Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Hiwalah (Pemindahan Hutang) dan Kafalah

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Fiqh Istishodi

Dosen pengampuh :

Dr. H. M. Lathoif Ghozali, Lc., MA

Disusun oleh :

Almanda Febian Jasmine (08010522002)

Achmad Rian Agung Prayoga (08050522044)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN ZAKAT DAN WAKAF

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

2023
KATA PENGANTAR

Hal yang pertama dan utama yang wajib disampaikan adalah ungkapan
rasa syukur kami sebagai penulis kepada Allah SWT karena hanya atas bimbingan
dan hidayah-Nya, sehingga kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul
“Hiwalah (Perpindahan Hutang) dan Kafalah” ini.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Baginda


Rasulullah Muhammad saw yang telah memberikan teladan kehidupan kepada
kita semua dan semoga kita diberikan kemampuan untuk bisa menteladani apa
yang sudah dicontohkan kepada kita.

Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih istishodi.
Dalam penyusunan makalah ini kami sempat mengalami berbagai kesulitan, oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan bantuan kepada:

1. Bapak Dr. H. M. Lathoif Ghozali, Lc,. MA sebagai dosen pembimbing


mata kuliah fiqih istishodi di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya

2. Teman-teman kami di program studi Manajemen Zakat dan Wakaf

Kami sebagai penulis sangat menyadari bahwa di dalam penulisan


makalah ini tentunya masih banyak kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kami sangat mengharapkan saran dan koreksi yang
membangun demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini. Kami juga berharap
bahwa makalah ini dapat menjadi sarana untuk saling bertukar informasi dan
sebagai bentuk pengabdian diri penulis kepada Allah SWT.

Dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami khususnya dan
umat islam umumnya. Amiin Ya Robbal’alamin.

Surabaya, 28 September 2023

2
Kelompok 05

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................

DAFTAR ISI.................................................................................................................

BAB I..............................................................................................................................

PENDAHULUAN..........................................................................................................

A. Latar Belakang.......................................................................................................

B. Rumusan Masalah..................................................................................................

C. Tujuan....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................

A. Hiwalah………………………………..................................................................

B. Kafalah……………………………….................................................................

BAB III PENUTUP......................................................................................................

A. KESIMPULAN....................................................................................................

B. SARAN................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hiwalah dan Kafalah adalah dua konsep yang berakar pada prinsip ekonomi
dan keuangan Islam. Islam mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk
transaksi dan kontrak keuangan, untuk menjamin keadilan dan kepatuhan
terhadap nilai-nilai Syariah. Dalam konteks ini, Hiwalah dan Kafalah merupakan
instrumen penting dalam transaksi keuangan berdasarkan prinsip Islam.

Konsep Hiwalah dan Kafalah didasarkan pada prinsip syariah yang mengacu
pada hukum Islam. Landasan ini muncul dari ajaran Al-Qur’an dan Hadits serta
kesepakatan Ijmah para ulama. Hiwalah, misalnya, didasarkan pada prinsip saling
membantu dan memikul beban dalam Islam. Hal ini memungkinkan individu atau
organisasi untuk mengalihkan hutang atau kewajiban kepada pihak lain secara sah
dan sesuai dengan hukum syariah.

Hiwalah dan Kafalah juga menekankan pentingnya tanggung jawab dalam


Islam. Menurut ajaran Islam, seseorang harus menunaikan kewajibannya dan
membayar utangnya tepat waktu. Namun dalam situasi tertentu, seperti kesulitan
keuangan atau kebutuhan akan jaminan pembayaran, Hiwalah dan Kafalah
memberikan solusi yang sah untuk mengalihkan atau menjamin tanggung jawab
keuangan.

Konsep Hiwalah dan Kafalah menjadi penting tidak hanya dalam konteks
sejarah atau dalam masyarakat yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam.
Mereka masih penting di dunia saat ini, terutama di negara-negara dengan
populasi Muslim yang besar atau di lembaga-lembaga keuangan Islam. Produk
dan layanan keuangan berbasis syariah seperti pembiayaan dan investasi sering
kali menggabungkan konsep Hiwalah dan Kafalah untuk memastikan pengalihan
risiko dan tanggung jawab sesuai dengan hukum Islam.

Konsep Hiwalah dan Kafalah juga menunjukkan kesinambungan


perkembangan hukum Islam dari masa ke masa. Sebagian besar hukum Islam
dikembangkan melalui ijtihad (penafsiran hukum) para ulama, yang terus-

4
menerus memodernisasi dan mengadaptasi prinsip-prinsip Syariah untuk
mengakomodasi perubahan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, Hiwalah dan
Kafalah bukan hanya sekedar konsep hukum tetapi juga mempunyai implikasi
sosial dan ekonomi yang kuat dalam Islam. Hal-hal tersebut mencerminkan nilai-
nilai keadilan, tanggung jawab, dan berkelanjutan dalam masyarakat Islam dan
akan terus relevan di dunia saat ini.

