Anda di halaman 1dari 32

FIQH MUAMALAH: WADI’AH, KHIYAR, KAFALAH, SYIRKAH

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata juliah fiqih

Dosen Pengampu: YOGA ANJAS PRATAMA, M. Pd

Disusun Oleh:

Rintan Stefani lestari 2311080108

Kelas/ semester: A/1

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN RADEN INTAN LAMPUNG

2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kami Panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, Karena Atas
Limpahan Rahmatnya Penyusun Dapat Menyelesaikan Makalah Ini Tepat Waktu
Tanpa Ada Halangan Yang Berarti Dan Sesuai Dengan Harapan. Dalam Menyusun
Makalah Ini Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Yang Berjudul “FIQH
MUAMALAH: WADI’AH, KHIYAR, KAFALAH, SYIRKAH” Sehingga Makalah
Ini Dapat Kami Selesaikan Dengan Baik.

Kemudian shalawat beserta salam semoga selalu terlimpah curahkan kepada


baginda tercinta Nabi Muhammad SAW yang mudah-mudahan kita selaku umat-
Nya mendapatsyafa’atul‘uzma-Nya dihari kiamat kelak. Ataster susunnya makalah
ini, kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Yoga Anjas Pratama, M. Pd. Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terlalu banyak kekurangan.
Olehkarena itu, kami harap kritik dan saran yang membangun agar sekiranya
penyusunan makalah ini kurang baik akan bisa menjadi lebih baik lagi. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membaca, memahami dan
mengamalkannya.

Bandar Lampung, 10 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB I

PENDAHULUAN...........................................................................................1

A. Latar belakang .....................................................................................1


B. Rumusan masalah ................................................................................2
C. Tujuan penulisan ................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN..............................................................................................3
A. Pengertian Al- Wadi’ah........................................................................3
1. Macam-macam, rukun dan syarat Wadiah.....................................6
2. Syarat yang terdapat dalam wadi’ah ..............................................7
B. Pengertian Khiyar.................................................................................8
1. Macam- macam khiyar...................................................................9
C. Pengertian kafalah................................................................................10
1. Rukun dan Syarat Akad Kafalah....................................................11
D. Pengertian syirkah................................................................................12
1. Dasar Hukum, Rukun dan Syarat Syirkah......................................13

BAB III

PENUTUP.......................................................................................................16

A. Kesimpulan...........................................................................................16
B. Saran.....................................................................................................16

ii
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fiqh muamalah merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata fiqh dan muamalah.
Secara etimologi fiqh berarti paham, mengetahui dan melaksanakan. Adapun kata
muamalah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi sama dan semakna dengan
al-mufa’alah (saling berbuat). Kata ini menggambarkan suatu aktifitas yang dilakukan
oleh seseorang dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya masing-masing.
Secara terminologi fiqh muamalah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan
tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam hal yang berkaitan dengan hartanya,
seperti jual beli, sewa menyewa, gadai dan lain-lain.
Wadi’ah dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan
prinsip al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke
pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendak.
Khiyar Dalam perspektif Islam, jelas bahwa acuan kejujuran dalam berdagang harus
diletakkan dalam kerangka ukuran-ukuran yang bersumber dari ajaran Islam, yakni Al-
Qur‟an dan Hadis. Karena itu, sistem nilai yang Islami yang mendasari perilaku
perdagangan merupakan masalah penting untuk diungkapkan.Khiyar dalam arti bahasa
berasal dari akar kata: khara-yaitu khairan-wa, yang artinya” memberikan kepadanya
sesuatu yang lebih baik baginya”. Menurut istilah kalangan ulama fikih yaitu mencari
yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya.
kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Kafalah dengan
jiwa ini dikenal juga dengan kafalah al-wajhi, yaitu adanya keharusan pada pihak
penjamin (kafl, damin atau za’im) untuk menhadirkan orang yang ia tanggung pada
yang ia janjikan tanggungannya. Kafalah dengan harta, yaitu kewajiban yang harus
ditunaikan oleh damin atau kafil (penjamin) dengan pembayaran (pemunahan) berupa
harta. Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyarahkan benda-benda
tertentu yang ada di tangan oaring lain. Kafalah dengan ‘aib (cacat), maksudnya bahwa
barang yang didapati berupa harta terjual dan dapat bahaya (cacat) karena waktu yang
terlalu lama ataun karena hal-hal lainnya, Kafalah dengan jiwa ini dikenal juga dengan

1
kafalah al-wajhi, yaitu adanya keharusan pada pihak penjamin (kafl, damin atau za’im)
untuk menhadirkan orang yang ia tanggung pada yang ia janjikan tanggungannya.
Kafalah dengan harta, yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh damin atau kafil
(penjamin) dengan pembayaran (pemunahan) berupa harta.1
Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya campur atau percampuran.
Maksud percampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta
orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Menurut defenisi syariah, syirkah
adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu
usaha finanssial dengan tujuan mencari keuntungan.2

B. Rumusan masalah
1. Apawadi’ah?
2. Apa khiyar?
3. Apakafalah?
4. Apa syirkah?

C. Tujuan penulisan
1. Mencari tahu wadi’ah.
2. Mencari tahu Apa khiyar.
3. Mencari tahu Apakafalah.
4. Mencari tahu Apa syirkah.

1
SRI SUDIARTI, FIQH MUAMALAH KONTEMPORER, Oktober 2018, h. 12.
2
Deny Setiawan, “KERJA SAMA (SYIRKAH) DALAM EKONOMI ISLAM”, JURNAL EKONOMI, Volume
21, Nomor 3 September 2013, h. 2.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian wadi’ah

Al Wadiah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun
badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan
menghendakinya. Barang titipan dalam fiqih dikenal dengan sebutan wadi‟ah, menurut
bahasa, wadi‟ah ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaga (Ma
Wudi‟a „Inda Ghair Malikihi Layahfadzuhu), berarti bahwa wadi‟ah ialah memberikan,
makna yang kedua wadi‟ah dari segi bahasa adalah menerima, seperti seseorang berkata:
“awda‟tubu” artinya aku menerima harta tersebut darinya (Qabiltu minhu dzalika al-Mal
Liyakuna Wadi‟ah „Indi), secara bahasa wadi‟ah memiliki 2 makna, yakni memberikan
harta untuk dijaga dan pada penerimaannya.
Dalam tradisi islam, wadi‟ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke
pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan
saja si penitip menghendakinya. Wadi‟ah menurut pasal 20 ayat 17 komplikasi Hukum
Ekonomi Syari‟ah(2009) ialah penitipan dana antara pihak pemilik dengan pihak penerima
titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut. Aplikasi wadi‟ah terhadap dalam
fatwa DSN-MUI No.36/DSN-MUI/X/2002 tentang sertifikat wadi‟ah Bank Indonesia.
Setelah diketahui definisi wadi‟ah, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud wadi‟ah
adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan benda untuk
dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan tidak wajib
menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka diwajibkan
menggantinya.

Keharusan menjaga wadi’ah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda;


‫َأِّد اَألَم اَنَة ِإَلى َمِن اْئَتَم َنَك‬

“Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahkan kepadamu, dan janganlah


kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi,
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa‟ 5/381).

3
Orang yang merasa mampu dan sanggup menerima barang titipan adalah sangat baik
dan mengandung nilai ibadah yang mendapat pahala disamping mempunyai nilai sosial yang
tinggi. Akan tepai agar titipan tersebut tidak akan menimbulkan masalah dikemudian hari,
maka disyaratkan :

1. Barang titipan itu tidak memberatkan dirinya maupun keluarganya

2. Tidak memungut biaya pemeliharaan

3. Kalau sudah sampai waktunya diambil atau disampaikan kepada yang berhak

Dengan demikian apabila barang titipan itu mengalami kerusakan akibat kelalaian
orang yang menerimanya, maka ia wajib menggantikannya. Adapun kriteria kelalaian
antara lain:

1. Orang yang dipercaya titipan menyerahakan kepada orang lain tanpa sepengetahuan
yang memilikinya

2. Barang titipan itu dipergunakan atau dibawa pergi sehingga rusak atau hilang

3. Menyia-nyiakan barang titipan

4. Berkhianat, yaitu ketika barang titipan diminta tidak dikabulkan, tanpa sebab yang
jelas

5. Lalai atau tidak hati-hati dalam memelihara barang titipan

6. Ketika yang dititipi barang itu sakit atau meninggal tidak berwasiat kepada ahli
warisnya atau keluarganya tentang barang titipan, sehingga mengakibatkan barang
rusak dan hilang.

