Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

FIQIH AKAD
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah fqih II

Dosen Pengampu :

Di Susun Oleh kelompok 2 :

Inda Munawar

Umaemah Tunnur

Ai Maryani

FAKULTAS TARBIYYAH

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

UNIVERSITAS ISLAM KH. RUHIAT CIPASUNG (UNIK)

TASIKMALAYA

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. serta sholawat serta salam kepada junjungan
kita Nabi besar Muhammad SAW. Atas berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Makalah Fikih Akad” telah diselesaikan
dengan baik. Makalah ini disusun ssebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi
dalam menyelesaikan tugas Mata Kuliah Fikih II‟.
Makalah ini ditugaskan secara kelompok yang tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak, baik dukungan moril ataupun materil selama proses pengerjaan. Oleh karena
itu, penyusun mengucapkan terima kasih kepada Ibu dosen Mata Kuliah Fikih II yang
telah membimbing kami dalam menyelesaikan tugas ini.
Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu, penyusun mengundang para pembaca untuk memberikan
kritik serta saran yang dapat memotivasi penyusun agar lebih baik untuk kedepannya.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penyusun
khususnya maupun bagi pembaca.

Cukangkawung, 14 Oktober 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

A. Latar Belakng........................................................................................................1
B. Rumusan Massalah................................................................................................1
C. Tujuan.....................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2

A. Pengertian Akad....................................................................................................2
B. Pembentukan Akad...............................................................................................3
C. Keinginan Mengadakan Akad Al-Iradah Al-Aqdiyah.......................................13
D. Syarat-Syarat Akad...............................................................................................14
E. Dampak Akad .......................................................................................................15
F. Pembagian dan sipat Akad...................................................................................15
G. Sipat-sipat Akad....................................................................................................16
H. Akhir Akad.............................................................................................................18

BAB III PENUTUP...........................................................................................................19

A. Kesimpulan.............................................................................................................19
B. Saran.......................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Didalam hukum syariah, akad memiliki posisi dan peranan yang sangat strategis
dalam berbagai persoalan mu‟amalah. Bahkan akad dapat menjadi salah satu penentu
sah atau tidaknya suatu transaksi. Akad yang telah terjadi mempunyai pengaruh (akibat
hukum) yang sangat luas.
Akad secara umum adalah segala sesuatu yang di kerjakan oleh seseorang
berdasarkan keinginannya sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan
gadai. Secara khusus akad adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qobul
berdasarkan ketentuan Syara' yang berdampak pada objeknya.1 Dengan demikian, akad
adalah pernyataan atau perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang
menunjukan keridhoan sehingga terjadi perikatan.
B. Rumusan Massalah
1. Apa pengertian Akad?
2. Bagaimana Pembentukan Akad?
3. Apa Keinginan Mengadakan Akad Al-Iradah Al-Aqdiyah?
4. Apa saja Syarat-Syarat Akad?
5. Bagaimana Dampak Akad ?
6. Seperti apa Pembagian dan sipat Akad?
7. Apa saja Sipat-sipat Akad?
8. Bagaimana Akhir Akad?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Akad
2. Mengetahui Bagaimana Pembentukan Akad
3. Mengetahui Apa Keinginan Mengadakan Akad Al-Iradah Al-Aqdiyah
4. Mengetahui Apa saja Syarat-Syarat Akad
5. Mengetahui Bagaimana Dampak Akad
6. Mengetahui Seperti apa Pembagian dan sipat Akad
7. Mengetahui Apa saja Sipat-sipat Akad
8. Mengetahui Bagaimana Akhir Akad

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad

Menurut segi etimologi, akad antara lain berarti: "

‫َالَّرْيُط َبْيَن َأطَر اِف الَّش ْي ِء َس َو اٍء َك اَن َرِّبًعا حسًّيا َأْم َم ْع َنِو ًّيا ِم ْن َج اِنِب َأو ِم ْن َج اِنَبْيِن‬
Artinya:

"Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari
satu segi maupun dari dua segi.

Bisa juga berarti ‫( العقدة‬sambungan), ‫ العهد‬dan ( Janji )

Menurut terminologi ulama fiqih, akad dapat ditinjau dari dua segi, secara umum
dan secara khusus:

1. Pengertian Umum

Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian
akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi'iyah, Malikiyah, dan Hanabilah,
yaitu: "
‫ُك ُّل َم ا َع َز َم اْلَم ْر ُء َع َلى ِفْعِلِه َس َو اُء َص َد َر ِباَر اَدة ُم ْنَفِر َد ٍة َك اْلَو ْقِف َو اِإْل ْبَر اِء َو الَّطاَل ِق َو اْلَيِم يِن‬

‫ام اْح َتاَج ِإَلى ِإَر اَد َتْيِن ِفي ِإْنَشاِئِه َك اْلَبْيم َو اِإْل يَج اِر َو الَّتْو ِك يِل َو الَّر ْه ِن‬
Artinya
"Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasar keinginannya sendiri, seperti
wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan
keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai."

2. Pengertian Khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqih antara lain:

‫إرتباط إيَج اِب ِبَقُبوٍر َع َلى َو ْج ِه َم ْش ُر وع َيْثُبُت َأَثَرُه ِفي َم َح ِلِه‬


Artinya:
"Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarka ketentuan syara' yang
berdampak pada objeknya."
‫َتعُلُق َكاَل ِم َأَح ِد اْلَعاِقَدْيِن ِباآْل َخ ِر َشْر َعا َع َلى َو ْج ِه َيْظَهُر َأَثُرُه في الَم َح ِّل‬
Artinya:
"Pengaitan ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syara' pada
segi yang tampak dan berdampak pada objeknya"
Contoh ijab adalah pernyataan seorang penjual, "Saya telah menjual barang ini
kepadamu." atau "Saya serahkan barang ini kepadamu "Contoh qabul, "Saya beli
barangmu" atau "Saya terima barangmu.

2
Dengan demikian, ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk
menunjukkan suatu keridaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehingga
terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara'. Oleh karena itu,
dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan
sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridaan dan syariat
Islam.

