Oleh:
AL-FATAH JAYAPURA
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang . Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadiran-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah-Nya kepada kami, hingga Tugas makalah pada mata kuliah Fiqih Muamalah dengan
judul “Hiwalah” ini dapat terselesaikan.
Kami mengucapkan Banyak Terimakasih kepada Bapak Amirullah S.Ag, M.Ag. selaku
Dosen Mata Kuliah Fiqih Muamalah. Yang telah membimbing kami sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan tugas
perkuliahan kami selanjutnya.
Akhir kata kami ucapkan Terimakasih, serta kami berharap agar tugas makalah kami dapat
memberikan manfaat maupun pengetahuan terhadap pembaca.
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.....................................................................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN
1.1........................................................................................................................................Latar
Belakang........................................................................................................................1
1.2........................................................................................................................................Rum
usan Masalah.................................................................................................................1
1.3........................................................................................................................................Tuju
an Penulisan...................................................................................................................1
3.1. Kesimpulan...................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang sempurna. Maka dari itu Islam telah mengatur cara hidup
manusia dengan sistem yang serba lengkap dan detail. Termaksud cara bermuamalah
kepada sesama manusia, salah satu bentuk muamalah yang diatur dalam ajaran Islam
adalah masalah Pengalihan utang, atau dalam istilah syariah dinamakan dengan “al-
hiwalah” Pengalihan utang ini telah dibenarkan oleh syariat dan telah dipraktekan sejak
zaman nabi Muhammad SAW sampai sekarang.
Oleh karena itu perlu kita ketahui bagaimana prakteknya tentu juga kita harus
mengetahui ilmu dan teori dari kegiatan tersebut agar dapat mempraktekannya dengan
baik dan benar maupun dapat memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan Al-
Hiwalah.
1
BAB II
PEMBAHASAN
ْاِحْل اَلُة ْق الَّد ِن ِم ِذَّم ِة اْل ِح ِل ِإىَل ِذ َّم ِة اْل اِل َل ِه
ُم َح َع ْي ُم ْي َو َن ُل ْي ْن
Hiwalah adalah memindahkan utang dari tanggungan orang yang memindahkan
(al-muhil) kepada tanggungan orang yang dipindahi utang (muhal ‘alaih).
Syafi’iyah dan Hanabilah memberikan definisi hiwalah yang pada dasarnya hampir
sama dengan definisi di atas sebagai berikut.
1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta:PT. Pena Pundi Aksara,2009)hlm.175
2
Dari definisi tersebut dapat di ambil intisari bahwa hiwalah adalah pemindahan hak
berupa utang dari orang yang berutang (al-mudin) kepada orang lain yang dibebani
tanggungan pembayaran utang tersebut. Dalam hal ini hiwalah berbeda dengan khafalah
karena khafalah hanya mengumpulkan tanggungan di tangan penanggung (kafil) tanpa
memindahkan utang, sedangkan utangnya sendiri masih dalam tanggungan al-mudin.
ِل ِء
َم ْطُل اْلَغِيِن ُظْلٌم َو ِإَذا ُأْتِبَع َأَح ُد ُك ْم َعَل ُم ْي َف َي ْع
ِبَّت ْل
Menunda-nunda pembayaran oleh orang kaya adalah ke, dan apabila salah seorang di
antara kamu diikutkan (dipindahkan) kepada orang yang mampu, maka ikutilah (HR. Al-
Bukhari dan Muslim).
Hadist tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada pemilik
utang (ad-dain), apabila utangnya dipindahkan kepada orang lain yang kaya dan mampu,
hendaklah memindahkan tersebut diterima. Dengan demikian, penagihan utang
berpindah dari al-mudin kepada muhal ‘alaih. Hanya saja apakah perintah tersebut
menunjukkan wajib atau nadb (sunah). Menurut kebanyakan ulama Hanabilah, Ibnu
Jarir, Abu Tsaur, dan Zhahiriyah, pemilik utang wajib menerima pemindahan utang
tersebut. Akan tetapi menurut Jumhur ulama, perintah tersebut menunjukkan sunnah.
Disamping hadist tersebut dasar hukum hiwalah adalah ijma’. Semua ulama sepakat
tentang dibolehkannya Hiwalah dalam utang, bukan pada barang.
