Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH AKUTANSI

PERBANKAN KONVESIONAL &


SYARIAH “TRANSAKSI
KHAWALAH”
DOSEN PENGAMPU : MARIA ANASTASIA, SE., MM.

DISUSUN OLEH :

ILHAM FIRMANTO 21113220216875


NOR ERLIANI 21113220216900
M.WAHYU DIANUR 21113220216885
MUHAMMAD FAUZI 21113220216889

MANAJEMEN

STIEPANCASETIA BANJARBARU

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang sudah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyusun tugas Lembaga Keuangan
Konvesional & Syariah ini dengan baik serta tepat waktu.

Tugas ini kami buat untuk memberikan ringkasan tentang TRANSAKSI


KHAWALAH, Karena memiliki peran yang penting dalam kehidupan
perekonomian masyarakat.
Mudah-mudahan makalah yang kami buat ini bisa menolong menaikkan pengetahuan
kita jadi lebih luas lagi. Kami menyadari kalau masih banyak kekurangan dalam
menyusun makalah ini.

Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan
guna kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Maria
Anastasia selaku Dosen Pengampu di mata Kuliah Akutansi Perbankan Konvesional
& Syariah. Kepada pihak yang sudah menolong turut dan dalam penyelesaian
makalah ini. Atas perhatian serta waktunya, kami sampaikan banyak terima kasih.
BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Perkembangan perekonomian di Indonesia saat ini mengakibatkan tingkat


kebutuhan ekonomi semakin meningkat. Kebutuhan hidup dengan pendapatan
yang diterima masyarakat kadang kala jauh berbeda. Pendapatan yang diterima
seseorang kadang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari sehingga manusia harus mencari jalan agar kebutuhan ekonominya dapat
dipenuhi. Dalam hal ini manusia tidak lepas dari muamalah.

Kegiatan muamalah ini harus sesuai dengan ajaran Islam yang tercantum dalam al
Qur‟an dan
Hadis, yaitu terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang merusak
kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia, seperti maysir, gharar, dan
riba. Setiap orang yang meminjam sesuatu pada orang lain berarti peminjam
memiliki hutang kepada yang berpiutang. Setiap hutang wajib dibayar
sehingga berdosalah orang yang tidak mampu membayar hutang.
Sebagaimana Hadis Rasulullah SAW :
Artinya: Nabi saw. Bersabda: Penangguhan yang dilakukan oleh orang
kaya, zhalim. Dan apabila hutang salah seorang kamu dialihkan kepada orang kaya,
hendaklah diterima pengalihan itu. (HR.al-jamaah; al-muntaqa 2: 361). Dari
definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa hiwalah adalah pemindahan hak
berupa utang dari orang yang berutang (al-mudin) kepada orang lain yang
dibebani tanggungan pembayaran utang tersebut.
Hawalah adalah satu bentuk muamalah sesama muslim dalam penyelesaian
masalah keuangan terkait dengan utang piutang, untuk pencapaian kemaslahan
bersama, menghindari perbuatan dzolim satu dengan yang lain.

RUMUSAN MASALAH

Penulis telah menyusun beberapa topik yang akan dijelaskan dalam makalah ini.
Beberapa topik tersebut mencakup:

1. Pengertian Hawalah dalam berbagai sumber


2. Dasar hukum konsep hawalah dari Al-Quran beserta tafsirnya, Hadits Nabi
beserta Asbabul Wurud dan Ijma Ulama.
3. Aplikasi Hawalah
3.1 TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan oleh penulis di atas, maka tujuan
dalam menyusun artikel ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk Mengenali Apa itu transaksi khawalah.


