Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PELIMPAHAN HUTANG / AL HIWALAH (‫)الحوالة‬

DOSEN PENGAMPU

Nurul Hidayat Tumadi, LC,MA

DISUSUN OLEH KELOMPOK 19

Ahmad Sholahudin (19.23.717)

(BELUM PRESENTASI)

Ekonomi Syariah 3D

STAI AN-NADWAH KUALA TUNGKAL

KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI

TA 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wataala, karena


berkat rahmat-Nya penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “
Pelimpahan hutang / Al hiwalah (‫ ” )الحوالة‬ini dengan penuh kemudahan. Tanpa
pertolongan-Nya mungkin penulis tidak akan sanggup menyelesaikan dengan
baik.

Harapan penulis semoga makalah ini dapat membantu menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Walaupun makalah ini memiliki
kelebihan dan kekurangan penulis mohon saran dan kritik sehingga penulis dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga ke depannya lebih baik.

Kuala Tungkal, 15 Januari 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
C. Tujuan .........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Al Hiwalah (‫)الحوالة‬......................................................................


2. Dalil Disyariatkannya Al Hiwalah (‫)الحوالة‬....................................................
3. Syarat Sahnya l Hiwalah (‫)الحوالة‬.......................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan....................................................................................................
B. Saran ..............................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam adalah agama yang sempurna. Dengan demikian Islam telah
mengatur cara hidup manusia dengan sistem yang serba lengkap. diantaranya,
bermuamalah kepada sesama manusia . Di antara muamalat  yang telah diterapkan
kepada kita ialah Al Hiwalah. 

Al Hiwalah merupakan sistem yang unik, yang sesuai untuk diadaptasikan


kepada manusia. Hal ini karena al Hiwalah sangat erat hubungannya dengan
kehidupan manusia .
  Al hiwalah sering berlaku dalam permasalahan hutang piutang. Maka salah satu
cara untuk menyelesaikan masalah  hutang piutang dalam muamalah adalah al
hiwalah. 

Al Hiwalah bukan saja digunakan untuk menyelesaikan masalah hutang


piutang,akan tetapi bisa juga digunakan  sebagai pemindah dana dari individu
kepada individu yang lain atau syarikat dan firma. sebagai mana telah digunakan
oleh sebagian sistem perbankan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Al Hiwalah (‫?)الحوالة‬
2. Bagaimana Dalil Disyariatkannya Al Hiwalah (‫)الحوالة‬
3. Bagaimana Perintah Dari Dalil Tersebut Menunjukkan Wajib Atau Sunah?
4. Bagaimana Syarat Sahnya Al Hiwalah (‫?)الحوالة‬
5. Bagaimana Telah Bebas Tanggungan Orang Yang Berhutang Begitu Setelah
Alat Pelimpahan Terjadi?
C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Al Hiwalah (‫)الحوالة‬

2. Mengetahui Dalil Disyariatkannya Al Hiwalah (‫)الحوالة‬

3. Mengetahui Perintah Dari Dalil Tersebut Menunjukkan Wajib Atau Sunah

4. Mengetahui Syarat Sahnya Al Hiwalah (‫)الحوالة‬

4
5. Mengetahui Telah Bebas Tanggungan Orang Yang Berhutang Begitu Setelah
Alat Pelimpahan Terjadi

5
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Al Hiwalah (‫)الحوالة‬

Di antara bentuk muamalah yang diatur dalam ajaran Islam adalah


masalah (pengalihan utang), atau dalam istilah syariah dinamakan dengan al-
hiwalah. Pengalihan utang ini telah dibenarkan oleh syariat dan telah dipraktikan
sejak zaman nabi Muhammad SAW sampai sekarang.

Al-hiwalah secara bahasa artinya al-Intiqal (pindah), diucapkan, Hāla „anil


„ahdi, (berpindah, berpaling, berbalik dari janji), Sedangkan secara istilah, definisi
al-Hiwalah menurut ulama Hanafiyyah adalah memindah (al-Naqlu) penuntutan
atau penagihan dari tanggungan pihak yang berutang (al-Madin) kepada
tanggungan pihak al-Multazim (yang harus membayar utang, dalam hal ini adalah
al-Muhal „alaihi). Berbeda dengan al-Kafalah yang artinya adalah al-Dham-mu
(menggabungkan tanggungan) di dalam penuntutan atau penagihan, bukan al-
Naqlu (memindah). Maka oleh karena itu, dengan adanya al-hiwalah, menurut
kesepakatan ulama, pihak yang berutang (dalam hal ini maksudnya adalah al-
Muhil) tidak di tagih lagi.1

