Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HIWALAH (PEMINDAHAN HUTANG)

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Fiqh Muamalah

Dosen Pengampuh :

Dra. Zuraidah, M.H.I

Disusun oleh :

1. Putri Meidina (2220101027)

2. Rizki Okta Ramadhani (2220101029)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-

Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Fiqh Muamalah ini sesuai jadwal yang

ditentukan.

Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Dra. Zuraidah, M.H.I selaku dosen pengampu yang

telah membantu kami baik secara moral maupun materi. Terima kasih juga kami ucapkan kepada

teman-teman yang telah mendukung kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan

tepat waktu.

Kami menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna baik dari

segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan

kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna menjadi acuan agar kami bisa

menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk

perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Palembang, 1 Juni 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 3

A. Definisi Hiwalah .................................................................................................................. 3

B. Dasar Hukum Hiwalah ......................................................................................................... 3

C. Rukun Dan Syarat Hiwalah ................................................................................................. 4

D. Jenis-Jenis Hiwalah .............................................................................................................. 8

E. Beban Muhil Setelah Hiwalah ............................................................................................. 9

F. Berakhirnya Akad Hiwalah.................................................................................................. 9

G. Hikmah Hiwalah ................................................................................................................ 10

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 11

Kesimpulan................................................................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hiwalah (pengalihan hutang) menurut istilah adalah pengalihan hutang dari orang yang

berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Hiwalah diambil dari kata tahwil yang

berarti intiqal (perpindahan). Yang dimaksud di sini adalah memindahkan hutang dari

tanggungan orang yang berhutang (muhil) menjadi tanggungan orang yang berkewajiban

membayar hutang (muhal 'alaih). Dalam konsep hukum perdata, Hiwalah adalah serupa dengan

lembaga pengambilalihan utang, atau lembaga pelepasan hutang atau penjualan utang, atau

lembaga penggantian kreditor atau penggantian debitor.

Utang piutang adalah salah satu dari pada akad bermu'amalah antara manusia yang satu

dengan manusia yang lain. Karena banyak sekali manusia di desa, di kota, di negara, bahkan

manusia di seluruh dunia ini telah melakukan utang piutang. Karena pada kenyataannya manusia

tidak sanggup melengkapi hidupnya sendiri. Ia memerlukan sandang pangan dan rumah untuk

hidupnya. Dan harus diperoleh dengan cara berusaha. Orang mengusahakan akad pinjam atau

utang piutang itu bisa pada siapa saja dan lembaga apa saja, terkadang sama tetagga, sama-sama

dekat, orag tua, saudara dan siapa saja yang sekira-kira mereka mendapatkan pinjaman. Dan

utang piutang pada lembaga seperti pada Bank.

Tidak ada seorang muslim pun yang membuat hutang dan Allah mengetahui bahwa dia ingin

mengembalikan hutangnya tetapi Allah membayarkan untuknya di dunia ini dan di akhirat. Allah

bersama orang yang berhutang sampai dia membayar hutangnya, sepanjang hutangnya bukan

untuk sesuatu yang dimurkai Allah. Al-Qur’an dan Sunnah memberikan kelonggaran bagi

mereka yang memiliki hutang. Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka beralihlah

1
tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua uang) itu, lebih

baik bagimu, jika kamu mengetahui.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada makalah ini, yaitu:

1. Apa definisi Hiwalah?

2. Apa dasar hukum Hiwalah?

3. Apa saja rukun dan syarat Hiwalah?

4. Apa saja jenis-jenis Hiwalah?

5. Bagaimana beban muhil setelah Hiwalah?

6. Apa yang menyebabkan berakhirnya akad Hiwalah?

7. Apa hikmah adanya Hiwalah?

C. Tujuan

Makalah ini dibuat dengan tujuan agar bisa mengetahui dan memahami apa itu Hiwalah,

kemudian apa dasar hukumnya, apa saja syarat dan rukunnya, kemudian jenis-jenisnya, sampai

hikmah adanya Hiwalah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI HIWALAH

Secara etimologi hiwalah diambil dari kata tahwil yang berarti intiqal yang artinya

pemindahan. Yang dimaksud dalam konteks ini, hiwalah adalah memindahkan utang dari

tanggungan orang yang berhutang (al-muhil) menjadi tanggungan orang yang akan melakukan

pembayaran utang (al-muhal 'alaih).