B. Rumusan Masalah

1. Memahami pengertian dari hiwalah dan kafalah?

2. Memahami dasar hukum hiwalah dan kafalah?

3. Memahami syarat & rukun dari hiwalah dan kafalah?

4. Memahami akibat hukum hiwalah dan kafalah?

5. Memahami berakhirnya akad hiwalah dan hiwalah?

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah yang berjudul “Hiwalah (Perpindahan Hutang)
dan Kafalah” ini disusun utamanya untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih
istishodi yang diampuh oleh Bapak Dr. H. M. Lathoif Ghozali, Lc., MA. Dan
juga untuk mengetahui serta menambah ilmu pemahaman kita tentang hiwalah
dan kafalah.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hiwalah (Pengalihan Hutang)

1. Pengertian Hiwalah

Hiwalah merupakan jenis transaksi syariah dengan cara pemindahan


hutang pada pihak tertentu. Pada transaksi syariah, perpindahan, pembayaran
hutang, atau hiwalah secara sah dilaksanakan, tetapi tetap memenuhi asas
syariah dan menghindari larangan yang ada. Hiwalah tidak digunakan untuk
memecahkan masalah account dibayarkan. Ia berperan untuk transfer dana dari
seorang individu ke individu lain/kelompok serta perbankan yang sudah
dipraktekkan dalam sistem perbankan. Dan ini sangat membantu pada masalah
hutang piutang.1

Menurut bahasa, kata "al-hiwalah"--huruf ha’ dibaca kasrah atau kadang-


kadang dibaca fathah-- berasal dari kata "at-tahawwul" yang berarti 'alintiqal'
(pemindahan/pengalihan)2. Orang Arab biasa mengatakan, "Hala ’anil ’ahdi"
yaitu 'berlepas diri dari tanggung jawab'. Abdurrahman Al- Jaziri berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan "al-hiwalah", menurut bahasa, adalah,
“Pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain”3.

Sedangkan jika menurut istilah para ulama mempunyai pengertian yang


berbeda-beda, sebagai berikut:

1
Nizaruddin, “Hiwalah Dan Aplikasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah,” Studia Islamika 7,
no. 1 (2013): 326–65.
2
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al Islamy Wa Adillatuh, Juz 5, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1986, h. 143
3
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Beirut, Dar Al-Fikr, t.t.,
h.. 210.

6
a. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud "al-hiwalah" adalah,
“Memindahkan beban utang dari tanggung jawab muhil (orang yang
berutang) kepada tanggung jawab muhal ‘alaih (orang lain yang punya
tanggung jawab membayar utang pula)”4.
b. Menurut Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, "al-hiwalah" adalah,
“Pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran utang
dari satu pihak kepada pihak yang lain”5.

Menurut situs resmi OJK, hiwalah adalah perjanjian/perjanjian untuk


mengalihkan piutang dari satu pihak ke pihak lain. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa hiwalah adalah pengalihan utang dari peminjam kepada
pihak lain yang menjamin pelunasannya.

Prinsip hiwalah diterapkan dalam perbankan syariah produk berupa bai’


al-istishna dan bai’ al- salam. Produk Bai’ al-istishna adalah Mekanisme
kompensasi utang bank syariah kepada nasabah orang yang berhutang untuk
membiayai proyek fisik. Bank Islam akan menerima manfaat berdasarkan
pembagian manfaat proyek dibuat oleh pelanggan. Sedangkan produk bai’ al-
salam Mekanisme kompensasi utang bank syariah kepada nasabah orang yang
melakukan transaksi perdagangan nontunai.

Islam mengajarkan dalam Al-Quran bahwa konsep tanggung jawab


terhadap hutang yang harus dipatuhi oleh peserta transaksi menekankan
tanggung jawab oleh karena itu harus dicatat secara akurat, sebagaimana
ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 282 sebagai berikut:

4
Ad-Dur Al-Mukhtar Syarhu Tanwir Al-Abshar, V:340; dinukil dari Mauqif Asy-Syari’ah min
AlMasharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashshirah, karya Dr. Abdullah Abdurrahim Al-Abadi, h.. 339.
5
Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah, Jakarta, Karya Indah, 1986, h. 47

