Disusun Oleh:
Kelompok 9:
Hijjatul Munawaroh (2221609044)
Muhammad Riski (2221609051)
Muhammad Fadhil Faadihilah (2221609048)
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT. Karena atas rahmat, karunia serta
kasih sayangnya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai peradaban islam pada masa
Rasulullah saw di makkah ini dengan sebaik mungkin. Sholawat serta salam semoga tetap
tercurah kepada Nabi terakhir, penutup para Nabi sekaligus satu-satunya uswatun hasanah
kita, Nabi Muhammad SAW. Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada Bapak
Muhammad Idzhar, Lc., M.H. selaku dosen mata kuliah Fiqih Muamalah.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat
kesalahan dan kekeliruan, baik yang berkenaan dengan materi pembahasan maupun
dengan teknik pengetikan, walaupun demikian, inilah usaha maksimal kami selaku para
penulis usahakan. Semoga dalam makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan dan diharapkan kritik yang membangun dari para pembaca guna
memperbaiki kesalahan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Penulis,
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN........................................................................................................................3
A. Pengertian Akad Utang Piutang (Qardh)........................................................................3
B. Landasan Hukum Akad Utang Piutang (Qardh).............................................................4
C. Syarat dan Rukun Utang Piutang (Qardh)......................................................................6
D. Etika dalam Berutang......................................................................................................7
E. Implementasikan utang piutang (Qardh) di Lembaga Keuangan Syariah (LKS)...........9
BAB III.....................................................................................................................................10
PENUTUP................................................................................................................................10
A. Simpulan.......................................................................................................................10
B. Saran..............................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang dilahirkan di muka bumi untuk
selalu berinteraksi, mengadakan pertalian, kontak dan perhubungan timbal balik antara
manusia yang satu dengan manusia yang lain, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa dalam
kehidupan manusia sehari-hari membutuhkan pertolongan dari orang-orang yang ada
disekitarnya, guna memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak dapat dilakukannya sendiri.
Dalam syari’at Islam dianjurkan untuk selalu saling tolong menolong dalam hal
kebaikan, yang kaya menolong yang miskin, yang kuat menolong yang lemah. Dalam Al-
Qur’an anjuran dan perintah untuk saling tolong menolong terdapat dalam Surat Al-
Maidah ayat 2 yang artinya “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran
dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”
Bentuk dari pertolongan tersebut dapat berupa pemberian atau pinjaman atau dalam
istilah fiqh disebut dengan dain atau qardh. Beberapa ayat Al-Quran tentang anjuran
memberikan pinjaman, diantaranya adalah Surah Al-Hadid ayat 11 yang artinya “Siapa
saja yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik. maka Allah akan
melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan ia akan memperoleh pahala yang
banyak”.
Syariat Islam memerintahkan umatnya agar saling tolong- menolong dalam segala
hal, salah satunya dapat dilakukan dengan cara pemberian atau pinjaman. Dalam bentuk
pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur atau orang yang memberikan
pinjaman agar jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, pihak kreditur diperbolehkan
meminta barang kepada debitur sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diberikan
kepadanya.
B. Rumusan Masalah
Adapun sebagian permasalahan yang hendak dibahas dalam makalah ini antara lain:
1. Apa pengertian akad utang piutang (qardh)?
2. Bagaimana landasan hukum akad utang piutang (qardh)?
3. Apa saja rukun dan syarat akad utang piutang (qardh)?
4. Bagaimana etika dalam utang piutang?
5. Bagaimana cara mengimplementasikan utang piutang (qardh) di Lembaga Keuangan
Syariah (LKS)?
1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian akad utang piutang (qardh)
2. Untuk mengetahui landasan hukum akad utang piutang (qardh)
3. Untuk mengetahui apa saja rukun dan syarat akad utang piutang (qardh)
4. Untuk mengetahui bagaimana etika dalam utang piutang
5. Untuk mengetahui cara mengimplementasikan utang piutang (qardh) di Lembaga
Keuangan Syariah (LKS)
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 151.
2
Syaikh Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan, Mulkhas Fiqh Panduan Fiqih Lengkap, hlm. 100.
3
Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer Hukum Perjanjian Ekonomi Dan Bisnis Dan Social
(Ghalia Indonesia, 2012), hlm. 178.
