Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“KOTRAK PENDUKUNG SYARI’AH FIQIH MUAMALAH”


Dosen Pengampu: Darihan Mubarak, S. Akun.., M. Ec

Disusun Oleh :

HARTINA ZULKIYAH (2030206004)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT STUDI ISLAM SUNAN DOE

TP. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang telah menganugerahkan segala
rahmat dan hidayah-Nya makalah yang berjudul “Keseimbangan Perekonomian
Terbuka” ini dapat selesai tanpa hambatan yang berarti. Shalawat dan salam
semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Utusan dan manusia pilihan-
Nya yang mengantarkan umat manusia minadzdzulumati ilan-nuur, yakni
‘addinul islam (dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang,
yakni agama islam).

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan dengan
senang hati menerima kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan
makalah ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN

BAB II: PEMBAHASAN

1. Definisi Hiwalah
2. Definisi Muqassah
3. Definisi Ibra’
4. Definisi Wa’ad

BAB III: PENUTUP

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

A. Latar Belakang

Muamalah adalah satu aspek dari ajaran yang telah melahirkan


peradaban Islam yang maju di masa lalu. Ia merupakan satu bagian
dari syariat Islam, yaitu yang mengatur kehidupan manusia dalam
hubungan dengan manusia, masyarakat dan alam berkenaan
dengan kebendaan dan kewajiban.

Diantara permasalahan yang paling berkembang dalam


kehidupan bermasyarakat hari ini adalah masalah muamalah,
khususnya muamalah maliyah atau interaksi sesama manusia yang
berkaitan dengan uang dan harta dengan segala bentuk macam
transaksinya. Hal ini tidak dapat kita bendung, sebab perubahan itu
terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kemajuan teknologi.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana definisi Hiwalah dalam Fiqih Muamalah?


2. Bagaimana definisi Muqassah dalam Fiqih Muamalah?
3. Bagaimana definisi Ibra dalam Fiqih Muamalah?
4. Bagaimana definisi Wa’ad dalam Fiqih Muamalah?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi Hiwalah

a) Pengertian Hiwalah
Secara etimologi, pengertian hiwalah adalah istilah dari kata tahawwul
artinya berpindah atau tahwil berarti pengalihan. Sederhananya, pengertian
hiwalah adalah pengalihan utang atau piutang dari pihak kreditur kepada
pihak penanggung pelunasan hutang.

Konsep hiwalah adalah memindahkan utang dari muhil sebagai


peminjam pertama kepada pihak muhal’alaih sebagai peminjam kedua.
Proses pengalihan tanggung jawab ini harus disahkan melalui akad
hiwalah atau kata-kata.

b) Dasar Hukum Hiwalah

Dasar hukum hiwalah berpedoman pada Al-quran dan hadist.


Berdasarkan Q.S. Al-Baqarah [2]: 282 mengatakan bahwa Hai orang-
orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.

Sementar dasar hukum hiwalah dari hadist yaitu "Menunda-nunda


pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu
kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan
piutangnya (dihiwalahkan) kepada pihak yang mampu (terimalah) (HR.
Bukhari).

c) Skema Hiwalah dalam Perbankan Syariah

Skema hiwalah dalam perbankan syariah terbagi dalam dua jenis yaitu
al-muqayyadah dan al-mutlaqah. Adapun penjelasan skema hiwalah
adalah berikut ini.

 Hiwalah Al-Muqayyadah
Hiwalah Al-Muqayyadah adalah skema hiwalah yang memindahkan
tanggung jawab pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua.

Contoh hiwalah skema ini yakni seorang individu A berpiutang


kepada pihak B sejumlah Rp 2 juta. Sementara pihak B berpiutang kepada
pihak C sebesar Rp 2 juta. Kemudian pihak B mengalihkan haknya untuk
menuntut piutangnya yang ada di pihak C kepada individu A sebagai ganti
pembayaran utang pihak B kepada A.

