Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

AKAD DALAM TRANSAKSI


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih II (muamalah)
Dosen pengampu : Hj. Euis Nurasiah Jamil,MA

Disusun oleh :
Alfiras Rasya Samudra
Ahmad Ripa’i
Muhammad Sahid Maulana
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PALABUHANRATU
2023

Page | 1| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


KATA PENGANTAR
puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat allah swt atas limpahan rahmat
dan taufiknya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai waktu yang
ditentukan.
Makalah ini dibuat sebagai tugas dan media pembelajaran disekolah tinggi agama
islam (STAIP) dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah fiqih muamalah dan
sebagai bahan pembelajaran dikelas.
Penulis sadar bahwa dalam penyusunan kata dan tata letak dalam makalah ini
tentunya banyak sekali kekurangan dan kekhilafan baik kata maupun
kalimat.untuk kebaikan dan sempurnanya makalah ini, kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan dari dosen pengampu dan teman-teman sekalian.
Dan akhirnya dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca
umumnya.

Penyusun 10 oktober 2023

penyusun

Page | 2| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................3
BAB I
a. Pendahuluan..........................................................................................4
b. Rumusan masalah.................................................................................4
c. Tujuan....................................................................................................4
d. Pokok Pembahasan...............................................................................5
BAB II
a. Pengertian akad....................................................................................6
b. Pembentukan akad...............................................................................7
c. Syarat-syarat akad...............................................................................11
d. Macam-macam akad............................................................................13
e. Hal-hal yang membatalkan akad........................................................14
f. Klasifikasi akad....................................................................................15
g. Akhir akad............................................................................................16
BAB III
KESIMPULAN.................................................................................................18
SARAN..............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................19

Page | 3| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


BAB I
I. PENDAHULUAN
Akad (al’aqd) merupakan jama’ dari al’uqud , secara bahasa berarti al-
rabth (ikatan, mengikat), yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali
dan mengikatkan salah satu pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan
menjadi seutas tali yang satu. Sedangkan secara terminologi hukum Islam, akad
berarti pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang
menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.[1][1]
Pada dasarnya akad tidak berbeda dengan transaksi (serah terima).
Semua perikatan (transaksi) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh
menyimpang dan harus sejalan denagn kehendak syari’at. Tidak boleh ada
kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi barang-barang yang diharamkan
dan kesepakatan untuk membunuh seseorang.

II. RUMUSAN MASALAH


Akad atau ijab qabul merupakan salah satu dari rukun berbagai jenis
muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya. Seiring
perkembangan zaman, akad atau yang sering kita kenal dengan transaksi, tentunya
mengalami evolusi atau telah berubah mengikuti perkembangannya, khususnya
dalam sistem ekonomi syari’ah. Dari perubahan itu, muncul berbagai sistem-
sistem akad yang terkadang sulit kita pahami. Untuk itu, kami mencoba
memaparkan dan menganalisa terkait masalah akad yang biasa dipakai dalam
sitem ekonomi syari’ah kita.

III. TUJUAN
a. untuk mengetahui akad secara fiqih mualamah

[1][1] Drs. Ghufron A. Mas’adi, M. Ag., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT


Raja Grafindo Persada, 2002, hal 76

Page | 4| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


b. untuk menambah ilmu dan wawasan kepada para mahasiswa/mahasiswi
tentang bermualamah secara konsep islam
c. mengenal akad dalam transaksi hukum mualamalah
d. mengetahui pendapat-pendapat para ulama tentang akad.

IV. Pokok Pembahasan


Dalam makalah ini kami akan membahas tentang Akad Transaksi Dalam
Hukum Muamalah melalui pokok pembahasan sebagai berikut :
A. pengertian Akad
B. Syarat dan rukun akad
C. Macam-macam transaksi (akad)
D. Hal-hal yang membatalkan akad
E. Akad Transaksi Implikasinya dalam Operasional Perbankan Syari’ah
F. Pendapat-pendapat Ulama’ tentang Jenis Akad Transaksi.
G. Berakhirnya akad

Page | 5| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Akad


Menurut segi etimologi, akad antara lain berarti :
‫الَّرْبُط َبْيَن َأ ْط َر ِف الَّشى ِء َسَو ٌء َأ كَا َن َر ْبطًا ِح ِّس يًّا َأ ْم َم ْع َنِو يًّا ِم ْن جَا ِنٍب َأْو ِم ْن جَا ِنَبْيِن‬.