2. Untuk Mengenali Penyebab Perbedaan Antara Catatan Perusahaan Dengan Laporan
Bank .
3. Untuk Mengenali Bentuk-Bentuk Rekonsiliasi Bank
BAB II

PEMBAHASAN

DEFINISI DAN TUJUAN DARI REKONSILIASI BANK

A. Pengertian Hawalah
Bahasa Secara bahasa hawalah atau hiwalah (‫ )حوالة‬berasal dari kata dasarnya
dalam fi'il madhi : haala - yahuulu - haulan ( ‫ حال يحول حوال‬.)Secara umum
maknanya adalah berpindah atau berubah. Dikatakan dalam ungkapan bahasa
Arab yang berarti :
“Tahawwala min makanihi berarti berpindah dari tempatnya semula”
menurut Istilah para ulama berbeda redaksi ketika mendifinisikan istilah hawalah.
Ulama Hanafiah mendefinisikan hawalah adalah:

‫ل ذمة َنقل الدين من ذمة إ‬


”Perpindahan hutang dari seseorang ke orang lain” Hanya saja, para ulama
hanafiah tidak sepakat dalam memaknai konsep perpindahan hutangnya.
Ulama malikiah mendefinisikan hawalah adalah
‫ل أخرى تربأ بها األو َ نقل الدين من ذمة بمثله إ‬:َ ‫ل‬
“Perpindahan hutang dari seseorang ke orang lain dengan nilai yang sama dan
orang yang berhutang terbebas dari tanggungan untuk membayar hutangnya”
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan hawalah adalah
‫ضي ل ذمة َمن ذمة إ‬: ‫نقل دين عقد يقت‬
”Akad yang bertujuan untuk memindahkan suatu hutang, dari tanggung
jawab (satu pihak) menjadi tanggung jawab pihak lain”
Ulama Hanabilah mendefinisikan hawalah adalah :
Al-Syarhu al-Kabir, Juz 3, hal. 325 2 Al-Khatib As-Syirbini, Mughni al-Muhtaj,
Juz 2, hal. 193 Halaman 10 dari 31 muka | daftar isi
‫ َنقل الدين من ذمة المحيل إ‬: ‫ل ذمة المحال عليه‬
”Perpindahan hutang dari tanggung jawab muhil kepada tanggung jawab
muhal ’alaihi” Sebagian ulama hanabilah memberikan definisi hawalah yang lebih
luas lagi

‫نقل الحق من ذمة المحيل إ‬:َ ‫ل ذمة المحال عليه‬


”Perpindahan hak dari tanggung jawab muhil kepada tanggung jawab muhal
’alaihi”
Pengertian hawalah yang lain Secara bahasa hawalah atau hiwalah (‫( ةالح‬
berasal dari kata dasarnya dalam fi'il madhi: haala - yahuulu - haulan (‫الوح يح‬
‫)الح لو‬.
Kata “Al Hiwalah” huruf ha’ dibaca kasrah atau kadang-kadang dibaca fathah,
berasal dari kata “At-Tahawwul” yang berarti “Al-Intiqal”
(pemindahan/pengalihan).
Orang arab biasa mengatakan “Hala ‘anil ‘ahdi” yaitu
terlepas dari tanggungjawab (Nurazizah, 2008). Secara umum maknanya adalah
‘berpindah’ atau ‘berubah’. Pemindahan yang dimaksud adalah dalam konteks
pemindahan utang dari tanggungan orang yang berutang atau al-muhil menjadi
tanggungan orang yang akan melakukan pembayaran utang atau al-muhal ‘alaih.1
Secara istilah, Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan hawalah sebagai ‘pengalihan
kewajiban membayar utang dari beban pihak pertama kepada pihak lain yang
berhutang kepadanya atas dasar saling mempercayai’ (Wahbah al-Zuhaili: 2005).
Sedangkan secara sederhana Imam Taqiyuddin mendefinisikan hawalah adalah
‘pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain Berdasarkan
hadits nabi yang kepadanya atas dasar saling mempercayai’ (Wahbah al-Zuhaili:
2005).
Sedangkan secara sederhana Imam Taqiyuddin mendefinisikan hawalah
adalah ‘pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain’.
Berdasarkan hadist nabi yang berbunyi “menunda pembayaran bagi orang yang
mampu adalah kezaliman, dan jika salah seorang di antara kamu dihiwalahkan
kepada orang kaya yang mampu maka tidurlah” (Hadis riwayat Bukhari dan
Muslim). Maka akad atau transaksi hawalah jelas diperbolehkan dalam muamalah