Hukum menerima wadi‟ah atau barang titipan itu ada 4 (empat), yaitu :

1. Sunnah, yaitu bagi orang yang percaya pada dirinya bahwa dia sanggup
memelihara dan menjaganya, menerimanya bila disertai niat yang tulus ikhlas
kepada Allah. Dianjurkan menerima wadii‟ah, karena ada pahala yang besar di
sana, berdasarkan hadits:

4
“Dan Allah akan menolong seorang hamba, jika hamba itu mau menolong
saudaranya.” (HR. Muslim).
2. Wajib, yaitu apabila sudah tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya, kecuali hanya
dia satu-satunya.
3. Haram, apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaganya sebagaimana
mestinya, karena seolah-olah dia membiarkan pintu kerusakan atau hilangnya
barang titipan
4. Makruh, menitipkan kepada orang yang dapat menjaganya tetapi ia tidak percaya
pada dirinya, bahkan dikhawatirkan kemudian hari dia akan berkhianat terhadap
barang titipan itu.

Abu Bakar radhiyallahu „anhu pernah memutuskan tentang wadii‟ah yang


berada dalam sebuah kantong, lalu hilang karena bolongnya kantong tersebut bahwa ia
(orang yang dititipi) tidak menanggungnya. Bahkan Urwah bin Az Zubair pernah
meminta dititipkan kepada Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits bin Hisyam harta
dari harta milik bani Mush‟ab, lalu ternyata harta tersebut tertimpa musibah ketika
masih berada di Abu Bakar atau sebagian harta itu, maka Urwah mengutus seseorang
untuk memberitahukan, “Bahwa kamu tidak perlu menanggungnya. Kamu hanyalah
orang yang diamanahi.” Lalu Abu Bakar berkata, “Saya telah mengetahui bahwa saya
tidak menanggung, akan tetapi nanti orangorang Quraisy menyebutkan bahwa diriku
sudah tidak amanah”, lalu Abu Bakar menjual harta miliknya dan melunasinya.

Penerima titipan harus menjaganya di tempat terjaga yang standar atau sesuai
barang tersebut secara „uruf sebagaimana hartanya dijaga. Jika barang titipan berupa
hewan, maka muuda‟ harus memberinya makan. Jika tidak diberi makan tanpa ada
perintah dari pemiliknya, lalu hewan itu mati, maka muuda‟ harus menggantinya,
karena memberi makan hewan adalah diperintahkan. Di samping dia harus
menanggungnya, dia juga berdosa karena tidak memberi makan dan minum kepada
hewan tersebut hingga mati, karena wajib baginyamemberi makan dan minum sebagai
pemenuhan terhadap hak Allah Ta‟ala, dimana hewan tersebut memiliki kehormatan. 3

1. Macam-macam, rukun dan syarat Wadiah:

3
Desminar, “AKAD WADIAH DALAM PERSPEKTIF FIQIH MUAMALAH”, jurnal menara ilmu,Vol. XIII
No.3 Januari 2019, h. 28-30.

5
Macam-macam wadi’ah ada dua yaitu wadi‟ah yad amanah dan wadi‟ah yad
dhamanah. Pada awalnya, wadi’ah muncul dalam bentuk yad al-amanah “ tangan
amanah”, yang kemudian dalam perkembangannya memunculkan yadh-dhamanah ini
akhirnya banyak dipergunakan dalam aplikasi perbankan syariah dalam produk-
produk perdanaan:

1. Wadi’ah yad Amanah


Wadi’ah yad amanah adalah suatu akad penitipan dimana pihak
penerima titipan tidak diperkenankan atau tidak diperbolehkan menggunakan
barang titipan tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau
kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan oleh kelalaian penerima
titipan. Dengan ini, pihak yang menyimpan barang titipan tidak boleh
menggunakan atau memanfaatkan barang titipan tersebut, melainkan hanya
menjaga barang titipan tersebut. Selain itu, barang yang dititipkan tersebut
tidak boleh dicampuradukkan dengan barang lain, melainkan harus
dipisahkan dengan barang lain. Karena menggunakan prinsip yad amanah,
maka akad titipan seperti ini disebut wadiah yad amanah.9 Wadiah yad
amanah memiliki karekteristik antara lain:
a) Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan
digunakan oleh penerima titipan
b) Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang
berfungsi dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa
boleh memanfaatkannya.
c) Sebagaimana konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk
membebankan biaya kepada yang menitipkan.
d) Barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh
penerima titipan.

2. Wadi’ahYad Dhamanah
Wadi’ah Yad Dhamanah yaitu suatu akad penitipan barang dimana
pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang dapat
memanfaatkan barang titipan tersebut dan harus bertanggung jawab terhadap
kehilangan atau kerusakan barang titipan tersebut. Berdasarkan hal tersebut,
pihak yang menitipkan barang tidak perlu mengeluarkan biaya. Bahkan atas

6
kebijakan pihak yang menerima titipan. Pihak yang menitipkan dapat
diperbolehkan manfaat atas penggunaan barang titipan tersebut. Wadiah yad
dhamanah memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh
orang yang menerima titipan.
b. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu
dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada
keharusanbagi penerima titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada
orang yang menitipkan barang tersebut.

Rukun wadiah antara lain :

1. Muwaddi’/ orang yang menitipkan

2. Mustauddi’ / orang yang menerima titipan

3. Obyek wadi’ah / barang yang dititipkan

4. Ijab dan qabul

2. Syarat yang terdapat dalam wadi’ah yaitu:


a) Orang yang menitipkan syaratnya baligh, berakal, dapat dipercaya dan syarat-
syarat lain yang berkaitan dengan kesepakatan bersama.
b) Orang yang menerima titipan syaratnya baligh, berakal, dapat dipercaya dan
syarat-syarat lain yang berkaitan dengan kesepakatan bersama.
c) Barang yang dititipkan syarat barang yang dititipkan adalah barang atau benda
itu merupakan sesuatu yang berwujud dimiliki oleh orang yang menitipkan,
dan dapat diserahkan ketika perjanjian berlangsung.
d) Ijab dan qabul wadi’ah syaratnya pada ijab dan qabul dimengerti oleh kedua
belah pihak. Ijab merupakan ucapan dari penitip dab qabul adalah ucapan dari
penerima titipan.4

B. Pengertian Khiyar

4
Ckamilatun Nikmah, Firdausi Amalia Khoir, Hesty Ova Noviandani, “KONSEP WADIAH MENURUT FIKIH
DAN (KHES)”, Jurnal Al-Tsaman, h. 3-5.

7
Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa
khiyaratan sinonimnya: ٔ‫ي خيٕ٘س َآ أعطا‬yang artinya” memberikan kepadanya sesuatu yang
lebih baik baginya”. Menurut istilah kalangan ulama fikih yaitu mencari yang baik dari
dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya. Sayyid Sabiq
memberikan definisi khiyar sebagai berikut. ‫اء‬n‫اء ٗا اإلىغ‬n‫ اىخيازٕ٘ طيب خيس اآٍلسِی ٍِ اإٍلض‬Artinya:
khiyar adalah menuntut yang terbaik dari dua perkara, berupa meneruskan (akad jual
beli) atau membatalkannya.

Khiyar itu dimaksudkan untuk menjamin adanya kebebasan berpikir antara pembeli
dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar. Akan tetapi oleh karena
dengan sistem khiyar ini adakalanya menimbulkan penyesalan kepada salah seorang dari
pembeli atau penjual yaitu kalau pedagang mengharap barangnya segera laku, tentu tidak
senang kalau barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau kalau pembeli sangat
mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak senang hatinya kalau
uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka oleh karena itu, untuk
menetapkan syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua belah pihakatau salah satu
pihak yang diterima oleh pihak lainnya atau kedua pihaknya, kalau kedua belah pihak
menghendakinya. Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari
bahwa khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena
terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau
karena sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad
selesai, karena mereka sama-sama rela atau setuju.

