Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH FIQIH MUAMALAH

PENYELESAIAN HUTANG PIUTANG

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 12

1. GITA YULANDA SAPUTRI


2. MELISA MUTIARA
3. M. ROISUL AMIEN

DOSEN PEMBIMBING
Dr. ROZALINDA, M.Ag
MUTHIA ULFAH, MA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


IMAM BONJOL PADANG
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat

dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah penulis yang berjudul

“Penyelesaian Hutang piutang”. Pada makalah ini penulis banyak mengambil dari berbagai sumber

dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak oleh sebab itu, dalam kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penyusunan makalah ini.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu

penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan

makalah ini. Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat

bermanfaat untuk semua pihak yang membaca.

Padang, 22 Mei 2021


Penulis

Kelompok 12

 
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................

DAFTAR ISI..........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................

A. Latar Belakang.......................................................................................................

B. Rumusan Masalah.................................................................................................

C. Tujuan....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................

A. Kafalah / Dhamanah..............................................................................................

B. Hiwalah..................................................................................................................

C. Taflis......................................................................................................................

D. Hajru (Pengampunan)............................................................................................

BAB III PENUTUP...............................................................................................................

A. Kesimpulan............................................................................................................

B. Saran......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutang piutang merupakan bentuk muamalah yang bercorak muamalah (pertolongan)


kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Hadits)
sangat kuat menyerukan prinsip hidup gotong royong. Menghutangi atau memberikan sesuatu
kepada orang lain dengan mengembalian yang sama adalah sunnah, karena mengandung unsur
tolong menolong, menghilangkan kesulitan orang lain ini termasuk sunnah-sunnah muakad.
Memberi kemudahan dengan hutang jika penghutang tidak sedang madharat hukumnya sunnah dan
jika dalam keadaan madharat hukumnya wajib.
Dalam Islam, orang kaya harus membelanjakan hartanya di jalan Allah SWT dengan cara
membantu orang yang dalam kesulitan, tetapi pada kenyataanya ada orang kaya atau orang yang
sudah merasa cukup belum bisa menjalankan syariat agama. Hal ini disebabkan karena mereka
kurang mengindahkan terhadap pemahaman agama yang telah mereka anutsejak dulu
Begitu juga halnya dengan dunia perbankan, terdapat praktek muamalah yang dijalankan
dalam setiap produk yang ditawarkan. Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan
sehubungan dengan kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Islam, baik Bank Umum
Syariah maupun Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Perbankan Syriah juga menerima jasa-jasa
seperti Al-Kafalah, Al-Hiwalah, Al-Wakalah, Ar-Rahn dan al-Joalah sebagai bentuk keikutsertaan
dalam kehidupan bermuamalah di tengah masyarakat.
Dari pelaksanaan hutang piutang tersebut, tidak menutup kemungkinan adanya pihak yang
dirugikan oleh karena kemungkinan timbulnya penyesalan salah satu di antara kedua belah pihak
yang melakukan hutang piutang. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di
atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam makalah Fiqih
Mualamah yang berjudul “Penyelesaian Hutang Piutang”

B. Rumusan Masalah
E. Apa itu Kafalah / Dhamanah ?
F. Apa itu Hiwalah ?
G. Apa Itu Taflis ?
H. Apa itu Hajru (Pengampunan) ?
C. Tujuan
A. Untuk mengetahui apa itu Kafalah / Dhamanah.
B. Untuk mengetahui apa itu Hiwalah.
C. Untuk mengetahui apa Itu Taflis.
D. Untuk mengetahui apa itu Hajru (Pengampunan).
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kafalah / Dhamanah
Pengertian Kafalah
Al-kafalah berasal dari kata ‫ كفل ــُـ‬ (menanggung) merupakan jaminan yang diberikan
oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau
yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab
seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
Pada dasarnya akad kafalah merupakan bentuk pertanggungan yang biasa dijalankan oleh
perusahaan.

Dasar Hukum Kafalah


Dasar humum untuk akad kafalah ini dapat dilihat di dalam al-Qur'an, al-Sunnah dan
kesepakatan para ulama, sebagai berikut
1. Al-Qur’an

Artinya: Ya’qub berkata: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya [pergi] bersama-sama
kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu
pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh". Tatkala
mereka memberikan janji mereka, maka Ya’qub berkata: "Allah adalah saksi terhadap apa
yang kita ucapkan [ini]". (66)
2. As-Sunnah
Jabir r.a. menceritakan: “Seorang laki-laki telah meninggal dunia dan kami telah
memandikannya dengan bersih kemudian kami kafani, lalu kami bawa kepada Rasulullah
SAW. Kami bertanya kepada beliau: "Apakah Rasulullah akan menshalatkannnya?".
Rasulullah bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjuwab: "Ya, dua dinar."
Rasulullah kemudian pergi dari situ. Berkatalah Abu Qatadah : "Dua dinar itu tanggung
jawabku." Karenanya, Rasulullah SAW. bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menunaikan
hak orang yang memberi hutang dan si mayit akan terlepas dari tanggung jawabnya."
Rasulullah lalu menshalatkannya. Pada keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu
Qatadah tentang dua dinar itu dan dijelaskan, bahwa ia telah melunasinya. Rasulullah SAW.
bersabda: "Sekarang kulitnya telah sejuk." (H.R. Bukhari).
Rasulullah SAW. bersabda: "Hutang itu harus ditunaikan, dan orang yang
menanggung itu harus membayarnya." (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi dan dishakhihkan oleh
Ibnu Hibban).

