Anda di halaman 1dari 21

AQAD

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu: Dr. Rial Fuadi S.Ag., M.Ag.

Disusun Oleh:
1. Riham Amelia (202111117)
2. Mutia Eka Pramandita (202111138)
3. Muthiah Nur Jannah (202111144)

HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat
serta Hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah ini yakni dengan judul Aqad.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan
Nabi Agung Muhammad SAW. Yang telah membawa kita dari jaman
kegelapan hingga zaman yang terang benderang seperti saat ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak dosen yaitu Dr. Rial
Fuadi S.Ag., M.Ag., dan semua pihak yang telah membimbing dan
membantu kita dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari jika makalah ini masih memiliki banyak
kekurangan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Maka dari
itu, kritik dan saran yang memiliki unsur mebangun kami butuhkan dari
para pembaca dan kami harapkan bisa berguna demi sempurnanya makalah
ini nantinya.

Surakarta, 07 Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………….……………………..…..i
DAFTAR ISI……………………….…………………………………...ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………..…..1
A. Latar Belakang……………………….……………………....1
B. Rumusan Masalah……………………….……….…………..2
C. Tujuan Penulisan……………………….…………………….2
BAB II PEMBAHASAN……………………….…………………….....3
A. Pengertian Aqad……………………….……………………..3
B. Rukun Dan Syarat Aqad……………………….……………..4
C. Macam-Macam Aqad……………………….………………..6
D. Kedudukan Aqad……………………….…………………….11
E. Aqad Murabahah Dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang
Murabahah……………………….…………………………..14
F. Berakhirnya Aqad……………………….……….…………..15
BAB III PENUTUP…………………………………………..……...…..17
A. Kesimpulan……………………….……………………..……..17
B. Saran……………………….…………………………………...17
DAFTAR PUSTAKA……………………….…………………………...18

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aqad merupakan perjanjian tertulis yang memuat ijab
(penawaran) dan qabul (penerimaan) antara satu pihak dengan pihak
lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing sesusi dengan
prinsip syariah. Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari’ah telah merumuskan maksud dari aqad, bahwa
“Aqad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit
Usaha Syariah dan pihak lain yang membuat adanya hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip
Syariah”. Perjanjian aqad mempunyai arti penting dalam kehidupan
masyarakat. Ia merupakan “dasar dari sekian banyak aktivitas
keseharian kita”.
Aqad memfasilitasi setiap orang dalam memenuhi kebutuhan
dan kepentingannya yang tidak dapat dipenuhinya sendiri tanpa
bantuan dan jasa orang lain. Karenanya dapat dibenarkan bila
dikatakan bahwa akad merupakan sarana sosial yang ditemukan oleh
peradaban umat manusia untuk mendukung kehidupannya sebagai
makhluk sosial. Aqad murabahah, adalah salah satu aqad yang
sering dimunculkan dalam perbankan syariah untuk kegiatan
perusahaan dalam pembiayaan syariah. Aqad ini sering ditawarkan
oleh pihak bank kepada nasabah dan sering juga masyarakat
menggunakannya, dengan alasan keunggulan dari aqad murabahah
itu sendiri yaitu diantaranya jual beli.

1
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka terdapat
beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan aqad?
2. Apa saja syarat-syarat dan rukun-rukun aqad?
3. Apa macam-macam aqad?
4. Bagaimana kedudukan aqad?
5. Kapan berakhirnya aqad?
C. Tujuan
Dari uraian rumsan masalah diatas, maka terdapat beberapa
tujuan sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan pengertian aqad
2. Untuk menjelaskan syarat-syarat dan rukun-rukun aqad
3. Untuk menjelaskan macam-macam aqad
4. Untuk menjelaskan kedudukan aqad
5. Untuk menjelaskan kapan Berakhirnya akad

