Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“Rahn, Qardh dan Ariyah”


Disusun dan Dipresentasikan Pada Mata Kuliah
Fikih Muamalah

Disusun Oleh :
Kelompok 5

Arrifah Miranti 22329003


Silvi Gusdianto 22329097
Reza Marlius 22329164

Dosen Pengampu :

Dra. Murniyetti, M. Ag
Fakhriyah Annisa Afroo, M. H

DEPARTEMEN ILMU AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa karena telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Rahn, Qardh, dan Ariyah”. Tujuan penulisan makalah ini untuk
memenuhi tugas mata kuliah Fikih Muamalah dan Munakahat.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Murniyetti, M. Ag
dan Ibu Fakhriyah Annisa Afroo, M.H yang sudah mempercayakan tugas ini
kepada kami, sehingga sangat membantu kami untuk memperdalam
pengetahuan pada mata kuliah yang sedang ditekuni. Terima kasih juga kami
ucapkan kepada semua pihak yang telah berbagi pengetahuannya kepada kami,
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Penulis menyadari jika makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Makalah ini dibuat semaksimal mungkin, tapi dengan kemampuan yang terbatas
mungkin makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik serta saran demi kesempurnaan dari makalah ini. Dan
semoga makalah ini dapat berguna bagi orang lain yang membacanya.

Padang, 19 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................. i

DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 1

C. Tujuan.......................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 2

A. Al-Rahn ....................................................................................................... 2

A. Al-Qardh ..................................................................................................... 6

C. Ariyah .......................................................................................................... 8

BAB III PENUTUP .................................................................................................. 10

A. Kesimpulan ............................................................................................... 10

B. Saran .......................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang sederhana. tidak hanya mencakup hal-hal


transenden (hablum minallah). Islam juga mengatur cara berinteraksi dengan orang
lain (hablum minannas). Hukum diperlukan untuk mengatur hubungan antara sesama
manusia dalam bermu'amalah. Salah satu masalah yang paling sering terjadi dalam
bermu'amalah adalah masalah harta kekayaan (mu'amalah maliyah). Islam adalah
agama yang sederhana. tidak hanya mencakup hal-hal transenden (hablum minallah).
Harta di dalam Islam merupakan amanah yang harus dipelihara yang padanya ada hak
Allah. Maka pengelolaannya haruslah disesuaikan dengan ketentuan pemberi amanah
yaitu Allah swt. Dalam permasalahan harta erat kaitannya dengan ketentuan akad
atau jenis perjanjian yang sering kita sebut dengan contract. Bentuk-bentuk akad ini
akan menentukan istimbath hukum yang akan dihasilkan.
Di antara kontrak tersebut ada yang bersifat comersial yang disebut tijarah dan
ada yang bersifat tolong menolong yaitu tabarru‟. Pada pembahasan makalah ini,
akan dibahas mengenai kontrak sosial khususnya al-rahn, al-qardh dan Al-ariyah.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat disimpulkan rumusan masalah


sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep ,dasar hukum , rukun dan syarat Rahn?
2. Bagaimana konsep, dasar hukum , rukun dan syarat Qardh?
3. Bagaimana konsep dasar hukum , rukun dan syarat Ariyah?
C. Tujuan Masalah

Berdasarkan Rumusan Masalah diatas dapat disimpulkan Tujuan masalah


sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep, dasar hukum, rukun dan syarat Rahn
2. Untuk mengetahui konsep, dasar hukum, rukun dan syarat Qard
3. Untuk mengetahui konsep, dasar hukum, rukun dan syarat Ariyah

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Al-Rahn.

1. Pengertian Al-Rahn.
Menurut bahasa, kata rahn berarti ketetapan dan kekekalan, juga
mengandung arti penahanan. Sedangkan menurut istilah syara‟, rahn adalah
menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara‟
sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau
sebagian utang dari barang tersebut. Selain pengertian rahn yang
dikemukakan diatas, terdapat juga pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh
para ulama mazhab yaitu sebagai berikut:
a. Menurut Hanafiah, al-rahn (gadai) adalah menjadikan benda yang
memiliki nilai haarta dalam pandangan syara‟ sebagai jaminan untuk
utang, atau mengambil sebagiannya dari benda (jaminan) tersebut.
b. Menurut Syafi‟iyah, gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai
jaminan untuk utang, dimana utang tersebut bisa dilunasi (dibayar)
dari benda (jaminan) tersebut ketika pelunasannya mengalami
kesulitan.
c. Menurut Hanabilah, gadai adalah harta yang dijadikan sebagai
jaminan untuk utang yang bisa dilunasi dari harganya, apabila terjadi
kesulitan dalam pengembaliannya dari orang yang berutang.
d. Menurut Malikiyah, al-rahn adalah sesuatu yang bernilai harta yang
dambil dari pemiliknya sebagai jaminan untuk utang yang tetap
(mengikut) atau menjadi tetap.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mazhab dapat
disimpulkan bahwa gadai (rahn) adalah menjadikan suatu barang sebagai
jaminan atas utang, dengan ketentuan bahwa jika terjadi kesulitan dalam
pembayarannya maka utang tersebut bisa dibayar dari hasil penjualan
barang yang dijadikan jaminan itu.