Rukun
1. Adh-Dhamin (orang yang menjamin)
2. Al-Madhmun lahu (orang yang berpiutang)
3. Al-Madhmun ‘anhu (orang yang berhutang)
4. Al-Madhmun (objek jaminan) berupa hutang, uang, barang atau orang
5. . Sighah (akad/ijab)

Syarat
1. Kafil yaitu orang yang menjamin dimana ia disyaratkan sudah baligh, berakal, merdeka
dalam mengelola harta bendanya/tidak dicegah membelanjakan hartanya dan dilakukan
dengan kehendaknya sendiri.
2. Mafkul lahu. yaitu orang yang berpiutang, Syaratnya yang berpiutang diketahui oleh orang
yang menjamin karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan, ada yang keras dan ada
yang lunak.
3. Makful ‘anhu adalah orang yang berutang, tidak disyaratkan baginya kerelaan terhadap
penjamin karena pada prinsipnya hutang itu harus lunak, baik orang yang berhutang rela
maupun tidak. Namun lebih baik dia rela/ridha.
4. Al-Makful adalah utang, barang atau orang. Disebut juga madmun bih atau makful bih.
Disyaratkan pada makfuln dapat diketahui dan tetap keadaannya (ditetapkan), baik sudah
tetap maupun akan tetap.
5. Sighat atau lafadz adalah pernyataan yang diucapkan oleh penjamin, disyaratkan keadaan
sighat mengandung makna menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti
sementara.

Macam-macam Orang Yang Dapat Ditanggung


Mengenai siapa orang-orang yang dapat ditanggung, para ulama fikih menyatakan,
bahwa pada dasarnya setiap orang dapat menerima jaminan/tanggungan tersebut. Mereka hanya
berbeda pendapat mengenai orang yang sudah wafat (mati) yang tidak meninggalkan harta
warisan. Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi'i, hal yang demikian boleh ditanggung.
Alasannya adalah dengan berpedoman pada Hadis tersebut di atas tentang ketidaksediaan Nabi
SAW. menshalatkan jenazah karena meninggalkan sejumlah hutang. Sedangkan Imam Hanafi
menyatakan tidak boleh, dengan alasan bahwa tanggungan tersebut tidak berkaitan sama sekali
dengan orang yang tidak ada. Berbeda halnya dengan orang yang pailit.
Jumhur fuqaha' juga berpendapat tentang bolehnya memberikan tanggungan kepada
orang yang dipenjara atau orang yang sedang dalam keadaan musafir. Tetapi Imam Abu
Hanifah tidak membolehkannya.

Obyek Tanggungan
Mengenai obyek tanggungan, menurut sebagian besar ulama fikih, adalah harta. Hal ini
didasarkan kepada Hadis Nabi SAW: “Penanggung itu menanggung kerugian.” Sehubungan
dengan kewajiban yang harus dipenuhi oleh penanggung adalah berupa harta, maka hal ini
dikategorikan menjadi tiga hal, sebagai berikut:
1. Tanggungan dengan hutang, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi tanggungan
orang lain. Dalam masalah tanggungan hutang, disyaratkan bahwa hendaknya, nilai barang
tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi tanggungan/jaminan dan bahwa barangnya
diketahui, karena apabila tidak diketahui, maka dikhawatirkan akan terjadi gharar.
2. Tanggungan dengan materi, yaitu kewajiban menyerahkan materi tertentu yang berada di
tangan orang lain. Jika berbentuk bukan jaminan seperti 'ariyah (pinjaman) atau wadi 'ah
(titipan), maka kafalah tidak sah.
3. Kafalah dengan harta, yaitu jaminan yang diberikan oleh seorang penjual kepada pembeli
karena adanya risiko yang mungkin timbul dari barang yang dijual- belikan.

Macam-macam Kafalah
1. Kafalah bi al-mal, adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang. Bentuk
kafalah ini merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan
kepada para nasabahnya dengan imbalan/fee tertentu.
2. Kafalah bi an-nafs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal ini, bank dapat
bertindak sebagai Juridical Personality  yang dapat memberikan jaminan untuk tujuan
tertentu.
3. Kafalah bi at-taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin pengembalian barang
sewaan pada saat masa sewanya berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan
oleh bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan,
leasing company. Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan, dan
pihak bank diperbolehkan memungut uang jasa/fee  kepada nasabah tersebut.
4. Kafalah al-munjazah, adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu dan untuk
tujuan/kepentingan tertentu. Dalam dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan
bentuk performance bond  (jaminan prestasi).
5. Kafalah al-mu’allaqah, Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-
munjazah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula.

