Anda di halaman 1dari 3

KONTROVERSI SEPUTAR FATWA MUI TENTANG BUNGA BANK

(Wednesday, 14 January 2004) - Peranserta dari Administrator - Terakhir Diperbarui ()

MUI akhirnya menjatuhkan vonis haram atas bunga bank, tepat di penghujung tahun 2003 kemarin. Tak ayal, keputusan
yang oleh sebagian orang diangap mendadak ini memancing respons dari pelbagai pihak. Tidak sedikit yang kemudian
bertanya-tanya. Benarkah bunga yang selama ini dijadikan basis oleh bank-bank konvensional adalah riba? Tidak
adakah pengecualian untuk bunga yang "wajar" dan proporsional? Bagaimana kesimpulan halal atau haramnya bunga
bank diperoleh?
Tulisan ini akan mencoba untuk melakukan pengkajian ulang, dari sudut pandang syariah Islam, terhadap bunga bank.
Mudah-mudahan ia dapat memberi kontribusi untuk melihat lebih jelas duduk persoalan bunga bank.

ANTARA BUNGA DAN RIBA

Pada dasarnya, bagi bank-bank konvensional, bunga memang merupakan salah satu aspek yang memainkan peran
yang sangat vital dalam kegiatan usahanya. Hal ini disebabkan ia terkait langsung dengan banyak dari produk jasa bank
itu sendiri. Baik itu berbentuk simpanan maupun kredit. Masing-masing dengan bentuknya yang beraneka ragam seperti
giro, deposito berjangka, tabungan, obligasi, KUK, dan lain-lain. Mengingat luasnya bidang usaha perbankan tersebut,
pembahasan ini akan lebih memfokuskan diri pada konsep bunga bank itu sendiri dan tidak terlalu jauh merinci aplikasi
sistem bunga dalam praktiknya.
Menurut Dahlan Siamat, bunga (interest), "dari sisi permintaan adalah biaya atas pinjaman; dan dari sisi penawaran
merupakan pendapatan atas pemberian kredit."

Bunga di sini dipandang sebagai sewa atau harga dari uang. Ia adalah imbalan atas pemakaian uang. Katakanlah Anda
meminjam dana sebesar Rp. 10.000 dari Bank XYZ. Pada akhir tahun, Anda diharuskan untuk mengembalikan sebesar
Rp. 10.100. Selisih antara uang pokok dan jumlah yang harus dikembalikan, yaitu Rp. 100, adalah bunga.

Selanjutnya adalah riba. Lebih khusus lagi riba yang berhubungan langsung dengan transaksi keuangan atau utang-
piutang. Dalam hal ini adalah riba nasi'ah dan riba jahiliyyah. Dalam Al-Qamus Al-Fiqhiy, riba nasi'ah dirumuskan
dengan "tambahan yang dipersyaratkan yang diambil oleh pemberi piutang dari orang yang berutang sebagai ganti
penundaan (pembayaran)."

Adapun riba jahiliyyah, maka ia dijelaskan sebagai "ketika seseorang berutang pada orang lain dan waktu pelunasan
telah jatuh tempo, pemberi piutang berkata: engkau lunasi sekarang atau engkau menambah (waktu pelunasan)? Jika ia
memberi tambahan (waktu), ia juga mewajibkan tambahan (atas uang pokok)." Dengan kata lain, riba jahiliyyah adalah
kredit yang dibayar lebih dari pokoknya karena kreditur tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.

Dari dua rumusan riba di atas nampak bahwa inti dari riba dalam transaksi keuangan dan utang-piutang, menurut
pengertian ahli-ahli fiqhi, adalah penambahan atas utang. Inti dari riba ini persis sama dengan pengertian bunga.
Sehingga bisa dikatakan bahwa sebenarnya riba adalah terjemahan Arab dari kata "bunga". Untuk contoh yang
dikemukakan tadi, Anda sebenarnya cukup mengembalikan utang dalam jumlah yang sama dengan yang Anda pinjam:
Rp. 10.000. Tambahan Rp. 100, dalam kaca mata Islam, adalah riba.

DALIL-DALIL TENTANG HARAMNYA BUNGA BANK

Dalil-dalil yang mengharamkan bunga diangkat dari Al-Qur'an, Hadits, atsar-atsar dari sahabat Nabi 5DI 'DDG 9DJG
H3DE dan ijma'. Berikut perinciannya:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (QS. al-Baqarah(2): 278-279)

Ayat ini menegaskan bagian yang berhak diambil oleh debitur atas kredit yang ia berikan, yaitu "ru'usu amwalikum",
pokok hartamu. Tidak lebih tidak kurang. Senada dengan ayat ini adalah hadits berikut :
http://www.wahdah.or.id/wahdah - Wahdah Islamiyah Powered by Mambo Generated: 13 November, 2010, 11:03
,br>
Dari Sulaiman bin Amr bin al-Ahwash, bapakku menceritakan kepada kami bahwa ia melaksanakan haji wada' bersama
Rasulullah 5DI 'DDG 9DJG H3DE . (Ketika berkhutbah, Nabi memulai dengan) memuji Allah lalu beliau memberi
peringatan dan nasihat. Kemuadian beliau berkata: . . . "Ketahuilah, sesungguhnya semua riba pada masa jahiliyyah
dibatalkan. Bagi kalian (hanya) uang pokok kalian, kalian tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi . . . ."

Dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah 5DI 'DDG 9DJG H3DE bersabda: "Tidak halal (melakukan transaksi ganda:)
utang-piutang bersama jual-bel (pada satu waktu).

