Anda di halaman 1dari 7

HUKUM PERBANKAN

Produk Bank Syariah (Al -Hawalah)

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Perbankan Semester 8

Oleh : Kelompok 9 Herdy Bosmar Tua M. Rahman Yustiadi P. Danny Setiadi Azhar Fauzi Ramadhan Marshall Joshua C. 110110070336 110110080289 110110080296 110110080302 110110080332

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2012

PRODUK BANK SYARIAH AL-HAWALAH

A. Perbankan Syariah Perbankan syariah atau perbankan Islam (Arab: al-Mashrafiyah al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Berdasarkan Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang PerbankanSyariah bab 1 pasal 1, Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkuttentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatanusaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. SedangkanBank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkanPrinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Syariah. Menurut Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bab 1 pasal 1 tersebut, yang dimaksud Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yangmemiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Sedangkan Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatan memberikan jasa dalamlalu lintas pembayaran, sebaliknya Bank Pembiayaan Syariah tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I) Produk Penyaluran Dana, (II) Produk Penghimpunan Dana, dan (III) Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya. 1) Penyaluran Dana Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu: Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.

Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa.

Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.

2) Produk Penghimpunan Dana Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadiah dan mudharabah. 3) Jasa Perbankan Bank syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. kepada

B. Produk Perbankan Syariah (Al-Hawalah) Al-hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam isitilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang. Secara sederhana, hal itu dapat dijelaskan bahwa A (muhal) memberi pinjaman kepada B (muhil), sedangkan B masih mempunyai piutang pada C (muhal alaih). Begitu B tidak mampu membayar utangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban utang tersebut pada C. Dengan demikian, C yang harus membayar utang B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada B dianggap selesai. Rasulullah SAW bersabda : Memperpanjang pembayaran hutang bagi orang yang mampu termasuk aniaya, maka apabila salah seorang di antara kamu memindahkan hutangnya kepada yang lain hendaklah diterima perpindahan itu asalkan orang yang menerima perpindahan itu sanggup membayarnya. (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi). Hukum hawalah adalah mubah/boleh sepanjang tidak merugikan salah satu pihak dan tidak ada unsur penipuan. Dasar kebolehannya adalah hadits di atas.

Landasan Syariah 1) As-Sunnah Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda :

Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman. Dan jika salah seorang dari kamu dihawalahkan kepada orang yang mampu (kaya), maka terimalah hawalah itu Rasulullah memberitahukan kepada orang yang memiliki piutang, jika pihak yang berhutang meng-hawalah-kan kepada orang yang mampu (kaya), hendaklah ia menerima hawalah tersebut dan kemudian menagih pelunasannya kepada orang yang di-hawalah-kan (muhal alaih). Dengan demikian haknya dapat terpenuhi. Sebagian ulama mengomentasi bahwasanya perintah untuk menerima hawalah dalam hadits tersebut menyimpulkan hukum wajib. Sedangkan versi mayoritas ulama, perintah itu hanya menunjukkan hukum sunnah. Yang artinya sunnah bagi muhal menerima hawalah yang ditawarkan pihak muhil. Namun hukum sunnah ini dengan ketentuan muhal alaih merupakan pihak yang memiliki kemampuan membayar pada pihak muhal serta harta yang ia miliki tidak mengandung unsur syubhat (tidak jelas status halal haramnya). 2) Al-Ijma Ulama menyepakati bolehnya kontrak hawalah. Dan kontrak ini diperbolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang atau benda. Hal ini dikarenakan hawalah adalah perpindahan hutang, oleh sebab itu harus dilakukan pada obyek kewajiban finansial.

Rukun Dan Syarat al-Hawalah Mayoritas ulama menetapkan rukun hawalah berjumlah enam, yakni : 1) Muhil ( ,) yaitu orang yang berhutang dan berpiutang. Dalam hal ini muhil

harus memenuhi beberapa persyaratan;

Dalam hal ini seorang muhil harus memenuhi kualifikasi ahl al-aqd (legal bertransaksi). Artinya, harus berakal sehat dan baligh. Sehingga anak kecil yang belum mencapai taraf tamyiz dan orang gila, tidak sah menawarkan kontrak hawalah. Karena mereka dinilai setara dengan manusia yang tidak berakal. Sedangkan akal menjadi penentu keabsahan penanganan sebuah transaksi. 2) Muhal ( ) atau muhtal ( ,) yaitu orang yang berpiutang. Seorang muhal, bagaimana muhil juga harus berakal sehat dan baligh. Akal dibutuhkan bagi muhal, karena dia harus melaksanakan qabul sebagai salah satu rukun hawalah. Dan orang yang tidak berakal bukanlah ahl al-qabul (legal qabul-nya). Seseorang yang belum mencapai taraf baligh juga dinilai tidak sah melakukan qabul, dikarenakan secara syari ucapan yang muncul dari dirinya tidak dipertimbangkan dalam formalitas muamalah. 3) Muhal alaih ( ) atau muhtal alaih ( ), yaitu orang yang