Akibat-akibat Hukum Kafalah


Apabila orang yang ditanggung tidak ada (pergi atau menghilang), maka kafil
berkewajiban menjamin sepenuhnya. Dan ia tidak dapat keluar dari kafalah, kecuali dengan
jalan memenuhi hutang yang menjadi beban 'ashil (orang yang ditanggung). Atau dengan jalan,
bahwa orang memberikan pinjaman (hutang) -dalam hal ini bank- menyatakan bebas untuk
kafil, atau ia mengundurkan diri dari kafalah. la berhak mengundurkan diri, karena memang itu
haknya.
Adapun yang menjadi hak orang/bank (sebagai makful lahu) menfasakh akad kafalah dari
pihaknya. Karena hak menfasakh ini adalah hak makful lahu. Dalam hal orang yang ditanggung
melarikan diri, sedangkan ia tidak mengetahui tempatnya, maka si penanggung tidak wajib
mendatangkannya, tetapi apabila ia mengetahui tempatnya, maka ia wajib mendatangkannya,
dan si penanggung diberikan waktu yang cukup untuk keperluan tersebut.

Manfaat Kafalah
Kafalah yang diberikan oleh bank sangat mendukung transaksi bisnis yang dilakukan
oleh pihak-pihak terkait, karena dapat memberikan rasa aman dan kondusif bagi kelangsungan
bisnis maupun proyek-proyek tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah
disepakati. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kafalah memberian manfaat bagi :
1. Pihak yang dijamin (nasabah), bahwa dengan kafalah yang diberikan oleh bank, nasabah
bisa mendapatkan/mengerjakan proyek dari pihak ketiga, karena biasanya pemilik proyek
menentukan syarat-syarat tertentu dalam mengerjakan proyek yang mereka miliki.
2. Pihak yang terjamin (pemilik proyek), bahwa dengan kafalah yang diberikan oleh bank,
pemilik proyek mendapat jaminan bahwa proyek yang akan dikerjakan oleh nasabah tadi
akan diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, karena kafalah merupakan
pengambilalihan risiko oleh bank apabila nasabah cidera janji melaksanakan
kewajibannya.
3. Pihak yang menjamin (bank), bahwa dengan kafalah yang diterbitkan oleh bank, maka
pihak bank akan memperoleh fee yang diperhitungkan dari nilai dan risiko yang
ditanggung oleh bank atas kafalah yang diberikan.
B. Hiwalah
Pengertian Hiwalah
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah
memindahkan atau mengoperkan. Maka Aburrahman Al-Jaziri, berpenapat bahwa yang
dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah :
ِّ‫اَلنَّ ْق ُل ِم ْن َم َح ٍّل ِإلَى َم َحل‬

“Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.”


Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah, para ulam berbea-beda dalam
mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut :
1. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah :
‫نَ ْق ُل ْال ُمطَالَبَ ِة ِم ْن ِذ َّم ِة ْال َم ْديُوْ ِن ِإلَى ِذ َّم ِة ْال ُم ْلتَ َز ِم‬
“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya
tanggung jawab kewajiban pula.”
2. Al-Jazir sendiri sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah ialah :
‫نَ ْق ُل ال َّد ْي ِن ِم ْن ِذ َّم ٍة ِإلَى ِذ َّم ٍة‬
“Pernikahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain.”
3. Syihab Al-Din Al-Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah ialah :
ِ َ‫َع ْف ٌد يَ ْقت‬
َ َ‫ضى اِ ْنتِق‬
‫ال َد ْي ٍن ِم ْن ِذ َّم ٍة ِإلَى ِذ َّم ٍة‬
“Akad yang menetapkan pemindahan bebean utang dari seseorang kepada yang lain.”
4. Ibrahim Al-Bajuri berpendapat bahwa hiwalah ialah :
ِ ‫ق ِم ْن ِذ َّم ِة ْال ُم ِح ْي ِل ِإلَى ِذ َّم ِة ْال ُم َح‬
‫ال َعلَ ْي ِه‬ َّ ‫نَ ْق ُل ْال َح‬
“Pemindahan kewaikban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima
pemindahan. ”
5. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud dengan hiwalah ialah :
‫اِ ْنتِقَا ُل ال َّدي ِْن ِم ْن ِذ َّم ٍة ِإلَى ِذ َّم ٍة‬
“Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.”