1. Rukun Hiwalah
Rukun hiwalah menurut Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab dari orang yang
memindahkan (al-muhil) dan qabul dari orang yang dipindahkan (al-muhal) dan yang
dipindahi utang (al-muhal’alaih). Sedangkan menurut Malikiyah rukun hiwalah ads
empat, yaitu:
3
a. Muhil (orang yang memindahkan)
b. Muhal bih (utang yang dipindahkan)
c. Muhal’alaih (orang yang dipindahi utang), dan
d. Shighat
Syafi’ah dan Hanabilah menambahkan dua rukun lagi, yaitu dua utang, utang muhal
kepada muhil dan utang muhil kepada muhal’alaih.
Muhil adalah orang yang memindahkan utang, yakni orang yang mempunyai utang
(al-mudin), sedangkan muhal adalah orang yang piutangnya dipindahkan (ad-dain), dan
muhal ‘alaihi adalah orang yang dipindahi utang, yakni orang yang dibebani tugas untuk
membayar utang.
Adapun Shigat yang digunakan dalam hiwalah adalah setiap kata atau lafal yang
mengandung arti pemindahan. Dalam ijab misalnya muhil mengatakan : “Utangmu saya
pindahkan kepada si fulan” Sedangkan qabul dari muhal dan muhal ‘alaih : “Saya
terima, atau saya setuju”.
Demikian pula persetujuan muhal (orang yang piutangnya dipindahkan) juga diperlukan,
karena utang tersebut miliknya yang semula berada dalam tanggungan muhil. Menurut
Hanabilah dan Zhahiriyah dalam hiwalah hanya diperlukan persetujuan muhil,
sedangkan muhal dan muhal ‘alaih wajib menerima pemindahan utang tersebut, karena
menurut mereka perintah dalam hadist yang dikemukakan diatas menunjukan wajib.
Menurut malikiyah dalam pendapat yang mansyuk dan Syafi’iyah, untuk sahnya hiwalah
disyaratkan persetujuan muhil dan muhal saja, sedangkan persetujuan muhal ‘alaih tidak
diperlukan, karena dia menjadi objek hak dan tassaruf.
2. Syarat-Syarat Hiwalah
Syarat-syarat hiwalah berkaitan dengan rukun, yaitu muhil, muhal, muhalaih dan muhal
bih.
a. Syarat-Syarat Muhil
Ada dua syarat yang diperlukan untuk muhil, yaitu sebagail berikut.
4
1) Muhil harus memiliki kecakapan untuk melakukan akad, yaitu ia harus baligh dan
berakal. Dengan demikian, hiwalah yang dilakukan oleh orang gila dan anak di
bawah umur hukumnya tidak sah.
2) Persetujuan muhil. Dengan demikian, apabila ia dipaksa untuk melakukan
Hiwalah maka hiwalah tidak sah. Hal tersebut dikarenakan Hiwalah adalah
pembebasan yang didalamnya terkandung kepemilikan sehingga apabila dilakukan
karena adanya paksaan maka akad akan fasid. Syarat ini disepakati oleh
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
b. Syarat-Syarat Muhal
Ada tiga syarat yang berkaitan dengan muhal, yaitu sebagai berikut.
1) Muhal harus memiliki kecakapan untuk melakukan akad, yaitu berakal dan baligh.
Hanya baligh menurut Hanafiah bukan syarat in’iqad melainkan syarat nafadz.
2) Persetujuan. Apabila muhal tidak menyetujui pemindahan utang tersebut maka
hiwalah hukumnya tidak sah.
3) Pernyataan qabul dari muhal harus diucapkan di dalam majelis akad hiwalah.
Syarat ini menurut Abu Hanifah dan Muhammad, merupakan syarat in’iqad,
sedangkan menurut Abu Yusuf syarat ini merupakan syarat nafadz.
c. Syarat-Syarat Muhal’Alaih
Syarat-syarat untuk muhal’alaih ada tiga macam, sama dengan syarat-syarat muhal,
yaitu.