Alasan pelarangan ini, wallahu a'lam, adalah karena ketika seorang pedagang menawarkan barangnya kepada calon
pembeli dan pada saat yang sama ia memberi pinjaman kepadanya, ia akan menaikkan harga barang untuk
mendapatkan tambahan dari pinjaman yang ia berikan. Dan ini adalah riba.

oAbdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma berkata: "Barangsiapa yang memberi pinjaman, janganlah ia
mempersyaratkan (keuntungan tertentu) selain pelunasan (uang pokoknya)."

oIbnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata: "Barangsiapa yang memberi piutang, janganlah ia mempersyaratkan (sesuatu)
yang lebih dari piutangnya. Karena walaupun hanya segenggam makanan hewan (yang engkau ambil) maka ia adalah
riba."

oPara ulama Islam telah ijma' (konsensus) mengenai haramnya bunga. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengungkapkan:
"Telah sepakat para ulama bahwa kreditor, jika ia mempersyaratkan tambahan atas kredit yang ia berikan, sebagai
sesuatu yang haram." Dalam disertasinya, Dr. Umar al-Mutrik menghimpun sebelas pernyataan ulama, dari zaman yang
berbeda-beda, yang melaporkan ijma' ini.

Demikianlah dalil-dalil mengenai haramnya bunga. Tidak terkecuali, tentu saja, termasuk di dalamnya bunga bank.
Semua dalil yang diangkat tadi berlaku umum dan universal, sebagaimana keumuman dan universalisme Islam itu
sendiri.

Sampai di sini, Anda mungkin menangkap bahwa pembicaraan kita sejak tadi hanya berkisar pada bunga atas
pinjaman. Lalu, apa pasal dengan simpanan? Apakah hukum riba ini juga berlaku untuk tambahan atas simpanan?
Berikut ini pembahasaannya.

JASA PENYIMPANAN BANK DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

Akar permasalahannya ialah: benarkah simpanan di bank (berupa giro, deposito atau tabungan) adalah "simpanan"
menurut Islam? Persoalan ini hendaknya diperjelas terlebih dahulu untuk mendapatkan jawaban yang benar-benar islami.

Simpanan, yang dalam terminologi para ahli fiqhi disebut wadi'ah, didefinisikan sebagai amanah yang sengaja
ditinggalkan pada orang lain untuk dijaga. Sebagaimana pada jenis transaksi syariah yang lain, wadi'ah juga memiliki
ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan transaksi-transaksi syari'ah yang lain. Di antaranya adalah, pertama, aset
yang disimpan berstatus amanah. Ketentuan ini bermakna bahwa kerusakan dan atau kehilangan yang terjadi pada aset
tersebut diluar tanggung jawab penerima simpanan. Aturan ini berlaku, dengan catatan, tidak ada unsur kelalaian dan
atau kesengajaan pada rusak atau hilangnya aset yang dimaksud. Penerima simpanan telah melakukan prosedur yang
semestinya terhadap barang simpanan. Pakaian disimpan di dalam lemari, uang di brankas, dan mobil di garasi; adalah
contoh-contoh sederhana. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadits Nabi5DI 'DDG 9DJG H3DE
"Barangsiapa yang diberi simpanan, ia tidak wajib menanggung." Demikianlah jaminan hukum yang diberikan Islam
kepada penerima simpanan.

http://www.wahdah.or.id/wahdah - Wahdah Islamiyah Powered by Mambo Generated: 13 November, 2010, 11:03


Kedua, di sisi lain, penerima simpanan juga diikat oleh aturan lain. Penerima simpanan tidak dibenarkan oleh syariah
untuk melakukan transaksi dalam bentuk apapun terhadap barang simpanan yang ada di tangannya. Tidak untuk tujuan
produktif maupun konsumtif. Aset tersebut bukan miliknya, ia tetap merupakan milik penuh pemberi simpanan.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini merupakan pengkhianatan terhadap amanah yang ia pegang.

Demikianlah beberapa di antara spesifikasi wadi'ah dalam Islam. Berdasarkan pada spesifikasi wadi'ah ini, tidak sulit
untuk memahami bahwa konsep wadi'ah dalam Islam sangat jauh berbeda dengan praktik pada jasa penyimpanan uang
di bank. Seorang nasabah tidak akan mau ambil pusing terhadap kerugian yang diderita bank akibat kebakaran,
misalnya. Ia tetap akan menuntut untuk mendapatkan kembali uang depositonya. Plus, bunga yang dijanjikan bank. Di
lain pihak, bagi bank sendiri, uang simpanan nasabah adalah sumber dana baginya untuk menjalankan roda kegiatan
usahanya. Dana ini selanjutnya akan dialokasikan kepada bentuk bidang-bidang usaha bank yang lain.

Kalau demikian halnya, apakah hakikat simpanan pada bank menurut Islam? Melihat karakteristik simpanan uang di
bank, ia adalah kredit oleh bank dari masyarakat. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sendiri menyebutkan bahwa
kredit (dalam jasa bank) adalah

"penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan."

Tidak menjadi masalah bagi pihak debitor untuk tujuan apa kreditnya akan dimanfaatkan. Pihak peminjam bebas
melakukan transaksi apa saja yang ia kehendaki terhadap kredit yang ia peroleh. Yang penting, debitor mendapatkan
kembali uangnya setelah jangka waktu yang disepakati.

Ini berarti, bunga yang diserahkan oleh pihak bank terhadap nasabahnya yang menyimpan uang adalah riba yang
diharamkan Islam. Ia adalah tambahan atas utang.

bersambung &&&

http://www.wahdah.or.id/wahdah - Wahdah Islamiyah Powered by Mambo Generated: 13 November, 2010, 11:03

Anda mungkin juga menyukai