Landasan Hukum Hiwalah


1. Al-Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar”
2. Hadits
ْ ‫ َم‬: ‫صلَّى هّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّم‬
‫ط ُل ال َغنِ ِّي ظُ ْل ٌم فَِإ َذا َأ ْتبَ َع َأ َح ُد ُك ْم َعلَى‬ َ ِ ‫ض َي هّللا َع ْنهَ اَ َّن َرسُوْ َل هّللا‬
ِ ‫ع َْن اَبِ ْي هُ َري َْرةَ َر‬
‫َملِي ٍء فَ ْليَتَّبِ ْع‬
"Menunda (pembayaran hutang) oleh orang yang telah mampu membayar itu suatu
penganiayaan. Apabila salah seorang di antara kamu hutangnya dilimpahkan kepada orang
yang mampu, hendaklah kamu menerima”.
3. Ijma’
Kesepakatan ulama (ijma’) menyatakan bahwa hiwalah boleh dilakukan

Rukun dan Syarat Hiwalah


Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu yaitu ijab dan kabul yang dilakukan antara
yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Syarat-syarat hiwalah hiwalah menurut
Hanafiyah ialah :
1. Orang yang memindahkan utang (muhil), adalah orang yang berakal, maka batal hiwalah
yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau masih kecil.
2. Orang yang menerima hiwalah (rah al-dayn), adalah orang yang berakal, maka batallah
hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
3. Orang yang dihiwalahkan (muhal alaih) juga harus orang berakal dan disyaratkan juga ia
meridhainya.
4. Adanya utang muhil kepada muhal alaih.
Menurut Syafi’iyah, rukun hiwalah itu ada empat, sebagai berikut :
1. Muhil, yaitu oran yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan utang.
2. Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai utang kepada muhil.
3. Muhal ‘alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.
4. Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil.
5. Shigat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya: “aku hiwalahkan utangku yang
hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul dari muhtal dengan kata-katanya : “aku terima
hiwalah engkau.”

Beban Muhil Setelah Hiwalah


Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata
muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka
muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil. Hal ini adalah pendapat jumhur ulama.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang kafir
yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada
muhil.Menurut Imam Malik, orang yang menghiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian
muhal ‘alaih mengalami kebagnkrutan atau meniggal dunia ia belum membayar kewajiban,
maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih, dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal’ alaih
mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang mengutangkan (muhal)
kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.

Hiwalah dalam Perbankan Syariah


Al-Hiwalah, yaitu jasa pengalihan tanggung jawab pembayaran utang dari seseorang yang
berutang kepada orang lain. Contoh : Tuan A karena transaksi perdagangan berutang kepada
Tuan C. Tuan A mempunyai simpanan di Bank, maka atas permintaan tuan A, bank dapat
melakukan pemindahbukuan dana pada rekening tuan A untuk keuntungan rekening C. Atas
jasa pengalihan utang ini bank memperoleh fee.
Ketentuan umum al-hiwalah ini diatur dalam Fatwa DSN No. 12/DSN-MUI/IV/2000,
dengan isi ketentuannya sebagai berikut :
1) Rukun hiwalah adalah muhil yaitu orang yang berutang dan sekaligus berpiutang kepada
muhal, muhal atau muhtal adalah orang yang berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih yaitu
orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, dan sighat
(ijab kabul).
2) Pernyataan ijab dan kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara
komunikasi modern.
4) Hiwalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
5) Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan kdlam akad secara tegas.
6) Jika transaksi hiwalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalahmuhal dan muhal
‘alaih dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.

C. Taflis
Pengertian Taflis
Taflis atau bangkrut secara Bahasa yaitu : fallasa –taflisan yang artinya tidak memiliki harta.
Sedangkan orang yang pailit disebut dengan muflis . Secara istilah definisi taflis adalah :
‫جعل الحاكم المديون مفلسان بمنعه; من التصرف في ماله‬  
“Keputusan hakim terhadap orang yang berhutang sebagai orang yang bangkrut yang

menyebabkannya ia terlarang untuk melakukan tindakan hukum terhadap hartanya”.

Dalam fiqih dikenal dengan sebutan iflas (tidak memiliki harta) sedangkan orang yang pailit

disebut muflis dan keputusan hakim yang menyatakan bahwa seseorang jatuh pailit disebut taflis.

Para fuqaha mendefinisikan taflis adalah : orang yang banyak utang dan tidak bisa
membayar utangnya sehinga hakim menyatakannya bangkrut.
Dengan demikian taflis merupakan keadaan seseorang yang banyak utang yang
menyebabkan ia tidak dapat membayar semua utang dengan harta yang dimilikinya sehingga hakim
menyatakan ia bangkrut yang berakibat ia terlarang melakukan tindakan hukum terhadap harta yang
dimilikinya.
Sementara itu  pailit menurut staastsblad 1905 No. 217 jo Staa blad 1906 No 348 tentang
kepailitan adalah setiap debitur yang tidak mau membayar utangnya dan berhenti membayar utang
tersebut baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang kreditor atau beberapa orang
kreditor yang dinyatakan dengan keputusan hakim yang menyatakan bahwa debitur yang
bersangkutan berada dalam keadaan pailit.
Dalam  Undang-Undang No 4 Tahun 1998 tentang Penentapan Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 1998 tentang kepalitan . Dinyatakan bahwa  pailit adalah
bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak mampu membayar sedikitnya satu

utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.