Islam. Sedangkan mengenai hukum menerima hawalah para ulama terbagi


menjadi tiga pendapat yaitu:

1) Wajib. Ketika orang yang berhutang mengalihkan utangnya kepada orang lain,
maka wajib hukumnya bagi orang yang mempunyai piutang tersebut untuk
menerima akad pengalihan utangnya (hawalah). Hal ini berdasarkan pada
sabda nabi yang berbunyi: ”hendaklah menerima” dimaknai sebagai perintah
yang wajib dilaksanakan.
2) Mustahab (tidak sampai wajib). Jika hutangnya dialihkan kepada orang yang
mampu memberikannya, maka dianjurkan kepada orang yang mampu
tersebut untuk menerimanya. Karena hal tersebut termasuk mempermudah
urusan orang yang sedang kesusahan.
3) Boleh. Menerima hawalah dari orang yang berutang kepadanya adalah
diperbolehkan, boleh untuk menerima, boleh juga untuk tidak menerima.
Tidak sampai pada hukum sunnah atau bahkan wajib.2
Hawalah/Hiwalah menurut Bahasa juga berarti al-intiqal dan al-tahwil, artinya
memindahkan atau mengalihkan. Sedangkan menurut Ibrahim Anis mengatakan
bahwa hiwalah berasal dari kata hawwala yang sinonimnya ghayyara, artinya
mengubah dan memindahkan. Ini artinya ajaran Al-Quran sangat sempurna,
bahkan sesuai digunakan untuk seluruh zaman, bahkan ajaran tersebut sangat
relevan dalam alam modern dan canggih saat ini.
Tiga Manfaat khawalah :
1) Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.
2) Terjadinya talang dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
3) Dapat menjadi salah satu fee based income / sumber pendapatan non
pembiayaan bagi bank Syariah, bila hawalah diaplikasikan dalam Lembaga
keuangan bisnis seperti perbankan Syariah.4
Kesimpulan penulis berdasarkan beberapa pengertian yang dijelaskan oleh
para ulama diatas, maka bisa kita kerucutkan bahwa pembahasan hawalah ini
bertumpu pada perpindahan hutang. Kemudian mayoritas ulama juga
menerangkan bahwa akad hawalah menyebabkan pembayaran hutang tidak lagi
ditanggung oleh penghutang (Muhil), akan tetapi tanggungannya sudah berpindah
penuh seratus persen ke orang yang menerima pengalihan hutang (Muhal Alaihi)

B. Dasar Hukum Hawalah


1. Dasar Hukum Hawalah Qs. Al-Maidah : 2
Yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar
kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala'id (hewan-hewan kurban
yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi
Baitul Haram; mereka mencari karunia dan keridhaan Tuhannya. Tetapi apabila
kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai
kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada
Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.”

Allah SWT melarang orang-orang beriman agar tidak melanggar syi‟ar-syiar


agama, dalam ibadah haji dan umrah bahkan semua ajaran agama
dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram yakni Dzulqo‟dah,
Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
jangan mengganggu al-hadya yakni binatang
yang akan disembelih di Mekkah dan sekitarnya, dan yang
dijadikan persembahan kepada Allah SWT.

Dan jangan pula mengganggu al- qalaid


yaitu binatang-binatang yang dikalungi lehernya sebagai tanda bahwa ia adalah
persembahan yang sangat istimewa.dan jangan juga mengganggu para pengunjung
baitullah yakni siapapun yang ingin melaksanakan ibadah haji atau umrah
sedang mereka melakukan hal tersebut dalam
keadaan mencari dengan sungguh-sungguh karunia keberuntungan duniawi dan
keridhaan ganjaran ukhrawi dari Tuhan mereka
Dan apabila kamu telah bertahallul menyelesaikan ibadah ritual haji atau umrah, atau
karena satu dan lain sebab sehingga kamu tidak menyelesaikan ibadah kamu, misalnya
karena sakit atau terkepung musuh, maka berburulah jika kamu mau.
Dan jangan sekali-kali kebencian yang telah mencapai puncaknya sekalipun

kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjid Al-
haram, mendorong kamu berbuat aniaya kepada mereka atau selain mereka.
dan tolong menolong lah kamu dalam َ َ ‫ب‬
mengerjakan kebajikan, yakni segala bentuk dan macam hal yang membawa

kepada kemaslahatan dunia dan ukhrawi serta tolong menolonglah dalam


ketakwaan, yakni segala upaya yang dapat dan tolong menolong lah kamu dalam
َ َ ‫ ب‬mengerjakan kebajikan, yakni segala bentuk dan macam hal yang membawa
menghindarkan bencana duniawi dan ukhrawi, walaupun dengan orang- orang
yang tidak seiman dengan kamu, kepada kemaslahatan dunia dan ukhrawi serta
tolong menolonglah dalam ketakwaan, yakni segala upaya yang dapat
menghindarkan bencana duniawi dan ukhrawi, walaupun

2. Dasar Hukum Hawalah yang kedua Qs. Al-Baqarah :282 dan Tafsir

Yang artinya ; “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari
hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah
walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya
jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.Janganlah saksi-saksi itu
enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu
jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan.
4. Tafsir Qs. Al-Baqarah : 282

Untuk kepentingan kajian, penulis akan menafsirkan ayat tentang


konseps ber- muamalah yang tertuang dalam al-Quran Surat Al-Baqarah ayat
282. Dalam penafsiran ini, penulis merujuk dari beberapa kitab terjemahan tafsir
al-Qur’an diantaranya tafsir Ibnu Katsir, tafsir al-Maraghi, tafsir al-Azhar, dan tafsir
al- Misbah. Selain itu, untuk memahami lebih dalam ayat yang dimaksud,
kajian ini melibatkan disiplin ilmu yang lain seperti sosiologi, psikologi dan
khususnya keilmuan akuntansi dan etika. Surat Al-Baqarah Ayat 282 merupakan
ayat yang terpanjang dari surah al-Baqarah dan dikenal oleh para ulama dengan
nama Ayat al- Mudayanah (ayat utang-piutang – “dain”). Ayat ini, antara lain,
berbicara tentang anjuran atau kewajiban menuliskan soal utang-piutang dan
mempersaksikannya di hadapan notaris, sambil menekankan perlunya menulis
utang, walau sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya. Adapun
terjemahan dari Surat Al- Baqarah 282 artinya sebagai berikut : “Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu melakukan utang-piutang (bermuamalah tidak
secara tunai) untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan adil.

Dan janganlah penulis dengan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,


meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hu tang nya.
Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau
dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
(diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi- saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian
itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika
muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka
tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.
Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Ulama sepakat, bahwa ayat-ayat Al- Quran yang turun tidak semuanya
memiliki asbab an-nuzul. Berdasarkan kesepakatan ulama tersebut,
Pengertian asbab an-nuzul adalah sebab-sebab (peristiwa) yang melatari turun ayat-
ayat
Al-Quran. Tetapi bila dipahami bahwa al-Quran turun sebagai hidayah dan berisi
pesan-pesan moral, maka setiap ayat yang turun tidak kosong dari asbab an-nuzul.
Begitu juga halnya dengan ayat 282 dalam QS. Al- Baqarah.
Menurut Shihab (2008) turunnya ayat 282 dari Surat Al-Baqoroh ini
didasari pada waktu Rasulullah SAW datang ke madinah pertama kali.
Rasulullah melihat orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya
dalam waktu satu, dua, atau tiga tahun (Al- Maraghi, 1986). Ibnu Abbas r.a.
mengatakan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan hutang
piutang yang terjamin, jelas masanya dan telah dihalalkan oleh Allah SWT.