 Hiwalah Al-Mutlaqah
Kebalikan dari contoh hiwalah sebelumnya, Hiwalah Al-
Mutlaqah yaitu konsep hiwalah dengan pengalihan utang secara
tidak tegas sebagai pengganti pelunasan utang pihak pertama
kepada pihak kedua.

Contoh hiwalah al mutlaqah yaitu bank konvensional sebagai


pemberi piutang kepada pihak B sebagai peminjam. Kemudian hutang
pihak B mengalihkan pembayaran utang kepada pihak muhal'alaih.
Sehingga yang membayar hutang pihak B kepada bank konvensional
adalah pihak muhal'alaih tanpa pihak B menegaskan pengalihan utang.

d) Rukun dan Syarat Hiwalah


Sesuai kaidahnya, transaksi skema hiwalah dalam perbankan
syariah wajib memenuhi beberapa rukun dan syarat. Selengkapnya
tentang syarat dan rukun hiwalah adalah sebagai berikut.

 Rukun Hiwalah
Rukun hiwalah adalah rukun-rukun yang wajib dipenuhi sebelum akad
hiwalah terjadi. Apabila tidak terpenuhi salah satunya, maka akad hiwalah
tidak dapat dilakukan. Rukun-rukun tersebut antara lain:

 Muhil
Pertama, rukun hiwalah adalah muhil, yaitu orang yang mempunyai
hutang. Dalam hal ini, muhil harus berakal sehat, baligh, dan mempunyai
kemampuan melaksanakan akad hiwalah. Selain itu, pemilik hutang atau
muhil menjalankannya atas keinginan pribadi tanpa paksaan dari pihak
lain.
 Muhal
Muhal yaitu orang memberikan hutang atau pihak piutang. Sama
seperti syarat muhil, pihak muhal harus mencapai usia baligh, berakal
sehat dan melaksanakan akad ini secara sukarela tanpa paksaan. Ijab qabul
hiwalah yang dikatakan oleh muhal harus berada dalam majelis akad
disaksikan pihak terkait, dan dilakukan secara sadar tanpa paksaan.

 Muhal'alaih
Rukun hiwalah ketiga yakni muhal'alaih sebagai orang pemilik hutang
dan bertanggung jawab melunasi hutang pihak muhil. Pihak ini harus
mempunyai akal sehat, baligh, kemampuan finansial, dan memahami
pelaksanaan akad, serta pengucapan ijab qabul dalam majelis akad dengan
kehadiran peserta terkait.

 Hutang yang Diakadkan


Dalam konsep hiwalah, hutang merupakan bentuk pinjaman yang
dilakukan oleh muhil dari muhal, dan dinyatakan akan dilunasi oleh
muhal’alaih. Hutang tersebut boleh berupa uang, aset, dan benda-benda
berharga lainnya.

Meski demikian, sesuai dengan hukum syariah, hutang tersebut tidak


boleh berbentuk benda setengah jadi atau belum ada nilainya (misal bibit
tanaman yang belum berbuah, janji bantuan hibah belum di tangan, dan
sebagainya).

 Syarat Hiwalah
Selain rukun hiwalah, terdapat syarat hiwalah yang harus
dipersiapkan dalam menjalaninya. Adapun syarat hiwalah adalah
di bawah ini:

1. Pihak berhutang atau muhil rela melaksanakan akad ini.


2. Produk hutang harus dibayarkan sesuai haknya yang sama
baik jenis dan jumlah utang, waktu pelunasan, dan
kualitasnya. Misalnya bentuk hutang berupa emas, maka
pelunasannya harus berbentuk emas dengan nilai setara.
3. Pihak muhal’alaih harus bertanggung jawab dalam
menanggung hutang setelah adanya kesepakatan bersama
muhil.
4. Pihak muhal atau pemberi hutang harus menyetujui akad
hiwalah.
5. Hutang tetap berada dalam jaminan pelunasan.

