Anda di halaman 1dari 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/336223722

aQAD DALAM MUAMALAH

Article · October 2019

CITATIONS READS

0 4,612

2 authors, including:

M. ALI Rusdi Bedong


Institut Agama Islam Negeri Parepare, Indonesia
24 PUBLICATIONS   3 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Hukum Islam View project

All content following this page was uploaded by M. ALI Rusdi Bedong on 03 October 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


AQAD
Rosdiana, Syamsiah
IAIN PAREPARE

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa

bantuan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam

memenuhi kebutuhan hidup, mempunyai aturan yang menjelaskan hak dan

kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat

kesepakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan

proses untuk berakad. Islam memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad

untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pembahasan fiqh, akad yang dapat digunakan bertransaksi sangat

beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada. Oleh

karena itu, makalah ini disusun untuk membahas mengenai berbagai hal yang

terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan kita sehari-

hari.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Apa pengertian, syarat – syarat dan rukun - rukun aqad ?

1.2.2. Apa macam-macam aqad ?

1.2.3. Bagaimana konsekuensi hukum dalam aqad ?

1.3. Tujuan penulisan

1
Untuk mengetahui apa itu akad, bagaimana prosesnya.

2
II. PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Aqad


Menurut bahasa ‘Aqad mempunyai beberapa arti, antara lain:

1. Mengikat (‫(الربْط‬
ّ , yaitu: mengumpulkan dua ujung tali dan

mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung,


kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda.

2. Sambungan ( ‫ع ْقدَة‬
َ ( yaitu: sambungan yang memegang kedua ujung

itu dan mengikatnya.


ْ ) sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surah Al-Maidah
3. Janji (‫الع َهد‬

ayat 1 yang berbunyi :

 ...     

Terjemahannya :
“Hai orang-orang yang beriman tepatilah janji-janjimu.”1

Menurut istilah (terminology), yang dimaksud akad adalah:


1. Perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan
keridhaan kedua belah pihak.
2. Berkumpulnya serah terima di antara dua pihak atau perkataan
seseorang yang berpengaruh pada kedua pihak.
3. Terkumpulnya persyaratan serah terima atau sesuatu yang
menunjukkan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan
hukum.
4. Ikatan atas bagian-bagian tasharruf menurut syara’ dengan cara serah
terima.2

1
Departemen Agama RI Al-hikmah, Al-Quran dan Terjemahnya,( Bandung: SV.
Penerbit Diponegoro, 2010), h.106

3
Menurut terminologi ulama fiqih, akad dapat ditinjau dari segi yaitu secara
umum dan secara khusus :

a. Pengertian umum
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan
pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiya,
dan Hanabilah, yaitu :

ٍ‫ُك ُّل ماعزم الْمرءعلَى فِعلِ ِه سواءص َد رِِبِدةٍ مْن َف ِردة‬


ُ َ ٌ َ َ ْ َ ُ ْ َ َ ََ َ
ِ ْ َ‫ْي أ َْم اِ ْحَتَاَ ِ ََ ِر َاد ت‬
‫ْي ِف‬ ِ ْ ‫الءبْر ِاء والطَّالَ ِق والْيَ ِم‬
ِ ِ
َ َ َ َ َ ْ‫َكالْ َوقْف َوا‬

َّ ‫ِنْ َشائِِه َكالْبَ ْي ِع َواْ ِال ْْيَا ِرَوالَت َّْوكِْي ِل َو‬


.‫الره ِن‬
Artinya:
“segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdassarkan
keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu
yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-
beli, perwakilan, dan gadai.”

b. Pengertian khusus
Pengertian akad dalam artia khusus yang dikemukakan ulama fiqhi, antara
lain :

.‫ُ أَََ ُرُُ ِِ َََلِ ِه‬ ٍ


ُ ُ‫اب بَِقبُ ْوٍل َعلَى َو ْجه َم ْش ُرْوٍع يَثْ ب‬ ُ ‫ِْرتِبَا‬
ٍ َ‫ط ِ ْْي‬

Artinya:
“perikatan yang ditetapkan dengan ijab – qabul berdasarkan ketentuan
syara’ yang berdampak pada objeknya.”