Artinya : “ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun
ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dua segi”.
Bisa juga berarti ‫ة‬ ‫( العقد‬sambungan), ‫ العهد‬dan (janji)
Menurut terminologi ulama , akad dapat ditinjau dari dua segi yaitu
sedcara umum maupun secara khusus:
1. Pengertian Umum:
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan
pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama syafi’iyah,
malikiyah, dan hanabilah, yaitu:
Artinya : “ segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan , atau sesuatu
yang pembentukannya membutuhkan keinginanya dua orang seperti
jua-beli, perwakilan, dan gadai.”
2. Pengertian Khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqih,
antara lain:

Artinya : “perikatan yang ditetapkan ijab-qabul berdasarkan ketentuan


syara’ yang berdampak pada objeknya.”
Contoh ijab adalah pernyataan seorang penjual,”Saya telah menjual
barang ini kepadamu “ atau “Saya serahkan barang ini
kepadamu”contoh qabul ,”Saya beli barangmu .” atau “Saya terima
barangmu.”
Dengan demikian ijab-qabul adalah suatu perbuatanatau
pernyataan untuk menunjukkan suatu keridaan dalam berakad diantara
du orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan
yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam islam tidak
semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai
akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridaan dan
syariat Islam.[1]
[1] Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka
Setia, 2001, hal 43

Page | 6| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


1.2 Pembentukan Akad
1. Rukun Akad

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah Ijab dan


Qabul. Adapun yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang
menunjang terjadinya akad tidak dikategorikan rukun sebab
keberadaannya sudah pasti.

Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga


rukun, yaitu :

a. Orang yang akad (aqid), contoh penjual dan pembeli.


b. Sesuatu yang diakadkan (maqud alaih), contoh:harga atau yang
dihargakan.
c. Shigat,yaitu ijab dan qabul.

Definisi Ijab dan Qabul

Defenisi ijab menurut ulama hanafiyah adalah penetapan perbuatan


tertentu yang menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh orang pertama,
baik yang menyerahkan maupun yag menerima, sedangkan qabul adalah
orang yag berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yag
menunjukkan keridaan atasan ucapan orang pertama.

Berbeda dengan pendapat di atas, ulama selain Hanafiyah


berpendapat bahwa ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yang
menyerahkan benda, baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua,
sedangkan qabul adalah pernyataan dari orang yang menerima barang.
Pendapat ini merupakan pengertian umum dpahami orang bahwa ijab
adalah ucapan dari orang yang menyerahkan barang (penjual dalam jual
beli), sedangkan qabul adalah pernyataan dari penerima barang.[2]

[2] Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia,
2001, hal 43

2. Unsur-Unsur Akad

Page | 7| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


Unsur-unsur akad adalah sesuatu yag merupakan pembentukka
adanya akad, yaitu berikut ini.
a. Shigat Akad

Shigat adalah sesuatu yang disadarkan dari dua pihak yang berakad
yang menunjukkan atas apa yag ada di hati keduanya tentag terjadinya
akad. Hal itu dapat diketahui denga ucapan perbuatan, isyarat, da tulisan.
Shigat tersebut biasa disebut ijab dan qabul.[3]

1. Metode (uslub) Shigat Ijab dan Qabul

Uslub-uslub shigat dalam akad dapat diungkapkan dengan


beberapa cara berikut ini.

a. Akad dengan Lafazh (ucapan)


Shigat dengan ucapan adalah shigat akad yag paling banyak
digunakan orang sebab paling mudah digunakan dan cepat
dipahami. Tentu saja, kedua pihak harus mengerti ucapan
masing-masing serta menunjukka keridaannya.
1. Isi Lafazh
Shigat akad denga ucapan tidak diisyaratkan untuk
menyebutkan barang yang dijadikan objek-objek akad, baik
dalam jual-beli, hibah, sewa-menyewa, dan lain-lain. Hal itu
disepakati jumhur ulama, kecuali dalam akad pernikahan.
Diantara para ulama terdapat perbedaan dalam shigat akad
pernikahan sebab pernikahan diaggap sangat suci dan penting.

Page | 8| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


[3] Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka
Setia, 2001, hal 43
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa shigat
akad dalam pernikahan dibolehkan dengan shigat apa saja,
seperti menikahkan, menjadikan, mengibahkan, dan lain-lain
dengan syarat setiap mengucapkan kalimat tersebut
diikutidalam hati bahwa maksudnya adalah pernikahan.
Golongan ini mendasarka pendapat mereka pada firman Allah
SWT. Surat Al-Ahzab ayat 50 yag didalamnya terdapat kata
wahabat (mengibahkan):
‫َو اْمَر َأ ًة ُم ْؤ ِم َنًة ِا ْن َو َهَبْت َنْفَس هَا ِللَّنِبْى ِا ْن َا رَا َد الَّنِبَّي َأ‬

‫ْن َيْس َتْنِكَها حَا ِلَص ًة َلَك ِم ْن ُد ْو ِن اْلمْؤ ِمِنْيَن‬.