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aqad
Secara literal, aqad berasal dari bahasa arab yang berarti
perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang
mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang beraqad.
Dalam kitab fiqih sunnah, kata aqad diartikan dengan hubungan dan
kesepakatan.
Secara terminologi ulama fiqih, aqad dapat ditinjau dari segi
umum dan segi khusus. Dari segi umum, pengertian aqad sama
dengan pengertian aqad dari segi bahasa menurut ulama Syafi’iyah,
Hanafiyah, dan Hanabilah yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh
seseorang berdasakan keinginananya sendiri seperti waqaf, talak,
pembebasan, dan segala sesuatu yang pembentukannya
membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan
gadai. Sedangkan dari segi khusus yang dikemukakan oleh ulama
fiqih antara lain:
 Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan
ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.1
 Keterkaitan ucapan antara orang yang berakad secara syara’ pada
segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.
 Terkumpulnya adanya serah terima atau sesuatu yang
menunjukan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan
hukum.
 Perikatan ijab qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan
keridhaan kedua belah pihak.
 Berkumpulnya serah terima diantara kedua belah pihak atau
perkataan seseorang yang berpengaruh pada kedua belah pihak.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan bahwa kedudukan dan
fungsi aqad adalah sebagai alat paling utama dalam sah atau

1
Ibnu ‘Abidin, “Radd al-Muktar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar”, dikutib oleh Nasrun Haroen, “Fiqh
Mu’amalah”, cet. III, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hal. 97.

3
tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah. Aqad
yang menyalahi syariat seperti agar kafir atau akan berzina, tidak
harus ditepati. Aqad-aqad yang dipengaruhi aib adalah aqad-aqad
pertukaran seperti jua lbeli dan aqad sewa.

B. Rukun dan Syarat Aqad


Aqad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh
dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing, maka
timbul bagi kedua belah pihak haq dan iltijam yang diwujudkan oleh
aqad.2
 Rukun-rukun aqad ialah sebagai berikut:
1. ‘Aqid ialah orang yang beraqad, terkadang masing-masing
pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa
orang. Misalnya penjual dan pembeli beras di pasar biasanya
masing-masing pihak satu orang, ahli waris sepakat untuk
memberikan sesuatu kepada pihak lain yang terdiri dari
beberapa orang, misalnya penjual dan pembeli beras di pasar
biasanya masing-masing pihak satu orang, ahli waris sepakat
untuk memberikan sesuatu kepada pihak lain yang terdiri
dari beberapa orang. Seseorang yang beraqad terkadang
orang yang memiliki haq (aqid ashli) dan terkadang
merupakan wakil dari yang memiliki haq.
2. Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda yang diaqadkan, seperti
benda-benda yang dijual dalam aqad jual beli, dalam aqad
hibbah (pemberian), dalam aqad gadai, utang yang dipinjam
seseorang dalam aqad kafalah.3
3. Maudhu’ al ‘aqad ialah tujuan atau maksud pokok
mengadakan aqad. Berbeda aqad, maka berbedalah tujuan
pokok aqad. Dalam aqad jual beli tujuan pokoknya ialah

2
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2010), Cet Ke- 1, h. 180

3
Abdul Rahman Ghazaly, op.cit., h. 52

4
memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan
diberi ganti. Tujuan aqad hibah ialah memindahkan barang
dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa ada
pengganti (‘iwadh). Tujuan pokok akad ijarah adalah
memberikan manfaat dengan adanya pengganti. Tujuan
pokok ijarah adalah memberikan manfaat dari seseorang
kepada yang lain tanpa ada pengganti.
4. Sighat al‘aqd ialah ijab dan qabul, ijab ialah permulaan
penjelasan yang keluar dari salah seorang yang beraqad
sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan aqad,
sedangkan qabul ialah perkataan yang keluar dari pihak
berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian
ijab qabul dalam pengalaman dewasa ini ialah bertukarnya
sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli
dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan,
misalnya seseorang yang berlangganan majalah panjimas,
pembeli mengirimkan uang melalui pos wesel dan pembeli
menreima majalah tersebut dari petugas pos.4
 Syarat-syarat Aqad
Setiap pembentuk, aqad atau aqad mempunyai syarat yang
ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan, syarat-syarat
terjadinya aqad ada dua macam, yaitu:
1. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang
wajib sempurna wujudnya dalam berbagai aqad.5
2. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang
wujudnya wajib ada dalam sebagian aqad. Syarat khusus ini
bisa juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada
disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya
saksi dalam pernikahan

