Anda di halaman 1dari 14

Kosep Hiwalah dan Mekanismenya

Disusun Oleh:

Thamrin Husin 1910100024

Wita Sari Wahyuni Hasibuan 1910100012

DOSEN PENGAMPU:
Wilda Rahma Nasution, M.H.

PRODI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PADANGSIDIMPUAN
2021/2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Segala puji dan syukur pada Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan
dan juga petunjuknya pada kita semua terlebih-lebih pada kami kelompok 5
sehingganya bisa menyelesaikan tugas mata kuliah Advokasi. Untaian sholawat
serta salam senantiasa tercurahakan kepada insan mulia Nabi Besar Muhammad
SAW, figur seorang pemimpin yang patut dicontoh dan diteladani.

Tugas makalah ini berjudul Konep Hiwalah dan Mekanismenya, ditulis


untuk melengkapi tugas mata kuliah Ekonomi Islam pada perkuliahan semester
lima dan semester tiga program studi Ahwal Al-Syakhsiyyah. Tugas ini disusun
dengan bekal ilmu pengetahuan yang sangat terbatas dan amat jauh dari
kesempurnaan, sehingga tanpa bantuan, bimbingan dan petunjuk dari dosen
pengampu maka sulit bagi kami menyelesaikannya. Oleh karena itu, dengan
kerendahan hati dan penuh rasa syukur, kami mengucapkan terimakasih.

Kami sadar masih banyak kekurangan dalam penulisan tugas ini. Jika ada
saran dan kritik yang membangun akan kami terima dengan senang hati. Akhir
kata dari kami, mudah-mudahan tugas ini bermafaat khususnya bagi kami dan
umumnya bagi kita semua.

Wassalmualaikum Wr.Wb

Padangsidimpuan, 12 Oktober 2021

Penulis,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Penelitian.........................................................................................2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hiwalah .....................................................................................3
B. Dasar Hukum Hiwalah.................................................................................4
C. Rukun dan Syarat Hiwalah...........................................................................4
D. Jenis jenis Hiwalah.......................................................................................7
E. Berakhirnya Akad Hiwalah..........................................................................7
F. Hiwalah yang Terlarang...............................................................................8
PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna. Dengan itu Islam telah mengatur cara
hidup manusia dengan sistem yang serba lengkap termasuk juga muamalah
manusia. Di antara muamalah Islam yang telah disistemkan kepada kita ialah
Hiwalah.
Hiwalah merupakan sistem yang unik yang sesuai untuk diadaptasikan
kepada manusia. karena hiwalah adalah sebahagian daripada kehidupan manusia
didalam muamalah. Hiwalah sering berlaku kepada permasalahan hutang piutang.
Maka sebahagian cara untuk menyelesaikan masalah muamalah ini perlulah
diketengahkan Hiwalah ini sebagai jalan menyelesaikan masalah.
Hiwalah bukan saja digunakan untuk menyelesaikan masalah hutang
piutang tetapi lebih dari itu ia juga berperanan sebagai pemindah dana dari
individu kepada individu yang lain atau kelompok atau juga perbankan sebagai
mana telah dipraktekkan dalam sistem perbankan. Penulis mengambil kesempatan
untuk mengkaji sedikit tentang hiwalah berkaitan dengan konsep hiwalah,
definisi, dalil pensyariatan, rukun dan syarat hiwalah.
Manusia tertuntut untuk memenuhi kebutuhannya yang beragam, diantara
mereka ada yang mampu memenuhinya dan ada yang belum. Banyak yang
berusaha guna mencapainya dengan berhutang satu sama lainnya. Kewajiban
orang yang berhutang yaitu melunasinya pada waktu yang telah disepakati.
Namun sebagian dari mereka ada yang menunda-nunda dalam melunasi
hutangnya tanpa alasan.
Sesungguhnya masalah penundaan dan keterlambatan dalam hal ini
merupakan masalah ekonomi yang serius bagi para pelaku ekonomi pada saat ini,
melihat adanya kedzaliman yang ditimbulkannya. Maka dengan melunasi hutang
tepat pada waktunya dan memenuhi segala aturan yang ditentukan merupakan
dasar kepercayaan. Oleh karena itu, Islam memberikan solusi bagi masalah ini,
dengan rumusan yang berkeadilan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hiwalah
2. Bagaimana konsep dan mekanisme Hiwalah