Beliau juga mengatakan, ketika Rasulullah SAW sampai di kota Madinah dijumpai
di
sana orang-orang penduduk asli biasa meminjamkan buah atau menyewakan
kebunnya untuk setahun, dua tahun atau tiga tahun, maka Rasulullah SAW.
bersabda, art inya : “Barangsiapa meminjamkan harus meminjamkan dengan
takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu dan masa yang tertentu (HR.
Bukhari – Muslim). Sehubungan dengan itu, Allah SWT menurunkan ayat ke
282. Sebagai perintah apabila mereka utang-piutang maupun muamalah dalam
waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi hal ini untuk
menjaga terjadinnya sengketa pada waktu-waktu yang akan datang. (HR. Bukhari
dari sofyan bin Uyainah dari Ibnu Abi Najih dari Abdillah bin katsir Abi Minhal
dari Ibnu Abbas).
Uraian ayat 282 tersebut dipaparkan setelah uraian-Nya tentang anjuran
bersedekah dan berinfak (QS al-Baqarah: 271-274), kemudian disusul dengan
larangan melakukan transaksi riba (QS al-Baqarah: 275-279), serta anjuran untuk
memberi tangguh yang tidak mampu membayar hutangnya sampai mereka

mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua utang itu (QS al-
Baqarah: 280). Penempatan uraian tentang utang-piutang setelah anjuran dan
larangan di atas, mengandung makna tersendiri. Anjuran bersedekah dan
melakukan infak di jalan Allah merupakan pengejawantahan dari rasa kasih
sayang yang murni.
Selanjutnya, larangan riba merupakan bagian dari kekejaman dan
kekerasan hati. Dengan perintah menuliskan utang- piutang yang dapat

memelihara harta dari kehilangan, tecermin keadilan yang didambakan al-


Qur’an, sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh
sedekah dengan kekejaman yang diperagakan oleh yang melakukan riba (Katsir,
2004).
Utang-piutang dalam kehidupan umat manusia adalah sesuatu yang
wajar, bahkan merupakan keniscayaan. Bukan saja utang antar manusia,
hubungan manusia dengan Allah pun nyaris digambarkan dengan hubungan
utang- piutang. Kata “utang” dalam bahasa al-Qur’an adalah dain, sedangkan
“agama” dinamai dîn. Keduanya terdiri dari tiga huruf - dâl, yâ’, dan nûn.
Menurut pakar-pakar bahasa, rangkaian ketiga huruf tersebut
menggambarkan hubungan antara dua pihak yang satu kedudukannya lebih tinggi
daripada yang lain. Agama adalah hubungan antara manusia dengan Allah.
Kedudukan manusia jauh lebih rendah daripada Allah. Demikian juga
hubungan yang memberi utang, dan yang memberi balasan, diban- dingkan

dengan yang menerimanya (Harun, 2007). Ayat yang berbicara tentang utang-
piutang di atas, antara lain, berpesan: “Hai or-ang-orang yang beriman, apabila
kamu melakukan transaksi tidak secara tunai, untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menulisnya” (QS al-Baqarah: 282).
Penggalan kalimat “untuk waktu yang ditentukan” bukan saja
mengisyaratkan bahwa ketika berhutang harus ditentukan masa pelunasannya,
dan bukan dengan berkata, “Kalau saya ada uang” tetapi juga untuk
mengisyaratkan bahwa ketika berhutang, sudah harus tergambar dalam benak
bagaimana serta dari mana sumber pembiayaan yang akan diandalkan oleh
yang berhutang.

Ini secara tidak langsung mengantarkan sang Muslim untuk berhati-hati dalam
berhutang. Sedemikian keras tuntutan kehati-hatian, sampai-
sampai Nabi Saw enggan menshalati mayat yang berhutang dan tidak ada
yang menjamin hutangnya (HR. Abû Dâwûd dan an-Nasâ’î).
Selain itu semua, Nabi Saw bahkan bersabda, “Diampuni bagi syahid
semua dosanya kecuali hutang” (HR. Muslim dari ‘Amr bin al-Ash). Manusia
dalam hidup dan kehidupannya tidak dapat melepaskan diri dari hidup
berkelompok yang demikian sudah terlihat semenjak manusia itu lahir.