4
H. A. Syafii Jafri, Fiqh Muamalah, ( Pekanbaru: Suska Pres, 2008), h. 32

5
Ahmad Wardi Muslich, op.cit., h. 151

5
o Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai
macam aqad yaitu:
1. Kedua orang yang melakukan aqad cakap bertindak
(ahli). Tidak sah aqad orang yang tidak cakap
bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di
bawah pengampuan (mahjur) karena boros atau yang
lainnya.
2. Yang dijadikan objek aqad dapat menerima
hukumnya.
3. Aqad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang
yang mempunyai hak melakukannya walaupun dia
bukan aqid yang memiliki barang.
4. Janganlah aqad itu aqad yang dilarang oleh syara’,
seperti jual beli mulasamah.
5. Aqad dapat memberikan faidah sehingga tidaklah sah
bila rahn dianggap sebagai imbangan amanah.
6. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi
kabul. Maka bila orang yang berijab menarik kembali
ijabnya sebelum kabul, maka batalah ijabnya.
7. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila
seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum
adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.6

C. Macam-Macam Aqad
Pembagian aqad dibedakan menjadi beberapa bagian
berdasarkan sudut pandang yang berbeda, yaitu:
1. Berdasarkan ketentuan syara’
a) Aqad shahih
aqad shahih adalah aqad yang memenuhi unsur dan syarat
yang ditetapkan oleh syara’. Dalam istilah ulama

6
Abdul Rahman Ghazaly, op.cit., h.55

6
Hanafiyah, aqad shahih adalah aqad yang memenuhi
ketentuan syara’ pada asalnya dan sifatnya.
b) Aqad tidak shahih
adalah aqad yang tidak memenuhi unsur dan syarat yang
ditetapkan oleh syara’. Dengan demikian, aqad ini tidak
berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur ulama selain
Hanafiyah menetapkan aqad bathil dan fasid termasuk
kedalam jenis aqad tidak shahih, sedangkan ulama
Hanafiyah membedakan antara fasid dengan batal. Menurut
ulama Hanafiyah, aqad batal adalah aqad yang tidak
memenuhi memenuhi rukun atau tidak ada barang yang
diaqadkan seperti aqad yang dilakukan oleh salah seorang
yang bukan golongan ahli aqad. Misalnya orang gila, dan
lain-lain. Adapun aqad fasid adalah aqad yang yang
memenuhi persyaratan dan rukun, tetapi dilarang syara’
seperti menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat
menimbulkan percekcokan.7
2. Berdasarkan ada dan tidak adanya qismah
a) aqad musamah, yaitu aqad yang telah ditetapkan syara’ dan
telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan
ijarah.
b) Ghair musamah yaitu aqad yang belum ditetapkan oleh
syara’ dan belum ditetapkan hukumnya.
3. Berdasarkan zat benda yang diaqadkan
a) benda yang berwujud
b) benda tidak berwujud.
4. Berdasarkan adanya unsur lain didalamnya
a) Akad munjiz yaitu aqad yang dilaksanakan langsung pada
waktu selesainya aqad. Pernyataan akad yang diikuti dengan
pelaksaan aqad adalah pernyataan yang disertai dengan

7
Ibid., h. 58

7
syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan
adanya aqad.
b) Aqad mu’alaq adalah aqad yand didalam pelaksaannya
terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam aqad,
misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang
diaqadkan setelah adanya pembayaran.
c) Aqad mudhaf ialah aqad yang didalam pelaksaannya
terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksaan
aqad, pernyataan yang pelaksaannya ditangguhkan hingga
waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada
waktu aqad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum
tidanya waktu yang ditentukan.8
5. Berdasarkan disyariatkan atau tidaknya aqad
a) Aqad musyara’ah ialah aqad-aqad yang debenarkan syara’
seperti gadai dan jual beli.
b) Aqad mamnu’ah ialah aqad-aqad yang dilarang syara’
seperti menjual anak kambing dalam perut ibunya.
6. Berdasarkan sifat benda yang menjadi objek dalam aqad
1. Aqad ainniyah ialah aqad yang disyaratkan dengan
penyerahan barang seperti jual beli.
2. Aqad ghair ‘ainiyah ialah aqad yang tidak disertai dengan
penyerahan barang-barang karena tanpa penyerahan
barangpun aqad sudah sah.
7. Berdasarkan cara melakukannya
a) Aqad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu
seperti aqad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan
petugas pencatat nikah.
b) Aqad ridhaiyah ialah akad yang dilakukan tanpa upacara
tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak seperti
aqad-aqad pada umumnya.
8. Berdasarkan berlaku atau tidaknya aqad

8
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Loc. Cit., hal. 25., Asmuni (2),Loc. Cit.,hal.