C. Tujuan
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Islam, dan juga untuk
mengetahui lebih dalam mengenai konsep hiwalah dan mekanismenya.dan juga
mengajak pera pembaca mendalami mengenai konsep hiwalah dan mekanismenya
Serta menambah wawasan keilmuan.
Pembahasan

A. Pengertian Hiwalah

Istilah Hiwalah secara etimologi berasal dari kata Tahwil yang bererti
Intiqal mengandung makna mengalih atau memindahkan. Dalam istilah para
ulama, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang
berutang) menjadi tanggungan muhal’alaih (orang yang berkewajiban membayar)
utang). Adapun hiwalah menurut para ulama adalh sebagai berikut.1

a. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud al-hiwalah adalah, Memindahkan


beban utang dari tanggung jawab muhil (orang yang berutang) kepada
tanggung jawab muhal ‘alaih (orang lain yang punya tanggung jawab
membayar utang pula).
b. Menurut Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, al-hiwalah adalah, Pemindahan atau
pengalihan hak untuk menuntut pembayaran utang dari satu pihak kepada
pihak yang lain.2

Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada orang
lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan
atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama, hiwalah adalah
pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan
muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).

Gambaran sederhananya adalah: Si A (muhal) memberi pinjaman kepada si B


(muhil), sedangkan si B masih mempunyai piutang pada si C (muhal ‘alaih).
Begitu si B tidak mampu membayar utangnya pada si A, ia mengalihkan beban
utang tersebut kepada si C. Dengan demikian, si C yang harus membayar utang si
B kepada si A, sedangkan utang si C sebelumnyayang ada pada si B dianggap
selesai.

1
Ensiklopedia Hukum Islam, jilid II, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm. 559.
2
Idris Ahmad, Fiqh Al-Syafi’iayah, (Jakarta: Karya Indah, 1986), hlm 47.
B. Dasar Hukum Hiwalah

a. Al-qur’an

َ َ‫َواِ ْن َكانَ ُذوْ ُعس َْر ٍة فَنَ ِظ َرةٌ اِ ٰلى َم ْي َس َر ٍة ۗ َواَ ْن ت‬


َ‫ص َّدقُوْ ا َخ ْي ٌر لَّ ُك ْم اِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُموْ ن‬
Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu
sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih
baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Q.S AL-BAQARAH: 280).3

b. Al-Hadis

Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya


merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang
yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima pengalihan
tersebut)”.(HR alBukhari dan Muslim).

c. Ijma

Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada hutang


yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah perpindahan utang,
oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial.4

C. Rukun dan Syarat Hiwalah

Rukun Hiwalah

Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan


hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak
kedua dan pihak ketiga. Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun
hiwalah ada enam yaitu:

1. Pihak pertama, muhil yakni orang yang berhutang dan sekaligus


berpiutang.

3
Al-Qur’an dan Terjemahan Surah Al-Baqarah: 280
4
Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Dar Al-Fikr, Jus 2, (Jakarta: Beirut, 2012), hlm. 37
2. Pihak kedua, muhal atau muhtal yakni orang berpiutang kepada muhil.
3. Pihak ketiga muhal ‘alaih yakni orang yang berhutang kepada muhil
dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
4. Ada hutang pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih yakni hutang
muhil kepada muhtal.
5. Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama, Utang muhal ‘alaih
kepada muhil.
6. Ada sighoh (pernyataan hiwalah) Penjelasan, umpama A (muhil)
berhutang dengan B (muhal) dan A berpiutang dengan C (muhal
alaih), jadi A adalah orang yang berhutang dan berpiutang , B hanya
berpiutang dan C hanya berhutang. Kemudian A dengan persetujuan B
menyuruh C membayar hutangnya kepada B, setelah terjadi aqad
hiwalah, terlepaslah A dari hutangnya kepada B, dan C tidak berhutang
dengan A, tetapi hutangnya kepada A, telah berpindah kepada B
bererti C harus membayar hutangnya itu kepada B tidak lagi kepada
A.5

Syarat Hiwalah

Syarat yang harus dipenuhi untuk terjadinya pemindahan hutang dari


pihak penghutang kepada pihak ketiga adalah sebagai berikut:

a. Kerelaan dari Muhil (orang yang berhutang), karena kerelaan dari


seorang muhil merupakan syarat terjadinya kontrak hawalah.
b. Adanya persetujuan dari pemberi hutang atau Muhtal yang haknya
dialihkan kepada orang lain.
c. Keberadaan hutang tetap di dalam jaminan atau dijamin
pelunasannya.
d. Adanya kesepakatan antara orang yang menanggung hutang
(Muhal alaih) dengan orang yang mengalihkan hutang (Muhil).