B. . Pembentukan Akad

1. Rukun Akad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul.
Adapun orang yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya
akad tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti." Ulama selain
Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun, yaitu:
a. Orang yang akad (aqid), contoh: penjual dan pembeli
b. Sesuatu yang diakadkan (maqud alaih), contoh: harga atau yang dihargakan.
c. Shighat, yaitu ijab dan qabul

Definisi Ijab dan Qabul


Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah" adalah penetapan perbuatan tertentu
yang menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang
menyerahkan maupun yang menerima, sedangkan qabul adalah orang yang berkata
setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridaan atas ucapan orang
pertama.
Berbeda dengan pendapat di atas, ulama selain Hanafiya berpendapat bahwa
ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yg menyerahkan benda, baik dikatakan
oleh orang pertama atau kedua sedangkan qabul adalah pernyataan dari orang yang
menerima barang . Pendapat ini merupakan pengertian umum dipahami orang bahwa
ijab adalah ucapan dari orang yang menyerahkan barang (penjual dalam jual beli),
sedangkan qabul adalah pernyataan dari penerima barang.

2. Unsur-Unsur Akad
Unsur-unsur akad adalah sesuatu yang merupakan pembentukan adanya akad,
yaitu berikut ini.
1) Shighat Akad
Sighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad yang
menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya suatu akad.
Hal itu dapat diketahui dengan ucapan perbuatan, isyarat , dan tulisan. Shighat
tersebut bisa disebut ijab dan qabul.

a. Metode (uslub) Shighat Ijab dan Qabul


Uslub-uslub shighat dalam akad dapat diungkapkan dengan beberapa cara,
yaitu berikut ini.

3
a) Akad dengan Lafazh (Ucapan)
Shighat dengan ucapan adalah shighat akad yang paling banyak
digunakan orang sebab paling mudah digunakan dan cepat dipahami,
Tentu saja, kedua pihak harus mengerti ucapan masing-masing serta
menunjukkan keridaannya.

 Isi lafazh
Shighat akad dengan ucapan tidak disyaratkan untuk menyebutkan
barang yang dijadikan objek-objek akad, baik dalam jual-beli, hibah,
sewa-menyewa, dan lain-lain. Hal itu disepakati oleh jumhur ulama,
kecuali dalam akad pernikahan. Di antara para ulama terdapat perbedaan
pendapat dalam shighat akad pernikahan sebab pernikahan sangat suci
dan penting.
 Lafazh shighat dan kata kerja dalam shighat
Para ulama sepakat bahwa fi'il madi (kata kerja yang menunjukkan
waktu lewat) boleh digunakan dalam akad karena merupakan kata kerja
yang paling mendekati maksud akad.
Mereka pun sepakat membolehkan penggunaan fi'il mudhari (kata
kerja yang menunjukkan waktu sedang atau akan datang). Tentu saja,
dalam hati harus diiringi niat bahwa akad tersebut dilakukan ketika itu.
Oleh karena itu, akad dianggap tidak sah jika menggunakan fi'il mudhari
yang ditujukan untuk masa yang akan datang.
Selain itu, mereka juga membolehkan penggunaan jumlah ismiyah
(kalimat yang di dalamnya terdiri atas isim atau kata benda, seperti
mubtada dan khabar) dalam shighat akad.
Mengenai shighat akad dengan meng gunakan fi'il amar (kata kerja
yang menunjuk- kan perintah) di antara para ulama terjadi perbedaan
pendapat..
Ulama Hanafiyah tidak membolehkan akad dengan fi'il amr, kecuali
dalam per- nikahan. Adapun jumhur ulama memboleh- kannya, baik
dalam jual beli atau hal-hal lainnya, sebab yang terpenting menurut
mereka adalah landasan pengucapannya, yaitu keridaan.
Adapun mengenai shighat akad dengan kalimat tanya, semua ulama
sepakat untuk tidak membolehkannya.
b) Akad dengan Perbuatan
Dalam akad, terkadang tidak digunakan ucapan, tetapi cukup dengan
perbuatan yang menunjukkan saling meridai, misalnya penjual mem-berikan
barang dan pembeli memberikan uang. Hal ini sangat umum terjadi di
zaman sekarang. Dalam menanggapi persoalan ini, di antara para ulama
berbeda pendapat, yaitu:
 Ulama Hanafiyah dan Hanabilah" mem-bolehkan akad dengan perbuatan
terhadap barang-barang yang sudah sangat diketahui secara umum oleh
manusia. Jika belum diketahui secara umum, akad seperti itu di anggap
batal.