Artinya :
“…… dan perempuan mukmin yag menyerahkan dirinya
kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya sebagai
pengkhususan bagimu buka untuk semua orang mukmin…”
2. Lafazh Shighat dan kata kerja dalam shighat
Para ulama sepakat bahwa fi’il madi (kata kerja
yang menunjukka waktu lewat) boleh digunakan dalam
akad karena merupakan kata kerja yang paling mendekati
maksud akad.
Mereka pun sepakat membolehkan menggunakkan
fi’il mudahri (kata kerja yang menunjukkan menunjukkan
waktu sedang atau aka datang). Tentu saja, dalam hati harus
diringi niat bahwa akad tersebut dilakukan ketika itu. Oleh
karena itu, akad diaggap tidak sah jika menggunakkan fi’il
mudhari yag ditujuka untuk masa yang akan datang
Selain itu, mereka juga membolehkan penggunaan
jumlah ismiyah (kalimat yag di dalamnya terdiri atasisim
atau kata benda, seperti mub’tada dan khabar) dalam
shighat akad.

Page | 9| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


b. Akad dengan. perbuatan
Dalam akad, terkadang tidak digunaka ucapan, tetapi cukup
dengan perbuatan yang menunjukkan saling meridhai,
misalnya penjual memberikan barang dan pembeli
memberikan uang.
Dalam menanggapi persoalan ini, diatara para
ulama berbeda pendapat, yaitu:
1. Ulama Hanafiyah Dan Hanabilah membolehka akad
dengan terhadap barang-barang yag sudah sangat
diketahui secara umum oleh manusia. Jika belum
diketahui secara umum, akad sepert itu diaggap halal.
2. Mazhab Imam Maliki da pendapat awal Imam Ahmad
membolehkan akad dengan perbuatan jika jelas
menunjukkan kerelaan, baik barang tersebut diketahui
secara umum atau tidak, kecuali dalam pernikahan.
3. Ulama Syafi’iyah, Syi’ah, dan Zhahiriyyah berpendapat
bahwa akad dengan perbuatan tidak dibenarka karena
tidak ada petunjuk yang kuat terhadap akad tersebut.
Selain itu, keridaan adalah sesuatu yang samar, yang
tidak dapat diketahui, kecuali dengan ucapan. Hanya
saja, golongan ini membolehkan ucapan, baik secara
sharih dan kinayah. Jika terpaksa boleh saja dengan
isyarat dan tulisan.
c. Akad dengan Isyarat
Bagi orang yang mampu berbicara, tidak dibenarka denga
isyarat, melainkan harus mengunakkan tulisan atau lisan.
Adapun bagi mereka yang tidak dapat berbicara, boleh
mengunakkan isyarat, tetapi jika tulisannya bagus diajurkan
menggunakka tulisan. Hal itu dibolehkan apabila ia sudah
cacat sejak lahir. Jika tidak sejak lahir, ia harus berusaha
untuk tidak mengunakkan isyarat.

Page | 10| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


d. Akad dengan Tulisan
Dibolehka akad dengan tulisan, baik bagi orang yag mampu
berbicara ataupun tidak, dengan syarat tulisa tersebut harus
jelas, tampak, dan dapat dipahami oleh keduanya.
Namun demikian akad nikah tidak boleh
menggunakkan tulisa jika kedua orang yang akad itu hadir.
Hal ini Karen akadharus dihadirioleh saksi, yag harus
mendengar ucapan orang yag akad, kecuali bagi orang yag
tidak dapat berbicara.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa akad dengan tulisan adalah sah jika dua orang yang
tidak hadir. Akan tetapi, jika yag akad itu hadir, tidak
dibolehka memakai tulisan sebab tulisan tidak dibutuhkan.

1.3 Syarat-syarat Akad

ada berberapa macam syarat akad yaitu syarat terjadinya akad, syarat sah,,
syarat memberikan, dan syarat keharusan (luzum).

1. Syarat Terjadinya Akad


Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk
terjadinya akad secara syara’. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad
menjadi batal.syarat ini terbagi menjadi dua bagian:

Umum, yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad.

Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak
disyaratkan pada bagian lainnya.
2. Syarat Sah Akad
Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’
untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad
tersebut rusak.

Page | 11| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama
Hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan
dalam jual-beli, yaitu syarat-syarat jual-beli rusak (fasid).
3. Syarat Pelaksanaan Akad

Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan


kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang
sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai
dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang
dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketepatan syara’, bak secara asli,yakni
dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai penggantian (menjadi wakil
seseorang ).