Dasar Hukum Taflis
Sebagai landasan dasar hukumnya adalah sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasullah
SAW: “ Bahwa nabi melarang Muadz untuk menjual hartanya karena utang yang ia tanggung.
Lalu , beliau membagikannya kepada orang-orang yang memberinya pinjaman hingga masing-
masing mendapatkan 5/7dari hak mereka. Nabi Saw berkata kepada mereka:
َ ‫لَي‬  ‫لَ ُك ْمء‬   ‫ِإاَّل‬ )‫ك (رواهالدارقطنى والحاكم‬
‫ْس‬ َ ِ‫َذل‬
“ Tidak ada yang dapat diberikan  kepada kamu selain itu “.( HR. Daru-Quthni dan al-Hakim)
Berdasarkan hadits diatas ulama fiqih telah sepakat menyatakan bahwa seorang hakim
berhak menetapkkan seorang (debitur) pailit karena tidak mampu membayar hutang-hutangnya .
Dengan demikian secara hukum terhadap sisa hartanya itu hutang harus dilunasi.

Syarat-Syarat Penetapan Taflis


     Seseorang  dinyatakan pailit harus memenuhi keadaaan yaitu :
     a. Utangnya menghabiskan harta.
     b. Ia dituntut untuk melunasi hutangnya.
     c. Dinyatakan pailit dengan keputusan hakim.
Sedangkan   syarat-syarat yuridis seseorang atau perusahan dapat dintyatakan pailit dalam
undang-undang kepalitan , Undang-Undang no4 thn 1998 tentang kepalitan  pasal 1 dan uu no 37
thun 2004 pasal 2 adalah permohonan pernyataan pailit diajukan oleh orang yang berhak yaitu:
a. Pihak debitur
b. Satu atau lebih kreditur
c. Jaksa untuk kepentingan umum
d. Bank Indonesia jika debiturnya bank
e. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPPEPAM) Jika  Debiturnya perusahan efek , Bursa Efek,
Lembaga kliring dan penjamin, Lembaga Penyimpanan dan penyelesaian.
f. Mentri keuangan jika debiturnya perusahaan Asuransi . Perusahan Reasuransi, Dana Pensiun
arau BUMN yang bergerak dibidang publik.
Dengan demikian seseorang dinyatakan pailit bila debiturnya mempunyai dua atau lebih
kreditor dan tidak membayar lunas setidaknya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditangih
dinyatakan pailit dengan  keputusan pengadilan , baik atas permohonannya sendiri , maupun atas

satu atau lebih kreditornya.


Pernyataan Pailit
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan pailit seseorang, ulama mazhab maliki
mengemukakan pedapatnya secara rinci :
a. Sebelum  seseorang dinyatakan  pailit para kreditor berhak melarang debitor pailit bertindak
secara hukum terhadap sisa hartanya, seperti berwasiat, menghadiahkan hartanya dan melakukan
akad mudhrabah dengan pihak lain.
b. Persoalan hutang-piutang ini diajukan kepada hakim dan pihak debitur dan kreditur dapat
melakukan as-Shulh perdamaian . dalam hal ini debitur tidak dibenarkan bertindak secara hukum
terhadapn sisa hartanya, Apabila terjadi as –Shulh  maka kreditor  (lebih dari satu orang atau
bank) dapat membagi sisa hartanya , sesuai  dengan persentase piutang masing-masing.
c. Pihak kreditor mengajukan gugatan kepada hakim , supaya debitur dinyatakan pailit dan
mengambil sisa hartanya untuk pembayaran hutang.
Setelah mendapat keputusan , sisa harta dapat diberikan kepada kreditor ( satu orang atau
lebih). Jumhur ulama berpendapat  bahwa seseorang dapat dinyatakan pailit setelah mendapat
keputusan hakim. Dengan demikian , segala tindakan  debitur terhadap hartanya , masih dapat
dibebaskan. Oleh sebab itu para hakim  yang mendapat pengaduan harus  segera mengambil  suatu
keputusan , agar debitur tidak leluasa  melakukan aktifisnya.

Status  Hukum Muflis ( Debitur Pailit)