4
 Madzhab Imam Maliki dan pendapat awal Imam Ahmad membolehkan
akad dengan perbuatan jika jelas menunjukkan kerelaan, baik barang
tersebut diketahui secara umum atau tidak, kecuali dalam pernikahan.
 Ulama Syafi'iyah, Syi'ah, dan Zhahiriyyah berpendapat bahwa akad
dengan perbuatan tidak dibenarkan karena tidak ada petunjuk yang kuat
terhadap akad tersebut. Selain itu, keridaan adalah sesuatu yang samar,
yang tidak dapat diketahui, kecuali dengan ucapan. Hanya saja, golongan
ini membolehkan ucapan, baik secara sharih atau kinayah. Jika terpaksa,
boleh pula dengan isyarat atau tulisan.
Pendapat ini dianggap paling ekstrim. Namun demikian, di antara
ulama pengikut Syafi'iyah sendiri, ada yang membolehkan akad dengan
perbuatan dalam berbagai hal, seperti Imam Nawawi, Al-Baghawi, dan
Al- Murtawalli. Ulama Syafi'iyah lainnya, seperti Ibn Suraij dan Ar-
Ruyani membolehkan akad dengan perbuatan dalam jual-beli yang
ringan, seperti membeli kebutuhan sehari-hari.
Adapun akad dalam pernikahan, para ulama sepakat hanya dibolehkan
menggunakan ucapan. Begitu pula dalam talak dan ruju. Apabila tidak
mampu berbicara, yang lebih utama adalah dengan tulisan dibandingkan
dengan isyarat.
c) Akad dengan Isyarat
Bagi orang yang mampu berbicara, tidak dibenarkan akad dengan
isyarat, melainkan harus menggunakan lisan atau tulisan, Adapun bagi
mereka yang tidak dapat berbicara, boleh menggunakan isyarat, tetapi jika
tulisannya bagus dianjurkan menggunakan tulisan. Hal itu dibolehkan
apabila ia sudah cacat sejak lahir. Jika tidak sejak lahir, ia harus berusaha
untuk tidak menggunakan isyarat.
d) Akad dengan Tulisan
Dibolehkan akad dengan tulisan, baik bagi orang yang mampu berbicara
ataupun tidak, dengan syarat tulisan tersebut harus jelas, tampak, dan dapat
dipahami oleh keduanya. Sebab tulisan sebagaimana dalam qaidah fiqhiyah:
(Tulisan bagaikan perintah).
Namun demikian, dalam akad nikah tidak boleh menggunakan tulisan
jika kedua orang yang akad itu hadir. Hal ini karena akad harus dihadiri oleh
saksi, yang harus mendengar ucapan orang yang akad, kecuali bagi orang
yang tidak dapat berbicara.
Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah berpen-dapat bahwa akad dengan
tulisan adalah sah jika dua orang yang akad tidak hadir. Akan tetapi, jika
yang akad itu hadir, tidak dibolehkan memakai tulisan sebab tulisan tidak
dibutuhkan.

5
3. Syarat-Syarat Ijab dan Qabul 24
a. Syarat terjadinya ijab dan qabul
Para ulama menetapkan tiga syarat dalam ijab dan qabul, yaitu:
 Ijab dan qabul harus jelas maksudnya sehingga dipahami oleh pihak yang
melangsungkan akad. Namun demikian, tidak disyaratkan menggunakan
bentuk tertentu.
 Antara ijab dan qabul harus sesuai.
Antara ijab dan qabul harus bersambung dan berada ditempat yang sama
jika kedua pihak hadir, atau berada di tempat yang sudah diketahui oleh
keduanya.
Bersambungnya akad dapat diketahui dengan adanya sikap saling mengetahui
di antara kedua pihak yang melangsungkan akad, seperti kehadiran keduanya
di tempat yang sama atau berada di tempat berbeda, tetapi dimaklumi oleh
keduanya.
b. Tempat akad
Tempat akad adalah tempat bertransaksi antara dua pihak yang sedang akad.
Dengan kata lain, bersatunya ucapan di tempat yang sama.
Untuk meyakinkan bahwa ijab dan qabul bersambung harus dipenuhi tiga
syarat:
 Harus di tempat yang sama. Namun demikian dibolehkan di tempat yang
berbeda, tetapi sudah dimaklumi oleh keduanya sehingga keduanya saling
memahami. Oleh karena itu, dibolehkan ijab gabul dengan telepon, surat,
dan lain-lain. Qabul tidak disyaratkan harus langsung dengan tujuan untuk
memberikan kesempatan berpikir kepada yang akad. Begitu pula
dibolehkan mengucapkan ijab dan qabul sambil berjalan.
 Tidak boleh tampak adanya penolakan dari salah seorang yang akad dan
juga tidak boleh ada ucapan lain yang memisahkan di antara perkataan
akad. Dantidak boleh diulangi atau dibatalkan sebelum ada jawaban
qabul. Begitu pula dianggap tidak sah jika ijab dan qabul diucapkan dalam
waktu bersamaan.
c. Akad yang tidak memerlukan persambungan tempat
Telah dijelaskan bahwa semua ijab dan qabul harus berada dalam satu
tempat, baik kedua pihak hadir dalam tempat yang sama atau berada pada tempat
yang berbeda tetapi dimaklumi kedua pihak. Akan tetapi, ada tiga akad yang
tidak memerlukan persyaratan tersebut, yaitu:
 Wasiat yang harus dilakukan setelah orang yang berwasiat meninggal.
 Penitipan keturunan keluarga dengan cara wasiat kepada orang lain
untuk memelihara keturunannya setelah ia meninggal.
 Perwakilan, seperti mewakilkan kepada orang yang tidak ada di tempat
yang mewakilkan

6
d. Pembatalan ijab
Ijab dianggap batal dalam hal-hal berikut:
Pengucap ijab menarik pernyataannya sebelum qabul. Adanya penolakan dari
salah satu yang akad. Berakhirnya tempat akad, yakni kedua pihak yang akad
berpisah. Pengucap ijab tidak menguasai lagi hidupnya, seperti meninggal, gila,
dan lain-lain sebelum adanya qabul. Rusaknya sesuatu yang sedang dijadikan
akad, seperti butanya hewan yang akan dijual atau terkelupasnya kulit anggur,
dan lain-lain
2) Al-Aqid (Orang yang Akad)
Al-Aqid adalah orang yang melakukan akad. Keberadaan-nya sangat penting
sebab tidak dapat dikatakan akad jika tidak ada aqid. Begitu pula tidak akan
terjadi ijab dan qabul tanpa adanya aqid.
aqid harus baligh (terkena perintah syara'), berakal, telah mampu.
Adapun ulama Syafi'iyah dan Hanabilah mensyaratkan memelihara agama dan
hartanya. Dengan demikian, ulama Hanafiyah membolehkan seorang anak kecil
membeli barang yang sederhana dan tasharruf atas seizin walinya.
Di antara akad yang dipandang sah dilakukan oleh anak mumayyiz menurut
pandangan ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah:
 Tasharrut (aktivitas atas benda) yang bermanfaat bagi dirinya secara murni,
yakni suatu akad tentang kepemilikan sesuatu yang tidak memerlukan qabul,
seperti berburu, menerima hibah, dan lain-lain.
 Tasharruf yang mengandung kemadaratan secara murni, yakni pengeluaran
barang miliknya tanpa memerlukan qabul, seperti hibah, memberikan
pinjaman, dan lain-lain.
 Tasharruf yang berada antara manfaat dan madarát, yakni akad yang
berdampak kepada untung dan rugi. Tasyaruf ini tidak dapat dilakukan oleh
anak-anak mumayyiz, tanpa seizin walinya.
Untuk lebih jelas tentang persyaratan aqid, berikut ini akan dijelaskan secara
rinci.
a. Ahli Akad
Secara bahasa, ahli adalah suatu kepantasan atau kelayakan. Sedangkan ahli
menurut istilah adalah kepantasan seseorang untuk menetapkan hak yang telah
ditetapkan baginya dan pantas untuk beraktivitas atas barang tersebut. Ahli akad
terbagi dua, yaitu ahli wujud dan ahli 'ada (pemenuhan atau pelaksanaan
kewajiban).
a) Ahli wajib
Yaitu kepantasan atau kelayakan seseorang untuk menetapkan suatu
kemestian yang harus menjadi haknya, seperti pantas menetapkan harga
yangharus diganti oleh orang yang telah merusak barang-nya atau menetapkan
harga. Bagian ini memiliki dua unsur:
Secara umum, aqid disyaratkan harus ahli dan memiliki kemampuan untuk
melakukan akad atau mampu menjadi pengganti orang lain jika ia menjadi
wakil. Ulama Malikiyah 20) dan Hanafiyah mensyaratkan aqid harus berakal,