2
Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara‟
sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi
tanggungan itu seluruh atau sebagaian utang dapat diterima. Sebenarnya
pemberian utang itu merupakan suatu tindakan kebajikan untuk menolong
orang yang sedang dalam keadaan terpaksa tidak mempunyai uang dalam
kontan. Namun untuk ketenangan hati, si pemberi utang memerlukan
suatu jaminan bahwa utang itu akan dibayar oleh orang yang berutang,
untuk maksud itu si pemilik uang boleh meminta jaminan dalam bentuk
barang berharga.
Dari definisi-definisi yang sudah dipaparkan di atas dapat
dipahami bahwa al-rahn adalah menjadikan suatu barang yang berharga
sebagai jaminan terhadap utang yang akan diberikan. Jaminan ini
bertujuan untuk meyakinkan diri si pemilik uang bahwa utang tersebut
akan dibayarkan. Apabila nanti terjadi kesulitan dalam pengembalian dan
pelunsan utang, maka jaminan tersebut bisa digunakan untuk pelunasan
utang tersebut.
2. Dasar Hukum Al-Rahn.
Dasar hukum al- rahn seperti dalam QS Al-Baqarah ayat 283 yang
artinya: “Apabila kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara
tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang),
akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.”
Para ulama fikih sepakat bahwa al-rahn boleh dilakukan dalam
perjalanan dan dalam keadaan hadir ditempat, asal barang jaminan itu bisa
langsung dipegang atau dikuasai (al-qabdh) secara hukum oleh pemberi
piutang. Maksudnya, karena tidak semua barang jaminan dapat dipegang
atau dikuasai oleh pemberi piutang secara langsung, dan paling tidak ada
semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status al-
marhun (menjadi jaminan utang). Misalnya, apabila barang jaminan itu

3
berbentuk sebidang tanah, maka yang dikuasai (al-qabdh) adalah surat
jaminan tanah itu.
Adapun dasar hukum dalam hadist antara lain adalah:
Artinya: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah membeli
makanan dari orang Yahudi dengan menggadaikan (menjaminkan) baju
besi beliau” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)
Dasar hukum dalam hadist kedua yakni:
Artinya: “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesuatu
(hewan) yang digadaikan boleh dikendarai untuk dimanfaatkan, begitu
juga susu hewan boleh diminum bila digadaikan”. (HR Al-Bukhari).
Jadi hukum meminta jaminan itu adalah mubah berdasarkan petunjuk
Allah dan Al-Qur‟an dan penjelasan dari hadist Nabi.
3. Rukun Al-Rahn.
Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun al-rahn.
Menurut Jumhur Ulama rukun al-rahn itu ada empat, yaitu:
a. Orang yang berakad (ar-rahin dan al-murtahin)
b. Sighat (lafadz ijab dan qabul)
c. Utang (al-marhun bih)
d. Harta yang dijadikan jaminan (al-marhun)
Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun al-rahn itu hanya
ijab dan kabul. dan mengikatnya akad rahn ini, maka diperlukan adanya
penguasaan barang oleh pemberi utang. Berdasarkan pendapat para ulama
di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang menjadi rukun al-rahn itu ada
empat seperti yang dipaparkan oleh Jumhur Ulama, yaitu: orang yang
beakad, shigat (ijab dan qobul), utang dan barang atau harga yang
dijadikan sebagai jaminan.
4. Syarat-syarat Al-Rahn
Adapun syarat-syarat al-rahn para ulama fiqh menyusunnya sesuai
dengan rukun al-rahn diantaranya:
a) Syarat yang terkait dengan orang berakad (al-rahin dan al-murtahin)
adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut

4
Jumhur Ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan
menurut ulama Hanafiyah kedua belah pihak yang berakad tidak
disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal saja.
b) Syarat yang terkait dengan Sighat, ulama Hanafiyah berpendapat
dalam akad itu al-rahn tidak boleh dikaitkan oleh syarat tertentu.
Karena akad al-rahn sama dengan akad jual beli. Jika akad itu
disamakan dengan syarat tertentu maka syaratnya batal sedang
akadnya sah. Misalnya orang yang berutang mensyaratkan apabila
tenggang waktu utang telah habis dan utang belum dibayar, maka
jaminan atau al-rahn itu diperpanjang satu bulan. Namun, Jumhur
Ulama mengatakan bahwa apabila syarat itu ialah syarat yang
mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu dibolehkan, tetapi
apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad al-rahn, maka
syaratnya batal. Perpanjangan al-rahn satu bulan dalam contoh syarat
di atas termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat al-rahn.
Karenanya syarat tersebut dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan
itu misalnya, untuk sahnya al-rahn, pihak pemberi utang minta agar
akad itu disaksikan oleh dua orang saksi.
c) Syarat yang terkait dengan utang (al-marhun bih) yaitu:
1) Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada yang memberi
utang. 2) Utang itu boleh dilunasi dengan jaminan.
3) Utang itu jelas dan tertentu.
Syarat-syarat mahrun bih menurut Malikiyah pada dasarnya sama
dengan pendapat Syafi‟iyah dan Hanabilah yaitu marhun bih harus
berupa utang yang ada dalam tanggungan, dan utang tersebut harus
utang yang mengikat (lazim) atau mendekati mengikat, seperti dalam
masa khiyar.
d) Syarat yang terkait dengan barang yang dijadikan jaminan (al-
marhun), menurut ulama fiqh syarat-syaratnya adalah:
1) Barang jaminan itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan
utang.

5
2) Berharga dan boleh dimanfaatkan.
3) Jelas dan tertentu.
4) Milik sah orang yang berutang.
5) Tidak terkait dengan hak orang lain.
6) Merupakan harta utuh.
7) Boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
Jadi berdasarkan pada penjelasan di atas terkait dengan barang yang
dijadikan jaminan (borg), dapat dipahami bahwa syarat pada benda yang
dijadikan jaminan yang paling utama ialah keadaan barang tidak rusak
sebelum janji utang harus dibayar dan barang jaminan tersebut adalah
milik sah dari orang yang berutang, bukan milik orang lain.
Menurut Ahmad bin Hijazi bahwa yang dapat dijadikan jaminan dalam
masalah gadai ada tiga macam, yaitu: pertama kesaksian, kedua barang
gadai dan ketiga barang tanggungan.

B. Al-Qardh.

1. Pengertian Al-Qardh.
Secara bahasa berasal dari kata al-qath‟u yang berarti. Dan dalam kitab
al-mufradat alfazhul quran al-Qard ialah menentukan sebagian. Sedangkan
menurut istilah ada beberapa pendapat yaitu, Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah
menyatakan: Al-Qardh adalah harta yang diberikan kepada muqridh kepada
muqtaridh untuk dikembalikan yang seumpamanya kepadanya ketika dia
mampu mengembalikannya. Yang kedua dari mazhab yang empat dalam kitab
al-Fiqh ala al-madzahib al-arba‟ah menyatakan:
 Menurut Hanafiyah adalah apa yang diberikannya dari harta benda mitsli
(yang punya persamaan) yang kami serahkan kepada seseorang dengan
harapan kamu mendapat pemenuhan barang yang sama dengannya.
 Menurut Malikiyah: adalah jika seseorang menyerahkan kepada orang lain
sesuatu yang mempunyai nilai harta semata-mata untuk kepentingan
dalam arti penyerahan tadi tidak menghendaki diperbolehkannya pinjaman
yang tidak halal, dengan janji dia (pemberi modal) mendapat ganti dalam

6
tanggungan dengan syarat penggantinya tidak berbeda dengan modal yang
diserahkan.
 Menurut Syafi‟iyah: al-qardh dia adalah memilikkan sesuatu dengan janji
mau mengembalikannya yang sama.
 Menurut Hanabilah: al-qardh menyerahkan harta kepada seseorang yang
dapat memanfaatkannya dan ia mengembalikan gantinya, al-qardh
termasuk salaf untuk solidaritas dan sah akadnya dengan lafadz qard dan
salaf dan semua lafadz yang dibawa pada makna keduanya.
Jadi al-qardh atau hutang piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi
hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian
dikemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama, apabila
peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa
depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
2. Dasar hukum Al-Qardh.
Dasar hukum hutang-piutang pada asalnya diperbolehkan dalam
syariat Islam bahkan orang yang memberikan hutang kepada orang lain yang
sangat membutuhkan adalah merupakan perbuatan yang sangat disukai dan
dianjurkan dalam Islam, oleh karena itu bagi orang yang suka meminjamkan
sesuatu kepada orang-orang yang mebutuhkan akan diganjar (diberikan)
pahala yang besar sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah
ayat 245
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang
baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat
gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.”.
3. Rukun dan Syarat Al-Qard.
Rukun al-Qardh adalah:
a. Pemilik barang (muqridh)
b. Yang mendapat barang atau peminjam (muqtaridh)