2
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h.
44 - 46.

4
.‫َح ِدالْ َعاقِ َديْ ِن ِِبْالَ َخ ِر َش ْر ًعا َعلَى َو ْج ٍه يَظ َه ُرأَََ ُرُُ ِِ اْمل َح ِل‬
َ ‫تَ ْعلُّ ُق َكالَِم أ‬
َ
Artinya:

“Pengaitan ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara
syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.”

Contoh ijab adalah pernyataan seorang penjual “Saya telah menjual barang ini
kepadamu.” atau “Saya serahkan barang ini kepadamu.” Contoh qabul, “Saya
beli barangmu.” atau “Saya terima barangmu.”

Dengan demikian, ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan


untuk menunjukkan suatu keridaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih,
sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.
Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian
dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan
pada keridaan dan syariat Islam.3

2.2 Rukun – rukun Akad

Akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang
atau lebih berdasarkan keridhaan masing – masing, maka timbul bagi kedua belah
pihak haq dan iltijam yang diwujudkan oleh akad,

Rukun-rukun aqad ialah sebagai berikut:

1. ‘Aqad ialah orang yang berakad, terkadang maisng-masing pihak

terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang,

misalnya penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-

masing pihak satu orang, ahli waris sepakat untuk memberikan

sesuatu kepada pihak lain yang terdiri dari beberapa orang,

3
Rachmat Syafe’i, Fiqhi Muamalah, (cet.7, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h.44.

5
misalnya penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-

masing pihak satu orang, ahli waris sepakat untuk memberikan

sesuatu kepada pihak lain yang terdiri dari beberapa orang.

Seseorang yang berakad terkadang orang yang memiliki haq(aqid

ashli) dan terkadang merupakan wakil dari yang memiliki haq.

2. Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-

benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibbah

(pemberian), dalam aqad gadai, utang yang dipinjam seseorang

dalam akad kafalah.

3. Maudhu’ al ‘aqad ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan

akad. Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam

akad jual beli tujuan pokoknya ialah memindahkan barang dari

penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan akad hibah

ialah memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk

dimilikinya tanpa ada pengganti (‘iwadh). Tujuan pokok akad

ijarah adalah memberikan manfaat dengan adanya pengganti.

Tujuan pokok I’arah adalah memberikan manfaat dari seseorang

kepada yang lain tanpa ada pengganti.

4. Sighat al ‘aqd ialah ijab dan qabul, ijab ialah permulaan penjelasan

yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran

kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qabul ialah

perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan

setelah adanya ijab. Pengertian ijab qabul dalam pengalaman

dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga

penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak

berhadapan, misalnya seseorang yang berlangganan majalah

6
Panjimas, pembeli mengirimkan uang melalui pos wesel dan

pembeli menreima majalah tersebut dari petugas pos.4

2.3. Syarat-syarat Aqad

Setiap pembentuk, aqad atau akad mempunyai syarat yang ditentukan

syara’ yang wajib disempurnakan, syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam.

1. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang

wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.

2. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang

wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini

bisa juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada

disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya

saksi dalam pernikahan

Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai

macam akad.

1. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli).

Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang

gila, orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur) karena

boros atau yang lainnya.

2. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.

3. Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang

yangmempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid

yang memiliki barang.

4
Abdul Rahma Ghazaly,Fiqh Muamalah, ( Cet.1; Jakarta: kencana Prenada Media
Group, 2010), h.51-52

7
4. Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’, seperti jual

beli mulasamah.

5. Akad dapat memberikan faidah sehingga tidaklah sah bila rahn

dianggap sebagai imbangan amanah.

6. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul.

Maka bila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum

kabul, maka batallah ijabnya.

7. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang

berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab

tersebut menjadi batal.5

2.4. Macam-macam Aqad

Setelah dijelaskan syarat-syarat akad, pada bagian ini akan dijelaskan

macam-macam akad.

1.‘Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu

selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan

akad nikah ialah pernyataan yang tidak disertai dengan syarat-

syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya

akad.