7
‫ٰٓل‬
‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَذ ا َتَداَيْنُتْم ِبَد ْيٍن ِا ى َاَجٍل ُّمَس ًّمى َفاْكُتُبْو ُۗه َو ْلَيْكُتْب َّبْيَنُك ْم َك اِتٌۢب ِباْلَع ْدِۖل َو اَل َي ْأَب َك اِتٌب َاْن َّيْكُتَب‬
‫َك َم ا َع َّلَم ُه ُهّٰللا َفْلَيْكُتْۚب َو ْلُيْمِلِل اَّلِذ ْي َع َلْيِه اْلَح ُّق َو ْلَيَّتِق َهّٰللا َر َّبٗه َو اَل َيْبَخْس ِم ْن ُه َشْئًـ ۗا َف ِاْن َك اَن اَّل ِذ ْي َع َلْي ِه اْلَح ُّق‬
‫َس ِفْيًها َاْو َضِع ْيًفا َاْو اَل َيْسَتِط ْيُع َاْن ُّيِم َّل ُهَو َفْلُيْمِلْل َو ِلُّيٗه ِباْلَع ْدِۗل َو اْسَتْش ِهُد ْو ا َش ِهْيَد ْيِن ِم ْن ِّر َج اِلُك ْۚم َف ِاْن َّلْم َيُك ْو َن ا‬
‫َر ُج َلْيِن َفَر ُجٌل َّواْمَر َاٰت ِن ِمَّم ْن َتْر َض ْو َن ِم َن الُّش َهَۤد اِء َاْن َتِض َّل ِاْح ٰد ىُهَم ا َفُتَذِّك َر ِاْح ٰد ىُهَم ا اُاْلْخ ٰر ۗى َو اَل َيْأَب الُّش َهَۤد اُء‬
‫ِاَذ ا َم ا ُدُع ْو اۗ َو اَل َتْس َٔـُم ْٓو ا َاْن َتْكُتُب ْو ُه َص ِغ ْيًرا َاْو َك ِبْي ًرا ِآٰلى َاَج ِل ٖۗه ٰذ ِلُك ْم َاْقَس ُط ِع ْن َد ِهّٰللا َو َاْق َو ُم ِللَّش َهاَد ِة َو َاْد ٰن ٓى َااَّل‬
‫َتْر َتاُبْٓو ا ِآاَّل َاْن َتُك ْو َن ِتَج اَر ًة َح اِض َر ًة ُت ِد ْيُرْو َنَها َبْيَنُك ْم َفَلْيَس َع َلْيُك ْم ُجَن اٌح َااَّل َتْكُتُبْو َه ۗا َو َاْش ِهُد ْٓو ا ِاَذ ا َتَب اَيْع ُتْم ۖ َو اَل‬
‫ُيَض ۤا َّر َك اِتٌب َّو اَل َش ِهْيٌد ۗە َو ِاْن َتْفَع ُلْو ا َفِاَّنٗه ُفُسْو ٌۢق ِبُك ْم ۗ َو اَّتُقوا َهّٰللاۗ َو ُيَع ِّلُم ُك ُم ُهّٰللاۗ َو ُهّٰللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِلْيٌم‬
Yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara


tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,
meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya)
atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu6.”

2. Dasar Hukum Hiwalah

Hiwalah ditentukan oleh Islam dan diperbolehkan olehnya karena adanya


permasalahan, kebutuhan masyarakat akan dirinya serta kemudahan muamalah.

6
Tafsirweb.com/1048-surat-al-baqarah-ayat-282.html

8
di hiwalah ada juga bukti kasih terhadap orang lain, yang membuat segalanya
lebih mudah Muamalah, ampunan, membantu menyempurnakan kebutuhan
mereka, pembayaran hutang dan peredaan hati mereka. Di bawah ini akan
ditampilkan latar belakang Syariah dan Landasan hukum hukum hiwalah:

a. Al-Qur’an
‫َو ِاۡن َك اَن ُذ ۡو ُع ۡس َرٍة َفَنِظَر ٌة ِاٰل ى َم ۡي َسَرٍة ؕ‌ َو َاۡن َتَص َّد ُقۡو ا َخ ۡي ٌر َّلـُك ۡم‌ ِاۡن ُك ۡن ُتۡم َتۡع َلُم ۡو َن‬
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua
utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah : 280)

b. Hadist

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa


Rasulullah saw, bersabda: “Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan
oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan
kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia
beralih(diterima pengalihan tersebut)”.(HR alBukhari dan Muslim)”7.

c. Ijma’

Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada


hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah
perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial8.

3. Syarat & Rukun Hiwalah

Menurut Hanafiyah rukun hiwalah hanya satu yaitu ijab dan qabul, ijab
(pernyataan melakukan transaksi hiwalah)yang diucapkan muhil dan qabul
(pernyataan menerima transaksi hiwalah) yang diucapkan oleh muhal dan
muhal’alaih9.

7
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz 2, Dar al-Fikr, Beirut, tt, h.. 37.
8
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani, 2012, h.
9
Abdul Aziz .op.cit. h. 563.