Dasar Hukum Khiyar Berdasarkan prinsip wajib menegakkan kejujuran dan


kebenaran dalam perdagangan, maka haram bagi penjual menyembunyikan cacat barang.
Apabila dalam barang yang akan dijual itu terdapat cacat yang diketahui oleh pemilik
barang (penjual), maka wajiblah dia menerangkan hal itu dan tidak boleh
menyembunyikannya. Menyembunyikan cacat barang dengan sengaja termasuk penipuan
dan kecurangan. Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah saw. Diantara
sunnah tersebut adalah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Al-
Harits:

‫ اىبيعُا باىخيازٍ ا‬: ‫ي اهلل عئيٗ سٌي قا ه‬ٚ‫ َس عت حنٌي ِب حزًا زضي اهلل ْٔع ِع اْىبي ص‬:‫ِع عبد اهلل ِب اىحازث قاه‬
‫ فُا صدقاٗ بْيا ٘ب زك َٖى ا في بيَٖع اٗ ُا مرباٗ مَتاٍ حقت بسمة بيَٖع ا‬,‫ٌى یتفسقا‬.

8
Artinya: Dari Abdullah bin al-harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a
dari Nabi saw beliau bersabda: “penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama
mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka
berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong
dan merahasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. (HR. Al-Bukhari).

1. Macam-macam khiyar
a. Khiyar Majelis Majlis secara bahasa adalah bentuk masdar mimi dari julus yang
berarti tempat duduk, dan maksud dari majlis akad menurut kalangan ahli fiqih
adalah tempat kedua orang yang berakad berada dari sejak mulai berakad sampai
sempurna, berlaku dan wajibnya akad. Dengan begitu majlis akad merupakan
tempat berkumpul dan terjadinya akad apapun keadaan pihak yang berakad.
Adapun menurut istilah khiyar majelis adalah khiyar yang ditetapkan oleh syara‟
bagi setiap pihak yang melakukan transaksi, selama para pihak masih berada di
tempat transaksi. Khiyar majelis berlaku dalam berbagai macam jual beli, seperti
jual beli makanan dengan makanan, akad pemesanan barang (salam), syirkah.
b. Khiyar Syarat Menurut Sayyid Sabiq khiyar syarat adalah suatu khiyar dimana
seseorang membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh melakukan
khiyar pada masa atau waktu tertentu, walaupun waktu tersebut lama, apabila ia
menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli dan apabila ia mengendaki ia
bisa membatalkannya.Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa khiyar syarat
adalah suatu bentuk khiyar dimana para pihak yang melakukan akad jual beli
memberikan persyaratan bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua atau salah
satunya boleh memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya.
c. Khiyar aib termasuk dalam jenis khiyar naqishah (berkurangnya nilai penawaran
barang). Khiyar aib berhubungan dengan ketiadaan kriteria yang diduga
sebelumnya. Khiyar aib merupakan hak pembatalan jual beli dan pengembalian
barang akibat adanya cacat dalam suatu barang yang belum diketahui, baik aib itu
ada pada waktu transaksi atau baru terlihat setelah transaksi selesai disepakati
sebelum serah terima barang. Yang mengakibatkan terjadinya khiyar disini adalah
aib yang mengakibatkan berkurangnya harga dan nilai bagi para pedagang dan
orang-orang yang ahli dibidangnya. Menurut ijma‟ Ulama, pengembalian barang
karena cacat boleh dilakukan pada waktu akad berlangsung.

9
Dimyauddin Djuwaini mengatakan bahwa khiyar „aib bisa dijalankan
dengan syarat sebagai berikut:
1. Cacat sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum terjadi serah
terima, jika „aib muncul setelah serah terima maka tidak ada khiyar.
2. Aib tetap melekat pada obyek setelah diterima oleh pembeli.
3. Pembeli tidak mengetahui adanya aib atas obyek transaksi, baik ketika
melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika pembelimengetahui
sebelumnya, maka tidak ada khiyar karena itu berarti telah meridhoinya.
4. Tidak ada persyaratan bara‟ah (cuci tangan) dari „aib dalam kontrak jual
beli, jika dipersyaratkan, maka hak khiyar gugur.
5. Aib masih tetap sebelum terjadinya pembatalan akad
d. Khiyar Ru‟yah, Khiyar ru‟yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau
tetap melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum
melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya dalam
batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya. Konsep
khiyar ini disampaikan oleh fuqoha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan
Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada ditempat) atau
benda yang belum pernah diperiksa. Sedangkan menurut Imam Syafi‟i khiyar
ru‟yah ini tidak sah dalam proses jual beli karena menurutnya jual beli terhadap
barang yang ghaib (tidak ada ditempat) sejak semula dianggap tidak sah.5

C. Pengertian kafalah
Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga
yang memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain kafalah
juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada
tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
Al-kafalah menurut bahasa berarti al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban), dan za’amah
(tanggungan). Menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud dengan al-kafalah adalah proses
penggabungan tanggungan kafil menjadi beban ashil dalam tuntutan dengan benda (materi)
yang sama baik utang barang maupun pekerjaan. Menurut Iman Taqiyyudin yang dimaksud
dengan kafalah adalah mengumpulkan satu beban dengan beban lain. Menurut Hasbi Ash
Shidiqi al-kafalah ialah menggabungkan dzimah kepada dzimah lain dalam penagihan.

5
Rahmat Syafi‟i, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 90.

10
Menurut syariah, kafalah adalah suatu tindak penggabungan tanggungan orang yang
menanggung dengan tanggungan penanggung utama terkait tuntutan yang berhubungan
dengan jiwa, hutang, barang, atau pekerjaan. Kafalah terlaksana dengan adanya penanggung,
penanggung utama, pihak yang ditanggung haknya, dan tanggungan. Penanggung atau disebut
kafil adalah orang yang berkomitmen untuk melaksanakan tanggungan.
Syarat untuk menjadi kafil adalah harus baligh, berakal sehat, memiliki kewenangan secara
leluasa dalam menggunakan hartanya dan ridha terhadap tindak penanggungnya. Penanggung
utama adalah orang yang berhutang, yaitu pihak tertanggung. Sebagai pihak tertanggung tidak
disyaratkan harus baligh, sehat akalnya, kehadirannya, tidak pula keridhaanya terkait
penanggungan, tetapi penanggungan boleh dilakukan terhadap anak kecil yang belum baligh,
orang gila, dan orang yang sedang tidak ada berada di tempat. Tetapi pihak penanggung tidak
boleh menuntut baik siapapun yang ditanggungnya, jika dia telah menunaikan tanggunganya
tapi tindakannya itu dianggap sebagai perbuatan sukarela, kecuali dalam kasus jika
penanggungan dilakukan terhadap anak kecil yang diperlakukan untuk melakukan
perdagangan, dan perdagangannya itu atas perintahnya.
Sedangkan pihak yang ditanggung haknya adalah orang yang memberi hutang. Terkait pihak
tertanggung haknya ini disyaratkan harus diketahui oleh pihak yang menanggung, karena
manusia berbeda-beda sifatnya dalam menyampaikan tuntutan dari segi toleransi dan
ketegasan, sementara tujuan merekapun bermacam-macam dalam menyampaikan tuntutan.
Dengan demikian tidak ada tindak kecurangan dalam penanggungan. Namun demikian tidak
disyaratkan mengetahui pihak tertanggung. Adapun tanggungan adalah berupa jiwa, hutang,
barang, atau pekerjaan yang harus dilaksanakan atas nama pihak tertanggung.
Kafil adalah orang yang berkewajiban melakukan makful bihi (yang ditanggung). Ia wajib
seorang yang mubaligh, berakal berhak penuh untuk bertindak dalam urusan hartanya, rela
dengan kafalah, sebab segala urusan hartanya berada ditanganya. Kafil tidak boleh orang gila
dan tidak boleh pula anak kecil, sekalipun ia sudah bisa membedakan sesuatu. Kafil ini disebut
dengan sebutan dhamin (orang yang menjamin), za’im (penanggung jawab), hammil (orang
yang menanggung beban), dan qobil (orang yang menerima).
Dan yang dimaksud dengan ashil adalah orang yang berhutang, yaitu orang yang ditanggung.
Untuk ashil tidak disyaratkan baligh, berakal, kehadiran dan kerelaanya dengan kafalah. Tetapi
cukup kafalah ini dengan anak kecil, orang gila dan orang tidak hadir. Kafil tidak boleh kembali
kepada seseorang dari mereka ini, kecuali pada keadaan dimana kafalah dilakukan buat anak
kecil yang diijinkan berdagang, yang perdaganganya itu atas perintahnya. Makful lahu adalah
orang yang menghutangkan. Disyaratkan penjamin mengenalnya. Karena manusia itu tidak

11
sama dalam hal tuntutan, hal ini dimaksudkan untuk kemudahan dan kedisiplinan. Dan
tuntutan untuk itu berbeda-beda. Sehingga tanpa adanya hal itu jaminan dianggap tidak
benar. 6 Ibid, hlm. 387 18 Dan tidak disyaratkan dikenalnya madmun’anhu (yang ikhwalnya
ditanggung). Dan yang dimaksud dengan makful bihi adalah orang, atau barang, atau
pekerjaan, yang wajib dipenuhi oleh orang yang hal ikhwalnya ditanggung (makful anhu).