surat Al-Baqarah. Dalam penafsiran ini, tadaayantum diartikan dengan


muamalah karena utang piutang merupakan perbuatan sosial manusia yang
didalamnya terlibat debitor (pemberi hutang) dan kreditor (orang yang
berhutang).
Ayat tersebut, Allah SWT. menuntun hamba-Nya yang mukmin, jika
mereka bermuamalah hutang piutang hendak- nya ditulis supaya jelas
jumlahnya, waktunya, dan memudahkan untuk persaksian. Pada akhir ayat di atas
“hendaklah kamu menuliskannya”, Ibnu Katsir memahami perintah menulis di
sini hanya merupakan petunjuk ke jalan yang baik dan terjaminnya
keselamatan yang diharapkan (Katsir, 2004).
4. Hadits Tentang Hawalah
Di antara landasan syariah hawalah adalah dalil yang sebagai berikut:
“Menunda membayar hutang bagi orang kaya adalah kezaliman dan apabila
seorang dari kalian hutangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah dia ikuti.”
(HR. Bukhari dan Muslim).

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan


kepada kami Sufyan dari Ibnu Dzakwan dari Al A'raj dari Abu Hurairah
radhiyallahu'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Menunda
membayar hutang bagi orang kaya adalah kezaliman dan apabila seorang dari kalian
hutangnya dialihkan (dipindahkan) kepada orang kaya, hendaklah ia ikuti". (HR. Al-
Bukhari No. 2288).8

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; saya baca di
hadapan Malik; dari Abu Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mengulur-ulur waktu pembayaran hutang
bagi yang mampu adalah kezaliman, dan jika piutang salah seorang dari kalian
dialihkan kepada orang yang kaya, maka terimalah.

5. Asbabul wurud
Pada dasarnya sebab munculnya Hadis Hawalah ini ada kaitannya dengan
asbabul wurud Hadis Kafalah, akan tetapi penjelasan akan terbagi dua , yang
pertama yaitu tentang keharusan segera membayar hutang (oleh ahli waru) atau
menjaminnya sebelum disholatkan fardhu kifayah dan dikubur, dengan yang
kedua yaitu bolehnya menerima bantuan dari orang lain, baik secara normal
maupun dalam keadaan berhutang. Karena pada akhirnya di zaman Rasulullah
SAW, beliaulah yang turut serta melunasi utang para sahabat yang telah
meninggal dunia. Ada hadis yang artinya “ Barang siapa diberikan suatu
(pemberian ) tanpa dimintanya dan tidak pula (si pemberi) mencari kemuliaan (
istisyarah) maka sesungguhnya pemberian itu rezeki dari Allah, maka hendaklah
dia menerimanya dan janganlah dia menolaknya.”

6. Ijma klasik dan kontemporer Tentang Hawalah


Ijma’ Para ulama menjelaskan bahwa akad hawalah ini sudah menjadi
konsensus dikalangan para ulama, diantara yang menjelaskan adalah:
a. Ibnu Mulaqqin (w. 804 H) Dalam kitabnya At-Taudhih Syarh Al-Jami’ Al-
Shahih
b. Al-Mawwaq Abu Abdillah Al-Abdari (w. 898H) Dalam kitabnya At-Taj wal Iklil
li Mukhtashar Khalil, beliau mengatakan: ah dan Ijma.”
c. Al-Mawardi (w. 450 H) Dalam kitabnya Al-Hawi al-Kabir, beliau menjelaskan:
melakukan kebolehan tentang Dasar “4 ‫عامج الو ةنسال ةالحال زاوج يف لصفال‬
hawalah terdapat pada As-Sunnah dan Ijma.”
d. Imam Nawawi (w. 676 H) Dalam kitabnya Raudhatu At-Thalibin, beliau juga
menegaskan bahwa hawalah merupakan perkara yang sudah disepakati
tentang kebolehannya. ‫ ”اهال عمجم هيلع‬Pada asalnya hawalah itu sudah
disepakati (kebolehan nya).”
e. Ibnu Qudamah (w. 620 H) Dalam kitabnya Al-Mughni, beliau juga
para ,umum Secara “‫ ةلمجال ف ةالوحال زاوج ىلع ملعال لهأ عمجأ ي‬:mengatakan
ulama sepakat atas kebolehan untuk hawalah.”13

7. Qiyas
Adapun secara qiyasnya, maka akad hawalah ini bisa diqiyaskan pada akad
kafalah, dimana masing- masing akad mempunyai illat yang sama, yaitu sama-
sama mengalihkan urusannya kepada orang lain.