7
yakni sudah mumayyiz, anak yang agak besar yang pembicaraannya dan
jawaban yang dilontarkannya dapat dipahami, serta berumur minimal 7 tahun.
Oleh karena itu, dipandang tidak sah suatu akad yang dilakukan oleh anak
kecil yang belum mumayyiz, orang gila, dan lain-lain.
 Unsur ijabi, yakni kepantasan untuk mengambil haknya, seperti menagih
utang, dan lain-lain.
 Unsur salabi, yakni kepantasan untuk memenuhi kewajiban, seperti
membayar utang, dan lain-lain.
Ahli wajib terbagi dua, yaitu:
1. Ahli wajib kurang
Ahli wajib kurang, yaitu kepantasan untuk menerima hak bagi dirinya
saja. Golongan ini adalah anak yang masih berada dalam kandungan ibunya.
Ia dipandang kurang dari dua segi; termasuk bagian dari ibunya dan dapat
disebut manusia yang terbebas dari ibunya sebab akan terpisah dari ibunya
sesudah tepat waktunya. Oleh karena itu, ia hanya berhak atas sesuatu yang
tidak memerlukan qabul, antara lain:
 nasab dari bapaknya
 menerima waris dari keluarganya
 menerima wasiat
 menerima bagian wakaf
Hanya saja, no. 2 dan no. 3 disyaratkan waktu lahir harus dalam keadaan
hidup. Jika meninggal, kedua hak itu, maka diberikan. kepada saudara-
saudara yang lain.
2. Ahli wajib sempurna
Ahli wajib sempurna, yaitu kepantasan seseorang untuk menerima
hak dan memenuhi kewajiban, yakni sejak seorang bayi lahir. Hak yang
dapat dikerjakan oleh anak dalam tasharruf adalah berbagai hak yang
memungkinkan untuk diwakili oleh para walinya, seperti menerima hibah
atau sesuatu yang dibeli untuk dirinya. Adapun kewajiban yang harus
dipenuhi oleh seorang anak, baik yang berhubungan dengan haknya sebagai
hamba maupun hak yang berhubungan dengan Allah adalah:
 Mengganti harta yang rusak
 Membayar hasil bumi untuk negara
 Memenuhi berbagai hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan,
seperti membayar zakat fitrah ini menurut ulama Hanafiyah dan Abu Yusuf.
Juga membayar zakat mal menurut jumhur ulama selain Hanafiyah.
Ahli 'ada adalah kelayakan seseorang untukmemenuhi kewajiban yang
telah ditetapkan syara', seperti shalat, puasa, dan haji. Landasan dalam
pemenuhan kewajiban ini adalah mumayyiz, berakal,
dan mengetahui. Dengan demikian, tidak termasuk kepada ahli 'ada,
seperti orang gila, anak dalam kandungan, anak yang belum mumayyiz, dan
lain-lain.

8
Ahli 'ada terbagi dua, yaitu:
a. Ahli 'ada kurang, yaitu kepantasan seseorang untuk memenuhi sebagian
kewajiban dan tidak pantas untuk memenuhi kewajiban lainnya.
Ahli yang termasuk gologan ini adalah anak yang berusia tujuh tahun
sampai usia baligh. Anak seperti ini hanya disebut mumayyiz. Sedikit
pun, dikategorikan sah ibadahnya, ia belum terkena kewajiban,
melainkan hanya diwajibkan untuk berlatih saja
b. Ahli 'ada sempurna, yakni orang yang telah mencapai usia baligh.
Hal-hal yang menghalangi ahli terbagi atas dua, yaitu:
a. Halangan yang bersifat samawi, yakni halangan yang ada di luar
kemampuan manusia, seperti gila, ketiduran, dan lain-lain.
b. Halangan yang diusahakan oleh manusia, seperti mabuk, utang,dan lain-
lain.
b. Al-Wilayah (Kekuasaan)
Wilayah menurut bahasa adalah penguasaan terhadap suatu urusan dan
kemampuan menegakkannya. Menurut istilah wilayah adalah kekuasaan
seseorang berdasarkan syara' yang menjadikannya mampu untuk melakukan akad
dan tasharruf.
Perbedaan antara ahli dan wilayah, antara lain ahli adalah kepantasan
seseorang untuk berhubungan dengan
akad, sedangkan al-wilayah adalah kepantasan seseorang untuk melaksanakan
akad.
Berdasarkan keberadaan ahli dan al-wilayah, akad memiliki tiga keadaan,
yaitu:
 Jika yang berakad termasuk ahli yang sempurna dan memiliki al-wilayah,
akad tersebut sahih.
 Jika yang berakad tidak termasuk ahli yang sempurna dan tidak memiliki
al-wilayah, akad tersebut dipandang batal, seperti akad orang gila.
 Jika yang berakad termasuk ahli yang sempurna, tetapi tidak memiliki al-
wilayah, akad tersebut dipandang al-fudhul (didiamkan dan tidak memiliki
hak). Contohnya adalah seseorang yang akan melakukan akad atas
kepunyaan orang lain tanpa izin pemiliknya, atau orang yang menikah
tanpa seizin orang yang berhak menikahkannya. Dalam hal ini, pendapat
para ulama terbagi atas dua macam, yaitu ada yang membolehkannya,
seperti ulama Malikiyah dan Hanafiyah dan ada pula yang melarangnya,
seperti ulama Syafi'iyah, Hanabilah, dan Zhahiriyyah.
a. Pembagian al-Wilayah
Al-Wilayah terbagi atas dua macam, yaitu:
 Asli (al-asliyah), orang yang akad memilikikekuasaan berakad untuk
dirinya. Orang ini disyaratkan harus baligh, berakal, dan normal.
 Pengganti (an-niyabah), seseorang