9
Rukun hiwalah menurut Syafi’iyah

a. Muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan


hutang,
b. Muhtal/muhal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai
hutang kepada muhil,
c. Muhal’alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah,
d. Piutang muhal pada muhil,
e. Piutang muhil pada muhal’alah,
f. Shigot hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-kata “aku hiwalahkan
hutangku yang hak bagi engkau kepada aku”, dan qabul dari muhal/muhtal
dengan kata-katanya “aku terima hiwalah engkau”10.

Menurut Jumhur Ulama rukun hiwalah ada enam macam yaitu ;

a. Muhil (orang yang memindahkan penagihan yaitu orang yang berhutang),


b. Muhal (orang yang dipindahkan hak penagihan kepada orang lain yaitu orang
yang mempunyai piutang)
c. Muhal’alaih (orang yang dipindahkan kepadanya obyek penagihan)
d. Muhal bih (hak yang dipindahkan yaitu hutang)
e. Piutang muhil kepada muhal’alaih
f. Shigot11.

Syarat hiwalah ini berkaitan dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal Bih
(hutang yang dipindahkan). 1) Syarat Muhil (Pemindah Hutang) Ia disyaratkan
harus dengan dua syarat :

a) Berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat

10
Abdurrahman Aljaziri, Al-fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah, juz XII, Maktabah al-Tijariyah, h.
160.
11
M. Syaikhul Arif and Siti Halilah, “Kafalah Dalam Pandangan Islam,” Jurnal Hukum Tata
Negara 2, no. Desember (2019): 7.

10
dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hiwalah tidak sah dilakukan oleh orang gila
dan kanak-kanak karena tidak mampu atau belum dapat dipandang sebagai
orang yang bertanggung secara hukum.
b) Kerelaan Muhil. Ini disebabkan karena hiwalah mengandungi pengertian
pelupusan hak milik sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Ibn Kamal berkata
dalam al Idah bahawa syarat kerelaan pemindah hutang diperlukan ketika
berlaku tuntutan12.

4. Akibat Hukum Hiwalah

Jika akad hiwalah telah terjadi maka akibat dari akad ini adalah:
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar
utang pada pihak kedua secara otomatis menjadi terlepas.
2. Akad hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntut
pembayaran hutang pada pihak ketiga.
3. Mazhab Hanafi yang membenarkan terjadinya al-hiwalah almuthlaqah
perpendapat bahawa jika akad hiwalah al-muthlaqah terjadi kerana kemahuan
pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan ketiga yang
mereka tentukan ketika melakukan akad utang piutang sebelumnya masih tetap
berlaku, khususnya jika jumlah utang piutang antara ketiga pihak tidak sama13.

5. Berakhirnya Akad Hiwalah

Para ulama fiqh mengatakan bahwa akad hiwalah akan berakhir apabila:
1. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad membatalkan akad hiwalah

12
Ali Fikri, Al-Mu’amalat Al-Madiyah wa al-Adabiyah, Juz 2, Mathba’ah Musthafa Al-Babiy
AlHalaby, Mesir, cet I, 1357 H, h. 74-80
13
Al-Kasani, al-Bada’i’u ash-Shana’i’u, (Beirut: Dar Al-Fikr, tt), Jilid VI. h. 16, dan Ibnu
Qudamah, hal, 538

11
sebelum akad itu berlaku secara tetap, dan dengan ada nya pembatalan, pihak
kedua kembali menuntut hak pembayaran hutang kepada pihak pertama.
2. Pihak ketiga melunasi hutang yang dialihkan pada pihak kedua
3. Apabila piak kedua wafat, sedang pihak ketiga merupakan ahli waris yang
mewarisi harta pihak kedua.
4. Pihak kedua menghibahkan harta nya yang merupakan hutang dalam akad
hiwalah pada pihak ketiga.
5. Hak pihak kedua, menurut ulama Hanafi, tidak dapat dipenuhi kerana attawa
yaitu: pihak ketiga mengalami muflis (bangkrut), atau wafat dalam keadaan
muflis, atau dalam keadaan tidak ada bukti yang kuat tentang akad hiwalah,
pihak ketiga mengingkari akad itu14.