1) Muhal ‘alaih harus memiliki kecakapan untuk melakukan akad, yakni harus
berakal dan baligh;
2) Muhal’alaih setuju atas pemindahan utang tersebut;
3) Qabul diucapkan di dalam majelis akad.
d. Syarat-syarat Muhal Bih
Ada dua syarat yang diperlukan untuk muhal bih, yaitu sebagai berikut.
1) Muhal bih harus berupa utang, yakni utang muhil kepada muhal. Apabila
objeknya bukan utang, maka akadnya bukan hiwalah, melainkan wakalah.
2) Utang tersebut adalah utang yang sudah tetap (lazim). Dengan demikian, hiwalah
tidak sah atas hamba mukatab dengan penukaran kitabah (angsuran pembebasan)
karena utang tersebut utang yang ghair lazim (tidak tetap). Hal ini dekarenakan
orang sayid (pemilik hamba sahaya) tidak ada kewajiban utang baginya atas
hambanya. Demikian pula hiwalah tidak sah apabila utang muhil yang ada dalam
tanggungan muhal ‘alaih ghair lazim (tidak tetap), seperti utang anak di bawah
5
umur dan pemborosan (safih) tanpa persetujuan walinya. Dalam hal ini utang
tersebut ghair lazim, karena wali berhak mengugurkan utang tersebut.
1) Utang yang menjadi objek hiwalah adalah utang yang sudah mantap.
2) Utang yang menjadi objek hiwalah (yang dipindahkan) harus sama dengan utang
yang ada pada muhal ‘alaih, baik sifatnya maupun ukurannya.
3) Kedua utang tersebut atau salah satunya bukan makanan yang berasal dari pesanan
(salam). 2
Ada yang berpendapat bahwa ridha muhtal tidak disyaratkan karena dia wajib
menerima pengalihan berdasarkan sabda Rasulullah SAW “dan apabila seorang
di antara kalian dialihkan (pembayaran piutangnya) kepada seseorang yang
kaya maka hendaklah dia mengikuti” Haknya adalah pembayaran piutang, baik
dari debitur sendiri maupun dari orang yang menggantikannya.
Tidak di syaratkannya ridha muhal ‘alaih adalah karena rasulullah SAW tidak
menyebutkannya dalam hadist. Muhil telah menempatkan muhtal pada posisi
dirinya dalam meminta pembayaran hak sehingga ridha orang yang berkewajiban
untuk membayar hak tidak dibutuhkan. Sementara menurut ulama mazhab Hanafi
dan al-Ashthakhri dari mazhab Syafi’i, ridha muhal ‘alaih juga di syaratkan
2. Persamaan dua hak dalam jenis, kuantitas, batas waktu pembayaran, dan kualitas.
Pengalihan tidak sah apabila utang berbentuk emas dan muhil mengalihkan
muhal untuk mengambil perak sebagai gantinya. Pengalihan tidak sah apabila
waktu pembayaran utang telah tiba dan muhil mengalihkan muhtal untuk
2
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta:Amzah, 2010)hlm.449-452
6
menerima pembayaran yang ditangguhkan. Begitu pula sebaliknya. Dan
pengalihan tidak sah apabila kedua hak berbeda dari segi kualitas atau salah satu
dari segi kualitas atau salah satu dari keduanya lebih banyak dari pada yang lain.
3. Tetapnya utang. Seandainya muhil mengalihkan Muhtal kepada seorang pegawai
yang belum mengambil upahnya, misalnya, maka pengalihan tidak sah.
4. Diketahui masing-masing dari kedua pihak.3
3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta:PT. Pena Pundi Aksara,2009)hlm.176-177
4
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta:Amzah, 2010)hlm.453-454
7
BAB III
PENUTUP
8
3.1. Kesimpulan
Adapun contoh hiwalah seperti Ali mempunyai hutang kepada Andi dan Andi
mempunyai hutang kepada Umar dalam jumlah yang sama. Karena Andi tidak mampu
membayar utangnya, ia berunding dengan Ali agar hutangnya itu ditagihkan kepada
Umar. Dalam hal ini, Umar yang berhubungan langsungsung dengan Ali, sedangkan
Andi terlepas dari tanggung jawab hutang.
DAFTAR PUSTAKA
9
Muslich Ahmad Wardi.2010. Fiqh Muamalat.(Jakarta:Amzah)
10