Anda di halaman 1dari 31

AKAD QARDHUL HASAN AL-HIWALAH

AL-RAHN JU'ALAH

DISUSUN OLEH:
ARDIKA SURANTA BINTANG
1525100253

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCABUDI


MEDAN
2016
1

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas dan berkat rahmatNya yang masih bisa saya rasakan sampai saat ini, sehingga saya di mudahkan dalam setiap
langkah terutama dalam penyusunan tugas mengenai akad Qardhul Hasan, Al-Hiwalah,AlRahn,Ju'alah, Charge Card dan Syariah Card

Dalam tulisan ini, saya berusaha untuk menguraikan segala aspek utama dan aspek
pendukung dalam penulisan dan penjelasan mengenai akad Qardhul Hasan, AlHiwalah,Al-Rahn,Ju'alah, Charge Card dan Syariah Card . Segala hal mulai dari

pengertian dan beberapa penjelasan mengenai tulisan ini sudah di sampaikan secara rinci, dan
hal tersebut akan terlampir dalam tulisan ini. Semoga laporan ini juga nantinya akan berguna
bagi pembacanya.
Terimakasih atas perhatiannya, semoga dapat bermanfaat dan dapat di jadikan inspirasi
bagi pembaca.

Medan, Maret 2016

Penulis

BAB I
2

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Dalam Hukum Islam diperintahkan untuk bekerja sekuat tenaga untuk mencari rizki

yang halal. Dalam menjalankan usahanya dilarang melakukan transaksi riba dan dianjurkan
untuk memanifestasikan sejumlah nilai-nilai akhlaqul karimah seperti tolong-menolong.
Prinsip At Ta'wunadalah salah satu prinsip dalam Hukum Islam. Prinsip tolong-menolong
dalam ketakwaan merupakan salah satu faktor penegak agama karena dengan tolong
menolong akan menciptakan rasa saling memiliki di antara umat sehingga akan lebih
mengikat persaudaraan. Selain itu secara lahiriah manusia adalah mahluk sosial yang tidak
dapat hidup sendirian karena manusia butuh berinteraksi dengan sesamanya. Dengan tolongmenolonglah seorang muslim dapat dikatakan sebagai seorang muslim. Tolong-menolong
yang dilakukan tidak hanya dalam lingkup yang kecil seperti antara dua orang tapi juga dalam
sebuah perkumpulan yang besar termasuk dalam bisnis yang di dalamnya ada transaksi
pembiayaan.
Salah satu bentuk aplikasi prinsip tolong menolong adalah dalam akad qardh,
yakni Qardhul Hasan. Akad Qardh merupakan salah satu perwujudan prinsip tolong
menolong dalam praktek bank syariah. Perjanjian gardh adalah perjanjian pinjaman.
Perjanjian qardh, pemberi pinjaman (kreditor) memberikan pinjaman kepada pihak lain
dengan ketentuan penerima pinjaman akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu
yang telah diperjanjikan dengan jumlah yang sama ketika pinjaman itu diberikan. Qardh ulhasan merupakan perjanjian qardh untuk tujuan sosial. Adalah tidak mustahil bagi suatu bank
syariah yang terpanggil untuk memberikan pinjaman-pinjaman kepada mereka yang tergolong
lemah ekonominya untuk memberikan fasilitasgardh ul-hasan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Qardhul Hasan?
2. Apa yang dimaksud dengan Al-Hiwalah/Hawalah ( pengalihan )?
3. Apa yang dimaksud dengan Al-Rahn ( Pinjaman dengan jaminan )?
4. Apa yang dimaksud dengan Akad Jualah?
5. Apa yang dimaksud dengan Charge Card dan Syariah Card?
6. Apa saja rukun dan syarat akad-akad tersebut?
7. Apa saja jenis-jenis akad tersebut?
3

8. Akad-akad tersebut jika dikaitkan dengan sistem perbankan?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penjelasan tentang Qardhul Hasan dan unsur-unsurnya.
2. Untuk mengetahui penjelasan tentang Al-Hiwalah/Hawalah ( pengalihan ).
3. Untuk mengetahui tentang Jualah, Charge Card, dan Syariah Card.
4. Untuk mengetahui hubungan akad-akad tersebut dengan system perbankan.

BAB II
PEMBAHASAN
4

2.1 QARDHUL HASAN


2.1.1

Pengertian Qardhul Hasan


Qardhul Hasan adalah pinjaman tanpa dikenakan biaya ( hanya wajib membayar

sebesar pokok utangnya).


Pinjaman uang seperti inilah yang sesuai dengan ketentuan syariah (tidak ada riba).
Pinjaman qardh bertujuan untuk diberikan pada orang yang membutuhkan atau tidak memiliki
kemampuan finansial,untuk tujuan sosial atau untuk kemanusiaan.
Cara pelunasan dan waktu pelunasan pinjaman ditetapkan bersama antara pemberi dan
penerima pinjaman. Walaupun sifat utang ini sangat lunak tidak berarti pihak yang berhutang
dapat semaunya sendiri, karena dalam Islam, utang yang tidak dibayar akan menjadi
penghalang dia di hari akhir nanti walaupun ia gugur dalam jihad di medan perang yang
pahalanya sudah dijamin bahkan rasul tidak bersedia menshalatkan jenazah yang masih
memiliki utang.
2.1.2

Rukun dan Ketentuan Syariah


Rukun Qhardhul Hasan ada 3 yaitu :
1. Pelaku yang terdiri dari pemberi dan penerima pinjaman
2. Objek akad, berupa uang yang dipinjamkan
3. Ijab Kabul/serah terima
Ketentuan syariah, yaitu :
1. Pelaku, harus cakap hukum dan baliqh
2. Objek akad
a.

Jelas nilai pinjamannya dan waktu pelunasannya.

b.