Dalam hal ini, disyaratkan antara lain:

a. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang


akad, jika dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin
pemiliknya yang asli.

b. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan


orang lain.[4]

[4] Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka


Setia, 2001, hal 43.

4. Syarat Kepastian Hukum (luzum)

Dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara syarat luzum dalam jual-beli
adalah terhiindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat, khiyar
aib, dan lain-lain. Jika luzum tampak, maka akad batal atau dikembalikan

Dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara syarat luzum dalam jual-beli
adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat,khiyar
aib, dikembalikan.

Page | 12| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


Dampak hukum dari suatu akad adalah:

 Terjadi perpindahan hak dan kewajiban dari para pihak (timbal balik)
 Terjadi perpindahan kepemilikan dari satu pihak kepada pihak lain
 Berubahnya status hukum
1.4 Macam-macam Akad Transaksi

Menurut ulama’ fiqh, akad dapat dibagi dari beberapa segi. Namun dalam
hal hal ini kami membagi akad dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’.
Sehingga akad dibedakan menjadi dua, yaitu akad shahih dan akad yang tidak
shahih.

1. Akad Shahih
Akad shahih merupakan akad yang telah memenuhi syarat dan rukun.
Ulama’ Madhab Hanafi dan Madhab Maliki membagi akad shahih ini dalam dua
macam ;[4]
a) Akad yang nafiz, yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan
syarat dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b) Akad Mauquf, merupakan akad yang dilakukan seseorang yang mampu bertindak
atas kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan
dan melaksanakan. Seperti akadnya anak yang masih mumayyiz tapi belum baligh
sehingga dia harus mendapat izin dari wali anak itu. Menurut Madhab Syafi’i dan
Hanbali, jual beli yang mauquf itu tidak sah.
Ulama’ fiqh juga membagi jual beli yang shahih dari segi mengikat atau
tidak.
a. Akad yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, sehingga salah satu pihak
tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain. Seperti jual beli dan
sewa menyewa.
b. Akad yang tidak bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Seperti pinjam
meminjam.
2. Akad yang tidak Shahih

Page | 13| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


Akad yang tidak shahih merupakan akad yang terdapat kekurangan pada
rukun atau syaratnya. Sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi kedua belah
pihak yang melakukan akad itu. Madhab Hanafi membagi akad yang tidak shahih
ini ke dalam dua macam.[3][3]
a) Akad batil, apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukun dan larangan
langsung dari syara’. Seperti jual beli yang dilakukan anak kecil.
b) Akad fasid, akad ini pada dasarnya dibenarkan tetapi sifat yang diakadkan tidak
jelas seperti menjula mobil tidak disebitkan merknya, tahunnya, dan sebagainya.

Di atas merupakan macam-macam akad transaksi secara umum. Adapun


akad yang biasa dipakai dalam sistem ekonomi syari’ah atau lebih khusus lagi
dalam perbankan syari’ah, akan dibahas pada sub bab akad transaksi implikasinya
dalam operasional perbankan syari’ah.
1.5 Hal-hal yang Membatalkan Akad Transaksi
Ulama’ fiqh menyatakan bahwa suatu akad itu dapat menjadi batal atau
bisa dikatakan berakhir manakala terjadi hal-hal sebagi berikut ;
1) Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu.
2) Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat.
3) Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akad dapat berakhir bila :

a. Akad itu fasid


b. Berlaku khiyar syarat dan khiyar aib
c. Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad.
d. Telah tercapai tujuan akad itu secara sempurna.

4) Wafat salah satu pihak yang berakad


Namun, menurut M. Ali Hasan dalam buku yang berjudul Berbagai Macam
Transaksi dalam Islam, akad itu bisa diteruskan oleh ahli warisnya bila pewaris
itu meninggal.[4][4]