2. Definisi Muqassah

a) Pengertian Muqassah

Kata muqasah dapat di artikan sebagai suatu pengurangan.


Dalam praktik perbankan Syariah muqasah dapat diartikan sebagai
pemberian potongan atau keringanan dikenakan pada margin
keuntungan bank atas transaksi jual beli yang dilakukan oleh
nasabah dengan pihak bank syariah melalui akad murabahah.
Perbankan Islam mengadopsi murabahah digunakan untuk
memberikan pembiyaan jangka pendek kepada nasabah meskipun
nasabah tersebut tidak memiliki uang. Pembiayaan dengan akad
murabahah dapat digunakan untuk pembiayaan modal kerja,
padahal murabahah adalah kontrak jual beli jangka pendek dengan
sekali akad.

Fatwa DSN-MUI No.23/DSN-MUI/III/2002 tentang


potongan (muqasah) pelunasan pembiayaan Murabahah
 Jika nasabah dalam transaksi Murabahah melakukan
pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu
yang telah disepakati, LKS boleh memberikan potongan dari
kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak
diperjanjikan dalam akad.
 Besarnya potongan sebagaimana dimaksud di atas
diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan LKS.
Ketentuan lain:
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan
ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya

Firman Allah dalam QS. An-Nisa’(4): 29, yang berbunyi :26

Artinya:
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan
(mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di
antaramu...”. (Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan,...,
h. 83.)

3. Definisi Ibra

a) Pengertian Ibra’

Istilah penghapusan hutang dalam Islam disebut dengan al- ibrā’ (


‫راء‬LL‫ )االب‬yang artinya melepaskan, dan menjauhkan diri dari sesuatu
yakni, penghapusan hutang seseorang oleh pemberi utang. Dalam fiqih,
ibrā’ berarti pengguguran piutang dan menjadikannya milik orang yang
berutang.

b) Rukun & Syarat Ibra’


 Adapun rukun dari pada al-ibrā’, jumhur ulama membaginya
menjadi empat yaitu:
1) Orang yang memberi piutang (kreditur).
2) Orang yang berutang (debitur).
3) Sigah (lafal al-ibrā’).
4) Utang itu sendiri.

 mengenai syarat-syarat al-ibrā’ yaitu:


a. Dalam kaitannya dengan orang yang menggugurkan hak,
disyaratkan:
1) Baligh, berakal, cerdas, dan tidak berstatus di bawah
pengampunan.
2) Memiliki kekuasaan terhadap hak yang akan digugurkan
(pemilik dari harta tersebut).
3) Orang yang menggugurkan utangnya itu ridho dan sadar.

 Berkaitan dengan orang yang berutang, disyaratkan harus jelas


identitasnya.
 Dalam hubungannya dengan utang yang digugurkan
disyaratkan:
1) Jenis dan jumlahnya jelas.
2) Yang digugurkan berbentuk uang.
3) Uang tersebut ada ketika dilakukan al-ibrā’.

 Berkaitan dengan al-ibrā’ disyaratkan:


1) Lafal yang digunakan bersifat lepas, tidak terkait dengan
syarat dan tidak dikaitkan dengan zaman yang akan datang.
2) Lafal yang dipergunakan tersebut tidak bertentangan dengan
syara’.
3) Lafal al-ibrā’ dinyatakan setelah utang benar-benar hak orang
yang mengucapkannya

4. Definisi Wa’ad

a) Pengertian Wa’ad

Secara etimologis wa‟ad memiliki arti di antaranya adalah hadda


yang berarti ancaman (al-wa„id), dan takhawwafa(menakut-nakuti).
Dari segi cakupannya, al-wa„d mencakup perbuatan baik dan buruk
meskipunn pada umumnya janji digunakan untuk melakukan perbuatan
baik. Dalam literatur fikih, digunakan dua kata yang sebenarnya satu
akar, yaitu al-wa„d dan al-'idah.
Adapun secara terminologis wa'ad adalah:
ِ
“Pernyataan dari pihak/ seseorang (subyek hukum) untuk berbuat/tidak
berbuat sesuatu; serta perbuatan tersebut dilakukan di masa yang akan
datang (istiqbâl)”.