5
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: gema Insani,
2012), hlm. 127
Para ulama fiqh dari kalangan Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali
berpendapat bahawa perbuatan Hiwalah menjadi sah apabila terpenuhi syarat-
syarat yang berkaitan dengan pihak pertama, kedua, dan ketiga, serta yang
berkaitan dengan utang itu sendiri.6

Syarat yang harus diperlukan pada pihak pertama ialah:

a. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu: Baliq


dan berakal. Hiwalah tidak sah jika dilakukan oleh kanak-kanak,
miskipun ia sudah mengerti (mumayyiz), ataupun dilakukan oleh
orang yang gila.
b. Adanya pernyataan persetujuan (ridha). Jika pihak pertama dipaksa
untuk melakukan Hiwalah maka akad tersebut tidak sah. Adanya
persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahawa sebahagian orang
merasa keberatan dan terhina harga dirinya, jika kewajibannya untuk
membayar utang dialihkan kepada pihak lain, miskipun pihak lain itu
memang berhutang kepadanya.

Syarat yang diperlukan pada pihak kedua ialah :

a. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baliq dan berakal,


sebagaimana yang pertama.
b. Mazhab Hanafi, sebahagian besar mazhab Maliki, dan mazhab Syafi‟i
mensyaratkan adanya persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama
yang melakukan Hiwalah. Persyaratan ini berdasarkan pertimbangan
bahawa kebiasaan orang dalam membayar utang berbeda-beda, ada
yang mudah dan ada yang sulit membayarnya, sedangkan menerima
pelunasan utang itu merupakan hak pihak kedua. Jika perbuatan
Hiwalah dilakukan secara sepihak sahaja, pihak kedua dapat sahaja
merasa dirugikan, misalnya, apabila ternyata bahawa pihak ketiga sulit
membayar utang tersebut.

Syarat yang diperlukan bagi pihak ketiga ialah :


6
Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema
Insani, 2001), hlm. 117
a. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, sebagaimana
syarat pada kedua pihak sebelumnya.
b. Ulama Hanafi mensyaratkan adanya pernyataan persetujuan dari
pihakk ketiga. Sedangkan ketiga pihak mazhab lainnya tidak
mensyaratkan hal itu.

D. Jenis-Jenis Hiwalah

1. Hiwalah Muthlaqoh

Hiwalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada
orang lain (orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga
tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang
kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak
punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hiwalah ini disebut Muthlaqoh.

2. Hiwalah Muqoyyadah

Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal


kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah
hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama. Ketiga madzhab
selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hiwalah
muqayyadah dan mensyaratkan pada hiwalah muqayyadah agar utang muhal
kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun
jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hiwalahnya. Tetapi
jika salah satunya berbeda, maka hiwalah tidak sah.7

E. Akad Al-Hiwalah Berakhir

Akad al-hiwalah berakhir jika terjadi hal-hal berikut:

a. Salah satu pihak yang melakukan akad tersebut membatalkan akad


alhiwalah, sebelum akad itu berlaku secara tetap.
7
Sunarto Zulkifli, Panduanj Praktis Perbankan Syariah, (Jakarta: Zukrul Hakim, 2016),
hlm 30
b. Muhal melunasi utang yang dialihkan kepada muhal ‘alaih.
c. Muhal meninggal dunia, sedangkan muhal ‘alaih merupakan ahli waris
yang mewarisi harta muhal.
d. Muhal ‘alaih menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan
utang dalam akad hiwalah tersebut kepada muhal.
e. Muhal membebaskan muhal ‘alaih dari kewajibannya untuk membayar
utang yang dialihkan tersebut.
f. Menurut Mazhab Hanafi, hak muhal tidak dapat dipenuhi karena pihak
ketiga mengalami pailit (bangkrut) atau wafat dalam keadaan pailit.
Adapun menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, selama akad
alhiwalah sudah berlaku tetap karena persyaratan sudah dipenuhi, akad
alhiwalah tidak dapat berakhir dengan alasan pailit.