8
1. Aqad nafidzah, yaitu aqad yang bebas atau terlepas dari
penghalang-penghalang aqad.
2. Aqad mauqufah, yaitu aqad-aqad yang bertalian dengan
persetujuan-persetujuan seperti aqad fudluli (aqad yang
berlaku setelah disetujui pemilik harta).
9. Berdasarkan luzum dan dapat dibatalkan
a) Aqad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak
dapat dipindahkan seperti aqad nikah. Manfaat perkawinan,
seperti bersetubuh, tidak bisa dipindahkan kepada orang lain.
Akan tetapi, aqad nikah bisa diakhiri dengan dengan cara
yang dibenarkan syara’.
b) Aqad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak, dapat
dipindahkan dan dapat dirusakkan seperti aqad jual beli dan
lain-lain.
c) Aqad lazimah yang menjadii hak kedua belah pihak tanpa
menunggu persetujuan salah satu pihak. Seperti titipan boleh
diambil orang yang menitip dari orang yang dititipi tanpa
menungguu persetujuan darinya. Begitupun sebalikanya,
orang yang dititipi boleh mengembalikan barang titipan pada
orang yang menitipi tanpa harus menunggu persetujuan
darinya.
10. Berdasarkan tukar menukar hak
a) Aqad mu’awadhah, yaitu aqad yang berlaku atas dasar
timbal balik seperti aqad jual beli.
b) Aqad tabarru’at, yaitu aqad-aqad yang berlaku atas dasar
pemberian dan pertolongan seperti aqad hibah.
c) Aqad yang tabaru’at pada awalnya namun menjadi aqad
mu’awadhah pada akhirnya seperti aqad qarad dan kafalah.
11. Berdasarkan harus diganti dan tidaknya
a) aqad dhaman, yaitu aqad yang menjadi tanggung jawab
pihak kedua setelah benda-benda aqad diterima seperti
qarad.

9
b) Aqad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik
benda bukan, bukan oleh yang memegang benda, seperti
titipan.
c) Aqad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu
seginya adalah dhaman dan segi yang lain merupakan
amanah, seperti rahn.
12. Berdasarkan tujuan aqad
a) Tamlik: seperti jual beli
b) Mengadakan usaha bersama seperti syirkah dan mudharabah
c) Tautsiq (memperkokoh kepercayaan) seperti rahn dan
kafalah
d) Menyerahkan kekuasaan seperti wakalah dan washiyah
e) Mengadakan pemeliharaan seperti ida’ atau titipan
13. Berdasarkan faur dan istimrar
a) qad fauriyah, yaitu aqad-aqad yang tidak memerlukan waktu
yang lama, pelaksaaan aqad hanya sebentar saja seperti jual
beli.
b) Aqad istimrar atau zamaniyah, yaitu hukum aqad terus
berjalan, seperti I’arah.
14. Berdasarkan asliyah dan tabi’iyah
a) aqad asliyah yaitu aqad yang berdiri sendiri tanpa
memerlukan adanya sesuatu yang lain seperti jual beli dan
I’arah.
b) Aqad tahi’iyah, yaitu akad yang membutuhkan adanya yang
lain, seperti aqad rahn tidak akan dilakukan tanpa adanya
hutang.9

D. Kedudukan Aqad
Di dalam mempelajari kedudukan aqad dalam fikih
muamalah, tentunya tidak terlepaskan dari pembahasan tentang aqad

9
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), H.51-55.