Pengertian lain adalah “keinginan yang dikemukakan oleh seseorang


untuk melakukan sesuatu, baik perbuatan maupun ucapan, dalam
rangka memberi keuntungan bagi pihak lain”. Janji ini hanya bersifat
penyampaian suatu keinginan (ikhbar) dan tidak mengikat secara
hukum, namun hanya mengikat secara moral. Orang yang memberikan
janji (wa‟ad), apabila menjalankan janji tersebut merupakan bentuk
etika yang baik (akhlak karimah) karena didasarkan pada kontrak
kebajikan (tabarru) sebagaimana hibah (Fathurrahman Djamil, 2012, 2).

b) Hukum Wa’ad Menurut Para Fukaha


Menurut Muhammad Ustman Syubair, dikalangan fukaha terdapat
beberapa pandangan mengenai janji (wa‟ad), yaitu sebagai berikut
(Muhammad Ustman Syubair, 2007, 265-266):
1) Pendapat mayoritas fukaha dari Hanafiyah, Syafi‟iyah,
Hanabilah, dan satu pendapat dari Malikiyah yang mengatakan
bahwa janji merupakan kewajiban agama (mulzimun diniyah)
dan bukan kewajiban hukum formal (ghair mulzim qadhaan)
karena wa‟ad merupakan akad tabarru‟
(kebijakan/kedermawanan) dan akad tabarru‟ tidaklah lazimah
(mengikat).

2) Pendapat sebagian ulama, diantaranya adalah Ibn Syubrumah


(144 H) Ishaq bin Rawahiyah (237 H), Hasan Basri (110 H) dan
sebagian pendapat Malikiyah, yang menyatakan bahwa “Janji
itu wajib dipenuhi dan mengikat secara hukum”. Hal ini
didasarkan kepada firman Allah Swt “Hai orang-orang yang
beriman janganlah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
lakukam. Amat besar kemurkaan di sisi Allah bagi orang yang
berkata akan tetapi tidak dilaksanakan”. (Q. S Ash-Shaff: 1) dan
hadis tentang tanda-tanda orang munafik, “Tanda-tanda orang
munafik ada tiga...).

3) Pendapat sebagaian fukaha Malikiyah yang menyatakan bahwa


janji itu bersifat mengikat secara hukum apabila janji tersebut
berkaitan dengan suatu sebab, sekalipun sebab tersebut tidak
menjadi bagian/disebutkan dari pernyataan jani (mau‟ud)
tersebut. Misalnya ungkapan: Aku hendak menikah, aku mau
membeli barang ini, jika aku menyelesaikan utangku maka aku
akan meminjamkkan ini, atau aku mau jalan-jalan besok maka
pinjamkan binatangmu padaku, dan seterusnya.

4) Menurut Fathurrahman Djamil, berdasarkan penjelasan di atas,


mayoritas ulama berpendapat bahwa janji (wa‟ad) hanya
mengikat secara moral/agama (morally binding/mulzimun
diniyah) dan tidak mengikat secara hukum.

c) Perbedaan Wa’ad dan Akad

Dalam kajian fikih muamalah, selain terdapat konsep wa‟ad (janji)


terdapat pula istilah muwâ‟adah (saling berjanji). Saling berjanji dapat
diartikan satu pihak berjanji akan melakukan sesuatu pada masa akan
datang dan pihak yang menerima janji juga berjanji untuk melakukan
perbuatan hukum yang setara (Nazih Hammad, 2007: 87). Dari segi
bentuknya, saling berjanji menyerupai akad, tetapi secara substansi,
saling berjanji bukanlah akad.