B. Kafalah

1. Pengertian Kafalah

Al-kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penjamin (kafil) kepada


pihak ketiga yang melaksanakannya pihak kedua atau kewajiban yang
ditanggung. Pengertian lain dari kafalah adalah mengalihkan tanggung jawab,

14
Ibid, hal.535

12
seseorang yang dijamin dengan tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. 15
atau dalam artian lain yakni berarti pengalihan tanggung jawab terhadap
sesuatu yang dijamin/ yang ditanggung.16

Al-kafalah secara bahasa berarti al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban),


dan za’mah (kewajiban). Menurut Sayyid Sabiq, apa yang dimaksud dengan al-
kafalah adalah proses menggabungkan tanggung jawab penjamin menjadi
beban ashil. Menurut Iman Taqiyudin Makna kafalah adalah himpunan satu
beban dengan beban lain. Menurut Hasbi Ash Shidiqi al-kafalah harus
menghubungkan dzimah yang satu dengan dzimah yang lain dalam
pembayaran.17

Sedang dalam Al-Qur’an kata kafalah berti pemeliharaan, sebagaimana firman


Allah dalam surah Ali Imran ayat 73 :

‫َو اَل ُتْؤ ِم ُنٓو ۟ا ِإاَّل ِلَم ن َتِبَع ِد يَنُك ْم ُقْل ِإَّن ٱْلُهَد ٰى ُهَدى ٱِهَّلل َأن ُيْؤ َتٰٓى َأَح ٌد ِّم ْثَل َم ٓا ُأوِتيُتْم َأْو ُيَح ٓاُّج وُك ْم ِع نَد َر ِّبُك ْم ۗ ُقْل ِإَّن‬
‫ٱْلَفْض َل ِبَيِد ٱِهَّلل ُيْؤ ِتيِه َم ن َيَش ٓاُء ۗ َو ٱُهَّلل َٰو ِس ٌع َع ِليٌم‬

Artinya : “Dan Allah telah menjadikan Zakariah sebagai pemeliharanya” (Q.S.


Ali

Imran:73)

15
Dimyaudin Djuwaini, pengantar fiqh muamalah, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008, hlm.247
Roos Nelly, “Wakalah, Kafalah Dan Hawalah,” Juripol 4, no. 2 (2021): 228–33,
https://doi.org/10.33395/juripol.v4i2.11138.
16
Nurilla Indah Arianti, “AKAD KAFALAH (Pengimplementasian Akad Kafalah Dalam Perbankan
Syariah),” Osfreprints, 2020, 1–13.
17
Hendi Suhendi, fiqh muamalah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.187

13
2. Dasar Hukum Kafalah

Kafalah disyaratkan oleh Allah SWT terbukti dengan firman-Nya:

‫َقا َل َلْن ُأْر ِس َلُه َمَع ُك ْم َح َّتٰى ُتْؤ ُتو ِن َمْو ِثًق ا ِم َن ال َّلِه َلَتْأ ُتَّنِني ِبِه ِإاَّل َأْن‬
‫ِك‬ ‫َّل‬ ‫ِث‬ ‫ِب‬
‫ُيَح ا َط ُك ْم ۖ َفَلَّم ا آ َتْو ُه َمْو َق ُه ْم َقا َل ال ُه َع َلٰى َم ا َنُق و ُل َو ي ٌل‬

Artinya : “ya‟qub berkata: “ aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi)


bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh
atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali,”
(QS. Yusuf: 66).18

‫ِبِه ِع‬ ‫ِع‬ ‫ا ِبِه ِح‬ ‫ِلِك ِل‬ ‫ِق‬


‫ْم ُل َب ي ٍر َو َأَنا َز ي ٌم‬ ‫َقا ُلوا َنْف ُد ُص َو ا َع ا ْل َم َو َم ْن َج َء‬

Artinya : Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa
yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". (Q.S. Yusuf : 72).

18
Al-Qur‟an dan terjemahannya, Departemen Agama RI, hlm 327

14
Pada tafsir Aisarut Tafasir disebutkan bahwa para pembantu raja menjawab,
"Kami sedang mencari bejana tempat minum raja. Kami akan memberikan
hadiah bagi orang yang menemukannya berupa makanan seberat beban unta."
Pemimpin mereka pun menyatakan dan menegaskan hal itu dengan berkata,
"Aku menjamin janji ini." Ibnu Abbas berkata bahwa yang dimaksud dengan
za‟im dalam ayat ini adalah kafiil penjamin.19

Jabir Radliyallaahu 'anhu juga berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami
meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan
mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyolatkannya?. Beliau
melangkah beberapa langkah kemudian bertanya: "Apakah ia mempunyai
hutang?". Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali.Maka Abu Qotadah
menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah
berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu
terbebas darinya." Ia menjawab: Ya. Maka beliau menyolatkannya. Riwayat
Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan
Hakim.