10
sebagai perbuatan hukum, sah dan batalnya aqad, dan cacat dalam
aqad.
1. Aqad sebagai Perbuatan Hukum
Aqad sebagai perbuatan hukum atau tindakan hukum dapat
dilihat dari definisi-definisi aqad atau kontrak diantaranya;
Dalam ensiklopedi hukum Islam dikemukakan bahwa aqad
adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul
(pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat
yang berpengaruh pada obyek perikatan.10 Yang dimaksud
dengan “yang sesuai dengan kehendak syariat” adalah bahwa
seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak
boleh apabila tidak sejalan dengan kehendak syarak. Sedangkan
pencantuman kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan”
maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu
pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang
menyatakan kabul). Selanjutnya definisi aqad yang dikutip oleh
Symasul Anwar yakni, “Pertemuan ijab (penawaran) yang
datang dari salah satu pihak dengan Qabul (akseptasi) yang
diberikan oleh pihak lain secara sah menurut hukum yang
tampak akibatnya pada obyek aqad.”11
Definisi di atas menggambarkan bahwa akad dalam hukum
Islam merupakan suatu tindakan hukum yang berdasarkan
kehendak murni dan bebas dari paksaan. Hanya saja akad
haruslah merupakan tindakan hukum berdasarkan kehendak dari
dua pihak yang saling bertemu.
Menurut Mustafa Ahmad az-zarqa, menyatakan bahwa
tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk
yaitu tindakan berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan
kemudian tindakan yang berupa perkataan pun terbagi dua yaitu

10
Abdul Aziz Dahlan, ed., “Ensiklopedi Hukum Islam”, cet. I, Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 1996., hal 63, artikel “Akad”.

11
Syamsul Anwar, Loc. Cit., hal. 7.

11
yang bersifat aqad dan yang tidak bersifat aqad. Tindakan
berupa perkataan yang bersifat aqad terjadi bila dua atau
beberapa pihak mengikatkan diri untuk melakukan suatu
perjanjian.
2. Sah dan Batalnya Aqad
Aqad menjadi sah jika rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut
dipenuhi dan tidak sah apabila rukun dan syarat tersebut tidak
dipenuhi. Namun berhubung syarat-syarat akad itu bermacam-
macam jenisnya. Maka keabsahan dan kebatalan aqad, menjadi
bertingkat-tingkat, hanya sejauh mana rukun dan syarat-syarat itu
dipenuhi. Dalam Mazhab Hanafi tingkat kebatalan dan
keabsahan dibagi menjadi lima tingkat yang sekaligus
menggambarkan urutan aqad dari yang paling tidak sah hingga
sampai yang paling tinggi tingkat keabsahannya yakni:
a) Aqad batil
b) Aqad fasid
c) Aqad maukuf
d) Aqad nafiz gair lazim, dan
e) Aqad nafiz lazim.12
Menurut Jumhur Ulama, “fasid” semakna dengan batil, tidak
membedakan keduanya yakni sama-sama satu bingkai, sama-
sama aqad yang batal tidak menimbulkan konsekuensi apapun. 13
Dari aqad dalam beragam tingkat kebatalan dan keabsahan
tersebut di atas dibagi menjadi dua golongan pokok yakni :
a) Aqad yang tidak sah yaitu terdiri aqad batal dan aqad
fasid,
b) Aqad yang sah ada tiga tingkatan yakni aqad maukuf,
aqad nafiz gair lazim, dan akad nafiz lazim.
3. Cacat Dalam Aqad

12
Syamsul Anwar,Loc. Cit., hal. 21.

13
Asmuni (1), Loc. Cit., hal. 10.

12
Tidak setiap aqad (kontrak) mempunyai kekuatan hukum
mengikat untuk terus dilaksanakan. Namun ada kontrak-kontrak
tertentu yang mungkin menerima pembatalan, hal ini karena
disebabkan adanya beberapa cacat yang bisa menghilangkan
keridhaan (kerelaan) atau kehendak sebagian pihak. Adapun
faktor-faktor yang merusak ketulusan atau keridhaan seseorang
adalah sebagai berikut :
a) Paksaan/ Intimidasi (Ikrah)
Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum
untuk melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau
perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan atau
ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang
untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan.14
b) Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath)
Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek
aqad atau kontrak.
c) Penyamaran Harga Barang (Ghubn)
Ghubn secara bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah
ilmu fiqih, artinya tidak wujudnya keseimbangan antara
obyek aqad (barang) dan harganya, seperti lebih tinggi atau
lebih rendah dari harga sesungguhnya.