Peminjam diwajibkan membayar pokok pinjaman pada waktu yang telah


disepakati, tidak boleh diperjanjikan akan ada penambahan atas pokok
pinjamannya. Namun peminjam dibolehkan memberikan sumbangan secara
sukarela.

c.

Apabila memang peminjam mengalami kesulitan keuangan maka waktu


peminjaman dapat diperpanjang atau menghapuskan sebagian atau seluruh
kewajibannya. Namun jika peminjam lalai maka dapat dikenakan denda.

3.

Ijab Kabul/serah terima adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di antara
pihak-pihak

pelaku

akad

yang

dilakukan

secara

verbal,tertulis,melalui

korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.


2.1.3

Perlakuan Akutansi Qardhul Hasan


Pelaporan qardhul hasan disajikan tersendiri dalam laporan sumber dan penggunaan

dana qardhul hasan karena dana tersebut bukan aset perusahaan. Oleh sebab itu, seluruhnya
dicatat dengan akun dana kebajikan dan dibuat buku besar pembantu atas dana kebajikan
berdasarkan jenis dana kebajikan yang diterima atau yang dikeluarkan.
a.

Bagi Pemberi Pinjaman

Saat menerima dana sumbangan dari pihak eksternal, jurnal :


Dr. Dana Kebajikan-kas

xxx

Kr. Dana Kebajikan-Infak/sedekah/hasil wakaf

xxx

2. Untuk penerimaan dana yang berasal dari denda dan pendapatan non halal,jurnal :
Dr. Dana Kebajikan-kas

xxx

Kr. Dana Kebajikan-denda/pendapatan Non-halal

xxx

3. Untuk pengeluaran dalam rangka pengalokasian dana qardh hasan,jurnal :


Dr. Dana Kebajikan-Dana Kebajikan Produkstif

xxx

Kr. Dana Kebajikan-Kas

xxx

4. Untuk penerimaan saat pengembalian dari pinjaman untuk qardhul hasan,jurnal :


Dr. Dana Kebajikan-kas

xxx

Kr. Dana Kebajikan-Dana Kebajikan Produktif

xxx

b. Bagi Pihak yan Meminjam


1. Saat menerima uang pinjaman, jurnal :
Dr. Kas

xxx
6

Kr.Utang

xxx

2. Saat pelunasan, jurnal :


Dr. Utang

xxx

Kr.Kas

2.2

xxx

AKAD AL-HIWALAH/HAWALAH ( PENGALIHAN )

2.2.1 Pengertian Al-Hiwalah/Hawalah ( Pengalihan )


Hawalah secara harfiah artinya pengalihan, pemindahan,perubahan warna kulit atau
memikul sesuatu di atas pundak.
Objek yang dialihkan dapat berupa utang atau piutang. Jenis akad ini pada dasarnya
adalah akad tabaruu yang bertujuan untuk saling tolong menolong untuk menggapai ridho
Allah.
Jika yang dialihkan utang maka akad hawalah merupakan akad pengalihan utang dari
satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar ) utangnya.
Secara teknis, pihak yang berutang ( muhil ) meminta pihak lain (muhalalaih) untuk
membayarkan terlebih dahulu utangnya pada pihak lain (muhal). Setelah akad hawalah
dilakukan pihak yang berutang (muhil) akan membayar kepada pihak yang telah menanggung
utangnya (muhalalaih) atau hak penagihan berpindah menjadi hak muhalalaih. Dalam hal ini
pihak yang mengambil alih utang harus yakin pihak yang diambil alih utangnya dapat
memenuhi kewajibannya di kemudian hari.
Jika yang dialihkan piutang maka akad hawalah merupakan akad pengalihan piutang
dari satu pihak yang berpiutang kepada pihak lain yang berkewajiban menagih piutangnya.
Secara teknis, pihak yang berpiutang ( muhil ) meminta pihak lain untuk mengambil
alih (muhalalaih) piutang yang dimilikinya,dengan pengambil alihan ini pihak yang
berpiutang akan menerima uang dari yang mengambil alih piutang, sementara pihak yang
berhutang (muhal) akan membayar pada pihak yang telah mengambil alih piutang.

A. Landasan Hukum Hawalah


Imam bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
saw,bersabda,

7

Artinya : Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman.
Yang mampu atau kaya, terimalah hawalah itu.
Sedangkan di dalam riwayat Imam At-Thabrani, redaksi

haditsnya

adalah sebagai berikut:



Sedangkan di dalam riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah,
Redaksinya adalah:


Adapula yang meriwayatkan dengan redaksi

Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang mengutangkan,
jika orang yang berutang menghawalahkan kepada orang kaya atau mampu, hendaklah ia
menerima hawalah terseebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihawalahkan
(muhal alaih). Dengan demikian haknya dapat terpenuhi.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perintah untuk menerima hawalah dalam hadits
terseebut menunjukkan wajib. Oleh sebab itu, wajib bagi yang mengutangkan (muhal)
menerima hawalah. Adapun mayoritas ulama brpendapat bahwa perintah itu menunjukkan
sunnah. Jadi, sunnah hukumnya menerima hawalah bagi muhal.
B. Rukun dan Syarat Hawalah
Dalam pelaksanaan, hawalah harus memenuhi rukun dan syarat sebagai berikut
a. Orang yang memindahkan tanggungan utang (muhil).
b. Orang yang memberikan utang yang dipindahkan pelunasannya dari orang yang
berutang padanya secara langsung (muhal).
c. Orang yang dipindahkan tanggungan utang padanya (muhal alaih)..
d. Harta yang diutang yang dialihkan( muhal bih)
e. Shighat.
Ulama hanafiyah berpendapat, bahwa yang menjadi rukun hawalah adalah ijab atau
pernyataan dari pihak pertama atau muhil dan qabul atau pernyataan menerima hawalah dari
pihak kedua al muhal dan pihak ketiga al-muhal alaih.
Syarat-syarat yang diperlukan pihak pertama (muhil):
8

1. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal.
Hawalah tidak sah bila dilakukan anak-anak meskipun ia sudah ia mengerti (mummayiz),
ataupun dilakukan orang gila.
2. Ada pernyataan persetujuan atau rida. Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan
hawalah maka akad itu tidak sah. Adapun persyaratan ini ini berdasarkan pertimbangan bahwa
sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya, jika kewajibannya untuk
membayar utang dialihkan kepada pihak lain.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak kedua ( muhal) sebagai berikut:
1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak
pertama.
2. Ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hawalah.
Persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang
berbeda-beda, ada yang mudah dan ada yang sulit membayarnya, sedangkan menerima
pelunasan utang itu merupakan hak pihak kedua.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak ketiga (muhal alaih) adalah:
1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak
pertama dan kedua.
2. Adanya pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (muhal alaih). Hal ini diharuskan
karena tindakan hawalah merupakan tindakan hukum yang melahirkan pemindahan kewajiban
kepada pihak ketiga (muhal alaih) untuk membayar utang kepada pihak kedua (muhal) ,
sedangkan kewajiban membayar utang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri
yang berutang kepada pihak kedua. Atas dasar itu, kewajiban itu hanya dibebankan
kepadanya, jika ia menyetujui akad hawalah.
3. Imam Abu Hanifah menambahkan syarat bahwa qabul atau pernyataan menerima
akad harus dilakukan dengan sempurnaoleh pihak ketiga didalam suatu majelis akad.
Syarat-syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (muhal bih) adalah:
1. Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang telah
pasti.
2. Pembayaran utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya, jika terjadi
perbedaan waktu jatuh tempo pembayaran diantara kedua utang itu, maka hawalah tidak sah.
3. Utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak
pertama mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika diantara kedua utang itu terdapat
perbedaan jumlah, misalnya utang uang, atau perbedaan kualitas misalnya utang dalam bentuk
barang, maka hawalah itu tidak sah.
C. Macam-macam Hawalah.
9

Dalam pelaksanaannya, hawalah ada dua yaitu hawalah muthalaqoh dan muqayyadah.
1. Hawalah mutlaqoh adalah seseorang memindahkan utang pada yang lain tanpa
memberikan keterangan bahwa orang tersebut harus membayar utangnya dari utang
yang ada padanya.
2. Hawalah muqayyadah adalah seseorang memindahkan pembayaran utangnya pada
orang lain, dari utangnya yang ada pada orang tersebut.
Hawalah muthalaqoh tidak diperbolehkan oleh para ulama, kecuali ulama hanafiyah,
alasan ulama (tiga madzhab selain hanafiyah) yang melarang hawalah semacam ini adalah
karena orang yang dipindahkan pembayaran utang (muhal alaih) tidak ada hubungannya
dengan orang yang memindahkan utang (muhil). Artinya ia tidak mempunyai kewajiban yang
harus ditanggung dan dibayarkan kepada muhil, sehingga jika hal ini terrjadi berarti bukan
hawalah, melainkan kafalah.
Ditinjau dari segi obyeknya hiwalah dibagi 2, yaitu :
1. Hawalah al-Haqq (pemindahan hak) Hawalah haqq adalah pemindahan piutang dari
satu piutang kepada piutang yang lain atau pemindahan hak untuk menuntut hutang. Dalam
hal ini yang bertindak sebagai muhil adalah pemberi hutang dan ia mengalihkan haknya
kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau
berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi piutang A mempunyai hutang kepada
piutang B.
2. Hawalah ad-Dain (pemindahan hutang) Hawalah ad-dain adalah pemindahan hutang
kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hiwalah haqq, karena
pengertiannya sama dengan hawalah yang telah diterangkan di depan yakni yang dipindahkan
itu kewajiban untuk membayar hutang.

D. Beban Muhil Setelah Hawalah.


Dalam buku fiqh sunnah,Sayyyid Sabiq mengatakan bahwa apbila hawalah berjalan sah,
dengan sendirinya tanggung jawab muhil menjadi gugur, andai kata muhal alaih mengalami
kebangkrutan atau menbantah adanya hawalah atau meninggal dunia maka pihak kedua
(muhal) tidak boleh kembali lagi berurusan dengan pihak pertama (muhil) karena memeng
utangnya telah dihawalahkan. Demikianlah pendapat jumhur ulama.
Berbeda dengan jumhur ulama, Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam keadaan muhal
alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang mengutangkannya (al
muhal) boleh menagih utangnya lagi kepada pihak pertama ( muhil). Sementara madzhab
10

maliki berpendapat apabila muhil telah menipu muhal ternyata muhal alaih adalah orang fakir
yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar , maka muhal boleh kembali lagi kepada
muhil. Dalam kitab al-muwatta Imam Malik menulis bahwa orang yang menghawalahkan
utang kepada orang lain, kemudian muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal
dunia dan ia belum membayar kewajibannya, maka muhal tidak boleh kembali kepada
muhil.Perlu dikemukakan bahwa akad hawalah ini mempunyai jangka waktu berlakunya.
Akad hawalah akan berakhir apabila :
1. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu membatalkan akad hawalah
sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan adanya pembatalan akad itu pihak
kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama.
2. Pihak ketiga telah melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
3. Pihak kedua menghibahkan atau menyedahkan harta yang merupakan utang dalam
akad hawalah itu kepada pihak ketiga.
4. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang
yang dialihkan itu.
5. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi
harta pihak kedua. Dalam hal ini tentu beban utang pihak ketiga tersebut diperhitungkan
dalam pembagian warisan.
E. Aplikasi Hawalah Dalam Dunia Perbankan.
Fikih kontemporer , khususnya dalam dunia perbankan, mengembangkan konsep
hawalah ini dalam beberapa bentuk, antara lain bilyet giro cek bertempo. Dalam hal ini, kita
cobntohkan seorang penulis buku yang mendapatkan royalti dari sebuah penerbit. Ketika jatuh
tempo membayar royalti, penerbit memberikan giro yang berisi jumlah uang tertentu yang
bisa dicairkan antara penerbit dan bank. Dalam kasus ini, penerbit adalah muhil, kemudian
bank sebagai muhal alaih dan penulis sebagai muhal.
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut:
1. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada
pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang
2.
3.

tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.


Post dated check.
Bill discounting. Secara prinsip serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill
discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahsan fee tidak didapati
pada akad hawalah.

2.2.2 Jenis Akad Hiwalah


11

Ditinjau dari segi objek akad, hiwalah dapat dibagi menjadi dua :
1. Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menagih piutang, maka pemindahan
itu disebut hiwalah al haqq (pemindahan hak)/anjak piutang.
2. Apabila yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar utang, maka pemindahan
itu disebut hiwalah ad-dain (pemindahan utang).
Ditinjau dari sisi persyartan, hiwalah dapat dibagi menjadi dua :
1. Hawalah al-muqayyadah (pemindahan bersyarat) adalah hawalah dimana muhil
adalah pihak yang berutang sekaligus berpiutang kepada muhalalaih. Contoh : B
(muhil) berutang kepada A (muhal) sebesar dua juta rupiah, sedangkan B berpiutang
kepada C (muhalalaih) juga sebesar dua juta rupiah. B kemudian mengalihkan
piutangnya yang terdapat pada C untuk A, sebagai ganti dari pembayaran utang B
kepada A.
2. Hawalah al-muthlaqah (pemindahan mutlak) adalah hawalah dimana muhil adalah
pihak yang berutang, tetapi tidak berpiutang kepada muhalalaih.
2.2.3 Rukun dan Ketentuan Syariah
Rukun hiwalah ada 3 yaitu :
1. Pelaku yang terdiri atas :
a. Pihak yang berutang atau berpiutang atau muhil
b. Pihak yang berpiutang atau berutang atau muhal
c. Pihak pengambil alih utang atau piutang atau muhalalaih
2. Pelaku yang terdiri atas :
a. Adanya utang,atau
b. Adanya piutang
3. Ijab Kabul/serah terima
Ketentuan syariah, yaitu :
1. Pelaku
a. Baliq (dewasa) dan berakal sehat

12

b. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela
(rida) dengan pengalihan utang piutang tersebut
c. Diketahui identitasnya
2. Objek penjaminan (makful bihi)
a. Bisa dilaksanakan oleh pihak yang mengambil alih utang atau
piutang
b. Harus merupakan utang/piutang mengikat,yang tidak mungkin hapus kecuali
setelah dibayar atau dibebaskan.
c. Harus jelas nilai,jumlah dan spesifikasinya
d. Tidak bertentangan dengan syariah
3. Ijab Kabul/serah terima adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di antara

pihak-pihak

pelaku

akad

yang

dilakukan

secara

verbal,tertulis,melalui

korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.


Untuk membantu masyarakat yang ingin menghindari riba dengan mengalihkan utang
yang timbul dari transaksi non syariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai
syariah. Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa terkait dengan pengalihan utang ini dan
memberikan berbagai alternatif,yaitu:
Alternatif 1
1. LKS (Lembaga Keuangan Syariah) memberikan qardh kepada nasabah.
Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (utang) nya, dengan demikian
aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.
2. Nasabah menjual aset dimaksud (1) kepada LKS dan dengan hasil penjualan itu
nasabah melunasi qardhnya kepada LKS
3. LKS menjual secara murabahah, aset yang telah menjadi miliknya tersebut
kepada nasabah, dengan cara pembayaran secara cicilan/diangsur.
Alternatif 2

13

1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah


melunasi kredit (utang) nya,dan dengan demikian, aset yang dibeli dengan
kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.
2. Nasabah menjual aset dimaksud angka kepada LKS, dan dengan hasil
penjualan itu nasabah melunasi qardhnya kepada LKS.
3. LKS menyewakan aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah,
dengan akad al ijarah al muntahiya bit tamlik.
Alternatif 3
1. LKS membeli sebagian aset nasabah, dengan seizin LKK (Lembaga Keuangan
Konvensional), sehingga dengan demikian terjadilah syirkah al-milk antara
LKS dan nasabah terhadap aset tersebut.
2. Bagian aset yang dibeli oleh LKS sebagaimana dimaksud angka 1 adalah
bagian aset yang senilai dengan utang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK.
3. LKS menjual secara murabahah bagian aset yang menjadi miliknya tersebut
kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
Alternatif 4
1. Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas aset,nasabah
dapat melakukan akad ijarah dengan LKS
2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi kewajiban nasabah
dengan menggunakan prinsip al-qardh.
3. Akad ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tiddak boleh dipersyaratkan
dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan sebagaimana dimaksudkan
angka 2.
4. Besar imbalan jasa ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh
didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada nasabah
sebagaimana dimaksudkan angka 2.
2.2.4 Perlakuan Akutansi Hiwalah (ED PSAK 110)
1. Akutansi Pihak yang Mengalihkan Utang / Muhil
14

Ketika pengambil alihan utang dimana muhalalaih membayar utang muhil pada
muhal, jurnal :
Dr. Utang A (muhal)

xxx

Kr. Utang B (muhalalaih)

xxx

Jika utang yang dialihkan harus dilunasi dalam jangka pendek maka ujrah (fee)
yang dibayarkan diakui pada saat terjadinya, Jurnal :
Dr. Beban hawalah

xxx

Kr. Kas

xxx

Jika utang yang dialihkan harus dilunasi dalam jangka panjang maka ujrah (fee)
yang dibayarkan diakui sebagai beban tangguhan, Jurnal :
Dr. Beban Tangguhan hawalah

xxx

Kr. Kas

xxx

Kemudian beban diakui melalui amortisasi beban tangguhan secara garis lurus,
jurnal :
Dr. Beban hawalah

xxx

Kr. Beban Tangguhan Hawalah

xxx

Biaya transaksi hawalah seperti biaya legal dan biaya administrasi diakui sebagai
beban pada saat terjadinya,jurnal :
Dr. Beban hawalah

xxx

Kr. Kas

xxx

Pelunasan utang oleh muhil pada muhalaliah, jurnal :


Dr. Utang-B (muhalalaih)
Kr. Kas

xxx
xxx

2. Akutansi Pihak yang Menerima Pengalihan Utang/Muhalalaih


Pada saat pembayaran kepada pihak muhal sebesar jumlah utang yang diambil alih,
jurnal :
15

Dr. Piutang C (muhil)

xxx

Kr. Kas

xxx

Jika piutang dari muhil akan dilunasi dalam jangka pendek, jurnal :
Dr. Kas

xxx

Kr. Pendapatan Hawalah

xxx

Jika piutang dari muhil akan dilunasi dalam jangka panjang, ketika muhalalaih
menerima feel ujrah sekaligus, jurnal :
Dr. Kas

xxx

Cr. Pendapatan diterima dimuka

xxx

Pendapatan diakui melalui amortisasi pendapatan diterima dimuka secara


proposional dengan jumlah piutang yang tertagih, jurnal :
Dr. Pendapatan diterima dimuka

xxx

Cr. Pendapatan hawalah

xxx

Ketika menerima pelunasan piutang, jurnal :


Dr. Kas

xxx

Cr. Piutang C

xxx

Pengungkapan entitas keuangan syariah mengungkapkan terkait pengalihan utang,


tetapi tidak terbatas pada :
a. Jumlah dan saldo utang yang dialihkan pada tanggal pelaporan
b. Persentase utang yang dialihkan terhadap total piutang
c. Kebijakan manajemen resiko atas utang yang dialihkan, dan
d. Kebijakan akutansi yang digunakan untuk utang yang dialihkan

2.3 AKAD AL-RAHN ( PINJAMAN DENGAN JAMINAN )


2.3.1 Pengertian Akad Al-Rahn
Secara harfiah adalah tetap,kekal,dan jaminan. Secara istilah rahn adalah apa yang
disebut dengan barang jaminan,agunan,cagar, atau tanggungan.

16

Rahn yaitu menahan barang sebagai jaminan atas utang. Akad Rahn juga diartikan
sebagai sebuah perjanjian pinjaman dengan jaminan atau dengan melakukan penahanan harta
milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya
Akad Rahn bertujuan agar pemberi pinjaman lebih mempercayai pihak yang berutang.
Apabila barang gadai dapat diambil manfaatnya, misalnya mobil maka pihak yang menerima
barang gadaian boleh memanfaatkannya atas seizin pihak yang menggadaikan sebaliknya ia
berkewajiban memelihara barang gadaian. Untuk barang gadai berupa emas tentu tidak ada
biaya pemeliharaan, yang ada adalah biaya penyimpanan.
Pada saat jatuh tempo yang berhutang berkewajiban untuk melunasi utangnya. Apabila
ia tidak dapat melunasinya maka barang gadaian dijual dan kemudian hasil penjualan bersih
digunakan untuk melunasi utang dan biaya pemeliharaan yang terutang, jika ada kelebihan
maka selisih diserahkan kepada yang berutang tetapi apabila ada kekurangan maka yang
berutang tetap harus membayar sisanya.
2.3.2 Pengertian Rahn Tajlisi

Selain akad rahn, MUI pada tahun 2008 mengeluarkan fatwa tentang
Fidusia / Rahn Tajlisi dalam rangka mengurangi kendala yang timbul sehubungan masalah
jaminan khususnya dalam masalah pemeliharaan dan pemanfaatan jaminan.
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuanbahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda.
Agar sesuai syariah maka akad rahn tajlisi harus memenuhi hal-hal sebagai berikut :
a. Biaya pemeliharaan harus ditanggung oleh pihak yang menggadaikan, namun
jumlah biaya pemeliharaan tidak boleh dihubungkan dengan besarnya pembiayaan
b. Pihak penerima gadai dapat menyimpan bukti kepemilikan sedangkan barang yang
digadaikan dapat digunakan pihak yang menggadaikan dengan seizin dari penerima
gadai.
c. Jika terjadi eksekusi jaminan, maka dapat dijual oleh pihak penerima gadai tetapi
harus dengan izin dari pihak yang menggadaikan sebagai pemilik.
2.3.3 Rukun dan Ketentuan Syariah
Rukun Qhardhul Hasan ada 3 yaitu :
1. Pelaku yang terdiri atas pihak yang menggadaikan (rahin) dan pihak yang menerima
gadai (murtahin)
17

2. Objek akad berupa barang yang digadaikan (marhun) dan utang (marhun bih).
3. Syarat utang adalah wajib dikembaikan oleh debitur kepadakreditor,utang itu dapat
dilunasi dengan agunan tersebut, dan utang itu harus jelas (harus spesifik).
4. Ijab kabul/serah terima
Ketentuan syariah, yaitu :
1. Pelaku, harus cakap hukum dan baliqh
2. Objek yang digadaikan (marhun)
a. Barang gadai (marhun)
1) Dapat dijual dan nilainya seimbang
2) Harus bernilai dan dapat dimanfaatkan
3) Harus jelas dan dapat ditentukan secara spesifik
4) Tidak terkait dengan orang lain (dalam hal kepemilikan)
b. Utang (marhun bih), nilai utang harus jelas demikian juga tanggal jatuh
temponya
3. Ijab Kabul/serah terima adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di antara
pihak-pihak

pelaku

akad

yang

dilakukan

secara

verbal,tertulis,melalui

korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.


2.3.4 Perlakuan Akutansi Rahn
A. Bagi Pihak yang Menerima Gadai (Murtahin)
Pada saat menerima barang gadai tidak dijurnal tetapi membuat tanda terima atas barang.
1. Pada saat menyerahkan uang pinjaman,jurnal :
Dr. Piutang

xxx

Kr. Kas

xxx

2. Pada saat menerima uang untuk biaya pemeliharaan dan penyimpanan,jurnal:


Dr. Kas
Kr. Pendapatan

xxx
xxx
18

3. Pada saat mengeluarkan biaya untuk biaya pemeliharaan dan penyimpanan,jurnal :


Dr. Beban

xxx

Kr. Kas

xxx

4. Pada saat pelunasaan uang pinjaman, barang gadai dikembalikan dengan membuat
tanda serah terima barang,jurnal :
Dr. Kas

xxx

Kr. Piutang

xxx

5. Jika pada saat jatuh tempo, utang tidak dapat dilunasi dan kemudian barang gadai
dijual oleh pihak yang menggadaikan.penjualan barang gadai, jika nilainya sama
dengan piutang, jurnal :
Dr. Kas

xxx

Kr. Piutang

xxx

Jika kurang, maka piutangnya masih tersisa sejumlah selisih antara nilai penjualan
dengan saldo piutang.
B. Bagi Pihak yang Menggadaikan
Pada saat menyerahkan aset tidak dijurnal, tetapi menerima tanda terima atas penyerahan
aset serta membuat penjelasan atas catatan akutansi atas barang yang digadaikan.
1. Pada saat menerima uang pinjaman,jurnal :
Dr. Kas

xxx

Kr. utang

xxx

2. Bayar uang untuk biaya peeliharaan dan penyimpanan,jurnal :


Dr. Beban

xxx

Kr. Kas

xxx

3. Ketika dilakukan pelunasan atas utang,jurnal :


Dr. Utang
Kr. Kas

xxx
xxx
19

4. Jika pada saat jatuh tempo, utang tidak dapat dilunasi sehingga barang gadai dijual
pada saat penjualan barang gadai, jurnal :
Dr. Kas

xxx

Dr. Akumulasi penyusutan (apabila aset tetap)

xxx

Dr. Kerugian (apabila rugi)

xxx

Kr. Keuntungan (apabila untung)

xxx

Kr. Aset

xxx

5. Pelunasan utang atas barang yang dijual pihak yang menggadai,jurnal :


Dr. Utang
Kr. Kas

2.4

xxx
xxx

AKAD JUALAH (HADIAH)

2.4.1 Pengertian Akad Jualah (hadiah)


Jualah berasal dari kata jaala yang memiliki banyak arti : jumlah imbalan,
meletakkan, membuat, menasabkan, menurut fiqih diartikan sebagai suatu tanggung jawab
dalam bentuk janji memberikan hadiah tertentu secara sukarela terhadap orang yang berhasil
melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau
dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan.
Jualah dapat juga dianalogikan sebagai sayembara, imbalan, upah atau perlombaan.
Menurut Az-Zuhaili dalam maksum (2008), perbedaan antara akad jualah dengan upah
bekerja (ijarah dalam tenaga kerja) adalah :
1) Jualah diberikan jika pekerjaan telah selesai, sedangkan upah sesuai dengan ukuran
tertentu.
2) Jualah tidak dibatasi oleh waktu, sedangkan upah ditentukan batas waktunya.
Walaupun Mazhab hambali dan Syafii membolehkan menentukan batas waktu.
3) Jualah tidak bisa dibayar dimuka, sedangkan upah bisa dibayar dimuka
4) Jualah dapat dibatalkan meskipun upaya telah dilakukan asalkan belum selesai,
sedangkan upah tidak dapat dibatalkan karena mengikat
5) Upah lebih luas ruang lingkupnya dari jualah.
2.4.2

Rukun dan Ketentuan Syariah


20

Rukun Jualah ada 4 yaitu :


1. Pihak yang membuat sayembara/penugasan (al aqid/al jail)
2. Objek akad berupa pekerjaan yang harus dilakukan (al majul)
3. Hadiah yang akan diberikan(al jil)
4. Ada sighat dari pihak yang menjanjikan (ijab)
Ketentuan syariah, yaitu :
1.

Pihak yang membuat sayembara: cakap hukum, baligh dan dapat juga dilakukan
oleh orang lain.

2.

Objek yang harus dikerjakan :


a.

Harus mengandung manfaat yang jelas

b.
3.

Boleh dimanfaatkan sesuai syariah

Hadiah yang diberikan harus sesuatu yang bernilai (harta) dan jumlahnya harus
jelas

4.

Sah dengan ijab saja tanpa ada kalbu

2.4.3 Perlakuan Akuntansi Jualah


1. Bagi Pihak yang Membuat Janji
Saat membuat janji tidak diperlukan pencatatan apa pun karena belum pasti hasil
atas sayembara tersebut.
Setelah sayembara itu terpenuhi maka jurnal :
Dr. Beban jualah

xxx

Kr. Kas/aset Nonkas Lain

xxx

2. Bagi Pihak yang Menerima Janji


Saat medengar janji tidak diperlukan pencatatan apa pun karena belum pasti hasil
atas sayembara tersebut.
Setelah sayembara itu terpenuhi maka jurnal :
Dr. Kas/Aset Nonkas Lain

xxx
21

Kr. Pendapatan jualah

2.5

xxx

CHARGE CARD dan SYARIAH CARD

2.5.1 Pengertian Charge Card dan Syariah Card


Charge Card dan Syariah Card merupakan salah satu produk dari perbankan syariah,
sedangkan akad yang digunakan adalah kombinasi dari akad-akad yang telah dijelaskan
Charge Card adalah fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh pemegang kartu
(hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tempat-tempat
tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (mushdir albithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan.
Syariah Card adalah kartu yang berfungsi sebagai kartu kredit yang hubungan hukum
(berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip syariah.
Kedua jenis kartu tersebut merupakan pola pembiayaan seperti halnya kartu kredit dan
kartu debit di bank konvensional. Hanya saja, charge dan syariah card tidk mengenakan
bunga,tetapi mengenakan fee atas keanggotaan dan transaksi yang dilakukan.
2.5.2 Rukun dan Ketentuan Syariah
Mengingat transaksi ini merupakan implementasi dari gabungan akad, maka rukun dan
ketentuan syariahnya akan merujuk pada rukun dan ketentuan syariah dari akad kafalah,
ijarah dan qardh hasan.
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 42/DSNMUI/V/2004 tentang Syariah Charge Card.
Menimbang :
a. Bahwa untuk memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi nasabah dalam
melakukan transaksi dan penarikan tunai diperlukan charge card
b. Bahwa fasilitas charge card yang ada dewasa ini masih belum sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah.
c. Bahwa agar fasilitas tersebut dilaksanakan sesuai dengan Syari'ah, Dewan Syari'ah Nasional
memandang perlu menetapkan fatwa mengenai hal tersebut untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
1. Firman Allah SWT, antara lain:
QS. al-Ma'idah [5]: 1
"Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu...".
22

QS.Yusuf [12]: 72:


"Penyeru-penyeru itu berseru: 'Kami kehilangan piala Raja,. dan barang siapa yang
dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan
aku menjamin terhadapnya."
QS. al-Ma'idah [5]: 2:
"Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah
tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran..."
QS. al-Furqan [25]: 67
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak herlebih-lebihan,
dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian."
QS. Al-Isra' [17]:
"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat
ingkar kepada Tuhannya."
QS. al-Isra' [17]: 34:
"Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabannya."
QS. al-Qashash [28]: 26:
"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya."
QS. al-Baqarah [2]: 275:
"Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
23

datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."
QS. al-Baqarah [2]: 282:
"Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai sampai waktu
tertentu, buatlah secara tertulis..."
QS. al-Bagarah [2]: 280:
"Dan jika ia (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, berilah tangguh sampai ia
berkelapangan..."
2. Hadist-hadist Nabi SAW, antara lain:
Hadis Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari `Amr bin `Auf alMuzani, Nabi s.a.w.
bersabda:
"Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum kecuali perjanjian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syaratsyarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram."
Hadis Nabi riwayat Imam Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan yang lain, dari Abu Sa'id alKhudri, Nabi s.a.w. bersabda:
"Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain."
Hadis Nabi riwayat Bukhari dari Salamah bin al-Akwa':
"Telah dihadapkan kepada Rasidullah s. a.w. jenazah seorang laki-laki untuk
disalatkan. Rasulullah bertanya, "Apakah ia mempunyai hutang?" Sahabat menjawab,
`Tidak'. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain,
Rasulullah pun bertanya, Apakah ia mempunyai hutang?' Mereka menjawab, `Ya'.
Rasulullah

berkata,

'Salatkanlah

temanmu

itu'

(beliau

sendiri

tidak

mau

mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, `Saya menjamin hutangnya, ya


Rasulullah'. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut."
Hadis Nabi riwayat Abu Daud, Tirmizi dan lbn Hibban:
24

"Za'im (penjamin) adalah gharinz (orang yang menanggung hutang)."


Hadis Nabi riwayat Abu Daud dari Sa'd Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
"Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka,
Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami
menyewakannya dengan emas atau perak "
Hadis riwayat 'Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri. Nabi s.a.w.
bersabda:
"Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."
Hadis Nabi riwayat Muslim, Nabi bersabda:
"Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan
melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hanzba-Nya
selama ia (suka) menolong saudaranya"
Hadis Nabi riwayat Jama'ah, Nabi bersabda:
"Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu
kezaliman..."
Hadis Nabi riwayat Nasa'i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad, Nabi bersabda:
"Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu, menghalalkan harga diri
dan memberikan sanksi kepadanya."
Hadis Nabi riwayat Bukhari, Nabi bersabda:
"Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran
hutangnya."
Kaedah Fiqh, antara lain:
a. Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.
b. Kesulitan dapat menarik kemudahan.
c. Keperluan dapat menduduki posisi darurat.
25

d. Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang
berlaku berdasarkan syara' (selama tidak bertentangan dengan syari'at).
Memperhatikan:
Pendapat fuqaha' antara lain dalam:
1. Kitab I'anah al-Thalibin, jilid 111/77-78 :
"(Tidak sah akad penjaminan [dhaman] terhadap sesuatu yang akan menjadi
kewajiban, seperti hutang dari akad qardh) yang akan dilakukan.... Misalnya ia
berkata: `Berilah orang ini hutang sebanyak seratus dan aku menjaminnya.'
Penjaminan tersebut tidak sah, karena hutang orang itu belum terjadi. Dalam pasal
tentang Qardh, pensyarah telah menuturkan masalah ini --penjaminan terhadap suatu
kewajiban (hutang) yang belum terjadi dan menyatakan bahwa ia sah menjadi
penjamin. Redaksi dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut: `Seandainya
seseorang berkata, Berilah orang ini hutang sebanyak seratus dan aku menjaminnya.
Kemudian orang yang diajak bicara memberikan hutang kepada orang dimaksud
sebanyak seratus atau sebagiannya, maka orang tersebut menjadi penjamin menurut
pendapat yang paling kuat (aitjah).' Dengan demikian, pernyataan pensyarah di sini
(dalam pasal tentang dhaman) yang menyatakan dhaman (terhadap sesuatu yang akan
menjadi kewajiban) itu tidak sah bertentangan dengan pernyataannya sendiri dalam
pasal tentang qardh di atas yang menegaskan bahwa hal tersebut adalah (sah sebagai)
dhaman."
2. Kitab Mughni al-Muhtaj, jilid II: 201-202:
"(Hal yang dijamin) yaitu hutang (disyaratkan harus berupa hak yang telah terjadi)
pada saat akad. Oleh karena itu, tidak sah menjamin hutang yang belum menjadi
kewajiban... (Qaul qadim --Imam al-Syafl'i-- menyatakan sah penjaminan terhadap
hutang yang akan menjadi kewajiban), seperti harga barang yang akan dijual atau
sesuatu yang akan dihutangkan. Hal itu karena hajat --kebutuhan orang-- terkadang
mendorong adanya penjaminan tersebut."
3. Kitab al-Muhadzdzab, juz I Kitab al-Ijarah hal. 394:
Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan...
karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda.
26

Manakala akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya dibolehkan
pula akad ijarah atas manfaat."
4. Kitab Fiqh al-Sunnah jilid 4/221-222 :
"Kafalah (jaminan) harta yaitu kajil (penjamin) berkewaj iban memberikan jaminan
dalam bentuk harta."
5. Pendapat Majma' al-Fiqh al-Islami & Hai'ah al-Muhasabah wa al-Muraja'ah li-alMu'assasah al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, al-Ma 'ayir al-Syar 'iyah Mei 2001: alMi'yar alSyar'i, nomor 2 tentang Bithaqah al-Hasm wa Bithaqah alI'timan.
6. Pendapat Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional MUI pada hari Kamis, 07 Rabi'ul
Akhir 1425 H. / 27 Mei 2004.
MEMUTUSKAN
Menetapkan FATWA TENTANG SYARIAH CHARGE CARD
Pertama: HUKUM
Penggunaan charge card secara syariah dibolehkan, dengan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
Kedua: KETENTUAN UMUM
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a. Syariah Charge Card adalah fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh pemegang
kartu (hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tempattempat tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (mushdir
al-bithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan.
b. Membership Fee (rusum al-'udhwiyah) adalah iuran keanggotaan, termasuk perpanjangan
masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin menggunakan fasilitas kartu;
c. Merchant Fee adalah fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai
upah/imbalan (ujrah samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil aldayn);

27

d. Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan uang tunai
(rusum sahb alnuqud)
e. Denda keterlambatan (Late Charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran yang
akan diakui sebagai dana sosial.
f. Denda karena melampaui pagu (Overlimit Charge) adalah denda yang dikenakan karena
melampaui pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan penerbit kartu dan
akan diakui sebagai dana sosial.
Ketiga: KETENTUAN AKAD
Akad yang dapat digunakan untuk Syariah Charge Card adalah:
a. Untuk transaksi pemegang kartu (hamil cd-bithaqah) melalui merchant (qabil albithaqahlpenerima kartu), akad yang digunakan adalah akad Kafalah wal Ijarah.
b. Untuk transaksi pengambilan uang tunai digunakan akad al-Qardh wal Ijarah.
Keempat:
1. Ketentuan dan batasan (dhawabith wa hudud) Syariah Charge Card :
a.

Tidak boleh menimbulkan riba.

b.

Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat.

c.

Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan) antara lain dengan cara
menetapkan pagu.

d.

Tidak mengakibatkan hutang yang tidak pernah lunas (ghalabah al-dayn).

e.

Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada
waktunya.

2. Ketentuan Fee:
a.

Iuran keanggotaan (Membership fee)

28

Penerbit kartu boleh menerima iuran keanggotaan (rusum al-'udhwiyah) termasuk


perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin
penggunaan fasilitas kartu.
b.

Ujrah (Merchant Fee)


Penerbit kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau
pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan
(tahsil al-dayn).

c.

Fee Penarikan Uang Tunai


Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud)
sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan
dengan jumlah penarikan.

3. Ketentuan Denda
a.

Denda Keterlambatan (Late Charge)


Penerbit kartu boleh mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang akan diakui
sebagai dana sosial.

b.

Denda karena melampaui pagu (Overlimit Charge)


Penerbit kartu boleh mengenakan denda karena pemegang kartu melampaui pagu yang
diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan penerbit kartu dan akan diakui sebagai
dana sosial.

Kelima : Ketentuan Penutup


a.

Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

b.

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

29

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
Menurut terminologi hukum Islam akad adalah pertalian antara penyerahan (ijab) dan
penerimaan (qobul) yang dibenarkan oleh syariah yang menimbulkan akibat hukum terhadap
objeknya. Aplikasi dalam Perbankan Akad qard biasanya diterapkan sebagai produk
perlengkapan kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonafiditasnya, yang
membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif pendek. Nasabah tersebut akan
mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang dipinjamnya itu. Hiwalah adalah
memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain. Rukun
hiwalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Muhil
Muhal
Muhal alaih
Utangmuhil kepada muhal
Utang muhal alaih kepada muhal
Sighat

30

Praktek hiwalah tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pada umumnya namun praktek
ini juga diterapkan oleh Bank Syariah sebagai salah satu bentuk pelayanan jasa dengan
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Fatwa DSN No. 12/DSN-MUI/IV/2000.

DAFTAR PUSTAKA
Nurhayati,Sri dan Wasilah.2013.Akuntansi Syariah Indonesia.SALEMBA EMPAT:Jakarta
Sumber Internet:
http://hukum-islam.com/2014/06/konsep-dan-dalil-qardhul-hasan-pinjaman-lunak/
https://sharianomics.wordpress.com/2010/11/17/definisi-jualah/
http://www.ekonomisyariah.org/konsultasi-detail/detail-konsultasi/1/40
https://viewislam.wordpress.com/2009/04/15/konsep-akad-hiwalah-dalam-fiqh-muamalah/

31

Anda mungkin juga menyukai