Anda di halaman 1dari 12

AKAD-AKAD KEPERCAYAAN DALAM MU’AMALAT

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: “...................”

Dosen Pengampu:

....................................................................

Disusun oleh:

1. ()

2. ()

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

INSTUTUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, kami panjatkan

puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan

inayahnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul.

” Akad Akad Kepercayaan Dalam Mu’amalat” Tak lupa pula, kami sampaikan terima kasih

kepada Bapak Dosen ................................selaku dosen mata kuliah “.................”, serta teman-

teman yang telah bersedia untuk bekerjasama dalam memberikan ide-idenya untuk

menyelesaikan makalah.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki masalah ini. Akhir
kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi bagi
semua pembaca.

Kediri, 22 Mei 2023

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................................1
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................2
PENDAHULUAN..........................................................................................................................................3
A. Latar Belakang................................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................4
C. Tujuan.............................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................5
1. Akad Dalam Muamalah..............................................................................................................5
2. Macam-Macam Akad Muamalah................................................................................................6
3. Jenis Akad Dalam Mu’amalat.....................................................................................................7
PENUTUP..................................................................................................................................................10
Kesimpulan...............................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................................11

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengertian akad berasal dari bahasa Arab, al- „aqdyang berarti perikatan, perjanjian,
persetujuan dan pemufakatan. Kata ini juga bisa di artikan tali yang mengikat karena akan
adanya ikatan antara orang yang berakad. Dalam kitab fiqih sunnah, kata akad di artikan
dengan hubungan dan kesepakatan Secara istilah fiqih, akad di definisikan dengan “pertalian
ijab (pernyataan penerimaan ikatan) daa kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan
kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan Pencantuman kata-kata yang
“sesuai dengan kehendak syariat” maksudnya bahwa seluruh perikatan yang di lakukan oleh
dua pihak atau lebih tidak di anggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara‟.
Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok
kekayaan orang lain. Adapun pencantuman kata-kata “berpengaruh kepada objek perikatan”
maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab)
kepada pihak lain (yang menyatakan qabul Hasbi Ash-Shiddieqy mengutip definisi yang di
kemukakan oleh Al-Sanhury, akad ialah “perikatan ijab qabul yang di benarkan syara‟ yang
menetapkan kerelaan kedua belah pihak”. Adapula yang mendefinisikan , akad ialah “ikatan,
pengokohan dan penegasan dari satu pihak atau kedua belah pihak Berdasarkan pengertian
tersebut dapat di simpulkan bahwa akad adalah “pertalian ijab (ungkapan tawaran di satu
pihak yang mengadakan kontrak) dengan qabul (ungkapan penerimaan oleh pihak pihak lain)
yang memberikan pengaruh pada suatu kontrak.

3
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian Akad Kepercayaan Dalam Mu’amalat?


2. Bagaimana Macam-Macam Akad Dalam Mu’amalat?
3. Bagaimana Jenis Akad Dalam Mu’amalat?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang Akad Kepercayaan Dalam Mu’amalat