 Seseorang dikatakan bangkrut harus dengan keputusan hakim. Ia menyatakan bahwa 
seseorang yang berhutang pailit dalam hakim  berwenang menahan atau menyita hartanya yag ada
utuk kepentingan  pelunasan utangnya.
Dalam menetapkan  status hukum , orang yang dinyatakan pailit apakah di hajru  atau
berada dalam pengampuan  sehingga ia tidak dapat melakukan  tindakan hukum ( tasharuf) terhadap
hartanya. Jumhur hadawiyah dan  syafiiyah menyatakan bahwa  hakim berwenang untuk melakukan
hajru ( berada dalam ppengampunan)  terhadap muflis (orang pailit) dan menjual harta yang
dimilikinya.Namun zaid bin ali seorag ulama syiah  dan hanafiyah menyatakan muflis tidak boleh 
dibatasi hak tasharufnya ( hajru) dan hartanya tidak boleh  dijual secarra paksa , akan tetapi , ia
wajib ditahan sampai ia melunasinya.
            Abu hanafiyah menyatakan muflis (orang pailit) tidak di hajru ( berada di bawah
pengampunan). Karena hajru menghilangkan kemerdekaannya  sebagai manusia yang cakap
bertindak hukum, hakim pun tidak dapat menjual  hartanya secara paksa, hanya saja hakim berhak 
memerintahkan orang pailit untuk melunnsi utangnya, hakim berhak memasukkannya kerumah
tahanan sehingga melunasi utangnya dan menjual hartanya. Namun sebangian ulama hanafiyyah
seperti abu yusuf dan as-syaibani serta jumhur fuqaha berpendapat bahwa hakim dapat melakukan
hajru ( berada dibawah pengampunan) terhadap orang yang pailit dalam rangka memelihara hak
kreditur  dan menjaga harta dari kesia-siaan.  Hal ini senada  juga ditegaskan ali haidar dalam
kitab majalah  ahkam adliyah   bahwa pengadilan dapat menetapkan debitur pailit berada dalam
pengampunan dengan cara menjual hartanya untuk melunasi utang dan membagi-bagikan  kepada
kreditor.,Hal ini bertujuan untuk memelihara hak kreditor dari tindakan penggelapan atau penipuan
yang dilakukan debitur berkaitan dengan hartanya sehingga debitur pailit tidak dapat melakukan
tindakan hukum terhadap hartanya yang ada .
Rasullah bersabda : “ Bersedekahlah kamu kepadanya , maka manusia bersedekah
kepadanya, Namun tidak cukup melunasi utangnya “. Kemudian nabi  berkata : “ Ambil lah
seberapa yang kamu dapati dan tidak ada hak kamu melainkan demikian.”
Memberikan sedekah bagi orang yang pailit lebih utama dan merupakan amalan fadhlillah 
dengan tujuan agar dapat meringankannya dari utang yang membelenggu dan tuntutan debitur.[7]

D. HAJRU (Pengampunan)
Pengertian al -Hajru
Hajru menurut Bahasa berarti taqyid wa mana’u ( membatasi dan menghalangi). Sementara
pengertian hajru menurut istilah
‫منع اإلنسان من التصرف في ماله‬
“Membatasi manusia dalam mempergunakan hartanya”.
Hajru ialah melarang atau menahaan seseorang untuk mengedarkan ( memindahkan)
hartanya. Yang berhak hajru : wali nasab atau hakim
Hanafiyyah menyatakan :
‘Ungkapan yang dipergunakan  terhadap pencengahan tertentu untuk orang tertentu dan
terhadap tindakan hukum tertentu”
Pencengahan yang dimasukkan hanafiyyah dari definisi ini adalah terhadap anak kecil,
orang gila, dan lain sebagainya untuk melakukan tindakan hukum. Maliki berpendapat hajru
adalah :
“Sifat hukmiyah (ketetapan hukum syara’) yang menyebabkan seorang tercengah membelanjakan

hartaanya secara langsung melebihi kemampuannya”

Dari definisi ini , hajru menurut malikiyyah  berlaku bagi anak kecil , orang gila, orang yang
lemah akal , orang yang bangkrut, dan lain sebagainya. Mereka ini tercegah membelanjakan
hartanya melebihi kemampuannya. Mereka semua dilakukan melarang tindakan secara hukum
seperti jual beli atau pemindahan hak milik lainnya , apabila melakukan hal itu maka tindakannya
tidak berlaku  dengan sendirinnya, Namun sebagai akibat dari tindakan hukum yang mereka
lakukan , harus mendapat izin dari walinya, sedangkan orang yang dilarang memindah tangankan
hak miliknya melebihi sepertiga hartanya salah orang yang sakit yang diduga keras penyakitnya
tidak akan sembuh lagi,, sehingga penyakitnya itu  berakhir dengan kematian.
Segala bentuk jual beli dari orang seperti ini tidak dilarang. Tindakan pemindahan hak
secara sukarela seperti hibah, wasiat dan sedekah hanya di bolehkan sampai sepertinga hartanya,
selebihnya tidak dapat dibenarkan.

Ulama syafi’i dan hambali mendefinisikan al hajru adalah :


“ Larangan melakukan tindakan hukum terhadap seseorang, baik larangan tindakan hukum yang
ditujukan kepada anak kecil, orang gila , dan orang dungu, atau muncul dari hakim, seperti
larangan bagi seseorang pedagang untuk menjual barangnya melebihi harga pasarnya”.
Ini berarti hajru merupakan pencengahan  tehadap seseorang untuk mentransaksikan harta
kekayaanya , baik menjual menghibahkan , atau bentuk transaksi lainnya lantaran masih anak-anak
atau karena hilang akal (gila), atau bodoh,atau pemboros ataupun karena keputusan hakim untuk
menahan atau menyita hartanya karena karena dinyatakan pailit.[9]

