Qarḍ dalam arti bahasa berasal dari kata: qaraḍa yang
sinonimnya: qaṭa’a artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang meminjamkan hutang (muqrid) memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima hutang (muqtariḍ). Definisi hutang piutang tersebut yang lebih mudah dipahami ialah: “penyerahan harta berbentuk uang untuk dikembalikan pada waktunya dengan nilai yang sama”. Qarḍ menurut istilah, antara lain dikemukakan oleh ulama Hanafiah: “Sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsli (yang memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya .” Atau “Akad tertentu dengan membayarkan harta mitsli kepada orang lain supaya membayar harta yang sama kepadanya.” HUTANG - PIUTANG (dalam Hukum Perdata)
Pengertian hutang piutang sama dengan perjanjian
pinjam-meminjam yang dijumpai dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 yang berbunyi: “Pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang-barang tertentu dan habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula. DASAR HUKUM HUTANG - PIUTANG Hutang piutang secara hukum didasarkan pada perintah dan anjuran agama supaya manusia hidup dengan saling tolong-menolong serta saling bantu-membantu dalam lapangan kebajikan. Qarḍ merupakan perbuatan baik yang diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Dasar hukum hutang piutang dapat kita temukan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 245. Hukum memberi hutang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi dan toleransi, namun pada umumnya memberi hutang hukumnya sunnah. Akan tetapi memberi hutang atau pinjaman hukumnya bisa menjadi wajib ketika diberikan kepada orang yang membutuhkan seperti memberi kepada tetangga yang membutuhkan uang untuk berobat karena keluarganya ada yang sedang sakit. Dan hukum memberi hutang bisa menjadi haram, jika untuk hal -hal yang dilarang dalam ajaran Islam seperti membeli khamr , membayar pelacur dan lain sebagainya. RUKUN dan SYARAT HUTANG - PIUTANG Dalam hutang piutang (qardh), terdapat pula rukun dan syarat seperti akad-akad yang lain dalam muamalah. Adapun rukun dan syarat hutang piutang (qardh) sendiri ada tiga, yakni: 1. ‘Aqid Yaitu orang yang berhutang piutang, yang terdiri dari muqrid (pemberi hutang) dan muqtarid (penerima hutang). Adapun syarat orang yang memberi hutang dan yang berpiutang ialah sebagai berikut: a. Orang tersebut telah sampai umur (dewasa) b. Berakal sehat c. Orang tersebut bisa berfikir RUKUN dan SYARAT HUTANG - PIUTANG 2. Ma’qud’alayh Yaitu objek yang dijadikan hutang piutang. Untuk itu objek utang piutang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Merupakan benda bernilai yang mempunyai persamaan dan penggunaannya mengakibatkan musnahnya benda hutang b. Dapat dimiliki c. Dapat diserahkan kepada pihak yang berhutang d. Telah ada pada saat waktu perjanjian dilakukan.
3. Sighat al-aqd (ijab dan qabul)
Yaitu ungkapan ijab atau suatu persetujuan antara kedua belah pihak akan terlaksananya suatu akad, Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad (qard) adalah sebagai berikut: a. Besarnya pinjaman (qard) harus diketahui takaran atau jumlahnya b. Pinjaman (qardh) berasal dari orang yang layak dimintai pinjaman Jadi tidak sah apabila berasal dari orang yang tidak memiliki sesuatu yang bisa dipinjam atau orang yang tidak normal akalnya. ADAB HUTANG - PIUTANG
1. Seorang yang memberikan hutang tidak mengambil keuntungan dari
apa yang dihutangkan 2. Menulis perjanjian secara tertulis disertai dengan saksi yang bisa dipercaya 3. Seseorang yang berhutang harus berniat dengan sungguh-sungguh untuk melunasi hutangnya 4. Berhutang dalam keadaan darurat atau terdesak saja 5. Jika ada keterlambatan dalam pengembalian/pelunasan hutang, maka segera memberitahukan kepada pihak yang berpiutang 6. Pihak yang berpiutang hendaknya memberikan toleransi waktu/menangguhkan 7. Menggunakan uang hasil berhutang dengan benar 8. Berterimakasih kepada orang yang berpiutang. AKAD HUTANG - PIUTANG
Dalam Islam ada dua macam akad, yaitu:
akad tabarru’ (akad sosial) dan akad mu’awadlah (akad komersial). Hutang piutang masuk dalam ranah akad tabarru’ atau akad sosial yang oleh karena itu tidak diperkenankan seseorang untuk mengambil keuntungan darinya. Sedangkan untuk mengambil keuntungan materi Allah menjadikan akad jual beli, murabahah, mudharabah dan sebagainya. Bila akad sosial dan tolong-menolong seperti memberi hutangan disalahgunakan untuk mencari keuntungan materi maka itulah riba yang pelakunya diperangi Allah dan Rasul-Nya dan diancam dengan adzab neraka jahanam dalam waktu yang lama (QS. Al Baqarah: 275-277) RIBA
Salah satu transaksi yang termasuk batil ialah pengambilan riba.
Pengertian riba yaitu dari segi bahasa Az-ziyādah (kelebihan atau tambahan), berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain. Para ulama sepakat bahwa riba itu diharamkan. Riba salah satu usaha mencari rezeki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah SWT. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengn mengorbankan orang lain. Menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa persaudaraan. Oleh karena itu, Islam mengharamkan riba. Allah SWT mengharamkan riba karena banyak dampak negative yang ditimbulkan dari praktik riba tersebut. Larangan dari praktik ini adalah bertujuan menolak kemudaratan dan mewujudkan kemaslahatan manusia. BERAKHIRNYA AKAD HUTANG - PIUTANG
Akad berakhir apabila objek akad ada pada
muqtarid (orang yang meminjam) telah diserahkan atau dikembalikan kepada muqrid (pemberi pinjaman) sebesar pokok pinjaman, pada jatuh tempo atau waktu yang telah disepakati diawal perjanjian. Akad hutang piutang (qardh) juga berakhir apabila dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad karena alasan tertentu. Dan apabila muqtarid (orang yang berhutang) meninggal dunia maka qardh atau pinjaman yang belum dilunasi menjadi tanggungan ahli warisnya. KESIMPULAN Pembahasan ini sudah banyak mengurai tentang tata cara hutang piutang yang diajarkan oleh Al-Qur’an terutama dalam surat Al-Baqarah ayat 282 dan ayat 283. Maka dapat disimpulkan bahwa; 1. Dalam agama islam perilaku hutang piutang diperkenankan asal dengan bil baik dan benar sesuai ketentuan agama. 2. Dalam transaksi hutang piutang setiap muslim diwajibkan untuk mencatat setiap hutang yang dilakukan, karena dengan begitu akan mengantisipasi hal-hal buruk yang akan terjadi selama proses akad masih berlangsung.