2. Untuk mengetahui tentang Macam-Macam Akad Dalam Mu’amalat.
3. Untuk mengetahui tentang Jenis Akad Dalam Mu’amalat

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. 1
Akad Dalam Muamalah

Dalam setiap transaksi syariah, seperti transaksi jual-beli atau sejenisnya, baik
antara orang perorangan atau lebih, perorangan dengan lembaga atau antar lembaga,
sudah barang tentu harus ada jalinan ikatan (akad) yang jelas di antara mereka, dalam
hal apa mereka bertransaksi dan bagaimana perikatan yang dibangun antara para pihak
untuk dapat mewujudkan obyek yang terkait dengan perikatan tersebut.
Akad (perikatan) tersebut memberi informasi dan formulasi yang
menggambarkan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak dan peranannya
dalam merealisasikan obyek perjanjian yang menjadi tujuan dengan masing-masing
pihak yang memiliki hak dan kewajiban yang mengikat atas obyek perikatan sampai
pada hal yang menyangkut proses penyelesaian bila mana terjadi kegagalan atau
wanprestasi di antara para pihak.
Oleh karena itu, akad menempati kedudukan sentral dalam lalu lintas ekonomi
antara manusia (muamalah). Akad menjadi kunci lahirnya hak dan kewajiban
(prestasi) yang lahir sebagai akibat hubungan kontraktual
alam setiap transaksi syariah, akad perjanjian dibuat oleh para pihak untuk
dilaksanakan/dipenuhi bersama bukan untuk dilanggar atau diabaikan, karena akad
perjanjian itu mempunyai sifat yang mengikat bagi para pihak yang membuat
perjanjian, sehingga akad adalah merupakan piranti yang substansial dan memiliki
posisi yang urgen dalam setiap transaksi syariah. Akad harus ditunaikan dan dijaga
sebagai sebuah komitmen bersama dan akad merupakan rujukan dasar bila terjadi
perselisihan di antara para pihak serta untuk mendapatkan solusi dan jalan keluar dari
perselisihan.
Proses pembentukan akad terjadi melalui tiga tahap:
Pertama, dalam taraf al ‘ahdu yaitu pernyataan seseorang untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu. Janji ini mengikat pada yang bersangkutan dan agama
mengharuskan untuk menunaikannya.
Kedua, persetujuan yang berupa pernyataan setuju dari pihak kedua untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu sebagai respons terhadap janji yang
dilakukan pihak pertama.
Ketiga, apabila kesepakatan itu direalisasikan oleh kedua belah pihak maka
terjadilah apa yang dinamakan akad.21 Kesepakatan tersebut kemudian
dituangkan dalam bentuk tertulis, yang dikenal juga dengan istilah perjanjian atau
kontrak.
1
Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2010), 20.

5
2

2. Macam-Macam Akad Muamalah

Para ulama fikih mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dan dilihat dari
beberapa segi. Jika dilihat dari keabsahannya menurut syarak, akad dibagi menjadi
dua yaitu sebagai berikut:
a. Akad shahih
Akad shahih adalah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-
syaratnya. Hukum dari akad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat
hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat pada pihak-pihak yang
berakad. Ulama Hanafiyah membagi akad shahih menjadi 2 macam,
yaitu:
1) Akad nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), adalah akad yang
dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak
ada penghalang untuk melaksanakannya.
2) Akad mawquf, adalah akad yang dilakukan seseorang yang cakap
bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk
melangsungkan dan melaksanakan akad ini, seperti akad yang
dilangsungkan oleh anak kecil yang mumayyiz
Jika dilihat dari sisi mengikat atau tidaknya jual beli yang shahih
itu, para ulama fikih membaginya kepada 2 macam, yaitu :
a) Akad yang bersifat mengikat pada pihak-pihak yang berakad,
sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad itu
tanpa seizin pihak lainnya, seperti akad jual beli dan sewa
menyewa.
b) Akad yang tidak bersifat mengikat pada pihak-pihak yang
berakad, seperti akad al-wakala (perwakilan), al-adriya
(pinjam-meminjam) dan al-wadi’ah (barang titipan).
b. Akad tidak shahih
Akad yang tidak shahih adalah akad yang terdapat kekurangan
pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu
tidak berlaku dan tidak mengikat pihakpihak yang berakad
Akad yang tidak shahih dibagi oleh ulama Hanafiyah dan
malikiyah menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :
1) Akad bathil, adalah yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau
ada larangan langsung dari syara’. Misalnya, objek jual beli itu tidak

2
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010), 51.

6
jelas. Atau terdapat unsur tipuan, seperti menjual ikan dalam laut,
atau salah satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum.
2) Akad fasid, adalah akad yang pada dasarnya disyariatkan, akan tetapi
sifat yang diakadkan tersebut tidak jelas. Misalnya, menjual rumah
atau kendaraan yang tidak ditunjukan tipe, jenis, dan bentuk rumah
yang akan dijual, atau tidak disebut brand kendaraan yang dijual,
sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dan pembeli
Ulama fikih menyatakan bahwa akad bathil dan akan fasid
mengandung esensi, yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan
hukum apapun