7
c. Serah terima (ijab qabul)
d. Barang yang dipinjamkan (qardh)
Sedangkan Syarat al-Qardh adalah:
a. Besarnya pinjaman (alqardhu) harus diketahui dengan takaran
timbangan atau jumahnya;
b. Sifat pinjaman (al-qardhu) dan usianya harus diketahui jika dalam
bentuk hewan;
c. Pinjaman (alqardhu) tidak sah dari orang yang tidak memiliki sesuatu
yang bisa dipinjam atau orang yang tidak normal akalnya.
C. Al-Ariyah.
1. Pengertian Al-ariyah.
Ariyah menurut bahasa ialah pinjaman, pergi dan kembali atau
beredar. Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat:
1) Ibn Rifa‟i berpendapat, bahwa yang dimaksud „ariyah adalah
kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap
zatnya, supaya dapat dikembalikan kepada.
2) Menurut pendapat Malikiyah sebagaimana yang ditulis oleh Wahbah
alJuhaili, ‟ariyah adalah pemilikan atas manfaat suatu barang tanpa
adanya imbalan. Adapun menurut Syafi‟iyah dan Hanabilah, ariyah
adalah pembolehan untuk mengambil manfaat suatu barang tanpa
adanya imbalan.
3) Amir Syarifuddin berpendapat, bahwa „ariyah adalah transaksi atas
manfaat suatu barang tanpa imbalan, atau ariyah adalah menyerahkan
suatu wujud barang untuk dimanfaatkan orang lain tanpa adanya
imbalan.
Dari definisi yang diungkapkan oleh para ulama di atas, dapat
disimpulkan bahwa al-„ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat
barangbarang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain tanpa diganti
maka apabila harus diganti dengan sesuatu atau adanya suatu imbalan maka
hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai al-„ariyah.

8
2. Dasar hukum Al-Ariyah.
Dasar hukum dibolehkan dan disunahkannya ariyah adalah dalam QS.
Al-Maidah:2 yang artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran...”
Juga terdapat dalam sebuah hadist yang bunyinya:
“Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan membayarnya, maka
Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang meminjam dengan kemauan
melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya .“(HR. Bukhari)
3. Rukun dan Syarat Al-Ariyah.
Adapun rukun ariyah menurut Jumhur ulama ada empat yaitu:
 Orang yang meminjamkan (Mu‟ir);
 Orang yang meminjam (Musta‟ir);
 Barang yang dipinjam (Mu‟ar); Lafal/sighat pinjaman (sighat, ariyah)
Syarat-syarat ariyah dintaranya sebagai berikut:
1) Orang yang meminjam itu adalah orang yang berakal dan cakap bertindak
hukum. Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila dan orang bodoh tidak boleh
melakukan akad/transaksi ariyah.
2) Barang yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan
habis atau musnah, seperti rumah, pakaian dan kendaraan.
3) Barang yang dipinjamkan harus secara langsung dapat dikuasai oleh
peminjam.
4) Manfaat barang yang dipinjam termasuk manfaat yang mubah atau
dibolehkan oleh syara‟.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa gadai (rahn)


adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas utang, dengan
ketentuan bahwa jika terjadi kesulitan dalam pembayarannya maka utang
tersebut bisa dibayar dari hasil penjualan barang yang dijadikan gadai itu.
Hukum meminta jaminan itu adalah mubah berdasarkan petunjuk Allah
dan Al-Qur‟an dan penjelasan dari hadist Nabi.
Sedangkan al-qardh atau hutang piutang adalah harta yang
diberikan kepada muqridh kepada muqtaridh untuk dikembalikan yang
seumpamanya kepadanya ketika dia mampu mengembalikannya. Dasar
hukum hutang-piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam
bahkan orang yang memberikan hutang kepada orang lain yang sangat
membutuhkan adalah merupakan perbuatan yang sangat disukai dan
dianjurkan dalam Islam.
Dan al-ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang barang
yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain tanpa diganti maka
apabila harus diganti dengan sesuatu atau adanya suatu imbalan maka hal
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai al-„ariyah. Dasar hukum
dibolehkan dan disunahkannya ariyah
B. Saran

Penulis menyadari banyak kekurangan dari makalah ini, dari segi


penulisan atau ditinjau dari segi lainnya. Dengan adanya makalah ini,
diharapkan pembaca dapat mengetahui dan memahami mengenai “Rhan,
Qardh, Ariyah” sebagai salah satu topik pembahasan dalam fiqih muamalah

10
DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Johan. 2021. Urgensi Konsep Al –Ariyah, Al-Qard dan Al Hibah di


Indonesia
Harun, Nasrun.2007. Fikih Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama
Indriyani Sitepu, Novi. 2020. Al-Ariyah, Al-Qard dan Al Hibah
Suhendi, Hendi.2005. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

11

Anda mungkin juga menyukai