F. Akad Al-Hiwalah Yang Terlarang

Ada beberapa bentuk akad al-hiwalah (pengalihan utang) yang melanggar


aturan syariat yang biasa terjadi di tengah masyarakat, di antaranya:

1. Menjual utang tak tertagih

Hal ini sering dilakukan oleh seseorang atau suatu lembaga keuangan,
dengan cara menjual utang yang sulit tertagih. Biasanya, jual beli utang dilakukan
dengan nilai yang lebih rendah dari nilai utang yang tak tertagih. Misalnya, A
mempunyai piutang sebesar 10 juta pada B. Piutang A yang ada pada B sulit
tertagih sehingga A menjual piutangnya ke C sebesar 8 juta. Dengan demikian, C
mendapat keuntungan 2 juta, meskipun piutang belum pasti bisa tertagih. Ini jelas
riba karena dalam akad murabahah (jual beli) harus ada objek (barang atau jasa)
yang diperjualbelikan, sedangkan dalam hal ini, yang diperjualbelikan adalah
piutang. Padahal, piutang tidak boleh dijadikan objek yang bisa mendatangkan
manfaat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dilarang (tidak
boleh) melakukan transaksi salaf bersamaan dengan transaksi jual beli.” (HR. Abu
Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah). Yang dimaksud "salaf" ialah
'piutang'. Diriwayatkandari shahabat Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhum bahwa mereka semua melarang setiap piutang yang
mendatangkan manfaat karena piutang adalah suatu akad yang bertujuan untuk
memberikan uluran tangan (pertolongan). Oleh karena itu, bila pemberi piutang
mempersyaratkan suatu manfaat, berarti akad piutang tersebut telah keluar dari
tujuan utamanya.

2. Menjual giro

Menjual giro (cek mundur) sering juga dilakukan oleh seeorang ketika dia
membutuhkan uang yang bisa didapatkan segera sebelum tanggal pencairan giro.
Dia menjual giro itu di bawah nilai yang tertera dalam giro tersebut. Ini jelas riba
karena sama dengan "jual beli piutang" atau piutang dijadikan objek yang bisa
mendatangkan manfaat. Misalnya, A mempunyai giro dengan nilai 5 juta, dan itu
bisa dicairkan pada tanggal 30 Februari 2011. Kemudian, sepuluh hari sebelum
pencairan, yaitu tanggal 20 Februari 2011, giro tersebut dijual kepada B senilai 4
juta. Dengan demikian, B mempunyai untung sebesar 1 juta yang bisa dia cairkan
pada tanggal 30 Februari 2011. Dalam akad seperti ini, ribanya sudah tumpang
tindih. Gironya saja sudah riba karena mengandung gharar(ketidakjelasan) apakah
pasti bisa cair atau tidak. Bisa jadi, ketika pencairan, ternyata giro itu kosong.
Sudah gironya mengandung gharar, diperjualbelikan pula.

Kesimpulan
Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada
orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan
tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama,
hiwalah adalah pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang)
menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).

Hiwalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama)


kepada orang lain (orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak
ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama.

Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan


Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal.
Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.

Daftar Pustaka
Ahmad Idris. Fiqh Al-Syafi’iyah. Jakarta. Karya Indah. 1997

Al-Qur’an dan Terjemahan Surah Al-Baqarah: 280

Antonio Syafi’I Muhammad. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta. Gema
Insani. 2012

Al-Bukhari Ismail Bin Muhammad. Dar Al-fikr. Jakarta. Beirut. 2012

Ensiklopedia Hukum Islam. Jilid II. Jakarta. Karya Indah. 1986.

Karim A Adiwarman. Ekonomi Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta. Gema Insani.


2001

Zulkifli Sunarto. Praktik Perbankan Syariah. Jakarta. Zukrul Hakim. 2016

Anda mungkin juga menyukai