3. 3
Jenis Akad Dalam Mu’amalat

Berikut ini beberapa jenis akad. Masing-masing akad memiliki kekhususan dan
karakteristiknya tersendiri. Selain itu masing-masing akad memiliki objek transaksi
berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dalam transaksi itu sendiri
1) Murabahah
Akad jual beli ini menekankan mengenai harga jual dan keuntungan yang
disepakati oleh para pihak, baik itu penjual atau pembeli. Selain itu,
jumlah dan jenis produknya diperjelas secara detail. Nantinya, produk
akan diserahkan begitu akad jual beli diselesaikan. Untuk pihak pembeli,
bisa menunaikan kewajibannya secara cicilan atau membayar tunai
2) Salam
Salam adalah akad jual beli berdasarkan cara pemesanan. Prosesnya,
pembeli akan memberi uang terlebih dahulu untuk membeli barang yang
spesifikasinya sudah dijelaskan secara rinci, lalu baru produk akan
dikirimkan. Akad salam biasa diterapkan untuk produk-produk pertanian.
Dalam praktiknya, akad Salam menempatkan pihak bank syariah sebagai
pembeli dan menyerahkan uangnya kepada petani sebagai nasabah
3) Istishna’
Istishna’ mengatur transaksi produk dalam bentuk pemesanan di mana
pembuatan barang akan didasari dari kriteria yang disepakati. Dalam akad
ini, proses pembayarannya juga sesuai kesepakatan dari pihak yang
berakad, baik itu dibayar ketika produk dikirim atau dibayar di awal
seperti akad salam.
4) Mudharabah
Akad ini lebih mengatur antara shahibul mal atau pemilik modal dengan
mudharib-nya, atau pengelola modal. Nantinya, pengelola mudharib dan

3
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), 28.

7
pemilik modal akan membagi hasil keuntungan dari usaha yang dilakukan.
Jika ada kerugian, hanya pemilik modal yang menanggung kerugiannya.
5) Musyarakah
Sedikit berbeda dengan Mudharabah, akad ini dilakukan oleh dua pemilik
modal atau lebih yang menghimpun modalnya untuk proyek atau usaha
tertentu. Nantinya, pihak mudharib atau pengelolanya akan ditunjuk dari
salah satu pemilik modal tersebut. Biasanya, akad ini dilakukan untuk
proyek atau usaha dimana modalnya dibiayai sebagian oleh lembaga
keuangan, dan sebagian lainnya dimodali oleh nasabah.
6) Musyarakah Mutanaqisah
Akad jual beli barang ini mengatur dua pihak atau lebih yang berkongsi
untuk suatu barang. Nantinya, salah satu pihak akan membeli bagian dari
kepemilikan barang pihak lainnya dengan cara mencicil atau bertahap.
Akad ini biasa dilakukan jika ada proyek yang dibiayai oleh nasabah dan
lembaga keuangan yang kemudian dibeli oleh pihak lainnya secara
bertahap atau cicilan.
7) Wadi’ah
Wadi’ah adalah akad di mana salah satu pihak akan menitipkan suatu
produk untuk pihak kedua. Akad ini cukup sering dilakukan dalam
perbankan syariah dalam produk rekening giro
8) Wakalah
Akad ini lebih mengatur untuk mengikat antara perwakilan satu pihak
dengan pihak yang lain. Akad ini biasa diterapkan dalam pembuatan
faktur atau invoice, penerusan permintaan, atau pembelian barang dari luar
negeri.
9) Ijarah
Akad Ijarah mengatur mengenai persewaan barang yang mengikat pihak
yang berakad. Biasanya, akad ini dilakukan jika barang yang disewa
memberikan manfaat. Biasanya, penerapan akad dalam bank syariah ini
adalah cicilan sewa yang terhitung sebagai cicilan pokok untuk sebuah
harga barang.

Nantinya, di akhir perjanjian, penyewa atau nasabah bisa membeli barang


4
yang dicicilnya tersebut dengan sisa harga yang ditetapkan oleh bank
5
syariah. Oleh sebab itu, Ijarah ini juga dikenal sebagai al Ijarah waliqtina’
ataupun al ijarah alMuntahia Bittamiliiik.
10) Ju’alah
4
Muhammad Jambari, Mu’āmalāt dan Akhlaq (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 12.
5
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Yogyakarta: UII Press, 2015), 65.