3. Rukun dan Syarat Kafalah

1. Rukun kafalah

a. Sighat kafalah, bisa diekspresikan dengan ungkapan yang menyatakan


adanya kesanggupan untuk menanggung sesuatu, sebuah kesanggupan untuk
menunaikan kewajiban. Seperti ungkapan “aku akan menjadi penjagamu” atau

19
Al-Jumanatul Ali, Al-qur‟an dan Terjemahan ( Bandung, CV Penerbit J-Art, 2004), hlm 267

15
“saya akan menjadi penjamin atas kewajibanmu atas seseorang” atau ungkapan
lain yang sejenisnya.

b. Makful bihi, objek pertanggungan harus bersifat mengikat terhadap diri


tertanggung, dan tidak bisa dibatalkan tanpa adanya sebab syar‟i. selain itu
objek tersebut harus merupakan tanggung jawab penuh pihak tertanggung.
Seperti menjamin harga atas pihak transaksi barang sebelum serah terima,
menanggung beban hutang yang bersifat mengikat terhadap diri seseorang.
Selain itu, nominal objek tertanggung harus jelas, tidak diperbolehkan
menanggung sesuatu yang tidak jelas (majhul).

c. Kafil, ulama fiqh mensyaratkan seorang kafil haruslah orang yang berjiwa
filantropi, orang yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan orang lain.
Selain itu, ia juga orang yang baligh dan berakal. Akad kafalah tidak boleh
dilakukan olehh anak kecil, orang-orang safih ataupun orang yang terhalang
untuk melakukan transaksi. Akad kafalah harus dilakukan oleh seorang kafil
dengan penuh kebebasan, tanpa adanya paksaan.

d. Makful ‘Anhu, syarat utama yang harus melekat pada diri tertanggung
(makfu’anhu) adalah kemampuannya untuk menerima objek pertanggungan,
baik dilakukan oleh diri pribadinya atau orang lain yang mewakilinya.

e. Makful lahu, ulama mensyaratkan makful lahu harus dikenali oleh kafil,
guna meyakinkan pertanggungan yang menjadi bebannya dan mudah untuk
memenuhinya.

f. Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan

16
pada sesuatu yang berarti sementara.20

2. Syarat-syarat Kafalah

a. Syarat-syarat penjamin (kafiil) menurut fatwa Dewan Syari‟ah Nasional :

1. Kemampuan akal dan dewasa (baligh).


2. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan
rela (ridho & ikhlas) dengan tanggungan kafalah tersebut.

b. Syarat-syarat Orang yang Terutang :

Ada dua syarat bagi Makful Anhu (Ashiil)21

1. Sanggup untuk menyerahkan tanggungannya (utang), adakalanya dengan


dirinya atau penggantinya.

2. Yang terutang adalah orang yang dikenal oleh penjamin. Maka apabila
penjamin berkata, “saya menjamin salah seorang dari manusia”, tidak sah
kafalahnya, karena manusia tidak mengenalnya, dan syarat ini adalah untuk
mengenal yang berutang (makful anhu).

c. Syarat-syarat Orang yang Berpiutang :

1. Diketahui identitas dirinya, tidak boleh memberikan jaminan terhadap orang


yang tidak diketahui identitasnya, karena hal tersebut tidak mencerminkan
tujuan utama dari kafalah (jaminan), yaitu memberikan rasa saling
mempercayai diantara pihak-pihak yang terkait.

20
Hendi Suhendi, fiqh muamalah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.191
21
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor : Ghalia Indonesia, 2012) hlm
217-218

17
2. Orang yang berpiutang hadir di tempat akad.

3. Berakal sehat

4. Makful lahu mempunyai hak (misalnya: piutang atau tanggung ajawab)


kepada makful ‘anhu.

d. Syarat-syarat Barang yang akan dijadikan barang jaminan menurut fatwa


Dewan Syariah Nasional22 :

1. Merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang,


benda, maupun pekerjaan

2. Bisa dilaksanakan oleh penjamin

3. Harus merupakan pitang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus


kecuali setelah dibayar atau dibebaskan

4. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya

5. Tidak bertentangan dengan syari’ah (yang tidak diharamkan)

4. Macam Kafalah

a) Kafalah bin Nafs


Kafalah bin Nafs merupakan akad memberikan jaminan atas diri.
b) Kafalah bil-Maal
Kafalah bil-Maal merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.
c) Kafalah bit Taslim

22
Himpunan Fatwa Keuangan Syariah

18
Jenis kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang
disewa, pada waktu masa sewa berakhir.
d) Kafalah al-Munjazah (‫) المنجزة لة الكفا‬.
Kafalah al-Munjazah adalah jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka
waktu dan untuk kepentingan/tujuan tertentu.