Dasar Hukum Kafalah


a. Sighat kafalah bisa diekspresikan dengan ungkapan yang menyatakan adanya
kesanggupan untuk menanggung sesuatu, sebuah kesanggupan untuk menunaikan
kewajiban. Seperti ungkapan “aku akan menjadi penjagamu” atau “saya akan menjadi
penjamin atas kewajibanmu atas seseorang” atau ungkapan lain yang sejenis. Ulama tidak
mensyaratkan kalimat verbal yang harus diungkapkan dalam akad kafalah, semuanya
dikembalikan pada akad kebiasaan. Intinya, ungkapan tersebut menyatakan kesanggupan
untuk menjamin sebuah kewajiban.
b. Makful Bihi. Objek pertanggungan harus bersifat mengikat terhadap diri tertanggung, dan
tidak bias dibatalkan tanpa adanya sebab syar’i. Selain itu objek tersebut harus merupakan
tanggung jawab penuh pihak tertanggung. Seperti menjamin harga atas pihak transaksi
barang sebelum serah terima, menanggung beban hutang yang bersifat mengikat terhadap
diri seseorang. Selain itu, nominal objek tertanggung harus jelas, tidak diperbolehkan
menanggung sesuatu yang tidak jelas (majhul). Namun demikian sebagian ulama fiqh
membolehkan menanggung objek pertanggungan yang dijamin oleh Rasulullah, “Barang
siapa dari orangorang mukmin yang meninggalkan tanggungan hutang, maka
pembayarannya menjadi kewajibanku”. Berdasarkan hadis ini, nilai objek 21 pertanggungan
yang dijamin oleh Rasulullah bersifat majhul, dengan demikian diperbolehkan.
c. Kafil. Ulama fiqh mensyaratkan seorang kafil haruslah orang yang berjiwa filantropi, orang
yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan orang lain. Selain itu, ia juga orang yang
baligh dan berakal. Akad kafalah tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang-orang safih
ataupun orang yang terhalang untuk melakukan transaksi. Karena bersifat charity, akad
kafalah harus dilakukan oleh seorang kafil dengan penuh kebebasan, tanpa adanya paksaan.
Ia memiliki kebebasan penuh guna menjalankan pertanggungan. Karena dalam akad ini, kafil
tidak memiliki hak untuk merujuk pertanggungan yang telah ditetapkan.
d. Makful’Anhu. Syarat utama yang harus melekat pada diri tertanggung (makful’anhu)
adalah kemampuannya untuk menerima objek pertanggungan, baik dilakukan oleh diri

12
pribadinya atau orang lain yang mewakilinya. Selain itu makful’anhu harus dikenal baik oleh
pihak kafil.
e. Makful lahu. Ulama mensyaratkan makful lahu harus dikenali oleh kafil, guna meyakinkan
pertanggungan yang menjadi bebannya dan mudah untuk memenuhinya. Selain itu, ia juga
disyaratkan untuk menghadiri majlis akad. Ia adalah orang yang baligh dan berakal, tidak
boleh orang gila atau anak kecil yang belum berakal.
f. Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan pada sesuatu
yang berarti sementara.

Macam-Macam Akad Kafalah


Kafalah jiwa Kafalah jiwa atau juga dikenal dengan kafalah wajah adalah komitmen
penanggung untuk menghadirkan sosok pihak tertanggung kepada orang yang ditanggung
haknya. Kafalah ini dapat dinyatakan dengan perkataan, “aku menanggung fulan, badannya,
atau wajahnya, atau aku dhamin, atau za’im” atau semacamnya. Ini dibolehkan jika pihak
yang ditanggung kehadirannya menanggung hak orang lain. Tidak disyaratkan harus
mengetahui kadar yang ditanggung oleh pihak tertanggung, karena penanggung hanya
menanggung badan bukan harta.
Adapun jika kafalah berkaitan dengan hudud (hukum yang telah di tetapkan sanksinya dalam
syariat) yang telah ditetapkan Allah, maka kafalah tidak dapat dibenarkan, baik itu hudud
tersebut sebagai hak Allah SWT, seperti hudud yang berkaitan dengan khamer, maupun hak
manusia, seperti hudud yang berkaitan dengan tuduhan zina. Kafalah Harta Kafalah atau
penanggungan terhadap harta adalah kafalah yang mengharuskan penanggung untuk
menunaikan tanggungan yang berkaitan dengan harta.
Kafalah harta terdiri dari tiga macam yaitu:
1. Kafalah hutang. Yang dimaksud dengan kafalah hutang adalah komitmen untuk melunasi
hutang yang berada dalam tanggungan orang lain. Syarat-syarat hutang yang ditanggung:
a. Hutang itu harus sudah berlaku pada saat penanggungan, seperti hutang pinjaman, harga
penjualan, upah, dan mahar. Jika hutang itu belum berlaku, maka penanggungannya tidak
sah, sebab penanggungan sesuatu yang tidak wajib tidak sah. Sebagaimana jika penanggung
mengatakan “Juallah kepada fulan, dan aku yang menanggung harganya, atau beri dia
pinjaman dan aku yang menanggung pengambilannya.”
b. Hutang harus diketahui tidak sah penanggungan terhadap sesuatu yang tidak diketahui,
karena ini merupakan kecurangan. Seandainya penanggung mengatakan “aku menanggung

13
untukmu apa yang ada dalam tanggungan fulan.” Padahal keduanya tidak mengetahui
besarannya, maka penanggungan ini tidak sah.
2. Kafalah terhadap barang atau kafalah penyerahan. Yaitu komitmen untuk menyerahkan
barang tertentu yang ada di tangan orang lain. Seperti mengembalikan barang yang diambil
secara zalim kepada orang yang mengambilnya, dan menyerahkan barang yang dibeli
kepada pembelinya. Dalam kafalah ini disyaratkan dalam barang tersebut harus dijamin
wujudnya kepada penanggung utama, sebagaimana terkait barang yang diambil secara
zalim. Jika barang itu tidak dijamin, seperti pinjaman dan titipan, maka kafalahnya tidak sah.
3. Kafalah terhadap sesuatu yang terkait dan muncul kemudian. Maksudnya kafalah
terhadap sesuatu yang kemudian muncul pada harta yang dijual dan berkaitan dengannya
(garansi), seperti bahaya yang disebabkan oleh sesuatu yang sudah ada pada transaksi jual
beli. Maksudnya adalah penanggungan dan penjaminan terhadap hak pembeli dihadapan
penjual jika ternyata barang yang dijual dimiliki oleh orang lain. Sebagaimana jika ternyata
yang dijual adalah barang milik orang selain penjual, atau barang yang digadaikan.
Jika penanggungan telah menunaikan tanggungan atas nama pihak tertanggung berupa
hutang, maka dia dapat menuntut balik pihak tertanggung selama penanggungan dan
pelunasan itu dengan izinnnya, karena dia mengeluarkan hartanya pada apa yang
digunakannya dengan izinnya. Ini termasuk ketentuan yang telah disepakati oleh empat
imam terkemuka. Namun mereka berbeda pendapat terkait apabila penanggung menjamin
hak atas nama orang lain atas perintahnya, dan dia telah menunaikanya. Syafi’i dan Abu
Hanifah berkata, “dia dianggap sebagai orang yang menanggung dengan suka rela dan tidak
boleh menuntut balik pihak tertanggung.” Pendapat yang masyhur dari Malik adalah bahwa
ia boleh menuntut balik tanggungan tersebut. Ibnu Hazm berkata, “Penanggung tidak boleh
menuntut balik terkait apa yang telah ditunaikanya, baik itu dengan perintah pihak
tertanggung maupun tanpa perintahnya, kecuali jika pihak tertanggung meminta pinjaman
kepadanya.”
Ketentuan-ketentuan hukum terkait kafalah, yaitu:
a. Begitu yang ditanggung tidak ada atau hilang, maka penanggung harus menjamin dan
tidak boleh keluar dari kafalah kecuali dengan pelunasan hutang darinya atau pihak
penanggung utama (tertanggung), atau dengan adanya pembebasan oleh pemberi hutang
sendiri dari hutang, atau mengundurkan diri dari kafalah, dan tidak berhak mengundurkan
diri, karena itu adalah haknya.
b. Pihak yang ditanggung haknya maksudnya pemberi hutang, berhak untuk membatalkan
kesepakatan kafalah secara sepihak meskipun orang yang ditanggung hutangnya atau

