Anda di halaman 1dari 12

HUT ANG

PIUTANG

Mata Kuliah: Hukum Islam


Dosen Pengampu: Ulil Albab, S.HI., M.H.
ANGGOTA

Ruri F e b r i w a n d u r i Hera Putri Cantika


2274201096 2274201149

Ayu Sipah Mohammad Senna Adrianto


2274201120 2274201126
PENGERTIAN HUTANG – PIUTANG (Al–Qardh)

Qarḍ dalam arti bahasa berasal dari kata: qaraḍa yang


sinonimnya: qaṭa’a artinya memotong. Diartikan demikian karena
orang yang meminjamkan hutang (muqrid) memotong sebagian
dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima
hutang (muqtariḍ).
Definisi hutang piutang tersebut yang lebih mudah dipahami
ialah: “penyerahan harta berbentuk uang untuk dikembalikan
pada waktunya dengan nilai yang sama”.
Qarḍ menurut istilah, antara lain dikemukakan oleh ulama
Hanafiah: “Sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsli
(yang memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya .”
Atau “Akad tertentu dengan membayarkan harta mitsli kepada
orang lain supaya membayar harta yang sama kepadanya.”
HUTANG - PIUTANG
(dalam Hukum Perdata)

Pengertian hutang piutang sama dengan perjanjian


pinjam-meminjam yang dijumpai dalam ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 yang
berbunyi: “Pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak
yang lain suatu jumlah barang-barang tertentu dan habis
karena pemakaian, dengan syarat bahwa yang
belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama
dari macam keadaan yang sama pula.
DASAR HUKUM HUTANG - PIUTANG
Hutang piutang secara hukum didasarkan pada perintah dan anjuran
agama supaya manusia hidup dengan saling tolong-menolong serta
saling bantu-membantu dalam lapangan kebajikan. Qarḍ merupakan
perbuatan baik yang diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasulullah
SAW. Dasar hukum hutang piutang dapat kita temukan dalam
Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 245.
Hukum memberi hutang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi dan
toleransi, namun pada umumnya memberi hutang hukumnya sunnah.
Akan tetapi memberi hutang atau pinjaman hukumnya bisa menjadi wajib
ketika diberikan kepada orang yang membutuhkan seperti memberi kepada
tetangga yang membutuhkan uang untuk berobat karena keluarganya ada
yang sedang sakit. Dan hukum memberi hutang bisa menjadi haram, jika untuk
hal -hal yang dilarang dalam ajaran Islam seperti membeli khamr , membayar pelacur
dan lain sebagainya.
RUKUN dan SYARAT
HUTANG - PIUTANG
Dalam hutang piutang (qardh), terdapat pula rukun dan syarat
seperti akad-akad yang lain dalam muamalah. Adapun rukun dan
syarat hutang piutang (qardh) sendiri ada tiga, yakni:
1. ‘Aqid
Yaitu orang yang berhutang piutang, yang terdiri dari muqrid
(pemberi hutang) dan muqtarid (penerima hutang). Adapun
syarat orang yang memberi hutang dan yang berpiutang ialah
sebagai berikut:
a. Orang tersebut telah sampai umur (dewasa)
b. Berakal sehat
c. Orang tersebut bisa berfikir
RUKUN dan SYARAT
HUTANG - PIUTANG
2. Ma’qud’alayh
Yaitu objek yang dijadikan hutang piutang. Untuk itu objek
utang piutang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Merupakan benda bernilai yang mempunyai persamaan dan
penggunaannya mengakibatkan musnahnya benda hutang
b. Dapat dimiliki
c. Dapat diserahkan kepada pihak yang berhutang
d. Telah ada pada saat waktu perjanjian dilakukan.