9
kekuasaan oleh orang lain atau mengurusi urusan orang lain. Pengganti
terbagi dua:
 Pilihan (al-ikhtiyariyah), akan dijelaskan pada bab khusus.
 Paksaan (al-ijbariyah), penyerahan kekuasaan berdasarkan ketentuan
syara' yang bertujuan untuk kemaslahatan, seperti kekuasaan bapak,
kakek, atau orang yang diberi wasiat untuk mengurusi anak kecil. Al-
ijabariyah pun dapat berbentuk penguasaan atas dirinya atau
penguasaan atas hartanya.

3) Mahal Aqd (Al-Ma'qud Alaih)


Mahal Aqd (Al-Ma'qud Alaih) adalah objek akad atau benda-benda yang
dijadikan akad yang bentuknya tampak dan membekas. Barang tersebut dapat
berbentuk harta benda, seperti barang dagangan; benda bukan harta, seperti dalam
akad pernikahan; dan dapat pula berbentuk suatu kemanfaatan, seperti dalam
masalah upah-mengupah, dan lain-lain.
Dalam Islam, tidak semua barang dapat dijadikan objek akad, misalnya
minuman keras. Oleh karena itu, fuqaha menetapkan empat syarat dalam objek
akad berikut ini.
a. Ma'qud 'alaih (barang) harus ada ketika akad
Berdasarkan syarat ini, barang yang tidak ada ketika akad tidak sah
dijadikan objek akad, seperti jual-beli sesuatu yang masih dalam tanah atau
menjual anak kambing yang masih dalam kandungan induknya. Namun
demikian, di ntara para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang akad atas
barang yang tidak tampak. Ulama Syafi'iyah dan Hanafiyah melarang secara
mutlak berbagai urusan atau barang apa saja yang tidak tampak, kecuali
dalabeberapa hal, seperti upah-mengupah, menggarap tanah, dan lain-lain.
Berkenaan dengan syarat ini, ulama Malikiyah, hanya menetapkan pada akad
yang sifatnya saling menyerahkan (al-mu'awidhat) dalam urusan harta, seperti
jual-beli. Adapun pada akad yang bersifat tabarru' (derma) seperti hibah,
sedekah, dan lain-lain, mereka tidak mensyaratkannya.
Ulama Hanabilah tidak menggunakan syarat ini, tetapi menganggap cukup
atas larangan-larangan syara' ter-hadap beberapa akad. Sebenarnya, dalam
beberapa hal, syara' membolehkan jual beli atas barang yang tidak ada, seperti
menjual buah-buahan yang masing dipohon setelah tampak buahnya. Di antara
ketentuan yang berhubungan dengan jual beli buah-buahan yang masih di
pohon atau biji-bijian yang masih di tanah adalah:
a) Ulama bersepakat tidak membolehkan penjualan buah-buah atau tanaman
apabila belum ada buahnya sebab Rasulullah SAW. melarang hal ini sampai
tampak buahnya.
b) Dibolehkan apabila bermanfaat secara sempurna bagi kedua belah pihak.
Ulama Malikiyah dan Muhammad Ibnu Hasan membolehkannya walaupun
kemanfaatan bagi kedua belah pihak tidak sempurna.

10
Adapun ulama Syafi'iyah, Abu Hanifah, dan Abu Yusuf melarangnya sebab
tidak tampak manfaatnya, padahal kemanfaatan ini sangat dituntut.
c) Jika dalam suatu kebun atau pohon, sebagian tampak baik dan yang lainnya
jelek, dibolehkan bertransaksi untuk barang yang baik saja.
b. Ma'qud 'alaih harus masyru' (sesuai ketentuan syara )
Ulama fiqih sepakat bahwa barang yang dijadikan akad harus sesuai
dengan ketentuan syara'. Oleh karena itu, dipandang tidak sah, akad atas
barang yang diharamka syara', seperti bangkai, minuman keras, dan lain-lain.
c. Dapat diberikan waktu akad
Disepakati oleh ulama fiqih bahwa barang yang dijadikan akad harus
dapat diserahkan ketika akad. Dengan demikian, ma'qud 'alaih yang tidak
diserahkan ketika akad seperti jual-beli burung yang ada di udara, harta yang
sudah diwakafkan, dan lain-lain, tidak dipandang terjadi akad.
Akan tetapi, dalam akad tabarru (derma) menurut Imam Malik
dibolehkan, seperti hibah atas barang yang kabur, sebab pemberi telah berbuat
kebaikan, sedangkan yang diberi tidak mengharuskannya untuk menggantinya
dengan sesuatu, sehingga tidak terjadi percekcokan.
d. Ma'qud 'alaih harus diketahui oleh kedua pihak yang akad
Ulama fiqih menetapkan bahwa ma'qud 'alaih harus jelas diketahui
oleh kedua pihak yang akad. Larangan As- Sunah sangat jelas dalam jual-beli
gharar (barang yang samar yang mengandung penipuan), dan barang yang
tidak diketahui oleh pihak yang akad.
‫ َنَهى َع ِن اْلَبْيِع اْلَح َص اِت َو َعْن َبْيِع الَغري‬. ‫ م‬. ‫ َأَّن الَّنِبَّي ص‬. ‫َعْن َأِبي ُهَر ْيَر َة ربع‬

‫رواه الجماعة اال البخاري‬

Artinya:

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW melarang jual-beli khushat
(membeli sejauh lemparan kerikil di tanah) dan gharar."