14
penanggung tidak ridha. Namun sebaliknya, pihak tertanggung dan penanggung tidak berhak
untuk membatalkan kesepakatan kafalah secara sepihak

Jenis-jenis Kafalah
a. Kafalah bi an-Nafs Adalah jaminan si penjamin. Keterangan: Bank sebagai juridical
personality dapat memberikan jaminan untuk maksud-maksud tertentu.
b. Kafalah bi al-Mal Adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang. Keterangan:
Bentuk kafalah ini merupakan medan yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan
kepada para nasabahnya dengan imbalan fee tertentu.
c. Kafalah bit Taslim Jenis kafalah ini bisa dilakukan untuk menjamin dikembalikannya barang
sewaan pada akhir masa kontrak. Keterangan: hal ini dapat dilakukan dengan leasing
company terkait atas nama nasbah dengan mempergunakan depositnya di bank dan
mengambil fee atasnya.
d. Kafalah al-Mujazah Adalah jaminan untuk tidak dibatasi oleh kurun waktu tertentu atau
dihubungkan dengan maksud-maksud tertentu.
e. Kafalah al-Mualah Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-
Munjazah dimana, jaminan dibatasi oleh kurun waktu dan tujuan-tujuan tertentu.
Keterangan: dalam dunia perbankan modern jaminan jenis ini biasa disebut performance
bonds (jaminan prestasi).

Pelaksanaan Kafalah
Al kafalah dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk, yaitu
(a) munjaz (tanjiz),
(b) mu’allaq (ta’liq), dan
(c) mu’aqqat (tauqit).
Mujaz (tanjis) ialah tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seorang berkata “saya
tanggung si fulan dan saya jamin si Fulan sekarang”, apabila akad penanggungan terjadi,
maka penanggungan itu mengikuti akad 27 hutang, apakah harus dibayar seketika itu ,
ditangguhkan atau dicicil, kecuali disyaratkan pada penanggungan. Mu’allaq (ta’liq) adalah
menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu, seperti seorang berkata “jika kamu
menghutangkan kepada anakku, maka aku yang akan membayarnya” atau jika kamu ditagih
pada A, maka aku yang akan membayarnya”
Mu’aqqat (tauqit) adalah tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada suatu
waktu, seperti ucapan seseorang “bila ditagih pada bulan ramadhan, maka aku menanggung

15
pembayaran utangmu,” apabila akad telah berlangsung maka madmun lah boleh menagih
kepada kafil (orang yang menanggung beban) atau kepada madmun ‘anhu atau makful ‘anhu
(yang berhutang).
Hukum Kafalah
Apabila orang yang ditanggung tidak ada atau ghaib, kafil berkewajiban menjamin. Dan tidak
dapat keluar dari kafalah kecuali dengan jalan memenuhi hutang darinya atau dari asfil. Atau
dengan jalan orang yang menghutangkan menyatakan bebas untuk kafil dari hutang, atau ia
mengundurkan diri dari kafalah, dia berhak mengundurkan diri karena itu persoalan haknya.
Adapun menjadi hak makful lahu atau orang yang menghutangkan memfasakh akad kafalah
dari pihaknya, sekalipun orang yang makful ‘anhu dan kafil tidak rela. Karena nankan
mengambil fee (upah) atas jasa pertanggungan yang telah diberikan kepada makful ‘anhu.
Dengan alasan akad kafalah merupakan akad tabarru’ (charity program), bukan akad
komersial yang berhak untuk mendapatkan kompensasi.
D. Pengertian Syirkah
Menurut bahasa syirkah artinya al-ikhtilath yang artinya campur atau percampuran. Yang
dimaksud dengan percampuran adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta
orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Jumhur ulama kemudian menggunakan
istilah ini untuk menyebut transaksi khusus, meskipun tidak terjadi percampuran kedua harta
itu, karena yang menyebabkan bercampurnya harta adalah transaksi.
Menurut istilah, para ulama fiqih berbeda pendapat dalam mengartikan istilah syirkah,
sebagai berikut:
Menurut ulama Malikiyah, syirkah adalah pemberian izin kepada kedua mitra kerja untuk
mengatur harta (modal) bersama. Setiap mitra memberikan izin kepada mitra lainnya untuk
mengatur harta keduanya.
Menurut ulama Hanabilah, syirkah adalah persekutuan hak atau pengaturan harta.
Menurut ulama Syafi’iyah, syirkah adalah tetapnya hak kepemilikan antara dua orang atau
lebih sehingga tidak dapat dibedakan antara hak pihak yang satu dengan hak pihak yang
lainnya.
Menurut ulama Hanfiyah, syirkah adalah transaksi antara dua orang yang bersekutu dalam
modal dan keuntungan. Sayyid Sabiq berpendapat bahwa musyarakah disebut pula dengan
syirkah yang artinya bersekutu atau bekerjasama. Dalam bahasa ekonomi ada yang
menyebutnya dengan cooperation atau koperasi. Koperasi adalah kerja sama diantara
anggota yang terhimpun dalam suatu lembaga ekonomi tertentu yang segala wewenang dan
hak-haknya berada ditangan seluruh anggota lembaga tersebut.

16
Menurut Dewan Syariah Nasional, Musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad
kerjasama antara dua pihak atau lebih dalam suatu usaha terentu, dimana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Berpijak dari pendapat yang dikemukakan para ulama di atas, musyarakah adalah kerjasama
dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha, yang masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan kerugian ditanggung bersama.
Pernyataan ini dikuatkan oleh pendapat Zuhaili, musyarakah adalah akad kerjasama antara
dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan.

Landasan Hukum Syirkah


Dalam pandangan Islam, hukum adanya perseroan atau syirkah adalah mubah (boleh) karena
syirkah termasuk dalam kegiatan muamalah atau urusan duniawi. Syirkah memupuk
kerjasama dan sikap saling tolong menolong kepada kedua belah pihak. Hal ini diperbolehkan
selama tidak ada hal-hal yang diharamkan seperti penggunaan riba, judi, penipuan, dan
sebagainya. Hal ini didasarkan pada salah satu dalil Al-Qur’an yang menjelaskan mengenai
syirkah yaitu:
... ‫ الصّٰ ِلّٰح ِت َو َقِلْيٌل‬.ۗ.. (٣٨:٢٤) ‫َوِإَّن َك ِثْيًرا ِِّم َن اْلُح َلَطآِء َلَيْبِغ ى َبْعُضُهْم َع َلى َبْع ٍض ِإاَّل اَّلِذ ْيَن َء اَم ُنْو ا َو َع ِم ُلْو ا‬
‫َّم اُهْم‬
Artinya: “…Memang banyak diantara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada
yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan dan hanya sedikitlah
mereka yang begitu…” (QS. Shad [38]: 24)