Dasar hukum Al-Hajru


Ulama fikih menyatakan , bahwa yang menjadikan dasar hukum untuk menetapkan status
seorang dibawah pengampunan adalah :
   A. al-quran
Surah an-nisa ayat 5
‫َوال تُْؤ تُوا ال ُّسفَهَا َء َأ ْم َوالَ ُك ُ;م الَّتِي َج َع َل هَّللا ُ لَ ُك ْم قِيَا ًما َوارْ ُزقُوهُْ;م فِيهَا َوا ْكسُوهُْ;م َوقُولُوا; لَهُ ْم قَوْ ال َم ْعرُوفًا‬
Artinya :” Dan jaganlah kamu setrahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya ,
hartanya (mereka yang berada dalam kekuasaan) yang dijadikan allah sebagai pokok kehidupan.
Berilah merekabelanja dan pakian ( dari hasil harta itu) dan ucapknlah kepada mereka kata-kata
yang baik”. ( An-Nisa :5)
Disamping ayat-ayat tersebut diatas disebutkan juga dalam hadits Rasullah Saw :
Dari ibn ka’ab diterima dari bapaknya : Sesungguhnya Nabi Saw . telah menahan harta
Mua’az dan menjual untuk membayar utangnya, kemudian , nabi membagi harta tersebut diantara
orang yang mempunyai piutang sehingga mereka mendapat seperlima bangian dari hak mereka.
Mereka berkata “ ya Rasullah juaallah hartanya untuk kami”. Kemudian , nabi berkata kepada
para pemilik piutang :’ tidak ada hak lain kecuali sedemikian”.(HR Baihaqi).
Dalam syariat islam, sebab-sebab hajru sebenarnya adalah atas dasar kemashlatan manusia.
Untuk menjaga kebahagian hidup manusia sebagai makhluk sosial dan individu. Pencegahan
terhadap seseorang Karena belum dewasa atau gila adalah demi kemaashlatan dirinya sendiri.
Sementara itu, pencegahan terhadap orang dewasa yang sehat akalnya, tetapi tidak mampu
mengurus hartanya karena boros , lemah akal, dililit utang, dan sebagainya juga demi
kemashlahatan diri maupun orang yang berada disekitarnya.[10]

Bentuk- Bentuk Hajru


Hajru terbagi kepada:
1. Dilakukan larangan terhadap seseorang  guna menjaga hak orang lain, Seperti larangan terhadap:
a. Orang yang berutang, sedangkan utangnya tunai atau lebih banyak daripada hartanya. Ia
dilarang berbelanja guna menjaga hak orang yang berpiutang.
b. Orang yang sakit payah , dilarang memnbelanjakan  lebih 1/3 dari hartanya. Jika kurang
perbelanjaan untuk keperluan diri si sakit, Maka boleh lebih dari 1/3 hartanya di belanjakan.
c. Orang yang menggadaikan harta dilarang mentransaksikan harta yang di gadaikan untuk
menjaga hak penerima gadai
d. Orang murtad (Orang yang keluar dari Islam) . Dilarang memperedarkan hartanya guna
menjaga hak muslimin.

2. Dilarang Karena menjaga hak miliknya sendiri


e. Anak kecil, Hendaklah dijaga tidak boleh membelanjakan hartanya hingga berusia baligh dan
sudah pandai berbelanja.Mereka dilarang bertransaksi hartanya kecuali atas izin orang tua atau
wali.
f. Orang gila, dilarang berbelanja(bertasarruf) sampai sembuh.
g. Orang yang menyia-nyiakan hartanya(pemboros), Dilarang berbelanja sampai ia sadar.

Sebab-Sebab Terjadinya Mahjur


Sebab-sebab seseorang dilarang mengelola hartanya sendiri adalah sebagai berikut:
a. Dibawah Umur
Maksudnya dibawah umur disini ialah  anak yang belum akil balig , baik karena akalnya
belum matang atau karena hal lainnya,Ia harus diawasi dan dijaga oleh walinya, Tidak boleh
diserahkan sebelum ia baligh berakal karena di duga keras hartanya akan dsia-siakan.
b. Safih ( Bodoh)
Maksudnya kurang akal , mungkin Karena masih  kecil, dungu, atau karena umurnya sudah
tua(usia lanjut)
c. Lemah Rohani dan Jasmani
Orang yang lemah rohani dan jasmani dengan sendirinya tidak akan sanggup mengurus
harta kekayaannya jika ia memiliki harta.
d. Orang yang Sakit Keras
Sesungguhnya orang yang sakit keras ( orang yang diduga keras tidak akan sembuh dari
sakitnya) tidak berdaya lagi untuk berbuat apa-apa, Bila ia memiliki harta, Harta tersebut berada
dibawah penguasaan para ahli warisnya.
e. Sedang di Gadai
Orang yang barangnya sedang digadaikan tidak berkuasa atas barang-barangnya itu, sebab
benda-benda itu merupakan jaminan atau barang di atas utangnya yang diambil dari orang lain.
Benda-benda yang sedang digadaikan  berada dibawah pengawasan orang yang mengutangkan
kepadanya.
f. Wanita Bersuami
Seorang wanita yang mempunyai suami, berada dibawah pengawasan suaminya, baik
dirinya sendiri, anak-anaknya, maupun harta bendanya, Oleh karena itu wanita tak berkuasa atau
berwenang atas hartanya, Kecuali harta yang dikhususkan  untuk dirinya sendiri.
g. Keluar dari Islam (Murtad)
Orang yang murtad terhalang menguasai hartanya , Sebab dia sendiri berada dalam
kekuasaan pemerintahah islam. Ia tidak kuasa terhadap hartanya  karena dia menerima hukuman
mati atas kesalahan yang dibuatnya, yaitu meninggalkan keimanan yang sangat dilarang agama.
Status Pengampuan Berakhir
Apabila anak kecil sudah baligh dan berakal, orang bodoh/dungu sudah cerdas dan sadar ,
Pemboros sudah mulai hemat dan tidak lagi melanggar Agama , Orang gila menjadi sembuh dan
orang yang sakit kritis meninggal atau sembuh kembali maka berakhirlah masa pengampuan.
Khusus bagi orang yang pailit , Dia baru bebas dari status hukum pengampuan setelah dia melunasi 
hutang-utangnya.
Hendaknya diingat bahwa  apabila al-Hajr(Pengampuan) ditentukan berdasarkan  penetapan
hakim, Maka pencabutannya harus demikian supaya mempunyai kekuatan hukum.Apabila