E. Aqad Murabahah dan Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang


Murabahah
Kata Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu
yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan
menurut istilah Murabahah adalah salah satu bentuk jual beli barang
pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.
Dalam pengertian lain Murabahah adalah transaksi penjualan barang

14
Nur Kholis, “Modul Transaksi Dalam Ekonomi Islam”, tnp, Yogyakarta, 2006, hal. 27.

13
dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang
disepakati oleh penjual dan pembeli.15 Pembayaran atas aqad jual
beli Murabahah dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal
inilah yang membedakan Murabahah dengan jual beli lainnya adalah
penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok
yang dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh.
Landasan Syari’ah Akad Murabahah antara lain dalam Al-
Qur’an Surat An-Nissa’: 29 Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu”. Dalam Al-Qur’an Surat Al-
Baqarah: 275 Artinya: “..................Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba”. Al-Hadits Dari Abu Sa'id Al-Khudri
bahwa Rasullulah SAW bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu harus
dilakukan suka sama suka.” (HR. Al-Baihaqi, Ibnu Majah dan Shahi
menurut Ibnu Hibban).16
Fatwa DSN tentang Murabahah
1) Fatwa 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah
2) Fatwa13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka dalam
Murabahah
3) Fatwa 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon Dalam Murabahah
4) Fatwa17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah
Mampu yang Menunda Pembayaran
5) Fatwa 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan dalam
Murabahah
6) Fatwa 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan
Murabahah
7) Fatwa 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang
Murabahah bagi Nasabah Tak Mampu Bayar

15
Nasrun Haroen, Loc. Cit., hal. 115.

16
Ibid., hal 5 s/d 13.

14
8) Fatwa 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali
Tagihan Murabahah
9) Fatwa 49/DSN/MUI/II/2005 tentang Konversi Akad
Murabahah17

F. Berakhirnya Aqad
Berakhirnya akad bisa disebabkan karena fasakh, kematian
atau karena tidak adanya izin pihak lain dalam akad yang mauquf;
1) Berakhirnya aqad karena fasakh
Yang menyebabkan timbulnya fasakhnya aqad yakni:
a. Fasakh karena fasadnya aqad Jika suatu akad berlangsung
secara fasid maka aqad harus difasakhkan baik oleh pihak
yang beraqad maupun oleh putusan pengadilan atau dengan
kata lain sebab ia fasakh, karena adanya hal-hal yang tidak
dibenarkan syara’ seperti aqad rusak.
b. Fasakh karena khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau
majlis, yang berhak khiyar, berhak memfasakh bila
menghendakinya, kecuali dengan kerelaan pihak lainnya
atau berdasarkan keputusan pengadilan.
c. Fasakh berdasarkan iqalah Iqalah ialah memfasahkan aqad
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Atau salah satu
pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena
merasa menyesal.
d. Fasakh karena tiada realisasi Karena kewajiban yang
ditimbulkan oleh adanya aqad tidak dipenuhi oleh pihak-
pihak yang bersangkutan. Fasakh ini berlaku pada khiyar
naqd (pembayaran) yakni pembeli tidak melunasi
pembayaran, atau jika pihak penjual tidak menyerahkan
barang dalam batas waktu tertentu.

17
Kerjasama Dewan Syariah Nasional MUI – Bank Indonesia, “Himpunan Fatwa Dewan
Syariah Nasional MUI”, Ed. Revisi, cet. III, Cipayung Ciputat: CV Gaung Persada, 2006, hal.
20.

15
e. Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan aqad telah
terealisir. Jika batas waktu yang ditetapkan dalam aqad
telah berakhir atau tujuan aqad telah terealisir maka aqad
dengan sendirinya menjadi fasakh (berakhir) seperti sewa
menyewa.18
2) Berakhirnya Aqad Karena Kematian
3) Berakhirnya Aqad Karena Tidak adanya izin pihak lain Aqad
mauquf berakhir apabila pihak yang mempunyai wewenang tidak
mengijinkannya dan atau meninggal.
 Para ulama fiqh menyatakan bahwa aqad dapat berakhir apabila:
1) Berakhirnya masa berlaku aqad itu, apabila aqad itu
mempunyai tenggang waktu.
2) Dibatalkan oleh pihak- pihak yang beraqad, apabila aqad
itu sifatnya tidak mengikat.
3) Dalam aqad yang bersifat mengikat, suatu aqad dapat
dianggap berakhir jika:
a. Jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur tipuan salah
satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi
b. Aqad itu tidak dilaksanankan oleh salah satu pihak
c. Tercapainya tujuan aqad itu sampai sempurna
4) Salah satu pihak yang beraqad meninggal dunia.19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kedudukan dan fungsi aqad adalah sebagai alat paling utama
dalam sah atau tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari
muamalah. Aqad yang menyalahi syariat seperti agar kafir atau akan

