DISUSUN OLEH :
MANAJEMEN
STIEPANCASETIA BANJARBARU
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang sudah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyusun tugas Lembaga Keuangan
Konvesional & Syariah ini dengan baik serta tepat waktu.
Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan
guna kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Maria
Anastasia selaku Dosen Pengampu di mata Kuliah Akutansi Perbankan Konvesional
& Syariah. Kepada pihak yang sudah menolong turut dan dalam penyelesaian
makalah ini. Atas perhatian serta waktunya, kami sampaikan banyak terima kasih.
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kegiatan muamalah ini harus sesuai dengan ajaran Islam yang tercantum dalam al
Qur‟an dan
Hadis, yaitu terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang merusak
kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia, seperti maysir, gharar, dan
riba. Setiap orang yang meminjam sesuatu pada orang lain berarti peminjam
memiliki hutang kepada yang berpiutang. Setiap hutang wajib dibayar
sehingga berdosalah orang yang tidak mampu membayar hutang.
Sebagaimana Hadis Rasulullah SAW :
Artinya: Nabi saw. Bersabda: Penangguhan yang dilakukan oleh orang
kaya, zhalim. Dan apabila hutang salah seorang kamu dialihkan kepada orang kaya,
hendaklah diterima pengalihan itu. (HR.al-jamaah; al-muntaqa 2: 361). Dari
definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa hiwalah adalah pemindahan hak
berupa utang dari orang yang berutang (al-mudin) kepada orang lain yang
dibebani tanggungan pembayaran utang tersebut.
Hawalah adalah satu bentuk muamalah sesama muslim dalam penyelesaian
masalah keuangan terkait dengan utang piutang, untuk pencapaian kemaslahan
bersama, menghindari perbuatan dzolim satu dengan yang lain.
RUMUSAN MASALAH
Penulis telah menyusun beberapa topik yang akan dijelaskan dalam makalah ini.
Beberapa topik tersebut mencakup:
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan oleh penulis di atas, maka tujuan
dalam menyusun artikel ini adalah sebagai berikut:
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hawalah
Bahasa Secara bahasa hawalah atau hiwalah ( )حوالةberasal dari kata dasarnya
dalam fi'il madhi : haala - yahuulu - haulan ( حال يحول حوال.)Secara umum
maknanya adalah berpindah atau berubah. Dikatakan dalam ungkapan bahasa
Arab yang berarti :
“Tahawwala min makanihi berarti berpindah dari tempatnya semula”
menurut Istilah para ulama berbeda redaksi ketika mendifinisikan istilah hawalah.
Ulama Hanafiah mendefinisikan hawalah adalah:
1) Wajib. Ketika orang yang berhutang mengalihkan utangnya kepada orang lain,
maka wajib hukumnya bagi orang yang mempunyai piutang tersebut untuk
menerima akad pengalihan utangnya (hawalah). Hal ini berdasarkan pada
sabda nabi yang berbunyi: ”hendaklah menerima” dimaknai sebagai perintah
yang wajib dilaksanakan.
2) Mustahab (tidak sampai wajib). Jika hutangnya dialihkan kepada orang yang
mampu memberikannya, maka dianjurkan kepada orang yang mampu
tersebut untuk menerimanya. Karena hal tersebut termasuk mempermudah
urusan orang yang sedang kesusahan.
3) Boleh. Menerima hawalah dari orang yang berutang kepadanya adalah
diperbolehkan, boleh untuk menerima, boleh juga untuk tidak menerima.
Tidak sampai pada hukum sunnah atau bahkan wajib.2
Hawalah/Hiwalah menurut Bahasa juga berarti al-intiqal dan al-tahwil, artinya
memindahkan atau mengalihkan. Sedangkan menurut Ibrahim Anis mengatakan
bahwa hiwalah berasal dari kata hawwala yang sinonimnya ghayyara, artinya
mengubah dan memindahkan. Ini artinya ajaran Al-Quran sangat sempurna,
bahkan sesuai digunakan untuk seluruh zaman, bahkan ajaran tersebut sangat
relevan dalam alam modern dan canggih saat ini.
Tiga Manfaat khawalah :
1) Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.