Sedangkan secara terminologi, para ulama mendefinisikan hiwalah sebagai berikut:

1. Menurut Wahban al-Juhaili, hiwalah adalah pengalihan kewajiban membayar hutang dari

beban pihak pertama kepada pihak lain yang berhutang kepadanya atas dasar saling

mempercayai.

2. Menurut Imam Taqiyyudin, hiwalah adalah pemindahan utang dari beban seseorang menjadi

beban orang lain.

3. Menurut Syihabudin al-Qalyubi, hiwalah adalah akad atau transaksi yang menetapkan

pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lainnya.1

B. DASAR HUKUM HIWALAH

Hukum hiwalah adalah boleh (mubah), dengan syarat tidak terdapat unsur penipuan dan tidak

saling merugikan salah satu pihak.2

1
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2022), cet. ke-6, halaman 254).
2
Jafar Sodiq, Tinjauan Hukum Islam tentang Hiwalah dalam Transaksi Jual Beli Ayam, (Lampung: Fakultas
Syariah, 2019), halaman 36.

3
1. Al-Qur’an

َ‫ﺻﺩﱠ ُﻗ ْﻭﺍ َﺧﻳ ٌْﺭ ﱠﻟ ُﻛ ْﻡ ﺍ ِْﻥ ُﻛ ْﻧﺗ ُ ْﻡ ﺗَ ْﻌ َﻠ ُﻣ ْﻭﻥ‬ َ ‫ﻋﺳ َْﺭ ٍﺓ َﻓ َﻧﻅِ َﺭﺓٌ ﺍ ِٰﻟﻰ َﻣ ْﻳ‬
َ َ‫ﺳ َﺭ ٍﺓ ۗ◌ َﻭﺍ َ ْﻥ ﺗ‬ ُ ‫َوﺍ ِْﻥ ﻛَﺎﻥَ ﺫُ ْﻭ‬

Artinya: "Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai

dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu

mengetahui." (QS. Al-Baqarah : 280)

2. Hadits

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw,

bersabda:

ْ‫ وإذا أ ُ ْﺗ ِﺒ َﻊ أﺣﺪﻛﻢ ﻋﻠﻰ َﻣﻠِﻲءٍ َﻓ ْﻠ َﯿ ْﺘ َﺒﻊ‬،‫َﻣ ْﻄ ُﻞ اﻟﻐﻨﻲ ظﻠﻢ‬

"Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah kezaliman. dan jika salah seorang

diantara kamu dihiwalahkan kepada orang kaya yang mampu maka turutlah". (HR. Bukhari dan

Muslim)

C. RUKUN DAN SYARAT HIWALAH

1. Rukun Hiwalah

a. Muhil (orang yang berhutang dan berpiutang)

Muhil adalah orang yang berutang (debitor) yang memindahklan utangnya kepada orang

lain. Muhil haruslah orang yang mampu berakad, yaitu orang yang sudah baligh. Hiwalah

tidak sah jika berasal dari orang gila atau anak kecil yang belum bisa berfikir.

b. Muhal (orang yang berpiutang kepada muhil)

Muhal adalah orang yang member pinjaman (kreditor) yang utangnya dipindahkan untuk

dilunasi oleh orang lain yang bukan peminjamnya atau orang yang memberi pinjaman kepada

muhil yang memindahkan utangnya untuk dilunasi oleh orang lain. Muhal harus orang yang

4
sudah cakap untuk berakad, yaitu berakal. Qabul dari muhal termasuk rukun akad hiwalah.