3
B. Landasan Hukum Akad Utang Piutang (Qardh)
Utang juga bisa berubah-ubah hukumnya sesuai dengan niat atau tujuan atau kondisi
seseorang. Utang itu haram hukumnya bagi siapa yang berutang dengan niat sengaja mau
mengemplang atau menangguh-nangguhkan pelunasannya. Utang itu berubah hukumnya
menjadi makruh bagi orang yang merasa tidak mampu membayarnya sesuai kesepakatan
dan bagi orang yang tidak terdesak. Dan utang itu berubah hukumnya menjadi sunah
ketika dalam keadaan kesempitan hidup, dan berubah lagi menjadi wajib bagi orang yang
terdesak.
Namun yang perlu ditekankan di sini ialah, meskipun diperbolehkan oleh syariat
Islam, kita tidak boleh berutang sesuka hati. Utang itu seharusnya bukan menjadi the way
of life atau cara hidup sebagaimana yang banyak dilakukan masyarakat kita hari ini.
Utang itu kita ambil sebagai the last alternative atau alternatif terakhir ketika alternatif-
alternatif lainnya tidak memungkinkan. Ini karena utang mempunyai resiko berat, baik di
dunia maupun di akhirat. Tambahan pula, Nabi saw tidak menggalakkan transkasi utang-
piutang ini, bahkan sebaliknya beliau itu sering berlindung kepada Allah dari utang
piutang.4
ٌ ور َح ِل َّ َ ْ ُ َ ْ ْ َ َ ْ ُ َ ُ ْ َ ُ ً َ َ ً ْ َ َ َّ
ٌ آلل ُه َش ُك ُ ْإن ُت ْقر
يم و ض وأآلل ه قر ض اح س ن اي ض ِعفه ل ك م و ي غ ِفر ل ك م ِ
Yang artinya “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka
Allah akan melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampunikamu dan
Allah maha pembalas jasa lagi maha penyantun”. Ayat ini menjelaskan bahwa
dalam melaksanakan prakatik pinjam meminjam, maka yang menjadi
pertimbangan utama adalah baik, maslahah, memberi manfaat, dan tidak saling
merugikan.5
b. Surah Al- Baqarah ayat 282 yang menjelaskan bimbingan dan petunjuk cara
berutang. Hal ini menunjukkan bahwa utang piutang itu hukumnya halal atau
dibenarkan oleh Islam. Karena jika tidak dibolehkan tentu Allah tidak akan
memberi petunjuk tata cara yang benar ketika melakukannya.
4
Muchammad Ichsan, “Hukum dan Etika Berutang”, Jurnal Tarjih, Vol.11 No. 1 (Januari, 2013), hlm. 34-35.
5
Departemen Agama Republik Indonesia, al_Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Al-Hidayah, 1971), 942
4
5
c. Surah Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi:
ّٰ ّٰ ُ َّ ْ ْ َ اْل ُ َ اَل ْ َّ ْ َ ُ َ
َوت َع َاون ْوا َعلى ال ِب ّ ِر َوالتق ٰو ۖى َو ت َع َاون ْوا َعلى ا ِ ث ِم َوال ُع ْد َو ِان َۖواتقوا الل َه ِۗا َّن الل َه
َ ْ ُْ َ
اب
ِ ش ِديد ال ِع
ق
Yang artinya “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan
takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran dan
berakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya”. Ayat
ini menjelaskan bahwa pada hakikatnya pelaksanaan dan praktik dalam utang
piutang motivasinya adalah tolong menolong antar sesama. Oleh karena itu maka
dalam pelaksanaannya tentu harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam tuntunan agama Islam.6
2. Dasar Hadist Tentang Qardh
Banyak hadis yang menyatakan bahwa Nabi saw. dan para sahabat juga
bertransaksi dengan cara berutang-piutang. Di antara hadis tersebut adalah seperti
berikut:
َّ ْ َ ُ َ َ ُأ َ َ َّ َ َ َّ ُ ْ ُ َ َ َ َ َ ْ َأ
صلي الل ُه َعل ْي ِه َو َسل َم َر ْأيت ل ْيل ُه ْس ِرى ِبي َعلي َبا ِب ا ل َجن ِة س ْب ِن َما ِل ِك قا ل ر سول الل ِه ِ عن
ن
َ ْ
ض أفض ُل ِم َن ْ َْ ُ َ َ ُ ْ ْ َ ُ َُْ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ ْ ْ َ ُ َ َ َّ َُْْ َ
ِ ض ِبشما ِني ِة عشر فقلت يا ِجب ِريل ما با ل القر ِ الصدقة ِبعش ِرأمث ِلهاوالقر :مكتوبا
اج ِة (رواه ابن ما َ ض إأَل م إألم ْن َح ُ أل َوع ْن َد ُه َوامْل ُ ْس َت ْقر
ُ ض َال َي ْس َت ْقر َّ الص َد َقة َق َل َأِل ْن
ُ السااِل َ ُي َس َّ
ِ ِ ِ ِ
)جة
Artinya:”Dari Anas ibn Malik ra berkata, Rasulullah SAW bersabda”pada malam aku
di isra’kan aku melihat pada sebuah pintu surga tertulis shadaqoh di balas sepuluh kali
lipat dan utang di balas delapan belas kali lipat” lalu aku bertanya ”wahai Jibril
mengapa mengutangi lebih utama dari pada shadaqoh ?” ia menjawab ”karena
meskipun seorang pengemis meminta-minta namun masih mempunyai harta,
sedangkan seorang yang berutang pastilah karena ia membutuhkannya (H.R. Ibnu
Majah)7
6
Departemen Agama Republik Indonesia, al_Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Al-Hidayah, 1971), 157
7
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz Tsani, (Beriut Libanon: Darul Fikr), hlm. 15.
6
Hadits di atas telah menjelaskan bahwa memberi hutangan dengan transaksi yang
baik, maslahah, dan memberi manfaat serta tidak ada unsur riba di dalamnya
seseorang lebih utama dibandingkan dengan shodaqoh, karena seseorang yang
berhutang pada hakikatnya benar-benar tidak memiliki harta untuk memenuhi
kebutuhannya, sedangkan seseorang yang diberi shodaqoh belum tentung
membutuhkan apa yang dishodakahkan dan masih dikatagorikan orang yang masih
memiliki kemampuan untuk memenuhi standar minimal kebutuhan hidupnya.
8
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), hlm. 278.
9
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), hlm. 280.
7
b. Ma’qud Alaih. Menurut jumhur Ulama’ adalah objek, yaitu uang atau barang yang
dipinjamkan kepada pihak peminjam. Barang yang digunakan dalam akad qardh
adalah barang yang bisa di akad salam. Ketika suatu barang dapat di akad salam,
barulah barang tersebut bisa dihutangkan dan akad qardh dianggap sah, baik
berupa barang-barang yang ditakar (makilat) dan ditimbang (mauzurut) maupun
qimiyat (barang-barang yang tidak ada persamaanya seperti hewan, barang-barang
dagangan, dan barang yang dihitung atau dengan perkataan lain, setiap barang
yang boleh dijadikan objek jual beli boleh pula dijadikan objek akad Qardh.10
c. Ijab qobul. Qardh adalah suatu akad kepemilikan atas harta. Oleh karena itu, akad
tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan qobul, sama seperti akad jual
beli dan hibah. Shighat ijab bisa dengan menggunakan lafal Qardh atau utang atau
pinjam atau dengan lafal yang mengandung arti kepemilikan. Dimana ijab qabul
ini harus diucapkan secara jelas sehingga dapat dipahami kedua belah pihak dan
meminimalisir adanya kesalahpahaman.11
10
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), hlm. 281.
11
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), hlm. 282.