Ayat diatas menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Dawud a.s musyarakah telah dilakukan.
Salah satunya adalah perkongsian peternakan kambing. Akan tetapi dalam musyarakah
tersebut salah satu pihak melakukan kezaliman dengan menghianati pihak lainnya. Secara
substansial ayat tersebut dapat dijadikan dalil dan dasar hukum bahwa musyarakah itu
hukumnya boleh sebagaimana pada zaman Nabi Dawud a.s.
Syirkah hukumnya jaiz (mubah), berdasarkan dalil hadist Nabi saw. Berupa taqrir
(pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai Nabi, orang-orang pada
saat itu telah bermu’amalah dengan cara syirkah dan Nabi membenarkannya. Nabi bersabda
sebagaimana dituturkan Abu Hurairah r.a:

17
‫ َفِإَذ ا َخ اَنُه َخ َر ْج ُت‬,ُ‫ َم اَلْم َيُخْن َأَح ُدُهَم ا َص اِح َبه‬,ِ‫ َأَنا َثاِلُث الَّش ِرْيَكْين‬:ُ‫ ِإَّن اهلَل َيُقْو ل‬:َ‫ َر َفَع ُه َقال‬,َ‫َع ْن َأِبْى ُهَر ْيَر ة‬
‫(ِم ْن َبْيِنِهَم ا )رواه ابو داود‬
Artinya: “Dari Abi Hurairah r.a. ia merafa’kannya kepada Nabi, beliau bersabda:
sesungguhnya Allah berfirman: “Aku adalah pihak ketiga dari kedua orang yang bersekutu,
selagi salah satu diantara keduanya tidak berkhianat kepada temannya. Apabila dia
berkhianat kepada temannya, maka Aku keluar dari diantara keduanya.” (HR. Abu Dawud)

Syirkah boleh dilakukan antar sesama muslim, antara sesama kafir dzimmi atau antara
seorang muslim dan kafir dzimmi. Maka dari itu seorang muslim juga boleh melakukan
syirkah dengan orang yang berbeda agama seperti Nasrani, Majusi dan kafir dzimmi yang
lainnya selagi usahanya tidak diharamkan bagi kaum muslim.
Seperti hadist Nabi yang diriwayatkan oleh dari Abdullah bin Umar:
‫َع ْن ِاْبِن ُع َم َر َرِض َي اهلُل َع ْنُهَم ا َأَّن َرُسْو َل اهلِل َص َِّلى اهلُل َع َلْيِه َو َس َّلَم َعاَم َل َأْهَل َخ ْيَبَر ِبَش ْتِر َم ا َيْخ ُرُج ِم ْنَها‬
‫(ِم ْن َثَمٍر َأْو َزْر ٍع )مت فق عليه‬
Artinya: “Dari Ibnu Umar sesungguhnya Rasulullah saw. Pernah mempekerjakan penduduk
Khaibar dengan upah separuh dari hasil panenan tanah yang digarap berupa buah atau
tanaman.” (Muttafaq ‘alaih).

Prinsip-Prinsip Syirkah
Syirkah adalah bentuk percampuran (perseroan) dalam Islam yang pola operasionalnya
melekat prinsip kemitraan usaha dan bagi hasil. Pada prinsipnya syirkah berbeda dengan
model perseroan dalam sistim ekonomi kapitalisme. Perbedaan-perbedaan yang ada tidak
hanya tereletak praktik bunga, melainkan juga berbeda dalam hal transaksi
pembentukannya, opersionalnya maupun pembentukan keuntungan dan tanggung jawab
kerugian. Syirkah merupakan konsep yang tepat dapat memecahkan permasalahan
permodalan. Prinsip Islam menyatakan bahwa segala sesuatu yang dimanfaatkan oleh orang
lain berhak memperoleh kompensasi yang menguntungkan baik terhadap barang modal,
tenaga atau barang sewa, disisi lain Islam menolak dengan tegas kompensasi atas barang
modal berupa bunga.
Syirkah sangat penting perannya dalam ekonomi masyarakat. Berhentinya ekonomi sering
terjadi karena pemilik modal tidak mampu mengelola modalnya sendiri atau sebaliknya
mempunyai kemampuan mengelola namun tidak mempunyai modal untuk usaha. Hal
tersebut dapat dipecahkan dalam syirkah yang dibenarkan syariat Islam. Berdasarkan
karakteristiknya, syirkah menjadi alternatif lain dalam umat Islam melakukan usaha yang
mengharapkan kompensasi keuntungan dalam usahayangdilakukan.

18
Rukun dan Syarat Syirkah
a. Rukun Syirkah Para ulama berselisih pendapat mengenai rukun syirkah, menurut ulama
Hanfiyah rukun syirkah adalah ijab (ungkapan penawaran melakukan perserikatan) dan
qabul (ungkapan penerimaan perserikatan). Adapun mengenai dua orang yang berakad
dan harta benda diluar pembahasan akad seperti dalam akad jual beli. Jumhur ulama
menyepakati bahwa akad merupakan salah satu hal yang harus dilakukan dalam syirkah.
Adapun rukun syirkah menurut para ulama, yaitu:
1) Sighat (Ijab dan Qabul) Syarat sah dan tidaknya akad syirkah tergantung pada sesuatu
yang ditransaksikan dan juga kalimat akad hendaknya mengandung arti izin buat
membelanjakan barang syirkah dari peseronya.
2) Al-aqidain (subjek perikatan) Syarat menjadi anggota perserikatan yaitu: orang yang
berkal, baligh, dan merdeka atau tidak dalam paksaan. Disyaratkan pula bahwa seorang
mitra diharuskan berkompeten dalam memberikan kekuasaan perwakilan, dikarenakan
dalam musyawarah mitra kerja juga berarti mewakilkan harta untuk diusahakan.
3) Mahallul aqd (objek perserikatan) Objek perserikatan bisa dilihat meliputi modal
maupun kerjanya. Modal dari masing-masing persero dijadikan satu yaitu menjadi harta
perseroan dan tidak dipersoalkan lagi dari mana asal usulnya.
b. Syarat Syirkah Ulama Hanafiyah menetapkan syarat-syarat untuk syirkah uqud. Sebagian
dari syarat-syarat tersebut ada yang berlaku umum untuk semua jenis syirkah uqud dan
sebagian lagi berlaku khusus untuk masing-masing jenis syirkah.
Adapun syarat-syarat syirkah sebagai berikut: 23
1) Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun
dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat tiga syarat, yaitu:
a) Berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai
perwakilan.
b) Berkenaan dengan keuntungan yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat
diketahui dua pihak, mislanya setengah, sepertiga dan yang lainnya.
c) Keuntungan harus merupakan bagian yang dimiliki bersama secara keseluruhan.

2) Sesuatu yang bertalian dengan syirkah amwal. Dalam hal ini terdapat dua perkara
yang harus dipenuhi, yaitu:
a) Modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan baik jumlahnya sama maupun
berbeda. Ini adalah pendapat jumhur ulama, dengan demikian modal tidak boleh berupa
utang atau harta yang tidak ada ditempat akad.

19
b) Modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah barang berharga secara mutlak yaitu
uang.

3) Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah bahwa dalam mufawadhah


disyaratkan:
a) Modal (harta pokok) dalam syirkah mufawadhah harus sama.
b) Pihak yang melakukan syirkah ahli untuk kafalah.
c) Objek akad syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atas perdagangan.
d) Pembagian keuntungan harus sama.
e) Dalam melakukan transaksi (akad) harus menggunakan kata mufawadhah.
Syarat-syarat tersebut harus dipenuhi apabila salah satu syarat tidak ada maka syirkah
akan berubah menjadi syirkah inan karena dalam syirkah inan tidak diperlukan syarat-
syarat tersebut.