Kaidah Fiqh Hawalah:


a. Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya
b. Kesulitan dapat menarik kemudahan .
c. Keperluan dapat menduduki posisi darurat.
d. Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang
berlaku berdasarkan syara (selama tidak bertentangan dengan syariat).17

8. Rukun Hawalah
Dalam Fatwa DSN-MUI No. 12/DSN-MUI/ IV/2000 tentang Hawalah,
disebutkan ketentuan- ketentuan tentang hawalah sebagai berikut:
a. Rukun hawalah adalah:
1) muhil, yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang;
2) muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil;
3) muhal ‘alaihi, yakni orang yang berhutang kepada muhal dan wajib membayar
utang kepada muhtal;
4) muhal bih, yakni utang muhil kepada muhtal; dan
5) sighat (ijab-qabul).
b. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan
cara-cara komunikasi modern. Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan
muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaihi.
d. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara
tegas.
e. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak- pihak yang terlibat hanyalah
muhtal dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal
‘alaih.18
9. Jenis-Jenis Hawalah dan Aplikasinya
Dalam aplikasinya hawalah dibagi ke dalam beberapa bagian sebagaimana
yang dikemukakan di dalam mazhab hanafi. Jika dilihat melalui objek akadnya,
hawalah terdiri dari dua macam, pertama hawalah al-haq (pengalihan hak
piutang), yaitu apabila yang dialihkan merupakan hak untuk menuntut
pembayaran utang. Kemudian hawalah ad-dain (pengalihan piutang), yaitu apabila
yang dialihkan itu adalah kewajiban untuk membayar utang. Adapun jika ditinjau
dari jenis akadnya, maka hawalah juga dibagi menjadi dua jenis, yaitu: hawalah
mutlaqah (pengalihan mutlak) dan hawalah muqayyadah (pengalihan bersyarat).
Yang dimaksud pengalihan mutlak adalah di mana muhil adalah orang yang
berhutang tetapi tidak berpiutang kepada muhal alaih. Dengan kata lain yaitu
pengalihan utang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran utang

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan atas penelitian yang didasarkan pada
interpretasi surat Al-Baqarah ayat 282 tersebut, dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Ajaran Islam sudah sangat jelas bagaimana memberikan aturan dan cara
dalam berbagai kehidupan, termasuk bagaimana mengelola pembukuan
dan pencatatan (akuntansi) untuk mewujudkan akuntansi yang islami
sehingga terciptanya keadilan dan keselamatan.
2. Pembahasan hawalah ini bertumpu pada perpindahan hutang. Kemudian
mayoritas ulama juga menerangkan bahwa akad hawalah menyebabkan
pembayaran hutang tidak lagi ditanggung oleh penghutang (Muhil), akan
tetapi tanggungannya sudah berpindah penuh seratus persen ke orang yang
menerima pengalihan hutang (Muhal Alaihi).
3. Sumber hukum Hawalah terdiri dari Al-Quran, Hadits-Hadits Nabi, Ijma ulama
4. Jika dilihat melalui objek akadnya, hawalah terdiri dari dua macam, pertama
hawalah al-haq (pengalihan hak piutang), yaitu apabila yang dialihkan
merupakan hak untuk menuntut pembayaran utang. Kemudian hawalah ad-
dain (pengalihan piutang), yaitu apabila yang dialihkan itu adalah kewajiban