3. Sighat al-aqd (ijab dan qabul)


Yaitu ungkapan ijab atau suatu persetujuan antara kedua belah pihak
akan terlaksananya suatu akad, Syarat-syarat yang harus dipenuhi
dalam akad (qard) adalah sebagai berikut:
a. Besarnya pinjaman (qard) harus diketahui takaran atau jumlahnya
b. Pinjaman (qardh) berasal dari orang yang layak dimintai pinjaman
Jadi tidak sah apabila berasal dari orang yang tidak memiliki sesuatu
yang bisa dipinjam atau orang yang tidak normal akalnya.
ADAB HUTANG - PIUTANG

1. Seorang yang memberikan hutang tidak mengambil keuntungan dari


apa yang dihutangkan
2. Menulis perjanjian secara tertulis disertai dengan saksi yang bisa
dipercaya
3. Seseorang yang berhutang harus berniat dengan sungguh-sungguh
untuk melunasi hutangnya
4. Berhutang dalam keadaan darurat atau terdesak saja
5. Jika ada keterlambatan dalam pengembalian/pelunasan hutang,
maka segera memberitahukan kepada pihak yang berpiutang
6. Pihak yang berpiutang hendaknya memberikan toleransi
waktu/menangguhkan
7. Menggunakan uang hasil berhutang dengan benar
8. Berterimakasih kepada orang yang berpiutang.
AKAD HUTANG - PIUTANG

Dalam Islam ada dua macam akad, yaitu:


akad tabarru’ (akad sosial) dan akad mu’awadlah (akad komersial).
Hutang piutang masuk dalam ranah akad tabarru’ atau akad sosial
yang oleh karena itu tidak diperkenankan seseorang untuk mengambil
keuntungan darinya. Sedangkan untuk mengambil keuntungan materi
Allah menjadikan akad jual beli, murabahah, mudharabah dan
sebagainya. Bila akad sosial dan tolong-menolong seperti memberi
hutangan disalahgunakan untuk mencari keuntungan materi maka
itulah riba yang pelakunya diperangi Allah dan Rasul-Nya dan
diancam dengan adzab neraka jahanam dalam waktu yang lama
(QS. Al Baqarah: 275-277)
RIBA

Salah satu transaksi yang termasuk batil ialah pengambilan riba.


Pengertian riba yaitu dari segi bahasa Az-ziyādah (kelebihan atau
tambahan), berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba
adalah membungakan harta uang atau lainnya yang dipinjamkan
kepada orang lain. Para ulama sepakat bahwa riba itu diharamkan.
Riba salah satu usaha mencari rezeki dengan cara yang tidak benar
dan dibenci Allah SWT. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan
diri sendiri dengn mengorbankan orang lain. Menimbulkan
kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin,
serta dapat mengurangi rasa persaudaraan. Oleh karena itu, Islam
mengharamkan riba. Allah SWT mengharamkan riba karena banyak
dampak negative yang ditimbulkan dari praktik riba tersebut.
Larangan dari praktik ini adalah bertujuan menolak kemudaratan dan
mewujudkan kemaslahatan manusia.
BERAKHIRNYA AKAD
HUTANG - PIUTANG

Akad berakhir apabila objek akad ada pada


muqtarid (orang yang meminjam) telah diserahkan
atau dikembalikan kepada muqrid (pemberi
pinjaman) sebesar pokok pinjaman, pada jatuh
tempo atau waktu yang telah disepakati diawal
perjanjian. Akad hutang piutang (qardh) juga
berakhir apabila dibatalkan oleh pihak-pihak yang
berakad karena alasan tertentu. Dan apabila
muqtarid (orang yang berhutang) meninggal dunia
maka qardh atau pinjaman yang belum dilunasi
menjadi tanggungan ahli warisnya.
KESIMPULAN
Pembahasan ini sudah banyak mengurai tentang tata cara
hutang piutang yang diajarkan oleh
Al-Qur’an terutama dalam surat Al-Baqarah ayat 282 dan
ayat 283. Maka dapat disimpulkan bahwa;
1. Dalam agama islam perilaku hutang piutang
diperkenankan asal dengan bil baik dan benar sesuai
ketentuan agama.
2. Dalam transaksi hutang piutang setiap muslim diwajibkan
untuk mencatat setiap hutang yang dilakukan, karena dengan
begitu akan mengantisipasi hal-hal buruk yang akan terjadi
selama proses akad masih berlangsung.

Anda mungkin juga menyukai