2) Terjadinya talang dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
3) Dapat menjadi salah satu fee based income / sumber pendapatan non
pembiayaan bagi bank Syariah, bila hawalah diaplikasikan dalam Lembaga
keuangan bisnis seperti perbankan Syariah.4
Kesimpulan penulis berdasarkan beberapa pengertian yang dijelaskan oleh
para ulama diatas, maka bisa kita kerucutkan bahwa pembahasan hawalah ini
bertumpu pada perpindahan hutang. Kemudian mayoritas ulama juga
menerangkan bahwa akad hawalah menyebabkan pembayaran hutang tidak lagi
ditanggung oleh penghutang (Muhil), akan tetapi tanggungannya sudah berpindah
penuh seratus persen ke orang yang menerima pengalihan hutang (Muhal Alaihi)
kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjid Al-
haram, mendorong kamu berbuat aniaya kepada mereka atau selain mereka.
dan tolong menolong lah kamu dalam َ َ ب
mengerjakan kebajikan, yakni segala bentuk dan macam hal yang membawa
2. Dasar Hukum Hawalah yang kedua Qs. Al-Baqarah :282 dan Tafsir
Yang artinya ; “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari
hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah
walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya
jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.Janganlah saksi-saksi itu
enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu
jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan.
4. Tafsir Qs. Al-Baqarah : 282
Beliau juga mengatakan, ketika Rasulullah SAW sampai di kota Madinah dijumpai
di
sana orang-orang penduduk asli biasa meminjamkan buah atau menyewakan
kebunnya untuk setahun, dua tahun atau tiga tahun, maka Rasulullah SAW.
bersabda, art inya : “Barangsiapa meminjamkan harus meminjamkan dengan
takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu dan masa yang tertentu (HR.
Bukhari – Muslim). Sehubungan dengan itu, Allah SWT menurunkan ayat ke
282. Sebagai perintah apabila mereka utang-piutang maupun muamalah dalam
waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi hal ini untuk
menjaga terjadinnya sengketa pada waktu-waktu yang akan datang. (HR. Bukhari
dari sofyan bin Uyainah dari Ibnu Abi Najih dari Abdillah bin katsir Abi Minhal
dari Ibnu Abbas).
Uraian ayat 282 tersebut dipaparkan setelah uraian-Nya tentang anjuran
bersedekah dan berinfak (QS al-Baqarah: 271-274), kemudian disusul dengan
larangan melakukan transaksi riba (QS al-Baqarah: 275-279), serta anjuran untuk
memberi tangguh yang tidak mampu membayar hutangnya sampai mereka
mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua utang itu (QS al-
Baqarah: 280). Penempatan uraian tentang utang-piutang setelah anjuran dan
larangan di atas, mengandung makna tersendiri. Anjuran bersedekah dan
melakukan infak di jalan Allah merupakan pengejawantahan dari rasa kasih
sayang yang murni.
Selanjutnya, larangan riba merupakan bagian dari kekejaman dan
kekerasan hati. Dengan perintah menuliskan utang- piutang yang dapat
dengan yang menerimanya (Harun, 2007). Ayat yang berbicara tentang utang-
piutang di atas, antara lain, berpesan: “Hai or-ang-orang yang beriman, apabila
kamu melakukan transaksi tidak secara tunai, untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menulisnya” (QS al-Baqarah: 282).
Penggalan kalimat “untuk waktu yang ditentukan” bukan saja
mengisyaratkan bahwa ketika berhutang harus ditentukan masa pelunasannya,
dan bukan dengan berkata, “Kalau saya ada uang” tetapi juga untuk
mengisyaratkan bahwa ketika berhutang, sudah harus tergambar dalam benak
bagaimana serta dari mana sumber pembiayaan yang akan diandalkan oleh
yang berhutang.
Ini secara tidak langsung mengantarkan sang Muslim untuk berhati-hati dalam
berhutang. Sedemikian keras tuntutan kehati-hatian, sampai-
sampai Nabi Saw enggan menshalati mayat yang berhutang dan tidak ada
yang menjamin hutangnya (HR. Abû Dâwûd dan an-Nasâ’î).
