A. Pengertian Hutang
Piutang
Pengertian hutang secara etimologis (lughat) berasal dari kata )ق ـرـضqaradha) yang sinonimnya adalah
kata )قــطعـqatha’a) yang bermakna memotong. Diartikan demikian, karena orang yang memberikan hutang
memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada muqtaridh (orang yang menerima hutang).
Dalam pandangan Islam, hutang dikenal dengan sebutan Al Qardh, dan secara etimologi berarti memotong
sedangkan dalam artian menurut syar’i bermakna memberikan harta dengan dasar kasih sayang kepada
siapa saja yang membutuhkan dan akan dimanfaatkan dengan benar. Pinjam meminjam adalah memberikan
manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya.
Hutang piutang ialah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang
sama dengan itu. Sebagaimana dalam firman Allah SWT , surat Al-Maidah: 2:
ْ هّٰللا هّٰللا ْ ْ
ِ ان ۖ َواتَّقُوا َ ۗاِ َّن َ َش ِد ْي ُد ال ِعقا
ب َ ِ و
َ ْ
د ع
ُ ال و
َ م
ِ ث ِ َواَل تَ َعا َونُ ْوا َعلَى ااْل
Maka tolong menolonglah kamu dalam hal kebaikan dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik,
serta bertaqwalah kamu kepada Allah maka janji Allah itu adalah benar, dan janganlah kamu berbuat dosa
kepada-Nya, maka adzab Allah itu sangatlah pedih.
• Syarat Dan Rukun Hutang Piutang
Serta Adabnya Memberikan hutang kepada seseorang sunnah hukumnya dapat dapat dilakukan dengan
kerelaan. Dalam sunnah ini menjadi wajib kalau dilakukan kepada orang terlantar atau sangat memerlukan
bantuan. Untuk menimbulkan hutang piutang dirukunkan beberapa hal dengan syarat-syarat yang harus
dipenuhi, syarat dan rukun hutang piutang.
2. Yang berhutang yang berpiutang Kedua belah pihak sebagai yang berhutang dan yang berpiutang
harus memenuhi syarat yang sama seperti para pihak dalam jual beli itu, karena walaupun sifatnya
terbuka tetapi sebagai akad diperlukan tanggung jawab dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.
• Syarat hutang piutang
1. Harta yang dihutangkan jelas dan dari harta yang halal.
2. Pemberi pinjaman tidak dibolehkan untuk mengungkit masalah hutang dan tidak menyakiti perasaan pihak
piutang (yang meminjam).
3. Pihak piutang (yang meminjam) niatnya adalah untuk mencukupi keperluannya dan mendapat ridho
5. Harta yang dihutangkan tidak membuat aturan memberi kelebihan kepada yang dihutangkan.
B. Pengertian Gadai Syariah
(Rahn)
Dalam fiqh muamalah dikenal dengan kata pinjaman dengan jaminan yang disebut Ar-rahn, yaitu
menyimpan suatu barang sebagai tanggungan utang. Ar-rahn menurut bahasa berarti Al-tsubut dan Al-habs
yaitu penetapan dan penahanan Gadai dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 1150, adalah
suatu hak yang memiliki nilai ekonomis kepada pihak tertentu untuk memperoleh sejumlah uang, barang
yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Dalam sistem ekonomi
syariah, gadai atau disebut dengan istilah rahn. Secara etimologi, rahn berarti tetap, kekal dan jaminan.
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian ar Rahn, ada beberapa kesamaan pengertian dari Ulama
Syafi’iyah, Hanafi dan Malikiyah dan Imam Taqiyuddin. Yaitu gadai adalah suatu bentuk transaksi yang
dikategorikan sebagai utang piutang. Untuk mendapatkan kepercayaan dari orang atau pihak yang
meminjamkan uang, maka orang yang berhutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan atas utangnya.
Apabila hutang telah dilunasi, maka penahanan atas barang yang disebabkan oleh akad gadai menjadi lepas,
sehingga pertanggungjawaban orang yang menggadai dan yang meneria gadai hilang atau telah lepas dari
tanggung jawab masing-masing. Pelaksana gadai adalah orang yang memiliki harta benda, karena harta
benda yang bukan miliknya tidak dapat digadaikan
• Rukun dan Syarat Gadai Syariah (ar-Rahn)
Rukun-rukun Gadai Syariah (ar-Rahn) Pembicaraan mengenai rukun-rukun gadai terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama fiqh. Menurut jumhur ulama, rukun gadai itu ada empat, yaitu :
1. Dalam hal Debitur adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
2. Dalam hal Debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal.
3. Dalam hal Debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha
Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Menteri Keuangan.
D. Pengertian
Hiwalah
Al-hiwalah secara bahasa artinya al-Intiqal (pindah), diucapkan, Hālaanilahdi, (berpindah, berpaling,
berbalik dari janji), Sedangkan secara istilah, definisi al-Hiwalah menurut ulama Hanafiyyah adalah memindah
(al-Naqlu) penuntutan atau penagihan dari tanggungan pihak yang berutang (al-Madin) kepada tanggungan
pihak al-Multazim (yang harus membayar utang, dalam hal ini adalah al-Muhalalaihi). Berbeda dengan al-
Kafalah yang artinya adalah al Dham-mu (menggabungkan tanggungan) di dalam penuntutan atau penagihan,
bukan al-Naqlu (memindah). Maka oleh karena itu, dengan adanya al-hiwalah, menurut kesepakatan ulama,
pihak yang berutang (dalam hal ini maksudnya adalah al-Muhil) tidak di tagih lagi. Dalam masalah ini, para
imam madzhab Hanafi berbeda pendapat, namun yang shahih adalah bahwa utang yang ada juga ikut
berpindah. Maka oleh karena itu, pengarang kitab, “al- Inayah,” mendefinisikan al-hiwalah seperti berikut,
“al-hiwalah menurut istilah ulama fiqh adalah mengalihkan (al-Tahwil) utang dari tanggungan pihak ashil
(dalam hal ini adalah al-Muhil) ke tanggungan pihak al-Muhalalaihi sebagai bentuk al-Tawatstsuq (penguatan,
penjaminan).
• Rukun Hiwalah
Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan yang melakukan hiwalah) dari muhil (pihak
pertama) dan qabul (pernyataan menerima hiwalah) dari muhal (pihak kedua) kepada muhalalaih (pihak
ketiga). Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, rukun hiwalah ada 6 yaitu :
• Syarat Hiwalah
Syarat hiwalah menurut madzab Hanafiyyah adalah sebagai berikut :
1. Kerelaan dari Muhil, karena kerelaan dari seorang muhil merupakan syarat terjadinya kontrak hawalah.
2. Adanya persetujuan pemberi hutang yang haknya dialihkan kepada orang lain.
3. Keberadaan hutang tetap di dalam jaminan atau dijamin pelunasannya.
4. Adanya kesepakatan antara orang yang menanggung hutang (Muhal alaih) dengan orang yang
mengalihkan hutang (Muhil).