Lalu, apakah utang yang ada berarti juga ikut berpindah (dari pihak al-
Muhil kepada pihak al-Muhal „alaih)? Dalam masalah ini, para imam madzhab
Hanafi berbeda pendapat, namun yang shahih adalah bahwa utang yang ada juga
ikut berpindah. Maka oleh karena itu, pengarang kitab, “al-„Inayah,”
mendefinisikan al-hiwalah seperti berikut, “al-hiwalah menurut istilah ulama fiqh
adalah mengalihkan (al-Tahwil) utang dari tanggungan pihak ashil (dalam hal ini
adalah al-Muhil) ke tanggungan pihak al-Muhal „alaihi sebagai bentuk al-
Tawatstsuq (penguatan, penjaminan).

1 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 6, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
Jakarta: Gema Insani, 2011, h. 84-85

6
Sementara itu, selain ulama Hanafiyyah mendefinisikan al-hiwalah seperti
berikut, “ Sebuah akad yang menghendaki pemindahan suatu utang dari
tanggungan ke tanggungan yang lain.”2

Menurut Zainul Arifin hiwalah adalah akad pemindahan utang/piutang


suatu pihak kepada pihak lain. Dengan demikian di dalamnya terdapat tiga pihak,
yaitu pihak yang berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal
atau da‟in), dan pihak yang menerima pemindahan (muhal ‟alaih).3

Dua ulama fikih Mazhab Hanafi mengemukakan definisi hiwalah yang


berbeda: Ibnu Abidin mengatakan bahwa hiwalah ialah pemindahan kewajiban
membayar utang dari orang yang berutang (Al-Muhil) kepada orang yang
berutang lainnya (Al-Muhal „alaih); sedangkan Kamal bin Hummam (790 H/1387
M-861H/1458 M) mengatakan bahwa hiwalah ialah pengalihan kewajiban
membayar utang dari beban pihak pertama kepada pihak yang berutang
kepadanya atas dasar saling mempercayai. Menurut Mazhab Maliki, Hambali,
Dan Syafi’i, hiwalah ialah pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut
pembayaran utang dari satu pihak ke pihak lain. Perbedaan di antara definisi-
definisi tersebut di atas, terletak pada kenyataan bahwa Mazhab Hanafi
menekankan pada segi kewajiban membayar utang, sedangkan ketiga mazhab
lainnya menekankan pada segi hak menerima pembayaran utang.

Dalam konsep hukum perdata, hiwalah adalah serupa dengan lembaga


pengambilalihan utang (schuldoverneming), lembaga pelepasan utang atau
penjualan utang (debt sale), atau lembaga penggantian kreditor atau penggantian
debitor. Dalam hukum perdata, dikenal lembaga yang disebut subrogasi dan
novasi, yaitu lembaga hukum yang memungkinkan terjadinya penggantian
kreditor atau debitor.4

2. Dalil Disyariatkannya Al Hiwalah (‫)الحوالة‬

2 Ibid,.
3 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2009, h.153
4 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2007, h. 93-94

7
Hiwalah ini disyari’atkan oleh Islam dan dibolehkan olehnya karena
adanya masalahat, butuhnya manusia kepadanya serta adanya kemudahan dalam
bermuamalah. Dalam hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada sesama,
mempermudah muamalah mereka, memaafkan, membantu memenuhi kebutuhan
mereka, membayarkan utangnya dan menenangkan hati mereka.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ط ُل ْال َغنِ ِّي ظُ ْل ٌم فَِإ َذا ُأ ْتبِ َع َأ َح ُد ُك ْم َعلَى َملِ ٍّي فَ ْليَ ْتبَ ْع‬
ْ ‫َم‬

“Menunda membayar utang bagi orang kaya adalah kezaliman dan apabila
seorang dari kalian utangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah dia ikuti.”
Dalam hadis tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan agar pemberi utang apabila diminta oleh pengutangnya
menagih kepada orang yang mampu hendaknya menerima hiwalahnya, yakni
hendaknya ia meminta haknya kepada orang yang dihiwalahkan kepadanya
sampai haknya terpenuhi. Tetapi jika pengutang memindahkan utangnya kepada
orang yang bangkrut, maka si pemberi pinjaman berhak mengalihkan penagihan
kepada si pengutang pertama.
Perintah menerima pengalihan penagihan utang menurut sebagian ulama
adalah wajib5, namun jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunat.