Selain itu semua, Nabi Saw bahkan bersabda, “Diampuni bagi syahid
semua dosanya kecuali hutang” (HR. Muslim dari ‘Amr bin al-Ash). Manusia
dalam hidup dan kehidupannya tidak dapat melepaskan diri dari hidup
berkelompok yang demikian sudah terlihat semenjak manusia itu lahir.
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; saya baca di
hadapan Malik; dari Abu Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mengulur-ulur waktu pembayaran hutang
bagi yang mampu adalah kezaliman, dan jika piutang salah seorang dari kalian
dialihkan kepada orang yang kaya, maka terimalah.
5. Asbabul wurud
Pada dasarnya sebab munculnya Hadis Hawalah ini ada kaitannya dengan
asbabul wurud Hadis Kafalah, akan tetapi penjelasan akan terbagi dua , yang
pertama yaitu tentang keharusan segera membayar hutang (oleh ahli waru) atau
menjaminnya sebelum disholatkan fardhu kifayah dan dikubur, dengan yang
kedua yaitu bolehnya menerima bantuan dari orang lain, baik secara normal
maupun dalam keadaan berhutang. Karena pada akhirnya di zaman Rasulullah
SAW, beliaulah yang turut serta melunasi utang para sahabat yang telah
meninggal dunia. Ada hadis yang artinya “ Barang siapa diberikan suatu
(pemberian ) tanpa dimintanya dan tidak pula (si pemberi) mencari kemuliaan (
istisyarah) maka sesungguhnya pemberian itu rezeki dari Allah, maka hendaklah
dia menerimanya dan janganlah dia menolaknya.”
7. Qiyas
Adapun secara qiyasnya, maka akad hawalah ini bisa diqiyaskan pada akad
kafalah, dimana masing- masing akad mempunyai illat yang sama, yaitu sama-
sama mengalihkan urusannya kepada orang lain.
8. Rukun Hawalah
Dalam Fatwa DSN-MUI No. 12/DSN-MUI/ IV/2000 tentang Hawalah,
disebutkan ketentuan- ketentuan tentang hawalah sebagai berikut:
a. Rukun hawalah adalah:
1) muhil, yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang;
2) muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil;
3) muhal ‘alaihi, yakni orang yang berhutang kepada muhal dan wajib membayar
utang kepada muhtal;
4) muhal bih, yakni utang muhil kepada muhtal; dan
5) sighat (ijab-qabul).
b. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan
cara-cara komunikasi modern. Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan
muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaihi.
d. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara
tegas.
e. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak- pihak yang terlibat hanyalah
muhtal dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal
‘alaih.18
9. Jenis-Jenis Hawalah dan Aplikasinya
Dalam aplikasinya hawalah dibagi ke dalam beberapa bagian sebagaimana
yang dikemukakan di dalam mazhab hanafi. Jika dilihat melalui objek akadnya,
hawalah terdiri dari dua macam, pertama hawalah al-haq (pengalihan hak
piutang), yaitu apabila yang dialihkan merupakan hak untuk menuntut
pembayaran utang. Kemudian hawalah ad-dain (pengalihan piutang), yaitu apabila
yang dialihkan itu adalah kewajiban untuk membayar utang. Adapun jika ditinjau
dari jenis akadnya, maka hawalah juga dibagi menjadi dua jenis, yaitu: hawalah
mutlaqah (pengalihan mutlak) dan hawalah muqayyadah (pengalihan bersyarat).
Yang dimaksud pengalihan mutlak adalah di mana muhil adalah orang yang
berhutang tetapi tidak berpiutang kepada muhal alaih. Dengan kata lain yaitu
pengalihan utang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran utang
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan atas penelitian yang didasarkan pada
interpretasi surat Al-Baqarah ayat 282 tersebut, dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Ajaran Islam sudah sangat jelas bagaimana memberikan aturan dan cara
dalam berbagai kehidupan, termasuk bagaimana mengelola pembukuan
dan pencatatan (akuntansi) untuk mewujudkan akuntansi yang islami
sehingga terciptanya keadilan dan keselamatan.