(HR. Al-Jamaah kecuali Bukhari)

e. Ma'qud 'alaih harus suci

Ulama selain Hanafiyah menerangkan bahwa ma'qud 'alaih harus suci,


tidak najis dan mutanajis (terkena najis). Dengan kata lain, ma'qud 'alaih yang
dapat dijadikan akad adalah segala sesuatu yang suci, yakni yang dapat
dimanfaatkan menurut syara'. Oleh karena itu, anjing, bangkai, darah, dan
lain-lain tidak boleh diperjualbelikan.

Ulama Hanafiyah tidak menetapkan syarat di atas. Oleh karena itu,


mereka membolehkan penjualan bulu binatang, kulit bangkai untuk
dimanfaatkan. Ma'qud 'alaih yang mereka larang untuk dijadikan akad adalah
yang jelas dilarang syara', seperti anjing, khamar, bangkai, dan lain- lain.

11
4) Maudhu (Tujuan) Akad

Maudhu akad adalah maksud utama disyariatkannya akad Dalam syariat


Islam, maudhu akad ini harus benar dan sesuai dengan ketentuan syara'.
Sebenarnya maudhu akad adalah sama meskipun berbeda-beda barang dan
jenisnya. Pada akad jual-beli misalnya, maudhu akad adalah pemindahan
kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli, sedangkan dalam sewa-
menyewa adalah pemindahan dalam mengambil manfaat disertai pengganti, dan
lain-lain.

Maudhu akad pada hakikatnya satu arti dengan maksud asli akad dan hukum
akad. Hanya saja, maksud asli akad dipandang sebelum terwujudnya akad; hukum
dipandang dari segi setelah terjadinya akad atau akibat terjadinya akad; sedangkan
maudhu akad berada di antara keduanya.

Pembahasan ini sangat erat kaitannya dengan hubungan. antara zhahir akad
dan batinnya. Di antara para ulama, ada yang memandang bahwa akad yang sahih
harus bersesuaian antara zahir dan batin akad. Akan tetapi, sebagian ulama lainnya
tidak mempermasalahkan masalah batin atau tujuan akad.

Menurut golongan kedua, jika akad sudah memenuhi persyaratannya, yaitu


dianggap sah, tanpa mempermasalahkan apakah mengandung unsur kemaksiatan
adalah. Dengan demikian. Akad yang mengandung unsur kemaksiatan sah secara
zahir, tetapi makruh tahrim karena mengandung kemaksiatan atau niatnya tidak
sesuai dengan ketetapan syara'.

Ulama Hanafiyah dan Syafi'iyah menetapkan beberapa hukum akad yang


dinilai secara zahir sah, tetapi makruh tahrim yaitu:

 Jual-beli yang menjadi perantara munculnya riba


 Menjual anggur untuk dijadikan khamr
 Menjual senjata untuk menunjang pemberontrakan atau fitnah, dan lain-
lain
Adapun ulama Malikiyah, Hanabilah, dan Syi'ah yang mempermasalahkan
masalah batin akad, berpendapat bahwa suatu akad tidak hanya dipandang dari
segi zahirnya saja, tetapi juga batin. Dengan demikian, tujuan memandang akad
dengan sesuatu yang tidak bersesuaian dengan ketentuan syara' dianggap batal

12
C. Keinginan Mengadakan Akad Al-Iradah Al-Aqdiyah

Keinginan mengadakan akad terbagi dua, yaitu berikut ini.

1. Keinginan batin (niat atau maksud)

Keinginan batin dapat terwujud dengan adanya kerelaan dan pilihan (ikhtiar).
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kerelaan dan pilihan adalah dua hal yang
berbeda sebab ikhtiar dapat dilakukan dengan keridaan atau tidak. Adapun menurut
ulama selain Hanafiyah, rida dan pilihan (ikhtiar) adalah sama.

2. Keinginan yang zahir

Keinginan zahir adalah sighat atau lafazh yang meng ungkapkan keinginan
batin. Apabila keinginan batin dan zahir itu sesuai, akad dinyatakan sah. Akan tetapi,
jika salah satunya tidak ada, seperti orang yang zahirnya ingin jual-beli, akadnya tidak
sah sebab keinginan batinnya tidak ada. Tentang keinginan akad ini ada beberapa
cabang, yaitu:

1) Gambaran

Dalam akad terkadang hanya tampak zahirnya saja, sedangkan batinnya


tersembunyi (tidak tampak) Akad seperti di atas, dalam beberapa hal
dikategorikan tidak sah menurut jumhur ulama, antara lain

a. akad ketika gila, tidur, belum mumayyiz, dan lain-lain;


b. tidak mengerti apa yang diucapkan,
c. akad ketika belajar, atau bersandiwara,
d. akad karena kesalahan,
e. akad karena dipaksa

2) Kebebasan dalam Akad

Para fuqaha memberikan batasan dalam akad yang menyangkut kebebasan akad
dan kebebasan dalam menetapkan syarat dalam akad.

a. Kebebasan berakad dan keridaan

Para ulama telah sepakat bahwa keridaan merupakan landasan dalam akad,
sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat An-Nisa' [4] ayat 29.

Namun demikian, di antara para ulama sendiri terdapat perbedaan pendapat


dalam menetapkan keridaan ini.