Dalam konteks fikih muamalah membedakan antara wa‟ad dengan


akad. Wa‟ad adalah janji (promise)antara satu pihak dengan pihak
lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa‟ad
hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji
berkewajiban untuk memenuhi atau melakasanakan kewajibannya.
Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa
terhadap pihak lainnya. Dalam wa‟ad, terms and condition-nya belum
ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak
yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang
diterimanya lebih merupakan sanksi moral. (Adiwarman A.Karim,
2004, 65).

Menurut Jaih Mubarok dan Hasanudin (2017, 14-15), janji atau


saling berjanji (wa‟ad/muwâ‟adah) bukanlah akad, tetapi menyerupai
akad karena beberapa alasan sebagai berikut:

Dalam akad telah menimbulkan hak dan kewajiban yang efektif,


sdangkan dalam janji atau saling berjanji (wa‟ad/muwâ‟adah)
belum/tidak tercapai tujuan utama akad (munajjaz);
Efektivitas akad bersifat serta-merta dari segi alamiahnya, yaitu akad
berlaku secara efektif apabila rukun dan syaratnya terpenuhi.
Sedangkan janji pada umumnya bersifat ke depan (forward/mudhaf ilâ
almustaqbal) karena janji dari segi alamiahnya merupakan pernyataan
kehendak dari pihak tertentu untuk melakukan sesuatu pada masa yang
akan datang.
Dalam akad berlaku kaidah al-kharâj bi aldhamân (kewajiban
berbanding dengan hak) dab al-ghurm bi al-gunmi (keuntungan
berbanding dengan risiko). Dalam akad jual beli misalnya, objek jual
bel (mabi‟) telah berpindah kepemilikannya dari penjual kepada
pembeli. Maka kewajiban pemilik untuk memelihara serta menjaganya
dan ia berhak untuk menjual kembali objek tersebut. Bila harga objek
tersebut naik, kenaikan harga tersebut merupakan hak pemilik.
Sebaliknya, bila objek tersebut hilang atau harganya turun, risiko
hilangnya objek atau rugi karena harganya turun harus ditanggung oleh
pemilik. Kaidah ini tidak berlaku dalam muwâ‟adah (saling berjanji)
karena dalam muwâ‟adah belum terjadi pengalihan kepemilikan objek
yang dijanjikan.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Hiwalah adalah istilah dari kata tahawwul artinya berpindah atau


tahwil berarti pengalihan. Dengan konsep memindahkan utang dari
muhil sebagai peminjam pertama kepada pihak muhal’alaih sebagai
peminjam kedua. Lalu muqassah merupakan pemberian potongan atau
keringanan dikenakan pada margin keuntungan bank atas transaksi jual
beli yang dilakukan oleh nasabah dengan pihak bank syariah melalui
akad murabahah.

Sedangkan ibrā’ berarti pengguguran piutang dan menjadikannya


milik orang yang berutang. Dan wa‟ad adalah “Pernyataan dari pihak/
seseorang (subyek hukum) untuk berbuat/tidak berbuat sesuatu; serta
perbuatan tersebut dilakukan di masa yang akan datang (istiqbâl)”.
DAFTAR PUSTAKA

(Fatwa DSN-MUI No. 23/DSN-MUI/III/2002)


(Antonio, Bank,..., h. 106.
24 Fatwa DSN-MUI No.23 DSN-MUI/III/2002)
Anonimous. (1427). Al-Mausû‟ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah.
Mesir: Mathâbi‟ Dâr al-Shofwah.
Fathurrahman Djamil. (2013). Penerapan Hukum Perjanjian
dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah.
Jakarta: Sinar Grafika.
Jaih Mubarok dan Hasanudin. (2017). Fikih Muamalah
Maliyah: Prinsip-Prinsip Perjanjian. Bandung: Simbiosa Rekatama
Media.

Anda mungkin juga menyukai