8
Ju’alah itu memiliki kesamaan dengan akad ijarah (jual jasa) yaitu adanya
upah karena mendapatkan manfaat atau jasa. Perbedaannya, akad ju’alah
transaksi mulai mengikat ketika pekerjaan dimulai. Pada saat itu, tidak
boleh ada pihak yang membatalkan transaksi secara sepihak. Dalam akad
ju’alah hanya disyaratkan adanya kejelasan jasa atau manfaat yang
menjadi objek transaksi.
11) Kafalah
Akad kafalah lebih menekankan mengenai jaminan yang diserahkan oleh
satu pihak ke pihak lainnya. Biasanya, hal ini diterapkan untuk
pembayaran lebih dulu (advance payment bond), garansi sebuah proyek
(performance bond), ataupun partisipasi tender (tender bond).
12) Hawalah
Akad Hawalah mengatur mengenai pemindahan utang maupun piutang
dari pihak satu ke pihak lainnya. Biasanya akad ini dilakukan oleh bank
syariah kepada nasabah yang ingin menjual produknya kepada pembeli
dalam bentuk giro mundur atau biasa disebut Post Dated Check. Tentunya,
akad ini harus dilakukan sesuai dengan prosedur syariah.
13) Rahn
Rahn merupakan akad gadai yang dilaksanakan oleh penggadai barang
kepada pihak lainnya. Biasanya penggadai barang ini akan mendapatkan
uang sebagai ganti dari barang yang digadaikan. Pada bank syariah, akad
ini biasa diterapkan jika ada pembiayaan yang riskan dan perlu akan
adanya jaminan tambahan. Dalam akad Rahn, bank syariah tidak
mendapatkan manfaat apapun terkecuali jika hal tersebut dimanfaatkan
sebagai biaya keamanan atau pemeliharaan barang tersebut.
14) Qardh
Akad Qardh mengatur mengenai pemberian dana talangan kepada nasabah
dalam kurun waktu yang cenderung pendek. Tentunya, dana ini harus
diganti secepatnya. Besaran nominal harus sesuai dengan dana talangan
yang diberikan, atau bisa diartikan nasabah hanya harus melakukan
pengembalian pinjaman pokoknya saja

PENUTUP

Kesimpulan

9
Dalam pembahasan diatas dapat di simpulkan bahwa, akad-akad kepercayaan dalam
mu’amalat seperti transaksi jual-beli atau sejenisnya, baik antara orang perorangan atau lebih,
perorangan dengan lembaga atau antar lembaga, sudah barang tentu harus ada jalinan ikatan
(akad) yang jelas di antara mereka, dalam hal apa mereka bertransaksi dan bagaimana
perikatan yang dibangun antara para pihak untuk dapat mewujudkan obyek yang terkait
dengan perikatan tersebut.
Akad (perikatan) tersebut memberi informasi dan formulasi yang menggambarkan
tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak dan peranannya dalam merealisasikan
obyek perjanjian yang menjadi tujuan dengan masing-masing pihak yang memiliki hak dan
kewajiban yang mengikat atas obyek perikatan sampai pada hal yang menyangkut proses
penyelesaian bila mana terjadi kegagalan atau wanprestasi di antara para pihak.
Oleh karena itu, akad menempati kedudukan sentral dalam lalu lintas ekonomi antara
manusia (muamalah). Akad menjadi kunci lahirnya hak dan kewajiban (prestasi) yang lahir
sebagai akibat hubungan kontraktual

DAFTAR PUSTAKA

10
Azzam, Muhammad, Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah. 2010,

Ghazaly, Abdul Rahman, Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana. 2010,

Huda, Qomarul, Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Teras. 2011,

Jambari, Muhammad, Mu’āmalāt dan Akhlaq. Bandung: Pustaka Setia. 2012,

Basyir, Ahmad Azhar, Asas-asas Hukum Muamalat. Yogyakarta: UII Press. 2015,

11

Anda mungkin juga menyukai