[3][3] Ibid, hal 111

[4][4] M. Ali Hasan, op., cit., hal 112

Page | 14| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


2.1 Klasifikasi akad / perjanjian

Klasifikasi akad dalam transaksi merujuk pada jenis-jenis perjanjian atau


kontrak yang digunakan dalam keuangan, perdagangan, atau aktivitas bisnis
lainnya. Ada beberapa jenis akad yang digunakan dalam transaksi, terutama dalam
konteks keuangan Islam. Berikut beberapa contoh klasifikasi akad dalam
transaksi:
1. Akad Murabahah: Ini adalah jenis akad yang digunakan dalam
perdagangan, di mana penjual membeli barang tertentu dan
kemudian menjualnya kembali kepada pembeli dengan
keuntungan yang telah ditentukan.
2. Akad Mudarabah: Dalam akad ini, ada hubungan kemitraan
antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola modal
(mudarib). Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan
sebelumnya, sedangkan risiko ditanggung oleh pemilik modal.
3. Akad Ijarah: Ini adalah akad sewa-menyewa, di mana pihak
yang memiliki barang menyewakannya kepada pihak lain
untuk jangka waktu tertentu dengan pembayaran sewa.
4. Akad Wakalah: Dalam akad ini, seorang individu atau entitas
bertindak sebagai wakil atau agen untuk melakukan transaksi
atas nama pihak lain dengan imbalan tertentu.
5. Akad Qardhul Hasan: Ini adalah akad pemberian pinjaman
tanpa bunga dan tujuan mendapatkan pahala dari Allah.
6. Akad Tawarruq: Dalam akad ini, seorang individu membeli
barang dengan harga tertentu dan kemudian menjualnya
kembali kepada pihak ketiga dengan harga lebih rendah, yang
memungkinkan pihak ketiga mendapatkan uang tunai.
7. Akad Salam dan Istisna: Dalam akad Salam, pembayaran
dilakukan di muka untuk barang yang akan diterima di masa
depan. Sedangkan dalam akad Istisna, pihak pembeli memesan
barang yang akan diproduksi sesuai dengan spesifikasi tertentu.

Page | 15| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


2.2 Cacat nya akad dalam transaksi

Unsur-unsur suatu akad dikatakan akad yang cacat adalah tidak


terpenuhinya rukun dan syarat akad pada akad tersebut seperti adanya ikrah
(paksaan), ghalath (kesalahan), gabhn (penyamaran harga), tadlis (penipuan),
jahalah (ketidakjelasan) dan gharar (pertaruhan). Akibat hukum akad yang cacat
dalam perjanjian Islam yaitu batal demi hukum dan dapat dibatalkan, akad akan
menjadi batal apabila tidak memenuhi rukun dan syarat akad sedangkan akad
dapat dibatalkan apabila mengandung unsur paksaan dan kekeliruan. Upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan karena akad yang cacat
adalah dengan melakukan khiyar (hak pilih), upaya perdamaian atau untuk
transaksi yang lebih besar dapat melakukan media arbitrase melalui Basyarnas
dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak, atau melalui
peradilan agama.

2.3 Akhir Akad


Akad dengan pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa adanya izin
dalam akad mauqud (ditangguhkan)[14]
Akad Habis dengan Pembatalan
Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya,
seperti pada masa khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan
datang, seperti pembatalan dalam sewa-menyewa dan pinjam-meminjam
yang telah disepakati selama 5 bulan, tetapi sebelum sampai lima bulan,
telah dibatalkan.
Pada akad ghair lazim, yang kedua pihak dapat membatalkan akad,
pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan barang, perwakilan dan
lain-lain, atau yang ghair lazim padasatu pihak dan lazim pada pihak
lainnya, sedperti gadai. Orang yang menerima gadai dibolehkan
membatalkan akad walaupun tanpa sepengetahuan orang yang
menggadaikan barang.

Page | 16| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


Adapun pembatalan pada akad lazim, twrdapat dalam beberapa hal
berikut:
a. ketika akad rusak,
b. adanya khiyar,
c. pembatalan akad,
d. tidak mungkin melaksanakan akad,
e. masa akad berakhir.

[14] Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung:


Pustaka Setia, 2001, hal 43

Page | 17| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


BAB III
PENUTUP

V. KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan :
1. Akad merupakan pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’
yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.
2. Secara garis besar, akad itu ada kalanya shahih dan ada kalanya tidak shahih.
3. Perbankan Syari’ah pada prinsipnya menggunakan akad-akad yang telah
diajarkan oleh Islam, seperti mudharabah, murabahah, Pembiayaan, dll.
4. Para ulama’ membenarkan akad-akad yang sesuai dengan sayari’at agama dan
mengandung kemaslahatan bukan kemadlaratan.

VI. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya sampaikan. Saya yakin dalam
penulisan makalah ini masih banyak kessalahan-kesalahan. Untuk itu, kritik dan
saran yang bersifat konstruktif sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah
yang selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat pada kita
semua. Amin.

Page | 18| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


DAFTAR PUSTAKA

Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia,


2001.
Antonio Muhammad Syafi’I, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakrta : Gema
Insani, 2001
Hasan M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat),
Jakrta : PT Raja Grafindo Persada, 2003
Karim Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2004
Mas’adi Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2002

Page | 19| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah

Anda mungkin juga menyukai