3. Syarat Sahnya Al Hiwalah (‫)الحوالة‬

Syarat sah hiwalah adalah:

a) Si Muhiil dan muhaal (pemberi utang) ridha, tanpa perlu keridhaan si


muhaal ‘alaihi (peminjam kedua). Hal ini berdasarkan hadis di atas, di
samping itu, si muhiil berhak membayar utangnya dari arah mana saja
yang ia mau. Sedangkan adanya keridhaan si muhaal adalah haknya ada

5 Pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama madzhab Hanbali, Ibnu Jarir, Abu Tsaur dan
ulama madzhab Zhahiri.

8
pada tanggungan si muhiil, sehingga tidak bisa berpindah kecuali dengan
keridhaannya. Namun ada yang berpendapat bahwa tidak disyaratkan
harus ada keridhaannya, karena bagi muhaal wajib menerima berdasarkan
hadis di atas, di samping itu ia juga berhak meminta dibayarkan haknya
baik dari muhil langsung maupun dari orang yang menduduki posisinya.
Adapun tidak ada syarat ridha bagi muhaal ‘alaih, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutnya dalam hadis di
atas. Di samping itu, pemberi pinjaman menduduki posisinya sebagai
orang yang menagih haknya, sehingga tidak butuh keridhaan dari orang
yang wajib memenuhi hak. Namun menurut ulama madzhab Hanafi,
Ishtharikhiy dari kalangan madzhab Syafi’I bahwa harus ada syarat ridha
juga dari muhaal ‘alaih.
b) Sama hak yang ditagihnya itu baik jenisnya, jumlah utangnya, jatuh tempo
pembayarannya, bagusnya barang ataupun tidak. Oleh karena itu, tidak sah
hiwalah apabila utangnya berupa emas lalu dihiwalahkan kepada yang lain
dengan mengambil gantinya berupa perak. Demikian juga apabila
utangnya sekarang, lalu dihiwalahkan agar menerimanya setelah jatuh
tempo atau sebaliknya. Demikian juga tidak sah hiwalah apabila kedua hak
berbeda dari sisi bagus dan tidaknya atau salah satunya lebih banyak
daripada yang lain.

c) Si muhaal ‘alaih memang benar-benar menanggung utang, karena


konsekwensinya adalah membebani si muhaal ‘alaih untuk membayar
utang sehingga jika utangnya masih dalam pertimbangan, maka ini berarti
siap tidak jadi dan hiwalah tentu tidak berlaku. Oleh karena itu hiwalah
tidak sah terhadap orang yang belum membayar barangnya karena masih
dalam waktu khiyar dan hiwalah, juga tidak sah dari seorang anak kepada
bapaknya kecuali dengan keridhaannya.6

6  https://pengusahamuslim.com/3319-belajar-fikih-hiwalah-1799.html

9
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
kesimpulan dari makalah ini adalah sangat banyak para ulama dan konsep hukum
perdata berpendapat tentang Al hiwalah jadi ini salah satu pendapat dari ulama
hiwalah adalah pemindahan kewajiban membayar utang dari orang yang berutang
(Al-Muhil) kepada orang yang berutang lainnya (Al-Muhal „alaih). Sedangkan
menurut konsep hukum perdata hiwalah adalah serupa dengan lembaga
pengambilalihan utang (schuldoverneming), lembaga pelepasan utang atau
penjualan utang (debt sale), atau lembaga penggantian kreditor atau penggantian
debitor. Dan perintah dalil tersebut menurut sebagian ulama adalah wajib, namun
jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunah.

Saran

Diharapkan para pembaca juga melihat dari beberapa referensi mencakup makalah
ini, agar dapat memberi pengetahuan yang lebih baik, adapun kekurangan dari
makalah ini dapat di kritik ataupun saran demi perkembangan ke depannya.

10
REFERENSI

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 6, Penerjemah: Abdul Hayyie al-


Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011, h. 84-85
Ibid,.
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2009, h.153
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2007, h. 93-94
Pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama madzhab Hanbali, Ibnu Jarir, Abu
Tsaur dan ulama madzhab Zhahiri.

https://pengusahamuslim.com/3319-belajar-fikih-hiwalah-1799.html

11
12

Anda mungkin juga menyukai