untuk membayar utang. Adapun jika ditinjau dari jenis akadnya, maka
hawalah juga dibagi menjadi dua jenis, yaitu: hawalah mutlaqah (pengalihan
mutlak) dan hawalah muqayyadah (pengalihan bersyarat).
5. Berakhirnya akad Hawalah menurut jumhur ulama bahwa kewajiban pihak
pertama untuk membayar utang kepada pihak kedua secara otomatis menjadi
terlepas. Sedangkan menurut sebagian ulama mazhab Hanafi, antara
lain,Kamal ibn al-Humam, kewajiban itu masih tetap ada, selama pihak ketiga
belum melunasi utangnya kepada pihak kedua , karena sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, mereka memandang bahwa akad itu didasarkan atas
prinsip saling percaya, bukan prinsip pengalihan hak dan kewajiban.
DAFTAR PUSTAKA
Andri Rivai. “Produk Jasa Pada Bank Syariah Dan Aplikasinya.” WARAQAT :
Jurnal
Ilmu-Ilmu Keislaman 5, no. 1 (2020): 25.
E-issn, Volume Nomor P-issn, and Efrita Norman. “Reslaj : Religion Education
Social Laa Roiba Journal Manajemen Dana Pensiun Syariah Resah : Religion
Education Social Laa Roiba Journal” 3 (2021): 227–235.
Fadillah, Rahmat. “Hadis-Hadis Tentang Jasa (Fee-Based Served): Wakalah,
Kafalah, Hawalah.” Indonesian Interdisciplinary Journal of Sharia Economics
(IIJSE) 2, no. 2 (2020): 125–146.
Iwan, Ridwan, and Pengenalan Perbankan Syariah. “Implementasi Hawalah Dalam
Lembaga Keuangan Syariah” (n.d.).
Kasanah, Nur, and Mohammad Ghozali. “Analisis Hukum Terhadap Praktik Produk
Jasa Perbankan Syariah (Fee Based Service).” Jurnal Diklat Keagamaan
Vol.12, no. No.2 (2018): 97–105.
Kurniati, Vivi. “Halaman 1 Dari 67 Muka | Daftar Isi” (2017): 1–35.
Noor, Syafri M, and others. “Akad Hawalah (Fiqih Pengalihan Hutang)” (2019).
Sadhana Priatmadja. “Wakalah, Kafalah Dan Hawalah.” Muamalat 4, no.
September (2012): 1–24.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Rekonsiliasi bank adalah proses yang sangat penting dalam keuangan perusahaan.
Proses ini melibatkan pencocokan dan penyesuaian antara catatan transaksi atau saldo
antara perusahaan dan bank untuk memastikan keakuratan laporan keuangan setiap
periodenya. Selain itu, tujuannya adalah untuk mengidentifikasi perbedaan saldo yang
ada. Dengan melakukan rekonsiliasi bank secara teratur, perusahaan dapat menjaga
keseluruhan dana mereka terjaga dengan baik dan aman.

Penyebab utama dari rekonsiliasi bank termasuk kesalahan pencatatan,


penundaan setoran, biaya-biaya dari bank, kelalaian dalam pembayaran cek, dan
penggunaan fasilitas pinjaman melalui bank yang tidak diregistrasi. Oleh karena
itu, sangat penting bagi perusahaan untuk melakukan rekonsiliasi bank secara
berkala agar dapat menghindari masalah keuangan yang lebih besar di masa depan.

Selain membantu menjaga akurasi laporan keuangan dan mencegah masalah


keuangan yang lebih besar di masa depan, rekonsiliasi juga membantu memahami
kredit bank pada perbankan Indonesia. Ini sangat penting karena perusahaan harus
memahami cara kerja sistem perbankan Indonesia untuk memastikan bahwa
mereka menggunakan layanan dengan bijak dan efektif.

Secara keseluruhan, rekonsiliasi bank adalah proses penting yang harus


dilakukan oleh setiap perusahaan untuk menjaga kesehatan keuangan mereka.
Dengan melakukan rekonsiliasi secara teratur, perusahaan dapat mencegah
masalah keuangan yang lebih besar di masa depan dan memastikan bahwa mereka
menggunakan layanan perbankan dengan bijak dan efektif.
Daftar pustaka

https://www.google.co.id/books/edition/Pengantar_Akuntansi_Basic_Accountin
g/v7OAEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=0

https://www.finansialku.com/rekonsiliasi-
bank/#:~:text=Menurut%20Munandar%20(2006%3A40)%3A,dengan%20saldo%20ya
ng%20dimiliki%20perusahaan.

https://www.gramedia.com/literasi/rekonsiliasi-bank

Anda mungkin juga menyukai