4) Adapun syarat-syarat yang bertalian dengan syirkah abdan sama dengan syarat-syarat
syirkah mufawadhah apabila bentuk syirkah ini mufawadhah. Apabila bentuknya syirkah
inan maka tidak ada persyaratan syirkah mufawadhah kecuali kecakapan dan wakalah.
5) Syarat yang bertalian dengan syirkah wujuh, yaitu apabila bentuk syirkah wujuh ini
mufawadhah maka berlakulah syaratsyarat syirkah mufawadhah yang intinya persamaan
dalam berbagai hal. Apabila bentuk syirkah wujuh adalah inan maka tidak harus
memenuhi syarat-syarat mufawadhah di atas. Menurut ulama mazhab Malikiyah syarat-
syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh dan
pintar. Sedangkan syarat modal syirkah tidak harus berupa uang tunai. Sebaliknya,
syirkah boleh dilaksanakan dengan uang dirham atau dinar sebagaimana juga boleh
dilaksanakan dengan barang dagang, baik barang dagangan sejenis atau bukan. Jika
syirkah dilaksanakan dengan barang dagangan, maka ia diukur sesuai harganya.
Alasannya karena syirkah dilaksanakan dengan modal yang jelas maka hukumnya seperti
syirkah yang dilaksanakan dengan uang tunai. Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa
syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah inan sedangkan syirkah yang lainnya batal.
Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 mengatur mengenai pembiayaan musyarakah
dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Ijab Kabul Ijab kabul yang dinyatakan para pihak harus memperhatikan hal-hal berikut:
penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad),
penerimaan dan penawaran dilakukan pada saat kontrak dan akad dituangkan secara

20
tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi
modern. 23 Az-Zuhaili, Fiqih., 453. 24 Deny Setiawan, “Kerja Sama (Syirkah) Dalam
Ekonomi Islam”, Jurnal Ekonomi, 3 (September 2013), 4. 25 Fatwa Dewan Syariah
Nasional No: 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah.
2) Subjek Hukum Para pihak yang berkontrak harus cakap hukum dan memperhatikan
hal-hal berikut: kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan,
setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan melaksanakan kerja sebagai
wakil. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur asset musyarakah dalam proses bisnis
normal, setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola asset
dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktivitas
musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian
dan kesalahan yang disengaja, dan seorang mitra tidak diijinkan untuk mencairkan atau
menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
3) Objek Akad Objek akad pada musyarakah terdiri dari modal, kerja, keuntungan dan
kerugian. Masing-masing ditentuak hal-hal sebagai berikut:
a) Modal - Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nialainya
sama. Modal dapat terdiri dari asset perdagangan seperti barang-barang, property, dan
sebagainya. Jika modal berbentuk asset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan
disepakati oleh para mitra. - Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan,
menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali
atas dasar kesepakatan. - Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada
jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, Bank (LKS) dapat
meminta jaminan.
b) Kerja - Partisipsi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan
musyarakah, akan tetapi persamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang
mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dalam hali ini ia boleh
menuntut keutungan tambahan bagi dirinya. - Setiap mitra melaksanakan kerja dalam
musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing
dalam organisasi harus dijelaskan dalam kontrak.
c) Keuntungan Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan
perbedaan dang sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau ketika penghentian
musyarakah. - Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar
seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan diawal yang ditetapkan bagi
seorang mitra. - Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi

21
jumlah tertentu, kelebihan atau presentasi itu diberikan kepadanya. - Sistem pembagian
keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad. - Kerugian harus dibagi diantara
para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
d) Biaya operasional dan persengketaan - Biaya opersional dibebankan pada modal
bersama. - Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrasi Syariah setelah tidak terjadi kesepakatan melalui musyawarah.

Macam-Macam Syirkah
Syrikah secara garis besar terbagi menjadi dua jenis, yaitu: syirkah amlak (kongsi hak
milik) dan syirkah uqud (kongsi transaksi). Dalam hukum positif, syirkah amlak dianggap
sebagai syirkah paksa (ijbariyah), sedangkan syirkahuqud dianggap sebagai syirkah
sukarela (ikhtiyariyah). a. Syirkah Amlak Syirkah amlak adalah persekutuan antara dua
orang atau lebih untuk memiliki harta bersama tanpa akad syirkah.
Syrikah hak milik ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Syirkah ikhtiyar (sukarela), yaitu: syirkah yang terjadi atas perbuatan dan kehendak
pihak-pihak yang berserikat. Contohnya dua orang yang berserikat untuk membeli suatu
barang atau mendapatkan hibah atau wasiat dan kedua pihak menerimanya segingga
keduanya menjadi sekutu dalam hak milik.
2) Syirkah jabar (paksa), yaitu: syirkah yang terjadi tanpa keinginan pihak yang
bersangkutan. Seperti dua orang yang mendapatkan warisan, sehingga barang yang
diwariskan tersebut menjadi hak milik kedua orang yang bersangkutan. 30 b. Syirkah
Uqud Syirkah uqud adalah persekutuan antara dua orang atau lebih untuk menjalin
persekutuan dalam harta dan keuntungan. Dalam syirkah ini keuntungan dibagi secara
proporsional diantara para pihak. Kerugian juga ditanggung secara proporsional sesuai
dengan modal masing-masing yang diinvestasikan.
Adapun macam-macam syirkah uqud, yaitu:
1) Syirkah Inan Syirkah inan adalah persekutuan antara dua orang atau lebih, setiap pihak
memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja.
Keuntungan yang diperoleh dibagi diantara keduanya. Persekutuan ini tidak
mensyaratkan persamaan dalam harta, tindakan atau dalam keuntungan. Salah seorang
dari keduanya boleh menjadi penanggungjawab tanpa rekannya. Apabila ada kerugian
maka kerugian tersebut ditanggung bersama sesuai kesepakatan. Untuk itu dalam
syirkah ini tidak ada istilah jaminan (kafalah), sehingga masing-masing pihak hanya

22
dimintai tanggung jawab atas tindakannya sendiri dan tidak dimintai
pertanggungjawaban atas tindakan pihak lainnya.
2) Syirkah Mufawadhah Syirkah mufawadhah adalah persekutuan antara dua orang atau
lebih dalam suatu pekerjaan dengan syarat keduanya sama dalam modal, pengelolaan
harta, agama, masing-masing pihak saling terikat dengan transaksi yang dilakukan pihak
lainnya baik dalam bentuk haka maupun kewajiban.
3) Syirkah Wujuh Syirkah wujuh adalah persekutuan dua orang atau lebih reputasi dan
kedudukan serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu
perusahaan dan menjual kembali barang tersebut dengan tunai dan mereka berbagi
keuntungan dan kerugian. Ini adalah persekutuan dalam tanggungjawab tanpa pekerjaan
atau harta.
4) Syirkah Abdan Syirkah abdan adalah persekutuan dua orang dengan masingmasing
pihak menyerahkan kontribusi tenaga atau keahlian tanpa adanya modal. Persekutuan
ini boleh dilakukan baik pekerjaan keduanya sama maupun berbeda. Persekutuan ini
5) Syirkah Mudharabah Syirkah mudharabah disebut juga dengan qiradh. Syirkah ini
terbentuk antara dua belah pihak dimana pihak pertama menyerahkan keseluruhan
modal (shahibul mal) dan pihak kedua adalah orang yang mengelola modal (mudharib).
Dalam syirkah ini keuntungan dibagi sesuai proporsi yang telah disepakati. Sedangkan
kerugian akan ditanggung oleh pemodal selama itu bukan kelalaian pengelola.
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam bentuk-bentuk syirkah uqud, yaitu:
1) Menurut ulama Hanabilah syirkah uqud ada lima macam, yaitu: syirkah inan, syirkah
mufawadhah, syirkah abdan, syirkah wujuh, syirkah mudharabah.
2) Menurut ulama Hanafiyah syirkah uqud ada enam macam, yaitu:
a) Syirkah amwal - Syirkah mufawadhah - Syirkah inan 28 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah,
(Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), 246-247. 29 Setiawan, Kerja sama., 5. 30 Ibid. 33
b) Syirkah a’mal - Syirkah mufawadhah - Syirkah inan
c) Syirkah wujuh - Syirkah mufawadhah - Syirkah inan
3) Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah syirkah uqud ada empat macam, yaitu:
syirkah inan, syirkah mufawadhah, syirkah abdan, syirkah wujuh.