13
 Zhahiriyah, yang mempersempit tentang keridaan, berpendapat bahwa
setiap akad pada dasarnya dilarang sampai ada dalil yang
membolehkannya. Dengan demikian, setiap akad yang tidak didapatkan
dalil yang membolehkannya adalah dilarang. Mereka antara lain beralasan
bahwa syariat Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia.
 Menurut ulama Hanabilah dan lain-lain, yang memperluas masalah
keridaan, pada dasarnya setiap akad dibolehkan sampai ada dalil syara'
yang melarangnya. Mereka antara lain beralasan bahwa syara' pada
dasarnya hanya menetapkan keridaan dan ikhtiar (pilihan) pad akad.

b. Kebebasan bersyarat

Yakni kebebasan dalam memberikan syar tentang keabsahan akad. Dalam hal
ini, di antara pan ulama terbagi atas beberapa pendapat:

 Golongan Zhahiriyah yang menetapkan bahwa dasar pada syarat adalah


larangan, menetapkan bahwa setiap syarat yang tidak ditetapkan oleh
syara' adalah batil.
 Golongan kedua berpendapat bahwa dasa pada akad dan syarat adalah
kebolehan. Golongan kedua ini terbagi atas dua golongan
1. Golongan Hanabilah yang berpendapat bahwa syarat akad adalah
mutlak, yakni setiap syarat yang tidak didapatkan keharaman menurut
syara' adalah boleh.
2. Golongan selain Hanabilah yang berpendapat bahwa dasar dari syarat
akad adalah batasan, yakni setiap syarat yang tidak menyalahi batasan
yang telah ditetapkan syara' dipandang sah.
c. Kecacatan keinginan atau rida
Kecacatan keinginan atau rida adalah perkara- perkara yang mengotori
keinginan atau meng- hilangkan keridaan secara sempurna, yang disebut
kecacatan rida. Kecacatan keinginan terbagi dalam tiga macam:
a. Pemaksaan
b. Kesalahan
c. Penipuan

D. Syarat-Syarat Akad
Berdasarkan unsur akad yang telah dibahas di atas, ada beberapa macam syarat akad,
yaitu syarat terjadinya akad, syarat sah, syarat memberikan, dan syarat keharusan (lujum).
1. Syarat tejadinya Akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan kejadinya akad
secara syara. Jika tidak memenuhi syarat tersebut.akad menjadi batal. Syarat ini
terbagi atas dua bagian :
a. Umum, yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad.
b. Khusus yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak
disyaratkan pada bagian lainnya.

14
2. Syarat Sah Akad
Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara untuk menjamin
dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak. Ada
kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama Hanafiyah mensyaratkan
terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual-beli, yaitu kebodohan,
paksaan, pembatasan waktu, perkiraan ada unsur kemadaratan, dan syarat-syarat
jual beli rusak (fasid)."
3. Syarat Pelaksanaan Akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan Kekuasaan.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas
beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara'. Adapun
kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan
ketetapan syara', baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai
penggantian (menjadi wakil seseorang)
Dalam hal ini, disyaratkan antara lain:
a. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika dijadikan,
maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
b. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain
4. Syarat Kepastian Hukum (luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Di antara syarat luzum dalam jual beli
adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar, jual beli,seperti
khiyar,syarat,dan lain lain.jika luzum tampak maka akad batal atau di kembalikan.
E. Dampak Akad

Setiap akad dipastikan memiliki dua dampak, yaitu umum d Ahusus

1. Dampak Khusus
Dampak khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalan pelaksanaan
suatu akad atau maksud utama dilaksanakannya suatu akad seperti pemindahan
kepemilikan dalam jual-beli, hibah, wakaf, upah, da lain-lain.
2. Dampak Umum
Segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar akad baik dari segi
hukum maupun hasil.
F. Pembagian dan Sifat Akad
Akad dibagi menjadi beberapa macam, yang setiap macamnya sangat bergantung
pada sudut pandangnya. Di antara bagian akad yang terpenting adalah berikut ini.
1. Berdasarkan Ketentuan Syara'
a. Akad Sahih
Akad sahih adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah
ditetapkan oleh syara'. Dalam istilah ulama Hanafiyah, akad sahih adalah akad
yang memenuhi ketentuan syariat pada asalnya dan sifatnya.

15
b. Akad Tidak Sahih
Akad tidak sahih adalah akad yang tidak memenuhi unsur- dan syaratnya.
Dengan demikian, akad ini tidak berdampak hukum atau tidak sah Jumbur ulama
selain Hanafiyah menetapkan bahwa akad yang batil atau fasid termasuk golongan
ini, sedangkan ulama Hanafiyah membedakan antara fasid dan batal.
Menurut ulama Hanafiyah, akad batal adalah akad yang tidak memenuhi
rukun atau tidak ada barang yang diakadkan seperti akad yang dilakukan oleh
salah seorang yang bukan golongan ahli akad, seperti gila, dan lain-lain. Adapun
akad fasid adalah akad yang memenuhi persyaratan dan rukun, tetapi dilarang
syara', seperti menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulkan
percekcokan

2. Berdasarkan Penamaannya
a. Akad yang telah dinamai syara', seperti jual-beli, hibah, gadai, dan lain-lain.
b. Akad yang belum dinamai syara', tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman.
3. Berdasarkan Maksud dan Tujuan Akad
a. kepemilikan,
b. menghilangkan kepemilikan
c. kemutlakan, yaitu seseorang mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya
d. perikatan, yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktivitas, seperti orang gila;
e. penjagaan.
4. Berdasarkan Zatnya
a. benda yang berwujud (al-'ain)
b. benda tidak berwujud (ghair al-'ain)
G. Sifat-sifat Akad
Segala bentuk tasharaf (aktivitas hukum) termasuk akad memiliki dua keadaan
umum."
1. Akad Tanpa Syarat (Akad Munjiz)
Akad mumjiz adalah akad yang diucapkan seseorang, tanpa memberi batasan
dengan suatu kaidah atau tanpa menetapkan suatu syarat Akad seperti ini dihargai
syara' sehingga menimbulkan dampak hukum. Contoh, seseorang berkata, "Saya
membeli rumah kepadam Lalu dikabulkan oleh seorang lagi, maka berwujudlah akad,
serta berak pada hukum waktu itu juga, yakni pembeli memiliki rumah dan penjual
memiliki uang.
2. Akad Bersyarat (Akad Ghair Munji)
Akad ghair munjir adalah akad yang diucapkan seseorang dan dikaitkan
dengan sesuatu, yakni apabila syarat atau kaitan itu tidak ada akad pun tidak jadi, baik
dikaitkan dengan wujud sesuatu tersebut atau ditangguhkan pelaksanaannya.