Kafalah adalah memasukkan tanggung jawab seseorang ke dalam tanggung


jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum atau menjadikan seseorang
(penjamin) ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam
pelunasan/pembayaran hutang, sehingga keduanya dianggap berhutang.23

Akad kafalah juga sering disebut dengan garansi. Garansi dapat diberikan
dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran.24

5. Akibat Hukum Kafalah

Sebagaimana akad hiwalah, akad kafalah termasuk akad pelengkap dari akad
pokoknya yaitu al-uqud al-mudayyanah. Kedudukannya hampir sama dengan
akad hiwalah mutlaqah di mana kafil sebagai pihak yang independen tanpa
adanya utang kepada ashil. Namun apabila pihak kafil mempunyai utang kepada
ashil maka kedudukan penjaminan yang diakukan kafil sebagaimana langkah
pelunasan utangnya kepada ashil dalam akad hiwalah. Adapun yang
membedakannya adalah akad yang dilakukannya. Di mana akad kafalah boleh
dilakukan sesudah pihak terjamin (ashil) mempunyai kewajiban utang terhadap
makful lahu ataupun akan melakukan pinjaman atau hal lain yang dapat
melahirkan utang.

Akad kafalah sejatinya adalah akad tabarru’ (tolong menolong), yang mana
pihak kafil mendapatkan pahala atas penjaminan yang diberikannya. Oleh karena
23
Nurul Ichsan, “5_Akad Bank Syariah_Nurul Ichsan,” Jurnal Ilmu Syari’ah Dan Hukum 50, no. 2
(2016).
24
Nurul Ichsan, Pengantar Perbankan Syariah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2013), 254.

19
itu, yang lebih utama tentunya adalah hendaknya akad kafalah tetap dijaga
kemurniannya sebagai akad tabarru’, tanpa imbalan atau kompensasi. Dengan
begitulah pihak kafil bisa lebih terjauhkan dan terjaga dari kecurigaan yang tidak
baik. Dalam hal ini, diperbolehkan jika seandainya pihak makful lahu memberikan
imbalan kepada kafil dalam bentuk hibah atau hadiah.25

6. Berakhirnya Akad Kafalah

Berakhirnya akad kafalah dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:26

1. Jika kafalah berbentuk harta, maka dianggap lunas dengan dua cara:
a. Membayarkan kepada pemberi utang atau sesuatu yang sama
dengan makna membayar, baik pembayaran itu dilakukan oleh
penjamin atau orang yang dijamin, karena hak menagih adalah
cara untuk pembayaran utang. Jika telah dibayar, maka tercapailah
maksud dari kafalah dan selesailah akad tersebut.
b. Dibebaskan (pemutihan) atau cara yang sama dengannya. Apabila
pemberi utang membebaskan penjamin atau orang yang dijamin,
maka utangnya berarti sudah lunas (selesai) berdasarkan asas
kafalah, kecuali jika yang dibebaskan itu adalah penjamin saja,
maka orang yang berutang tidak bebas dari utangnya. Jika orang
yang berutang dibebaskan, maka otomatis penjamin juga bebas
karena kafalah merupakan perjanjian ikutan (assesoir) yang
mengikuti perjanjian pokoknya yaitu utang piutang. Pembebasan
untuk penjamin dimaksudkan sebagai pembebasan dari tagihan,
bukan bebas dari utang, karena penjamin tidak pernah berutang.
2. Jika kafalah dengan badan (diri) atau kafalah bi al–nafsi dapat selesai
25
Desycha Yusianti, “Penggunaan Akad Kafalah Bil Al- ‘Ujrah Pada Pembiayaan Take Over,”
Maliyah 7, no. 11 (2017): 108–36.
26
Weni Krismawati, Robiatul Auliyah, and Yuni Rimawati, “Kajian Kafalah Pada Koperasi Jasa
Keuangan Syariah As-Sakinah Di Kamal Bangkalan,” Jurnal InFestasi 9, no. 2 (2013): 151.

20
dengan tiga cara, yaitu:
a. Penyerahan diri kepada orang yang menuntut kafalah, pada tempat
yang mungkin untuk menghadirkan di majelis hakim. Karena
penjamin telah menghadirkannya, maka tercapailah maksud dari
kafalah diri atau badan, yaitu hakim dapat mengadilinya.
b. Pembebasan yaitu orang yang memberi utang (yang berhak)
membebaskan penjamin dari jaminan badan, maka lunaslah
jaminan tersebut. Akan tetapi orang yang berutang tidaklah bebas,
kecuali jika pembebasan tersebut diberikan kepada yang berutang,
maka keduanya bebas.
c. Meninggalkan orang yang menjamin jaminan. Jika orang yang
menjadi jaminan meninggal, maka penjamin bebas dari kafalah,
karena tidak mungkin untuk menghadirkannya.
3. Jika kafalah dengan barang jaminan tertentu, akan selesai dengan dua cara,
yaitu:
a. Penyerahan barang jaminan kalau masih ada atau barang yang
serupa dengannya atau sama harganya, jika barang tersebut
musnah.
b. Pembebasan, yaitu pembebasan penjamin dari kafalah (jaminan),
kalau orang yang berhak berkata pada penjamin, “saya bebaskan
kamu dari kafalah”, maka dia bebas karena kafalah adalah hak
orang yang memberi utang. Kalau ia membebaskan penjamin maka
penjamin menjadi bebas, seperti pembebasan utang atau juga
penbebasan orang yang berutang.