2. ‘Aqad Mu’alaq ialah akad yang di dalam pelaksanaannya terdapat

syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya

penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah

adanya pembayaran.

3. ‘Aqad Mudhaf ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat

syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad,

5
Rachmat Syafe’i, Fiqhi Muamalah, (cet.7,Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h. 65.

8
pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang

ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi

belum mempunyai akibat hokum sebelum tibanya waktu yang telah

ditentukan.

Perwujudan akad tampak nyata pada dua keadaan berikut.

1. Dalam keadaan muwadha’ah (taljiah), yaitu kesepakatan dua orang secara

rahasia untuk mengumumkan apa yang tidak sebenarnya. Hal ini ada tiga

bentuk seperti di bawah ini.

a. Bersepakat secara rahasia sebelum melakukan akad, bahwa mereka

berdua akan mengadakan jual beli atau yang lainnya secara lahiriah

saja untuk menimbulkan sangkaan orang lain bahwa benda tersebut

telah dijual, misalnya menjual harta untuk menghindari pembayaran

utang. Hal ini disebut mu’tawadhah pada asal akad.

b. Mu’awadlah terhadap benda yang digunakan untuk akad, misalnya

dua orang bersepakat menyebut mahar dalam jumlah yang besar di

hadapan naib, wali pengantin laki-laki dan wali pengantin wanita

sepakat untuk menyebut dalam jumlah yang besar, sedangkan

mereka sebenarnya telah sepakat pada jumlah yang lebih kecil dari

jumlah yang disebutkan di hadapan naib, hal ini disebut juga

muwadha’ah fi al-badal.

c. Mu’wadlah pada pelaku (isim musta’ar), ialah seseorang yang

secara lahiriah membeli sesuatu atas namanya sendiri, secara

batiniah untuk keperluan orang lain, misalnya seseorang membeli

mobil atas namanya, kemudian diatur surat-surat dan keperluan-

keperluan lainnya. Setelah selesai semuanya, dia mengumumkan

9
bahwa akad yang telah ia dilakukan sebenarnya untuk orang lain,

pembeli hanyalah merupakan wakil yang membeli dengan

sebenarnya, hal ini sama dengan wakalah sirriyah (perwakilah

rahasia).

2. Hazl ialah ucapan-ucapan yang dikatakan secara main-main, mengolok-

olok (istihza) yang tidak dihendaki adanya akibat hokum dari akad

tersebut. Hazl berwujud beberapa bentuk, antara lain muwadha’ah yang

terlebih dahulu dijanjikan, seperti kesepakatan dua orang yang melakukan

akad bahwa akad itu hanya main-main, atau disebutkan dalam akad,

seperti seseorang berkata; “Buku ini pura-pura saya jual kepada Anda”

atau dengan cara-cara lain yang menunjukkan adanya karinah hazl.

Kecederaan-kecederaan kehendak disebabkan hal-hal berikut.

a. Ikrah, cacat yang terjadi pada keridhaan.

b. Khilabah, ialah bujukan yang membuat seseorang menjual

suatu benda, terjadi pada akad.

c. Ghalath, ialah persangkaan yang salah, misalnya seseorang

membeli sebuah motor, ia menyangka motor tersebut

mesinnya masih normal, tetapi sebenarnya motor tersebut

telah turun mesin.

Selain akad munjiz, mu’alaq dan, mudhaf, macam-macam akad

beraneka ragam tergantung dari sudut tinjauannya. Karena ada perbedaan-

perbedaan tinjuan, akad akan ditinjau dari segi-segi berikut

1. Ada dan tidaknya qismah pada akad, maka akan terjadi dua

bagian:

10
a. Akad musammah, yaitu akad yang telah ditetapkan syara’

dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah,

dan ijarah.

b. Akad ghair musammah ialah akad yang belum ditetapkan

oleh syara dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.

2. Disyari’atkan dan tidaknya akad, ditinjau dari segi ini akad

terbagi dua bagian:

a. Akad musyara’ah ialah akad-akad yang dibenarkan oleh

syara’ seperti gadai dan jual beli.

b. Akad mamnu’ah ialah akad-akad yang dilarang syara’

seperti menjual anak binatang dalam perut induknya.