16
Contohnya, seseorang berkata, "Saya jual mobil ini dengan harga Rp
40.000.000,- jika disetujui oleh atasan saya." atau berkata, "Saya jual mobil ini
dengan syarat saya boleh memakainya selama sebulan, sesudah itu akan saya
serahkan kepadamu."

Akad ghair monjiz ada tiga macam

a. Ta'liq syarat,
b. Taqyid syarat.
c. Syarat idhafah
a. Ta'liq syarat
Ta'liq syarat adalah lawan dari tanjir, yaitu:

Artinya

"Menautkan hasil sesuatu urusan dengan urusan yang lain." Yakni terjadinya suatu
akad bergantung pada urusan lain. Jika urusan lain tidak terjadi atau tidak ada, akad
pun tidak ada, seperti perkataan seseorang. "Jika orang yang berutang kepada Anda
pergi, saya menjamin utangnya."

Orang yang akan menanggung utang (kafil) menyangkut kan kesanggupannya untuk
melunasi utang pada perginya orang yang berutang tersebut. Ta'liq syarat ini
memerlukan dua ungkapan, Ungkapan pertama mengharuskan adanya syarat, seperti
dengan kata jika dan kalau, yang dinamakan ungkapan syarat. Adapun ungkapan
kedua dinamakan ungkapan jaza (balasan) Dua ungkapan ini boleh didahulukan yang
mana saja.

b. Taqyid syarat
Pengertian taqyid syarat adalah:

‫ التزام حكيم في الَّتَصُّر ِف اْلَقْو ِل اَل َيْس َتْلِزُم ُه ذاِلَك الَّتَصُّر ُف ِفي َح اَلِة اِإْل ْطاَل ِق‬.
Artinya:

"Pemenuhan hukum dalam tasharruf ucapan yang sebenarnya tidak menjadi lazim
(wajib) tasharruf dalam keadaan mutlak." yaitu syarat pada suatu akad atau tasharruf
yang hanya berupa ucapan saja sebab pada hakikatnya tidak ada atau tidak mesti
dilakukan.

Contoh taqyid syara' seperti orang yang menjual barang dengan syarat ongkos
pengangkutannya ditanggung penjual. Penjual mengaku atau berjanji untuk
memenuhi persyaratan tersebut, yaitu memikili ongkos. Sebenarnya, iltijam tersebut
tidak bersyarat karena akad yang mutlak tidak mengharuskan ongkos angkutan itu
dipikul oleh si penjual.

3. Syarat idhafah

17
Maknanya menyandarkan kepada suatu masa yang akan datang atau idhafah
mustaqbal, ialah:

‫ تأخير حكم الَّتَص ُّر ِف اْلَقْو ِلي ِإَلى َز َم اٍن ُم ْس َتَقَبٍل ُم َعَتْيِن‬.
Artinya:"Melambatkan hukum tasharruf gauli ke masa yang akan datang

Seperti dikatakan, "Saya menjadikan Anda sebagai wakil saya mulai awal tahun
depan." Ini contoh syarat yang di-idhafah- kan ke masa yang akan datang Zaman
mustaqbal ini adakalanya malhudh dapat dirasaka sendiri atau terpahami sendiri dari
akad, seperti pada wasiat Wasiat memberi pengertian bahwa wasiat itu berlaku
sesudah yang berwasiat wafat.

Adapun tabarru' (derma) munjiz yang berlangsung berlai ialah seperti hibah dan
sedekah.

H. Akhir Akad
Akad dapat berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia, atay tanpa adanya izin
dalam akad mauquf (ditangguhkan).

Akad Habis dengan Pembatalan

Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya, seperti pada masa
khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang, seperti pembatalan dalam sewa-
menyewa dan pinjam-meminjam yang telah disepakati selama 5 bulan, tetapi sebelum
sampai lima bulan, telah dibatalkan.

Pada akad ghair lazim, yang kedua pihak dapat membatalkan akad, pembatalan ini
sangat jelas, seperti pada penitipan barang, perwakilan, dan lain-lain, atau yang ghair
lazim pada satu pihak dan lazim pada pihak lainnya, seperti gadai. Orang yang menerima
gadai dibolehkan membatalkan akad walaupun tanpa sepengetahuan orang yang
menggadaikan barang.

Adapun pembatalan pada akad lazim, terdapat dalam beberapa hal berikut:

a. ketika akad rusak


b. adanya khiyar
c. pembatalan akad
d. tidak mungkin melaksanakan akad
e. masa akad berakhir

18
.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas bisa di ambil kesimpulan bahwa akad adallah Segala sesuatu
yang dikerjakan oleh seseorang berdasar keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak,
pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang
seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai. Sedangkan menurut para ulama fiqih AKAD
adallah Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarka ketentuan syara' yang
berdampak pada objeknya.
Dengan demikian, ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk
menunjukkan suatu keridaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehingga
terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara'. Oleh karena itu,
dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai
akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridaan dan syariat Islam.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan, ada sejumlah saran yang perlu
disampaikan agar lebih memmahami tentang pengertian akad itu sendiri, dan mengetahui
rukun beserta syarat -syaratnya

19
DAFTAR PUSTAKA

Wahab Al-Juhaili, Al-fiqh Al-islami wa Adilatuh, juj IV, Damsyik, Dar Al-Fikr,1989

Ibnu Taimiyyah,Nahariyah AlAqdi. Hlm 18-21, 78

Ibnu Abidin, Radd Al-Mukhtar ‘Ala Dar Al-Mukhtar

20

Anda mungkin juga menyukai