21
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN

Hiwalah adalah jenis transaksi syariah yang melibatkan pemindahan


hutang dari satu pihak ke pihak lain yang menjamin pelunasannya.
Hiwalah memungkinkan transfer dana antara individu, kelompok, atau
perbankan dalam transaksi syariah. Ini membantu dalam mengatasi
masalah hutang-piutang dengan cara yang sah menurut prinsip-prinsip
syariah.

Dasar hukum Hiwalah adalah berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang


ditemukan dalam Al-Quran dan Hadis. Ini termasuk tanggung jawab
terhadap hutang, prinsip kerelaan, dan kesepakatan antara pihak-pihak
yang terlibat dalam transaksi.

Rukun Hiwalah mencakup elemen seperti Muhil (orang yang


memindahkan hutang), Muhal (orang yang dihiwalahkan hutangnya),
Muhal'Alaih (orang yang menerima hutang), dan lainnya. Syarat-syarat
dan rukun ini dapat berbeda menurut mazhab atau pendapat ulama.

Akibat hukum Hiwalah termasuk pemindahan tanggung jawab utang


dari satu pihak ke pihak lain, pembayaran utang kepada pihak kedua, dan
ketentuan-ketentuan lain yang dapat berlaku tergantung pada situasi.

Berakhirnya Akad Hiwalah dapat terjadi jika salah satu pihak


membatalkan akad sebelum berlaku secara tetap, jika utang dilunasi, atau
dalam situasi lain yang telah disepakati dalam akad.

Sedangkan Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penjamin


(kafil) kepada pihak ketiga yang memiliki kewajiban atau utang. Kafalah
dapat berupa jaminan atas diri, barang, atau pembayaran. Dasar hukum
Kafalah ditemukan dalam Al-Quran dan Hadis yang mengatur tentang
tanggung jawab dan jaminan dalam transaksi.

22
Rukun dan syarat Kafalah melibatkan elemen seperti sighat kafalah
(ungkapan jaminan), makful bihi (objek pertanggungan), kafil (penjamin),
dan lainnya.

Macam-macam Kafalah mencakup Kafalah bin Nafs (jaminan atas


diri), Kafalah bil-Maal (jaminan atas pembayaran utang), Kafalah bit
Taslim (jaminan atas barang yang disewa), dan Kafalah al-Munjazah
(jaminan mutlak).

Akibat hukum Kafalah melibatkan hak tagih bagi penjamin,


pembebasan utang jika terjadi kesepakatan, dan berakhirnya akad Kafalah
dalam beberapa cara.

Dalam kedua transaksi ini, prinsip utama adalah memastikan


pemenuhan kewajiban finansial dan tanggung jawab dengan cara yang
sesuai dengan ajaran Islam.

B. Saran

Demikianlah makalah yang kami buat semoga dapat


bermanfaat bagi pembaca. Apabila terdapat kritik dan saran yang ingin
disampaikan, silahkan sampaikan kepada kami.

23
DAFTAR PUSTAKA

Arianti, Nurilla Indah. “AKAD KAFALAH (Pengimplementasian Akad Kafalah


Dalam Perbankan Syariah).” Osfreprints, 2020, 1–13.
Arif, M. Syaikhul, and Siti Halilah. “Kafalah Dalam Pandangan Islam.” Jurnal
Hukum Tata Negara 2, no. Desember (2019): 7.
Ichsan, Nurul. “5_Akad Bank Syariah_Nurul Ichsan.” Jurnal Ilmu Syari’ah Dan
Hukum 50, no. 2 (2016).
Krismawati, Weni, Robiatul Auliyah, and Yuni Rimawati. “Kajian Kafalah Pada
Koperasi Jasa Keuangan Syariah As-Sakinah Di Kamal Bangkalan.” Jurnal
InFestasi 9, no. 2 (2013): 151.
Nelly, Roos. “Wakalah, Kafalah Dan Hawalah.” Juripol 4, no. 2 (2021): 228–33.
https://doi.org/10.33395/juripol.v4i2.11138.
Nizaruddin. “Hiwalah Dan Aplikasinya Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah.”
Studia Islamika 7, no. 1 (2013): 326–65.
Yusianti, Desycha. “Penggunaan Akad Kafalah Bil Al- ‘Ujrah Pada Pembiayaan
Take Over.” Maliyah 7, no. 11 (2017): 108–36.

24

Anda mungkin juga menyukai