3. Sah dan batalnya akad, ditinjau dari segi ini akad terbagi menjadi dua:

a. Akad shahih, yaitu aqad yang telah memenuhi rukun-rukun

dan syarat-syaratnya, baik syarat yang khusus maupun

syarat yang umum.

b. Akad yang tidak shahih, yaitu akad yang terdapat

kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga

seluruh akibat hukum akad itu tidak mengikat pihak-pihak

ynag beraqad,6 baik syarat umum maupun syarat khusus,

seperti nikah tanpa wali.

4. Sifat bendanya, ditinjau dari sifat ini benda akad terbagi dua:

a. Akad ‘ainiyah, yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan

barang-barang seperti jual beli.

6
Abdul Rahma Ghazaly,Fiqh Muamalah, ( Cet.1; Jakarta: kencana Prenada Media
Group, 2010), h.56.

11
b. Akad ghair ‘ainiyah, yaitu akad yang tidak disertai dengan

penyerahan barang-barang, karena tanpa penyerahan barang-

barang pun akad sudah berhasil, seperti akad amanah.

5. Cara melakukannya, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:

a. Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti

akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas

pencatat nikah.

b. Akad ridha’iyah, yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara

tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak, seperti akad

pada umumnya.

6. Berlaku dan tidaknya akad, dari segi ini akad dibagi menjadi dua

bagian:

a. Akad nafidzah, yaitu akad yang bebas atau terlepas dari

penghalang-penghalang akad.

b. Akad mauqufah yaitu akad-akad yang bertalian dengan

persetujuan-persetujuan, seperti akad fudhuli (akad yang berlaku

setelah disetujui pemilik harta).

7. Luzum dan dapat dibatalkannya, dari segi ini akad dapat dibagi empat:

a. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat

dipindahkan seperti akad kawin, manfaat perkawinan tidak bisa

dipindahkan kepada orang lain, seperti bersetubuh, tapi akad nikah

dapat diakhiri dengan syara yang dibenarkan syara seperti talak dan

khulu’.

b. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak dan dapat

dipindahkan dirusakkan, seperti persetujuan jual beli dan akad-akad

lainnya.

12
c. Akad lazim yang menjadi hak salah satu pihak, seperti rahn, orang

yang menggadai sesuatu benda punya kebebasan kapan saja ia akan

melepaskan rahn atau menebus kembali barangnya.

d. Akad lazimah yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu

persetujuan salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh yang

menitipkan tanpa menunggu persetujuan yang menerima titipan atau

yang menerima titipan mulai mengembalikan barang yang dititipkan

kepada yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang

menitipkan.

8. Tukar-menukar hak, dari segi ini akad dibagi menjadi tiga bagian:

a. Akad mu’awadlah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik

seperti jual beli.

b. Aka tabarru’at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian

dan pertolongan, seperti hibbah.

c. Akad yang tabarru’at pada awalnya dan menjadi akad mu’awadhah

pada akhirnya seperti qaradh dan kafalah.

9. Harus dibayar ganti dan tidaknya, dari segi ini akad dibagi menjadi tiga

bagian:

a. Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggungjawab pihak kedua

sesudah benda-benda itu diterima seperti qaradh.

b. Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda,

bukan oleh yang memegang barang, seperti titipan (ida’).

c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsure, salah satu segi

merupakan dhaman, menurut segi yang lain merupakan amanah,

seperti rahn (gadai).

10. Tujuan akad, dari segi tujuannya akad dibagi menjadi lima golongan:

13
a. Bertujuan tamlik, seperti jual beli.

b. Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama (perkongsian) seperti

syirkah dan mudharabah.

c. Bertujuan tautsiq (memperkokoh kepercayaan) saja, seperti rahn dan

kafalah.

d. Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah.

e. Bertujuan mengadakan pemeliharaan, seperti ida’ atau titipan.

12. Faur dan istimrar, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:

a. Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaannya tidak

memerlukan waktu yang lama, pelaksanaan akad hanya sebentar

saja, seperti jual beli.

b. Akad istimrar disebut pula akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus

berjalan, seperti I’arah.