6. Berakhirnya Akad Syirkah Ada beberapa sebab berakhirnya syirkah yang telah
diakadkan oleh pihak-pihak yang melakukan syirkah, yaitu:
a. Syirkah akan berakhir apabila salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa
persetujuan yang lainnya. Syrikah adalah akad yang bersifat tidak mengikat menurut

23
mayoritas ulama. Akad ini terjadi atas dasar rela sama rela antara kedua belah pihak
yang tidak semestinya dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi.
b. Salah satu pihak meninggal dunia. Apabila anggota syirkah lebih dari dua orang yang
batal hanya yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus pada anggota-anggota yang
masih hidup. Apabila ahli waris anggota yang meninggal turut serta dalam 34
syirkahtersebut maka dilakukan perjanjian baru lagi bagi ahli waris yang bersangkutan.
c. Salah satu pihak murtad atau masuk ke negeri musuh maka kedudukannya sama
seperti kematian.
d. Salah satu pihak gila sehingga hilangnya kecakapan untuk bertasharuf (mengelola
harta).
e. Rusaknya modal syirkah secara keseluruhan atau salah satu pihak sebelum
dibelanjakan.
f. Tidak terwujudnya persamaan antara dua modal tersebut pada awal akad. Adanya
persamaan antara dua modal pada awal akad adalah syarat terjadinya akad yang sah.

24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wadi’ah dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan
prinsip al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak
ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja si penitip menghendak.
Khiyar Dalam perspektif Islam, jelas bahwa acuan kejujuran dalam berdagang
harus diletakkan dalam kerangka ukuran-ukuran yang bersumber dari ajaran Islam,
yakni Al-Qur‟an dan Hadis. Karena itu, sistem nilai yang Islami yang mendasari
perilaku perdagangan merupakan masalah penting untuk diungkapkan.
kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada
pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Kafalah
dengan jiwa ini dikenal juga dengan kafalah al-wajhi, yaitu adanya keharusan pada
pihak penjamin (kafl, damin atau za’im) untuk menhadirkan orang yang ia tanggung
pada yang ia janjikan tanggungannya.
Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya campur atau
percampuran. Maksud percampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya
dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Menurut defenisi
syariah, syirkah adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk
melakukan suatu usaha finanssial dengan tujuan mencari keuntungan.

B. Saran
Karena keterbatasan pengetahuan kami, hingga hanya inilah yang dapat kami
sajikan,dan tentu saja masih sangat kurang dari sisi materinya, maka itu kami
mengharapkanmasukan baik itu kritik maupun saran dari pembaca demi melengkapi
kekurangan tersebut.

25
DAFTAR PUSTAKA

SRI SUDIARTI, FIQH MUAMALAH KONTEMPORER, Oktober 2018.


Deny Setiawan, “KERJA SAMA (SYIRKAH) DALAM EKONOMI ISLAM”, JURNAL
EKONOMI, Volume 21, Nomor 3 September 2013.
Desminar, “AKAD WADIAH DALAM PERSPEKTIF FIQIH MUAMALAH”, jurnal
menara ilmu, Vol. XIII No.3 Januari 2019.
Ckamilatun Nikmah, Firdausi Amalia Khoir, Hesty Ova Noviandani, “KONSEP WADIAH
MENURUT FIKIH DAN (KHES)”, Jurnal Al-Tsaman.
Rahmat Syafi‟i, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Astutik, S. (2017). The Principle Of Legal Relationship Between Syari’ah Banks And Customers
Saving Their Money. Hang Tuah Law Journal, 1(2), 139– 154.
Bahri, S., Syarkawi, M., & Fizazuawil, M. (2019). Trust Giving Transactions on Mu’amalah Al-Wadi’ah
(Study of Thematic Interpretation Approaches to the Word Al-Wadiah in the Qur’an).
Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal), 2(1),
51–57.
Basyariah, N., & Latif Rodhiyah, F. (2018). Tingkat Pemahaman Karyawan Bank Syariah Terhadap
Produk Tabungan Wadiah Pada Bank Syariah DI Yogyakarta. Mukaddimah: Jurnal
Studi Islam, 3(2), 121–166.
Fitrotus Sa’diyah, D. (2019). Penerapan Akad Wadi’ah Pada Produk Simpanan Idul Fitri Di LKMA
Syari’ah Amanah Mandiri Desa Sekarputeh Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk.
Jurnal Dinamika Ekonomi Syariah, 6(1), 55–76.
Ghozali, M., & Aruni Mafaza, S. (2020). Applications of Savings and Deposit Contracts in Islamic
Financial Institutions. Al-Iktisab: Journal of Islamic Economic Law, 4(2), 136–145.
Hayati Nasution, M., & Sutisna. (2015). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Nasabah
Terhadap Internet Banking. Dewan Redaksi : 01-01=6- 2015, 1(1), 62–73. 103
Huda, Nur. (2015). Perubahan Akad Wadi’ah. Economica: Jurnal Ekonomi Islam, 6(1), Article 1.
Lutfi. M. (2020). Penerapan Akad Wadiah DI Perbankan Syariah. Perbankan Syari’ah, STAI
Binamadani., vol 3 no 2, 132–146.
Murniati, R. (2021). Islamic Perspectives on the Implementation of Wadiah Products at Islamic
Banks in Indonesia. Journal of Economics, Management and Trade, 38–46.
Octvina, Tita & Fauzi. (2019). Analisis Pengetahuan Tentang Perbankan Syariah Santri Pondok
Pesantren Al-Ittihad Mojokerto dan Pengaruhnya Terhadap Minat Menabung di Bank
Syariah. Iqitishodia : Jurnal Ekonomi Syariah, Vol 4 no 2, hal 181-206.

26
Samsul, & Ismawati. (2020). Tingkat Pemahaman Mahasiswa Terhadap Produkproduk Perbankan
Syariah. Al-Mashrafiyah : Jurnal Ekonomi, Keuangan, dan Perbankan Syariah, 4 no 1,
67–78.
Sofwan, A., & Afidatul Khotijah, S. (2022). Analysis OF The Lack OF Public Knowledge Regarding The
Development OF Islamic Banking IN Indonesia. Current Advanced Research ON Sharia
Finance And Economic Worldwide (Cashflow), 1(4), 85–92.
Dahlan, Ahmad. (2018). Bank Syariah Teoritik, Praktik, Kritik. Yogyakarta : Kalimedia.
Hardani. et. al. (2020). Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Yogyakarta : CV. Pustaka Ilmu
Group Yogyakarta.
Herdiansyah, H. (2015). Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Psikologi. Jakarta : Salemba Humanika.
Ismail. (2011). Perbankan Syariah. Jakarta, Indonesia : Kencana.
Kartono, Kartini. (1996.) Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung : CV Mundur Maju
Malau, Herman. (2018). Manajemen Pemasaran Teori dan Aplikasi Pemasaran Era Tradisional
Sampai Era Modernisasi Modern. Bandung : Alfabeta.
(t.thn.). Diambil kembali dari
http://repository.uma.ac.id/bitstream/123456789/1791/5/128400014_file5. pdf:
http://repository.uma.ac.id/bitstream/123456789/1791/5/128400014_file5. pdf
AMINULLAH, N. (2020). Pelaksanaan supervisi klinis guru di SMP Negeri 1 kikim tengan kabupaten
lahat. Repository UIN Raden Fatah, 25.
Hamdi. (2015). Penetapan Status Penggunaan Barang Milik Negara Dalam Rangka Optimalisasi
Penerimaan Negara. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 4, 502.
Hanafi, M. (2021, APRIL 03). Hakekat Kekayaan Menurut Pandangan Islam. Dipetik APRIL 12, 2022,
dari Kemenag NTB: https://ntb.kemenag.go.id/baca/1617449340/hakekat-kekayaan-
menurutpandangan-islam
https://kbbi.web.id/mekanisme.
(t.thn.). https://www.djkn.kemenkue.go.id/berita_media/baca/6817/beda-keuangan-dankekayaan-
negara.html.
(t.thn.). Dipetik april 12, 2022, dari
https://www.djkn.kemenkue.go.id/berita_media/baca/6817/bedakeuangan-dan-
kekayaan-negara.html
Jamaluddin. (2019). Elastisistas Akad Al-Ijarah (Sewa-Menyewa) Dalam Fiqh Muamalah Persfektif
Ekonomi Islam. Jurnal at-Tamwil, 18.

27
Jannah, N. L. (2019). Administrasi Pemanfaatan Barang Milik Negara Melalui Sewa di Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jember. Digital Repository
Universitas Jember.
Kemenkeu. (2016). Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57/PMK.06/2016. 8.
Kementerian Keuangan . (2014, november 11). Kementerian Keuangan Republik
Indonesia. Dipetik agustus 3, 2021, dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia
web site: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/page/2922/SejarahDJKN.html

28

Anda mungkin juga menyukai