berhutang dan berkewajiban membayar hutang kepada muhal. Sebagaimana dua pihak di atas, muhal alaih juga harus berakal sehat dan baligh. Orang gila dan anak kecil, meskipun sudah mencapai taraf tamyiz tidak sah menerima pelimpahan tanggungan dalam hawalah. Hal ini dikarenakan dalam kesanggupan muhal alaih untuk menanggung beban muhil serta membayarkannya kepada muhal terdapat unsur tabarru (pemberian tanpa imbal balik (iwadl) karena motif berbuat kebajikan). 4) Muhal bih ( ) atau muhtal bih ( ,) yaitu hutang muhil kepada muhal. Ada beberapa ketentuan pada muhal bih, yakni; a) Harus berbentuk hutang, bukan barang atau benda. b) Harus berbentuk hutang yang lazim, yakni hutang yang secara dzatiah tidak menerima hak pembatalan dari tanpa sabab-musabab, sebagaimana pinjaman dari qardlu pasca serah terima. Atau minimal mendekati lazim (ayil ila al-luzum), sebagaimana tanggungan harga barang pada masa-masa khiyar. 5) Hutang muhal alaih kepada muhil. Ada beberapa syarat dalam rukun ini, yakni ; a) Harus berbentuk hutang yang lazim, atau minimal mendekati lazim (ayil ila alluzum), sebagaimana tanggungan muhal bih di atas.

b) Harus sama persis dengan muhal bih, dari sisi hulul (sistem langsung) dan ajalnya (sistem tunda sampai waktu yang disepakati), juga dari sisi kualifikasi jenis, kadar (jumlah) dan sifatnya. 6) Shighat ( .)

Menggunakan ijab dan qabul dan dilaksanakan di tempat terjadinya kontrak. Contoh ijab sebagaimana ucapan muhil; Aku hawalah-kan tanggungan hutangku kepadamu menjadi tanggungan Fulan. Kemudian muhal melakukan qabul; Aku terima hawalah-mu.

Syarat Sah Dalam al-Hawalah Selain ketentuan di atas, untuk menjamin keabsahaan hawalah dibutuhkan beberapa persyaratan sebagai berikut : a. Wujudnya piutang muhil dalam tanggungan muhal alaih. Sehingga tidak sah melaksanakan kontrak hawalah kepada pihak yang tidak mempunyai tanggungan hutang pada muhil. b. Adanya kerelaan dari pihak-pihak yang melaksanakan kontrak hawalah, dengan perincian sebagai berikut : 1) Harus adanya kerelaan (ridla) dari muhil. Hal ini dianggap penting karena muhil memiliki pilihan menyelesaikan hutangnya pada muhal dengan dua cara, membayar dari hartanya sendiri atau melunasinya melalui perantara muhal alaih. Pada saat muhal merasa diuntungkan menggunakan cara kedua, sudah semestinya muhil harus dimintai kerelaannya. 2) Harus adanya kerelaan muhal, sebagaimana muhil. Karena muhal memiliki hak menentukan pihak mana yang ia nilai lebih tepat menanggung piutangnya. Paksaan dari pihak lain hanya akan mengakibatkan potensi dzarar (ekses negatif) bagi muhal. 3) Tidak disyaratkan kerelaan muhal alaih. hal ini disebabkan posisinya yang berstatus sebagai penanggung beban piutang dari muhil. Dan tentunya muhil berhak dan boleh mengambil haknya pada muhal alaih dengan dirinya sendiri atau melalui bantuan orang lain. Hanya saja menurut ulama yang memposisikan hawalah sebagai istifa (penagihan hutang), bukan bai (jual beli), maka kerelaan muhal alaih juga mutlak dibutuhkan.

c. Pihak muhil dan muhal harus mengetahui secara jelas identifikasi muhal bih dan hutang muhal alaih pada muhil, baik dari sisi kadar (jumlah), jenis dan sifat-sifatnya.

Konskuensi kontrak al-Hawalah Apabila kontrak hawalah telah dilaksanakan dan berjalan sah, maka tanggungan muhil menjadi gugur dan berpindah menjadi tanggungan muhal alaih. Andaikata muhal alaih mengalami kebangkrutan, membantah hawalah, atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh lagi menuntut muhil. Demikian pendapat mayoritas ulama. Dan keabsahan hawalah menjadikan kontrak ini bersifat lazim (tidak menerima pembatalan) dan tidak mentolerir penerapan khiyar baik khiyar majlis (pilihan melanjutkan atau membatalkan kontrak saat di tempat kontrak) maupun khiyar syarth (pilihan melanjutkan atau membatalkan kontrak melalui persyaratan).

Skema Al-Hawalah MUHAL ALAIH (FACTOR/BANK)

Invoice Bayar Tagih

Bayar

MUHIL (PENYUPLAI)

Suplai Barang

MUHAL (PEMBELI)

Anda mungkin juga menyukai