pengampuan itu berada dibawah kekuasaan wali, Maka walilah yang dapat mempertimbangkannya.

Hikmah Al-Hajru
Adapun hikmah Al-Hajru diantaranya sebagai berikut:
1. Memelihara harta benda. Itu dilakukan bila pemilik harta tidak pandai mengelolanya sehingga
harus diserahkan kepada wali yang mampu mengelolanya  dan mengembangkannya dengan
maksud menjaga kemaslahatan pemiliknya.
2. Memelihara Kemashlahatan Umat Secara Umum.
Harta benda meskipun milik orang kaya, tapi umat juga memiliki bangian hak didalamnya, 
dan bila pemeliharaan harta dikelola secara bebas oleh orang-orang kaya bisa menyebabkan
umat kehilangan hak mereka, maka orang-orang kaya itu harus dicegah untuk mengelolah dan
membelanjakannya.
3. Memelihara harta umat dari kesia-siaan. Itu karena pemeliharaan harta benda merupakan salah
satu tujuan syariat.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kafalah adalah salah satu fasilitas perbankan syari'ah yang merupakan jaminan dari si
penjamin, baik berupa jaminan diri maupun barang untuk membebaskan kewajiban yang
ditanggung pihak lain. Kebolehan kafalah sebagai salah satu produk perbankan syari'ah didasarkan
pada nash al-Qur'an al-Karim, Hadis-Hadis Rasulullah SAW., dan beberapa pendapat jumhur
fuqaha' sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan di atas, termasuk fatwa Dewan Syari'ah
Nasional (DSN).
Hiwalah adalah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang
lain. Rukun hiwalah : Muhil,Muhal,Muhal ‘alaih,Utangmuhil kepada muhal,Utang muhal ‘alaih
kepada muhal,Sighat
Praktek hiwalah tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pada umumnya namun praktek ini
juga diterapkan oleh Bank Syariah sebagai salah satu bentuk pelayanan jasa dengan ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan dalam Fatwa DSN No. 12/DSN-MUI/IV/2000.

Taflis atau bangkrut secara Bahasa fallasa –taflisan yang artinya tidak memiliki harta 
sedangkan orang yang pailit disebut dengan muflis. Secara istilah definisi taflis adalah : Keputusan
hakim terhadap orang yang berhutang sebagai orang yang bangkrut yang menyebabkannya ia
terlarang untuk melakukan tindakan hukum terhadap hartanya
Hajru menurut Bahasa berarti taqyid wa mana’u (Membatasi dan menghalangi). Sementara
pengertian hajru menurut istilah : Membatasi manusia dalam mempergunakan hartanya. Hajru ialah
melarang atau menahaan seseorang untuk mengedarkan (Memindahkan) hartanya. Yang berhak
hajru : wali nasab atau hakim.

B. Saran
Penulis sadar bahwa penyusunan makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu penulis

mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Untuk terakhir kalinya penulis berharap

pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi penulis sehingga dapat

memaham tentang mualamah dalam etika bisnis islam.


DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Ali. 2014. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

http://m-herry.blogspot.com/2013/06/pengertian-dasar-hukum-rukun-syarat.html

http://fileperbankansyariah.blogspot.com/2011/04/pengertian-al-kafalah-guaranty.html

http://khairunnisazhet.blogspot.com/2011/06/kafalah-guaranty.html

http://ucu-syarief.blogspot.com/2011/01/makalah-tentang-kafalah.html

Ibrahim, Abdillah Lam Bin. 2005. Fiqh Finansial. Solo : Era Intermedia.

Mardani. 2013. Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah. Jakarta : Kencana.

Rasjid, Sulaiman. 2006. Fiqh Islam (Hukum Fiqih lengkap). Bandung : PT Sinar Baru Algensido
Bandung.

Rozalinda.2016.Fiqih Ekonomi Syariah.Jakarta:Rajawali pers.

Anda mungkin juga menyukai