2. Pembahasan hawalah ini bertumpu pada perpindahan hutang. Kemudian
mayoritas ulama juga menerangkan bahwa akad hawalah menyebabkan
pembayaran hutang tidak lagi ditanggung oleh penghutang (Muhil), akan
tetapi tanggungannya sudah berpindah penuh seratus persen ke orang yang
menerima pengalihan hutang (Muhal Alaihi).
3. Sumber hukum Hawalah terdiri dari Al-Quran, Hadits-Hadits Nabi, Ijma ulama
4. Jika dilihat melalui objek akadnya, hawalah terdiri dari dua macam, pertama
hawalah al-haq (pengalihan hak piutang), yaitu apabila yang dialihkan
merupakan hak untuk menuntut pembayaran utang. Kemudian hawalah ad-
dain (pengalihan piutang), yaitu apabila yang dialihkan itu adalah kewajiban
untuk membayar utang. Adapun jika ditinjau dari jenis akadnya, maka
hawalah juga dibagi menjadi dua jenis, yaitu: hawalah mutlaqah (pengalihan
mutlak) dan hawalah muqayyadah (pengalihan bersyarat).
5. Berakhirnya akad Hawalah menurut jumhur ulama bahwa kewajiban pihak
pertama untuk membayar utang kepada pihak kedua secara otomatis menjadi
terlepas. Sedangkan menurut sebagian ulama mazhab Hanafi, antara
lain,Kamal ibn al-Humam, kewajiban itu masih tetap ada, selama pihak ketiga
belum melunasi utangnya kepada pihak kedua , karena sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, mereka memandang bahwa akad itu didasarkan atas
prinsip saling percaya, bukan prinsip pengalihan hak dan kewajiban.
DAFTAR PUSTAKA
Andri Rivai. “Produk Jasa Pada Bank Syariah Dan Aplikasinya.” WARAQAT :
Jurnal
Ilmu-Ilmu Keislaman 5, no. 1 (2020): 25.
E-issn, Volume Nomor P-issn, and Efrita Norman. “Reslaj : Religion Education
Social Laa Roiba Journal Manajemen Dana Pensiun Syariah Resah : Religion
Education Social Laa Roiba Journal” 3 (2021): 227–235.
Fadillah, Rahmat. “Hadis-Hadis Tentang Jasa (Fee-Based Served): Wakalah,
Kafalah, Hawalah.” Indonesian Interdisciplinary Journal of Sharia Economics
(IIJSE) 2, no. 2 (2020): 125–146.
Iwan, Ridwan, and Pengenalan Perbankan Syariah. “Implementasi Hawalah Dalam
Lembaga Keuangan Syariah” (n.d.).
Kasanah, Nur, and Mohammad Ghozali. “Analisis Hukum Terhadap Praktik Produk
Jasa Perbankan Syariah (Fee Based Service).” Jurnal Diklat Keagamaan
Vol.12, no. No.2 (2018): 97–105.
Kurniati, Vivi. “Halaman 1 Dari 67 Muka | Daftar Isi” (2017): 1–35.
Noor, Syafri M, and others. “Akad Hawalah (Fiqih Pengalihan Hutang)” (2019).
Sadhana Priatmadja. “Wakalah, Kafalah Dan Hawalah.” Muamalat 4, no.
September (2012): 1–24.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Rekonsiliasi bank adalah proses yang sangat penting dalam keuangan perusahaan.
Proses ini melibatkan pencocokan dan penyesuaian antara catatan transaksi atau saldo
antara perusahaan dan bank untuk memastikan keakuratan laporan keuangan setiap
periodenya. Selain itu, tujuannya adalah untuk mengidentifikasi perbedaan saldo yang
ada. Dengan melakukan rekonsiliasi bank secara teratur, perusahaan dapat menjaga
keseluruhan dana mereka terjaga dengan baik dan aman.
https://www.google.co.id/books/edition/Pengantar_Akuntansi_Basic_Accountin
g/v7OAEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=0
https://www.finansialku.com/rekonsiliasi-
bank/#:~:text=Menurut%20Munandar%20(2006%3A40)%3A,dengan%20saldo%20ya
ng%20dimiliki%20perusahaan.
https://www.gramedia.com/literasi/rekonsiliasi-bank