad meninggal dunia.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Akad Dalam Islam Pengertian akad berasal dari bahasa Arab, al-‘aqd yang berarti
perikatan,perjanjian, persetujuan dan pemufakatan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa akad adalah “suatu pertalian persetujuan (pernyataan penawaran
pada salah satu pihak yang mengadakan suatu akad) dengan qabul (pernyataan penerimaan
oleh pihak yang lain) yang memberi akibat pada suatu akad.
Tujuan Akad Tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum atau maksud
bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh pihak melalui pembuatan akad.
Lebih tegas lagi tujuan akad adalah maksud bersama yang dituju dan yang hendak
diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan akad. Bila maksud para pihak dalam akad
jual beli adalah untuk melakukan pemindahan milik atas suatu benda dari penjual kepada
pembeli dengan imbalan yang diberikan oleh pembeli, maka terjadinya perpindahan milik
tersebut merupakan akibat hukum akad jual beli.

13
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Muhammad Maksum, S. M. Muamalah, Dasar-Dasar Fiqih.


Hariman Surya Siregar, M. K. Fiqih Muamalah Teori dan Implementasi.
Muhammad Abdul Wahab, L. Teori Akad dalam Fiqih Muamalah.
Zaidal Abidin, M. KONTEMPORER, AKAD DALAM TRANSAKSI MUAMALAH. Zaidal
Abidin,M.E.I.

14

Anda mungkin juga menyukai