18
Ghufran A. Mas’adi, Loc. Cit.,hal. 115., Gemala Dewi dkk, Loc. Cit.,hal. 92., Ahmad Azhar
Basyir, Loc. Cit., hal. 130.

19
Ghufron A. Mas’adi, Loc. Cit.,hal. 116.

16
berzina, tidak harus ditepati. Aqad-aqad yang dipengaruhi aib adalah
aqad-aqad pertukaran seperti jua lbeli dan aqad sewa.
Rukun-rukun aqad ialah sebagai berikut: Aqad ialah orang
yang berakad, Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda yang diakadkan,
Maudhu’ al ‘aqad ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan
akad, Sighat al ‘aqd ialah ijab dan qabul.
Kedudukan dan fungsi Aqad yaitu Aqad sebagai Perbuatan
Hukum, Sah dan Batalnya Aqad dan Cacat Dalam Aqad. Aqad
Murabahah dan Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Murabahah,
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan
harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh
penjual dan pembeli. Pembayaran atas akad jual beli Murabahah
dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal inilah yang
membedakan Murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual
harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang
dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh.
Berakhirnya aqad karena fasakh, Berakhirnya Aqad Karena
Kematian Berakhirnya Aqad Karena Tidak adanya izin pihak lain
Aqad mauquf berakhir apabila pihak yang mempunyai wewenang
tidak mengijinkannya dan atau meninggal.

B. Saran
Masyarakat islam di Indonesia memahami secara ,mendalam
mengenai aqad, karena aqad sangat sering digunakan dalam kegiatan
muamalah sehari-sehari agar sesuai dengan syari’at Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu ‘Abidin, “Radd al-Muktar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar”, dikutib oleh
Nasrun Haroen, “Fiqh Mu’amalah”, cet. III, Gaya Media Pratama,
Jakarta, 2007, hal. 97.

Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum


Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet Ke- 1, h. 180

Abdul Rahman Ghazaly, op.cit., h. 52

17
Abdul Rahman Ghazaly, op.cit., h.55

H. A. Syafii Jafri, Fiqh Muamalah, ( Pekanbaru: Suska Pres, 2008), h. 32

Ahmad Wardi Muslich, op.cit., h. 151

Ibid., h. 58

Ibid., hal 5 s/d 13.

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Loc. Cit., hal. 25., Asmuni (2),Loc. Cit.,hal.

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005),


H.51-55.

Abdul Aziz Dahlan, ed., “Ensiklopedi Hukum Islam”, cet. I, Ichtiar Baru
Van Hoeve, Jakarta, 1996., hal 63, artikel “Akad”.

Syamsul Anwar, Loc. Cit., hal. 7.

Syamsul Anwar,Loc. Cit., hal. 21.

Asmuni (1), Loc. Cit., hal. 10.

Nur Kholis, “Modul Transaksi Dalam Ekonomi Islam”, tnp, Yogyakarta,


2006, hal. 27.

Nasrun Haroen, Loc. Cit., hal. 115.

Kerjasama Dewan Syariah Nasional MUI – Bank Indonesia, “Himpunan


Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI”, Ed. Revisi, cet. III, Cipayung
Ciputat: CV Gaung Persada, 2006, hal. 20.

Ghufran A. Mas’adi, Loc. Cit.,hal. 115., Gemala Dewi dkk, Loc. Cit.,hal.
92., Ahmad Azhar Basyir, Loc. Cit., hal. 130.

Ghufron A. Mas’adi, Loc. Cit.,hal. 116.

18

Anda mungkin juga menyukai