12. Asliyah dan thabi’iyah, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:

a. Akad Asliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan

adanya sesuatu dari yang lain, seperti jual beli dan I’arah.

b. Akad thabi’iyah, yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain,

seperti adanya rahn tidak dilakukan bila tidak ada utang.7

2.5. Akad Konsekwensi hukumnya

Akad yang telah mempunyai pengaruh ( akibat hukum ), baik pengaruh

khusus, pengaruh umum. Pengaruh khusus merupakan pengeruh asal akad atau

tujuan mendasar dari akad, seperti pemindahan pemilikan pada akad jual beli dan

7
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), H.51-55.

14
hibah, pemindahan pemilikan manfaat pada akad ijarah, ariyah, menghalalkan

hubungan suami istri pada akad nikah, dan sebagainya. Pengaruh umum

merupakan pengaruh yang berserikat pada setiap akad atau keseluruhan dari

hukum-hukum dan hasilnya.8

Akibat hukum akad tergantung pada tujuan seseorang melakukan akad tersebut,

yaitu:

1. Pemberian hak milik dengan imbalan disebut akad tukar menukar

mu’awadah, yang tanpa imbalan disebut akad kebijakan tabarru’.

2. Akad berbentuk melepaskan hak tanpa atau dengan ganti disebut akad

pelepasan hak isqat.

3. Jika akad bertujuan melepaskan kekuasaan untuk melakukan suatu

perbuatan kepada orang lain, seperti memberikan kuasa kepada seseorang

atas namanya, maka akad ini disebut akad pelepasan itlaq.

4. Jika akad bertujuan yang sebaliknya, yakni mengikat dari wewenang

berbuat yang semula dimilikinya, disebut akad pengikatan takyid.

5. Jika akad bertujuan bekerja sama untuk memperoleh suatu

hasil/keuntungan disebut akad persekutuan syirkah.

6. Jika akad bertujuan untuk memperkuat akad yang lain, seperti akad gadai

untuk memperkuat utang piutang, disebut akad pertanggungan daman.

15
III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Menurut istilah (terminology), yang dimaksud akad adalah Perikatan ijab


dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.
Berkumpulnya serah terima di antara dua pihak atau perkataan seseorang yang
berpengaruh pada kedua pihak. Terkumpulnya persyaratan serah terima atau
sesuatu yang menunjukkan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan
hukum. Ikatan atas bagian-bagian tasharruf menurut syara’ dengan cara serah
terima.
Rukun-rukun akad
1. Aqid
2. Ma’qud alaih
3. Maudhu’ al aqad
4. Shighat al aqad

16
REFERENCES

DAFTAR PUSTAKA

1. Ghazaly, Abdul Rahma. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

2. Departemen Agama RI Al-hikmah. 2010. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung:

SV. Penerbit Diponegoro.

3. Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqhi Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia.

4. Suhendi, Hendi. 2005. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

5. Rusdi, M. A. (2017). Maslahat Sebagai Metode Ijtihad Dan Tujuan Utama Hukum

Islam. DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum, 15(2), 151-168.

6. Rusdi, M. A. (2016). Status Hukum Pernikahan Kontroversial Di Indonesia

(Telaah Terhadap Nikah Siri, Usia Dini dan Mut'ah). Al-'Adl, 9(1), 37-56.

7. Haq, I., Bedong, M. A. R., & Syatar, A. (2018). Effect Of Young Age in Murder

Felony (Comparative Study Between Islamic Jurisprudence and Indonesian

Law). Al-Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, 3(2), 151-170.

8. Bedong, M. A. R., & Ahmad, F. (2018). Kepemimpinan Wanita di Dunia Publik

(Kajian Tematik Hadis). AL-MAIYYAH: Media Transformasi Gender dalam

Paradigma Sosial Keagamaan, 11(2), 214-231.

9. Rusdi, M. A. (2019). WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG MUSYAWARAH. Jurnal

Tafsere, 2(1).

10. Bedong, M. A. R. (2018). METODOLOGI IJTIHAD IMAM MUJTAHIDIN (Corak

Pemikiran dan Aliran). Al-'Adl, 11(2), 130-148.

17

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai