AL-RAHN JU'ALAH
DISUSUN OLEH:
ARDIKA SURANTA BINTANG
1525100253
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas dan berkat rahmatNya yang masih bisa saya rasakan sampai saat ini, sehingga saya di mudahkan dalam setiap
langkah terutama dalam penyusunan tugas mengenai akad Qardhul Hasan, Al-Hiwalah,AlRahn,Ju'alah, Charge Card dan Syariah Card
Dalam tulisan ini, saya berusaha untuk menguraikan segala aspek utama dan aspek
pendukung dalam penulisan dan penjelasan mengenai akad Qardhul Hasan, AlHiwalah,Al-Rahn,Ju'alah, Charge Card dan Syariah Card . Segala hal mulai dari
pengertian dan beberapa penjelasan mengenai tulisan ini sudah di sampaikan secara rinci, dan
hal tersebut akan terlampir dalam tulisan ini. Semoga laporan ini juga nantinya akan berguna
bagi pembacanya.
Terimakasih atas perhatiannya, semoga dapat bermanfaat dan dapat di jadikan inspirasi
bagi pembaca.
Penulis
BAB I
2
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam Hukum Islam diperintahkan untuk bekerja sekuat tenaga untuk mencari rizki
yang halal. Dalam menjalankan usahanya dilarang melakukan transaksi riba dan dianjurkan
untuk memanifestasikan sejumlah nilai-nilai akhlaqul karimah seperti tolong-menolong.
Prinsip At Ta'wunadalah salah satu prinsip dalam Hukum Islam. Prinsip tolong-menolong
dalam ketakwaan merupakan salah satu faktor penegak agama karena dengan tolong
menolong akan menciptakan rasa saling memiliki di antara umat sehingga akan lebih
mengikat persaudaraan. Selain itu secara lahiriah manusia adalah mahluk sosial yang tidak
dapat hidup sendirian karena manusia butuh berinteraksi dengan sesamanya. Dengan tolongmenolonglah seorang muslim dapat dikatakan sebagai seorang muslim. Tolong-menolong
yang dilakukan tidak hanya dalam lingkup yang kecil seperti antara dua orang tapi juga dalam
sebuah perkumpulan yang besar termasuk dalam bisnis yang di dalamnya ada transaksi
pembiayaan.
Salah satu bentuk aplikasi prinsip tolong menolong adalah dalam akad qardh,
yakni Qardhul Hasan. Akad Qardh merupakan salah satu perwujudan prinsip tolong
menolong dalam praktek bank syariah. Perjanjian gardh adalah perjanjian pinjaman.
Perjanjian qardh, pemberi pinjaman (kreditor) memberikan pinjaman kepada pihak lain
dengan ketentuan penerima pinjaman akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu
yang telah diperjanjikan dengan jumlah yang sama ketika pinjaman itu diberikan. Qardh ulhasan merupakan perjanjian qardh untuk tujuan sosial. Adalah tidak mustahil bagi suatu bank
syariah yang terpanggil untuk memberikan pinjaman-pinjaman kepada mereka yang tergolong
lemah ekonominya untuk memberikan fasilitasgardh ul-hasan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Qardhul Hasan?
2. Apa yang dimaksud dengan Al-Hiwalah/Hawalah ( pengalihan )?
3. Apa yang dimaksud dengan Al-Rahn ( Pinjaman dengan jaminan )?
4. Apa yang dimaksud dengan Akad Jualah?
5. Apa yang dimaksud dengan Charge Card dan Syariah Card?
6. Apa saja rukun dan syarat akad-akad tersebut?
7. Apa saja jenis-jenis akad tersebut?
3
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penjelasan tentang Qardhul Hasan dan unsur-unsurnya.
2. Untuk mengetahui penjelasan tentang Al-Hiwalah/Hawalah ( pengalihan ).
3. Untuk mengetahui tentang Jualah, Charge Card, dan Syariah Card.
4. Untuk mengetahui hubungan akad-akad tersebut dengan system perbankan.
BAB II
PEMBAHASAN
4
b.
c.
3.
Ijab Kabul/serah terima adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di antara
pihak-pihak
pelaku
akad
yang
dilakukan
secara
verbal,tertulis,melalui
dana qardhul hasan karena dana tersebut bukan aset perusahaan. Oleh sebab itu, seluruhnya
dicatat dengan akun dana kebajikan dan dibuat buku besar pembantu atas dana kebajikan
berdasarkan jenis dana kebajikan yang diterima atau yang dikeluarkan.
a.
xxx
xxx
2. Untuk penerimaan dana yang berasal dari denda dan pendapatan non halal,jurnal :
Dr. Dana Kebajikan-kas
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
6
Kr.Utang
xxx
xxx
Kr.Kas
2.2
xxx
Artinya : Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman.
Yang mampu atau kaya, terimalah hawalah itu.
Sedangkan di dalam riwayat Imam At-Thabrani, redaksi
haditsnya
Adapula yang meriwayatkan dengan redaksi
Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang mengutangkan,
jika orang yang berutang menghawalahkan kepada orang kaya atau mampu, hendaklah ia
menerima hawalah terseebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihawalahkan
(muhal alaih). Dengan demikian haknya dapat terpenuhi.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perintah untuk menerima hawalah dalam hadits
terseebut menunjukkan wajib. Oleh sebab itu, wajib bagi yang mengutangkan (muhal)
menerima hawalah. Adapun mayoritas ulama brpendapat bahwa perintah itu menunjukkan
sunnah. Jadi, sunnah hukumnya menerima hawalah bagi muhal.
B. Rukun dan Syarat Hawalah
Dalam pelaksanaan, hawalah harus memenuhi rukun dan syarat sebagai berikut
a. Orang yang memindahkan tanggungan utang (muhil).
b. Orang yang memberikan utang yang dipindahkan pelunasannya dari orang yang
berutang padanya secara langsung (muhal).
c. Orang yang dipindahkan tanggungan utang padanya (muhal alaih)..
d. Harta yang diutang yang dialihkan( muhal bih)
e. Shighat.
Ulama hanafiyah berpendapat, bahwa yang menjadi rukun hawalah adalah ijab atau
pernyataan dari pihak pertama atau muhil dan qabul atau pernyataan menerima hawalah dari
pihak kedua al muhal dan pihak ketiga al-muhal alaih.
Syarat-syarat yang diperlukan pihak pertama (muhil):
8
1. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal.
Hawalah tidak sah bila dilakukan anak-anak meskipun ia sudah ia mengerti (mummayiz),
ataupun dilakukan orang gila.
2. Ada pernyataan persetujuan atau rida. Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan
hawalah maka akad itu tidak sah. Adapun persyaratan ini ini berdasarkan pertimbangan bahwa
sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya, jika kewajibannya untuk
membayar utang dialihkan kepada pihak lain.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak kedua ( muhal) sebagai berikut:
1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak
pertama.
2. Ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hawalah.
Persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang
berbeda-beda, ada yang mudah dan ada yang sulit membayarnya, sedangkan menerima
pelunasan utang itu merupakan hak pihak kedua.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak ketiga (muhal alaih) adalah:
1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak
pertama dan kedua.
2. Adanya pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (muhal alaih). Hal ini diharuskan
karena tindakan hawalah merupakan tindakan hukum yang melahirkan pemindahan kewajiban
kepada pihak ketiga (muhal alaih) untuk membayar utang kepada pihak kedua (muhal) ,
sedangkan kewajiban membayar utang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri
yang berutang kepada pihak kedua. Atas dasar itu, kewajiban itu hanya dibebankan
kepadanya, jika ia menyetujui akad hawalah.
3. Imam Abu Hanifah menambahkan syarat bahwa qabul atau pernyataan menerima
akad harus dilakukan dengan sempurnaoleh pihak ketiga didalam suatu majelis akad.
Syarat-syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (muhal bih) adalah:
1. Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang telah
pasti.
2. Pembayaran utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya, jika terjadi
perbedaan waktu jatuh tempo pembayaran diantara kedua utang itu, maka hawalah tidak sah.
3. Utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak
pertama mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika diantara kedua utang itu terdapat
perbedaan jumlah, misalnya utang uang, atau perbedaan kualitas misalnya utang dalam bentuk
barang, maka hawalah itu tidak sah.
C. Macam-macam Hawalah.
9
Dalam pelaksanaannya, hawalah ada dua yaitu hawalah muthalaqoh dan muqayyadah.
1. Hawalah mutlaqoh adalah seseorang memindahkan utang pada yang lain tanpa
memberikan keterangan bahwa orang tersebut harus membayar utangnya dari utang
yang ada padanya.
2. Hawalah muqayyadah adalah seseorang memindahkan pembayaran utangnya pada
orang lain, dari utangnya yang ada pada orang tersebut.
Hawalah muthalaqoh tidak diperbolehkan oleh para ulama, kecuali ulama hanafiyah,
alasan ulama (tiga madzhab selain hanafiyah) yang melarang hawalah semacam ini adalah
karena orang yang dipindahkan pembayaran utang (muhal alaih) tidak ada hubungannya
dengan orang yang memindahkan utang (muhil). Artinya ia tidak mempunyai kewajiban yang
harus ditanggung dan dibayarkan kepada muhil, sehingga jika hal ini terrjadi berarti bukan
hawalah, melainkan kafalah.
Ditinjau dari segi obyeknya hiwalah dibagi 2, yaitu :
1. Hawalah al-Haqq (pemindahan hak) Hawalah haqq adalah pemindahan piutang dari
satu piutang kepada piutang yang lain atau pemindahan hak untuk menuntut hutang. Dalam
hal ini yang bertindak sebagai muhil adalah pemberi hutang dan ia mengalihkan haknya
kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau
berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi piutang A mempunyai hutang kepada
piutang B.
2. Hawalah ad-Dain (pemindahan hutang) Hawalah ad-dain adalah pemindahan hutang
kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hiwalah haqq, karena
pengertiannya sama dengan hawalah yang telah diterangkan di depan yakni yang dipindahkan
itu kewajiban untuk membayar hutang.
maliki berpendapat apabila muhil telah menipu muhal ternyata muhal alaih adalah orang fakir
yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar , maka muhal boleh kembali lagi kepada
muhil. Dalam kitab al-muwatta Imam Malik menulis bahwa orang yang menghawalahkan
utang kepada orang lain, kemudian muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal
dunia dan ia belum membayar kewajibannya, maka muhal tidak boleh kembali kepada
muhil.Perlu dikemukakan bahwa akad hawalah ini mempunyai jangka waktu berlakunya.
Akad hawalah akan berakhir apabila :
1. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu membatalkan akad hawalah
sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan adanya pembatalan akad itu pihak
kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama.
2. Pihak ketiga telah melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
3. Pihak kedua menghibahkan atau menyedahkan harta yang merupakan utang dalam
akad hawalah itu kepada pihak ketiga.
4. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang
yang dialihkan itu.
5. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi
harta pihak kedua. Dalam hal ini tentu beban utang pihak ketiga tersebut diperhitungkan
dalam pembagian warisan.
E. Aplikasi Hawalah Dalam Dunia Perbankan.
Fikih kontemporer , khususnya dalam dunia perbankan, mengembangkan konsep
hawalah ini dalam beberapa bentuk, antara lain bilyet giro cek bertempo. Dalam hal ini, kita
cobntohkan seorang penulis buku yang mendapatkan royalti dari sebuah penerbit. Ketika jatuh
tempo membayar royalti, penerbit memberikan giro yang berisi jumlah uang tertentu yang
bisa dicairkan antara penerbit dan bank. Dalam kasus ini, penerbit adalah muhil, kemudian
bank sebagai muhal alaih dan penulis sebagai muhal.
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut:
1. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada
pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang
2.
3.
Ditinjau dari segi objek akad, hiwalah dapat dibagi menjadi dua :
1. Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menagih piutang, maka pemindahan
itu disebut hiwalah al haqq (pemindahan hak)/anjak piutang.
2. Apabila yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar utang, maka pemindahan
itu disebut hiwalah ad-dain (pemindahan utang).
Ditinjau dari sisi persyartan, hiwalah dapat dibagi menjadi dua :
1. Hawalah al-muqayyadah (pemindahan bersyarat) adalah hawalah dimana muhil
adalah pihak yang berutang sekaligus berpiutang kepada muhalalaih. Contoh : B
(muhil) berutang kepada A (muhal) sebesar dua juta rupiah, sedangkan B berpiutang
kepada C (muhalalaih) juga sebesar dua juta rupiah. B kemudian mengalihkan
piutangnya yang terdapat pada C untuk A, sebagai ganti dari pembayaran utang B
kepada A.
2. Hawalah al-muthlaqah (pemindahan mutlak) adalah hawalah dimana muhil adalah
pihak yang berutang, tetapi tidak berpiutang kepada muhalalaih.
2.2.3 Rukun dan Ketentuan Syariah
Rukun hiwalah ada 3 yaitu :
1. Pelaku yang terdiri atas :
a. Pihak yang berutang atau berpiutang atau muhil
b. Pihak yang berpiutang atau berutang atau muhal
c. Pihak pengambil alih utang atau piutang atau muhalalaih
2. Pelaku yang terdiri atas :
a. Adanya utang,atau
b. Adanya piutang
3. Ijab Kabul/serah terima
Ketentuan syariah, yaitu :
1. Pelaku
a. Baliq (dewasa) dan berakal sehat
12
b. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela
(rida) dengan pengalihan utang piutang tersebut
c. Diketahui identitasnya
2. Objek penjaminan (makful bihi)
a. Bisa dilaksanakan oleh pihak yang mengambil alih utang atau
piutang
b. Harus merupakan utang/piutang mengikat,yang tidak mungkin hapus kecuali
setelah dibayar atau dibebaskan.
c. Harus jelas nilai,jumlah dan spesifikasinya
d. Tidak bertentangan dengan syariah
3. Ijab Kabul/serah terima adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di antara
pihak-pihak
pelaku
akad
yang
dilakukan
secara
verbal,tertulis,melalui
13
Ketika pengambil alihan utang dimana muhalalaih membayar utang muhil pada
muhal, jurnal :
Dr. Utang A (muhal)
xxx
xxx
Jika utang yang dialihkan harus dilunasi dalam jangka pendek maka ujrah (fee)
yang dibayarkan diakui pada saat terjadinya, Jurnal :
Dr. Beban hawalah
xxx
Kr. Kas
xxx
Jika utang yang dialihkan harus dilunasi dalam jangka panjang maka ujrah (fee)
yang dibayarkan diakui sebagai beban tangguhan, Jurnal :
Dr. Beban Tangguhan hawalah
xxx
Kr. Kas
xxx
Kemudian beban diakui melalui amortisasi beban tangguhan secara garis lurus,
jurnal :
Dr. Beban hawalah
xxx
xxx
Biaya transaksi hawalah seperti biaya legal dan biaya administrasi diakui sebagai
beban pada saat terjadinya,jurnal :
Dr. Beban hawalah
xxx
Kr. Kas
xxx
xxx
xxx
xxx
Kr. Kas
xxx
Jika piutang dari muhil akan dilunasi dalam jangka pendek, jurnal :
Dr. Kas
xxx
xxx
Jika piutang dari muhil akan dilunasi dalam jangka panjang, ketika muhalalaih
menerima feel ujrah sekaligus, jurnal :
Dr. Kas
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
Cr. Piutang C
xxx
16
Rahn yaitu menahan barang sebagai jaminan atas utang. Akad Rahn juga diartikan
sebagai sebuah perjanjian pinjaman dengan jaminan atau dengan melakukan penahanan harta
milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya
Akad Rahn bertujuan agar pemberi pinjaman lebih mempercayai pihak yang berutang.
Apabila barang gadai dapat diambil manfaatnya, misalnya mobil maka pihak yang menerima
barang gadaian boleh memanfaatkannya atas seizin pihak yang menggadaikan sebaliknya ia
berkewajiban memelihara barang gadaian. Untuk barang gadai berupa emas tentu tidak ada
biaya pemeliharaan, yang ada adalah biaya penyimpanan.
Pada saat jatuh tempo yang berhutang berkewajiban untuk melunasi utangnya. Apabila
ia tidak dapat melunasinya maka barang gadaian dijual dan kemudian hasil penjualan bersih
digunakan untuk melunasi utang dan biaya pemeliharaan yang terutang, jika ada kelebihan
maka selisih diserahkan kepada yang berutang tetapi apabila ada kekurangan maka yang
berutang tetap harus membayar sisanya.
2.3.2 Pengertian Rahn Tajlisi
Selain akad rahn, MUI pada tahun 2008 mengeluarkan fatwa tentang
Fidusia / Rahn Tajlisi dalam rangka mengurangi kendala yang timbul sehubungan masalah
jaminan khususnya dalam masalah pemeliharaan dan pemanfaatan jaminan.
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuanbahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda.
Agar sesuai syariah maka akad rahn tajlisi harus memenuhi hal-hal sebagai berikut :
a. Biaya pemeliharaan harus ditanggung oleh pihak yang menggadaikan, namun
jumlah biaya pemeliharaan tidak boleh dihubungkan dengan besarnya pembiayaan
b. Pihak penerima gadai dapat menyimpan bukti kepemilikan sedangkan barang yang
digadaikan dapat digunakan pihak yang menggadaikan dengan seizin dari penerima
gadai.
c. Jika terjadi eksekusi jaminan, maka dapat dijual oleh pihak penerima gadai tetapi
harus dengan izin dari pihak yang menggadaikan sebagai pemilik.
2.3.3 Rukun dan Ketentuan Syariah
Rukun Qhardhul Hasan ada 3 yaitu :
1. Pelaku yang terdiri atas pihak yang menggadaikan (rahin) dan pihak yang menerima
gadai (murtahin)
17
2. Objek akad berupa barang yang digadaikan (marhun) dan utang (marhun bih).
3. Syarat utang adalah wajib dikembaikan oleh debitur kepadakreditor,utang itu dapat
dilunasi dengan agunan tersebut, dan utang itu harus jelas (harus spesifik).
4. Ijab kabul/serah terima
Ketentuan syariah, yaitu :
1. Pelaku, harus cakap hukum dan baliqh
2. Objek yang digadaikan (marhun)
a. Barang gadai (marhun)
1) Dapat dijual dan nilainya seimbang
2) Harus bernilai dan dapat dimanfaatkan
3) Harus jelas dan dapat ditentukan secara spesifik
4) Tidak terkait dengan orang lain (dalam hal kepemilikan)
b. Utang (marhun bih), nilai utang harus jelas demikian juga tanggal jatuh
temponya
3. Ijab Kabul/serah terima adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di antara
pihak-pihak
pelaku
akad
yang
dilakukan
secara
verbal,tertulis,melalui
xxx
Kr. Kas
xxx
xxx
xxx
18
xxx
Kr. Kas
xxx
4. Pada saat pelunasaan uang pinjaman, barang gadai dikembalikan dengan membuat
tanda serah terima barang,jurnal :
Dr. Kas
xxx
Kr. Piutang
xxx
5. Jika pada saat jatuh tempo, utang tidak dapat dilunasi dan kemudian barang gadai
dijual oleh pihak yang menggadaikan.penjualan barang gadai, jika nilainya sama
dengan piutang, jurnal :
Dr. Kas
xxx
Kr. Piutang
xxx
Jika kurang, maka piutangnya masih tersisa sejumlah selisih antara nilai penjualan
dengan saldo piutang.
B. Bagi Pihak yang Menggadaikan
Pada saat menyerahkan aset tidak dijurnal, tetapi menerima tanda terima atas penyerahan
aset serta membuat penjelasan atas catatan akutansi atas barang yang digadaikan.
1. Pada saat menerima uang pinjaman,jurnal :
Dr. Kas
xxx
Kr. utang
xxx
xxx
Kr. Kas
xxx
xxx
xxx
19
4. Jika pada saat jatuh tempo, utang tidak dapat dilunasi sehingga barang gadai dijual
pada saat penjualan barang gadai, jurnal :
Dr. Kas
xxx
xxx
xxx
xxx
Kr. Aset
xxx
2.4
xxx
xxx
Pihak yang membuat sayembara: cakap hukum, baligh dan dapat juga dilakukan
oleh orang lain.
2.
b.
3.
Hadiah yang diberikan harus sesuatu yang bernilai (harta) dan jumlahnya harus
jelas
4.
xxx
xxx
xxx
21
2.5
xxx
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."
QS. al-Baqarah [2]: 282:
"Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai sampai waktu
tertentu, buatlah secara tertulis..."
QS. al-Bagarah [2]: 280:
"Dan jika ia (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, berilah tangguh sampai ia
berkelapangan..."
2. Hadist-hadist Nabi SAW, antara lain:
Hadis Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari `Amr bin `Auf alMuzani, Nabi s.a.w.
bersabda:
"Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum kecuali perjanjian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syaratsyarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram."
Hadis Nabi riwayat Imam Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan yang lain, dari Abu Sa'id alKhudri, Nabi s.a.w. bersabda:
"Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain."
Hadis Nabi riwayat Bukhari dari Salamah bin al-Akwa':
"Telah dihadapkan kepada Rasidullah s. a.w. jenazah seorang laki-laki untuk
disalatkan. Rasulullah bertanya, "Apakah ia mempunyai hutang?" Sahabat menjawab,
`Tidak'. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain,
Rasulullah pun bertanya, Apakah ia mempunyai hutang?' Mereka menjawab, `Ya'.
Rasulullah
berkata,
'Salatkanlah
temanmu
itu'
(beliau
sendiri
tidak
mau
d. Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang
berlaku berdasarkan syara' (selama tidak bertentangan dengan syari'at).
Memperhatikan:
Pendapat fuqaha' antara lain dalam:
1. Kitab I'anah al-Thalibin, jilid 111/77-78 :
"(Tidak sah akad penjaminan [dhaman] terhadap sesuatu yang akan menjadi
kewajiban, seperti hutang dari akad qardh) yang akan dilakukan.... Misalnya ia
berkata: `Berilah orang ini hutang sebanyak seratus dan aku menjaminnya.'
Penjaminan tersebut tidak sah, karena hutang orang itu belum terjadi. Dalam pasal
tentang Qardh, pensyarah telah menuturkan masalah ini --penjaminan terhadap suatu
kewajiban (hutang) yang belum terjadi dan menyatakan bahwa ia sah menjadi
penjamin. Redaksi dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut: `Seandainya
seseorang berkata, Berilah orang ini hutang sebanyak seratus dan aku menjaminnya.
Kemudian orang yang diajak bicara memberikan hutang kepada orang dimaksud
sebanyak seratus atau sebagiannya, maka orang tersebut menjadi penjamin menurut
pendapat yang paling kuat (aitjah).' Dengan demikian, pernyataan pensyarah di sini
(dalam pasal tentang dhaman) yang menyatakan dhaman (terhadap sesuatu yang akan
menjadi kewajiban) itu tidak sah bertentangan dengan pernyataannya sendiri dalam
pasal tentang qardh di atas yang menegaskan bahwa hal tersebut adalah (sah sebagai)
dhaman."
2. Kitab Mughni al-Muhtaj, jilid II: 201-202:
"(Hal yang dijamin) yaitu hutang (disyaratkan harus berupa hak yang telah terjadi)
pada saat akad. Oleh karena itu, tidak sah menjamin hutang yang belum menjadi
kewajiban... (Qaul qadim --Imam al-Syafl'i-- menyatakan sah penjaminan terhadap
hutang yang akan menjadi kewajiban), seperti harga barang yang akan dijual atau
sesuatu yang akan dihutangkan. Hal itu karena hajat --kebutuhan orang-- terkadang
mendorong adanya penjaminan tersebut."
3. Kitab al-Muhadzdzab, juz I Kitab al-Ijarah hal. 394:
Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan...
karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda.
26
Manakala akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya dibolehkan
pula akad ijarah atas manfaat."
4. Kitab Fiqh al-Sunnah jilid 4/221-222 :
"Kafalah (jaminan) harta yaitu kajil (penjamin) berkewaj iban memberikan jaminan
dalam bentuk harta."
5. Pendapat Majma' al-Fiqh al-Islami & Hai'ah al-Muhasabah wa al-Muraja'ah li-alMu'assasah al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, al-Ma 'ayir al-Syar 'iyah Mei 2001: alMi'yar alSyar'i, nomor 2 tentang Bithaqah al-Hasm wa Bithaqah alI'timan.
6. Pendapat Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional MUI pada hari Kamis, 07 Rabi'ul
Akhir 1425 H. / 27 Mei 2004.
MEMUTUSKAN
Menetapkan FATWA TENTANG SYARIAH CHARGE CARD
Pertama: HUKUM
Penggunaan charge card secara syariah dibolehkan, dengan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
Kedua: KETENTUAN UMUM
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a. Syariah Charge Card adalah fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh pemegang
kartu (hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tempattempat tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (mushdir
al-bithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan.
b. Membership Fee (rusum al-'udhwiyah) adalah iuran keanggotaan, termasuk perpanjangan
masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin menggunakan fasilitas kartu;
c. Merchant Fee adalah fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai
upah/imbalan (ujrah samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil aldayn);
27
d. Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan uang tunai
(rusum sahb alnuqud)
e. Denda keterlambatan (Late Charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran yang
akan diakui sebagai dana sosial.
f. Denda karena melampaui pagu (Overlimit Charge) adalah denda yang dikenakan karena
melampaui pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan penerbit kartu dan
akan diakui sebagai dana sosial.
Ketiga: KETENTUAN AKAD
Akad yang dapat digunakan untuk Syariah Charge Card adalah:
a. Untuk transaksi pemegang kartu (hamil cd-bithaqah) melalui merchant (qabil albithaqahlpenerima kartu), akad yang digunakan adalah akad Kafalah wal Ijarah.
b. Untuk transaksi pengambilan uang tunai digunakan akad al-Qardh wal Ijarah.
Keempat:
1. Ketentuan dan batasan (dhawabith wa hudud) Syariah Charge Card :
a.
b.
c.
Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan) antara lain dengan cara
menetapkan pagu.
d.
e.
Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada
waktunya.
2. Ketentuan Fee:
a.
28
c.
3. Ketentuan Denda
a.
b.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
b.
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
Menurut terminologi hukum Islam akad adalah pertalian antara penyerahan (ijab) dan
penerimaan (qobul) yang dibenarkan oleh syariah yang menimbulkan akibat hukum terhadap
objeknya. Aplikasi dalam Perbankan Akad qard biasanya diterapkan sebagai produk
perlengkapan kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonafiditasnya, yang
membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif pendek. Nasabah tersebut akan
mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang dipinjamnya itu. Hiwalah adalah
memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain. Rukun
hiwalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Muhil
Muhal
Muhal alaih
Utangmuhil kepada muhal
Utang muhal alaih kepada muhal
Sighat
30
Praktek hiwalah tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pada umumnya namun praktek
ini juga diterapkan oleh Bank Syariah sebagai salah satu bentuk pelayanan jasa dengan
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Fatwa DSN No. 12/DSN-MUI/IV/2000.
DAFTAR PUSTAKA
Nurhayati,Sri dan Wasilah.2013.Akuntansi Syariah Indonesia.SALEMBA EMPAT:Jakarta
Sumber Internet:
http://hukum-islam.com/2014/06/konsep-dan-dalil-qardhul-hasan-pinjaman-lunak/
https://sharianomics.wordpress.com/2010/11/17/definisi-jualah/
http://www.ekonomisyariah.org/konsultasi-detail/detail-konsultasi/1/40
https://viewislam.wordpress.com/2009/04/15/konsep-akad-hiwalah-dalam-fiqh-muamalah/
31