8
3. Mencatat utang-piutang
Transaksi utang-piutang berapapun jumlahnya sebaiknya dicatat. Berutang-piutang
dengan orang lain, baik orang itu adalah kerabat kita sendiri, apalagi dengan orang
yang bukan kaum keluarga kita, sebaiknya ditulis. Petunjuk untuk mencatat utang-
piutang ini dimaksudkan agar kita tidak lupa dan supaya menghindarkan pertikaian di
kemudian hari. Dalam permulaan surat Al- Baqarah ayat 282, Allah menegaskan hal
ini dengan firman-Nya:
ٌۢ َ ْ ُ َ ْ َّ ْ ُ ْ َ ْ َ ُۗ ْ ُ ُ ْ َ ًّ َ ُّ َ َ ٰٓ ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ْٓ ُ َ ٰ َ ْ َّ َ ُّ َ ٰٓ
يايها ال ِذين امنوا ِاذا تداينتم ِبدي ٍن ِالى اج ٍل مسمى فاكتبوه وليكتب بينكم كا ِتب
ْ
ِبال َع ْد ِ ۖل
Yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang
piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”
4. Menghadirkan dua orang saksi
Untuk menguatkan dan melengkapi petunjuk menulis utang piutang dan supaya
transaksi utang piutang itu tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, maka Allah
menyuruh kita menulisnya dengan cermat dan menghadirkan dua orang laki-laki
untuk menjadi saksi atas transaksi ini. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh
juga disaksikan oleh satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Hal ini disebutkan
oleh Allah pada penghujung surat al-Baqarah ayat 182:
َ َ َ َ ُ َّ َ ۚ ُ َ ْ َْ َ
استش ِه ُد ْوا ش ِه ْي َد ْي ِن ِم ْن ِّر َج ِالك ْم ف ِا ْن ل ْم َيك ْونا َر ُجل ْي ِن ف َر ُج ٌل َّو ْام َرا ٰت ِن و
Yang artinya ” Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan”
5. Membayar utang tepat waktu dan tidak menangguh-nangguhkannya
Orang yang berutang harus membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah
disepakati atau bahkan sebelum temponya. Segala usaha harus dikerahkan supaya ia
bisa melunasi utang tersebut tepat waktu. Kalau perlu menjual barang-barang
berharga yang dimilikinya untuk keperluan itu.
9
6. Tidak memberi bunga uang
Ketika berutang kita tidak boleh memberi bunga uang kepada orang yang kita utangi,
dan ketika mengutangi orang, kita tidak boleh menerima bunga uang dari orang yang
berutang kepada kita. Inilah ajaran Islam yang paling pokok dalam masalah utang-
piutang ini; tidak boleh menerima maupun memberi bunga uang atas utang piutang
kita.12
1. Pembiayaan talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan
untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya
sebelum keberangkatan haji.13
2. Pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, di mana nasabah
diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik Bank melalui ATM. Nasabah akan
mengembalikan berdasarkan jangka waktu yang ditentuan.
3. Sebagai pinjaman kepada UKM (usaha Kecil Menengah), karena kalau bank
menawarkan pembiayaan lain seperti skema jual-beli, Ijarah atau bagi hasil yang
sifatnya komersil akan memberatkan nasabah.
4. Sebagai pinjaman kepada pengurus Bank, karyawan dan lain-lain. Bank menyediakan
fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan karyawan Bank. Karyawan
atau pengurus Bank akan mengembalikannya secara cicilan melalui pemotongan
gajinya dan upaya ini sebagai salah satu peran fungsi motivasi kepada karyawan
terhadap bank untuk meningkatkan loyalitas karyawan.14
12
Muchammad Ichsan, “Hukum dan Etika Berutang”, Jurnal Tarjih, Vol.11 No. 1 (Januari, 2013), hlm. 35-40.
13
DSN-MUI, Himpunan Fatwa DSN-MUI (Jakarta: Gaung Persada, 2006), hlm. 171.
14
Rukiah Lubis, “Implementasi Sifat Ta’awun Dalam Lembaga Keuangan Syariah Melalui Akad Al –Qardh”,
Jurnal Studi Multidisipliner, Vol.6 No. 1 (Januari, 2019), hlm. 99-101.
10
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
Demikianlah makalah yang telah dipaparkan, semoga apa yang telah dipaparkan
dalam makalah ini dapat dimengerti. Jika ada kesalahan dan kekurangan dalam penulisan
makalah ini mohon sekiranya dapat memberikan kritik dan saran agar kedepannya bisa
lebih baik lagi.
11
DAFTAR PUSTAKA
Ichsan Muhammad. (2013). Hukum dan Etika Berutang. Jurnal Tarjih, 11(1)
Lubis Rukiah. (2019). Implementasi Sifat Ta’awun Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Melalui Akad Al –Qardh. Jurnal Studi Multidisipliner, 6(1)
Rofiullah Hendra. (2021). Pendangan Hukum Islam Terhadap Akad Dan Praktik Qard
(Hutang Piutang). Jurnal Pengembangan Ekonomi Syariah, 3(2)
12