Orang yang tidak berakal tidak akan dapat melakukan qabul. Dipersyaratkan pula bahwa ia

sudah baligh. Ini menurut pendapat Mazhab Syafi'i. Sebaliknya, Mazhab Hanafi berpendapat

bahwa baligh adalah syarat pelaksanaan bukan syarat sahnya. Jika anak kecil yang sudah bisa

berpikir menerima hiwalah, qabul yang dilakukan adalah sah. Akan tetapi, pelaksanaannya

bergantung pada izin dari walinya karena dalam hiwalah terdapat unsur mu’awadhah

(transaksi). Menurut mereka, transaksi sah dengan izin wali dan boleh dilakukan atas

persetujuan wali.

c. Muhal ‘Alaih (orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang

kepada muhal)

Muhal ‘alaih adalah orang yang harus melunasi utang kepada muhal. Muhal ‘alaih adalah

orang yang sudah baligh. Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi'i sepakat atas hal ini. Hiwalah

tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil, sekalipun ia sudah bisa berpikir. Hal ini

karena kewajiban melunasi utang merupakan bagian dari tabbaru’ (berbuat baik), sedangkan

orang yang belum baligh tidak sah ber-tabbaru’. Oleh karena itu, menurut ulama Mazhab

Hanafi, balighnya muhal ‘alaih adalah syarat sah, bukan syarat pelaksanaan hiwalah

sebagaimana dalam persyaratan muhil dan muhal.

d. Muhal Bih (hutang muhil kepada muhal)

Muhal bih adalah hak muhal yang harus dilunasi oleh muhil. Namun kewajiban (untuk

melunasi) hak itu, kemudian dialihkan oleh muhil kepada muhal ‘alaih.

5
e. Sighat (ijab qabul)

Ijab adalah ucapan muhil. Misalnya, “saya alihkan kepadamu kewajiban (untuk

membayar utang) kepada si fulan”. Qabul adalah ucapan muhal, misalnya “saya terima” ijab

dan qobul harus dilakukan ditempat akad.3

2. Syarat Hiwalah

a. Syarat Muhil

1) Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal.

hiwalah tidak sah bila dilakukan anak-anak meskipun ia sudah mengerti (mumayyiz)

atau dilakukan oleh orang gila.

2) Ada pernyataan persetujuan atau rida. Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan

hiwalah maka akan itu tidak sah titik adapun persyaratan ini berdasarkan

pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya, jika

kewajibannya untuk membayar utang dialihkan kepada pihak lain.

b. Syarat Muhal

1) Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak

pertama.

2) Ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah.

Persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar

utang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada yang sulit membayarnya, sedangkan

menerima pelunasan itu merupakan hak pihak kedua.

3
Jafar Sodiq, Op. cit., halaman 36.

6
c. Syarat Muhal 'Alaih

1) Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak

pertama dan kedua.

2) Adanya pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (muhal 'alaih). Hal ini diharuskan

karena tindakan hiwalah merupakan tindakan hukum yang melahirkan ppemindahan

kewajiban kepada pihak ketiga (muhal 'alaih) untuk membayar utang kepada pihak

kedua (muhal) sedangkan kewajiban membayar utang lbaru dapat dibebankan

kepadanya, apabila ia sendiri yang berutang kepada pihak kedua. Atas dasar itu,

kewajiban itu hanya dapat dibebankan kepadanya, jika ia menyetujui akad hiwalah.

3) Imam abu Hanifah lmenambahkan syarat bahwa qabul atau pernyataan menerima

akad harus dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga di dalam suatu majelis

akad.

d. Syarat Muhal Bih

1) Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang

telah pasti.

2) Pembayaran utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terjadi

perbedaan waktu jatuh tempo pembayarannya diantara kedua utang itu, maka hiwalah

tidak sah.

3) Utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak

kedua mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika antara kedua utang itu terdapat

7
perbedaan jumlah, misalnya utang dalam bentuk uang atau perbedaan kualitas

misalnya utang dalam bentuk barang, maka hiwalah itu tidak sah.4

D. JENIS-JENIS HIWALAH

1. Hiwalah Muthlaqoh

Hiwalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (muhil) kepada orang lain (muhal)

mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga (muhal 'alaih) tanpa didasari pihak

ketiga ini berhutang kepada orang pertama.

2. Hiwalah Muqoyyadah

Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada

Muhal 'Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hiwalah yang boleh

(jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.

Ditinjau dari segi obyeknya hiwalah dibagi 2, yaitu:

a. Hiwalah Haq

Hiwalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam

bentuk wang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah

pemberi hutang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan

orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang.

b. Hiwalah Dayn

Hiwalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang

kepadanya.5

4
Abdul Rahman Ghazaly, Op. cit., halaman 256.

8
E. BEBAN MUHIL SETELAH HIWALAH

Dalam buku Fiqh Sunah, Sayyid Sabiq mengatakan bahwa apabila hiwalah berjalan sah,

dengan sendirinya tanggung jawab muhil menjadi gugur. Andai kata muhil 'alaih mengalami

kebangkrutan atau membantah adanya hiwalah atau meninggal dunia maka pihak kedua (muhal)

tidak boleh kembali lagi berurusan dengan pihak pertama (muhil) karena utangnya telah

dihiwalahkan. Demikianlah pendapat Jumhur Ulama.

Berbeda dengan Jumhur Ulama, Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam keadaan muhal

'alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang mengutangkannya

(muhal) boleh menagih utangnya lagi kepada pihak pertama (muhil). Sementara mazhab Maliki

berpendapat apabila muhil telah menipu muhal ternyata muhal 'alaih adalah orang fakir yang

tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil.

Dalam hitab al-Muwatta Imam Mlik menulis bahwa orang yang menghiwalahkan utang kepada

orang lain, kemudian muhal 'alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum

membayar kewajibannya, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.6

F. BERAKHIRNYA AKAD HIWALAH

Akad hiwalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini :

1. Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hiwalah belum dilaksanakan sampai

tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali

lagi kepada Muhil.

5
Nizaruddin, Hiwalah dan Aplikasinya dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, (Metro: Stain Juro Metro, 2013),
halaman 11

6
Abdul Rahman Ghazaly, Op. cit., halaman 257.

9
2. Hilangnya hak Muhal 'Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari

adanya akad hiwalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.

3. Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad

hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.

4. Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hiwalah karena pewarisan

merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hiwalah muqoyyadah, maka

berakhirlah sudah akad hiwalah itu menurut madzhabHanafi.

5. Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah kepada Muhal Alaih dan

ia menerima hibah tersebut.

6. Jika Muhal menghapus kewajiban membayar hutang kepada Muhal 'Alaih.7

G. HIKMAH HIWALAH

1. Jaminan Atas Harta

Dengan adanya akad hiwalah ini, syariat islam memberikan solusi agar harta dari orang

yang meminjamkan itu bisa kembali lagi ke tangannya, yaitu lewat perantara orang ketiga

yang akan menanggung dan membayarkan hutang itu.

2. Membantu Kebutuhan Orang Lain

Dengan adanya akad hawalah ini, maka syariat Islam memberikan peluang kepada orang

yang mempunyai kemampuan finansial untuk membantu orang yang memiliki hutang.8

7
Nizaruddin, Op. cit., halaman 12
8
Syafri M Noor, Akad Hawalah (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019), halaman 25.

10
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Hiwalah merupakan memindahkan hutang dari tanggungan orang yang berhutang (muhil)

menjadi tanggungan orang yang berkewajiban membayar hutang (muhal 'alaih). Kemudian dasar

hukum hiwalah terdapat pada QS. Al-Baqarah Ayat 280.

Adapun rukun hiwalah yaitu:

1. Muhil (orang yang berhutang),

2. Muhal (orang yang berpiutang),

3. Muhal 'Alaih (orang yang harus membayar hutang muhil kepada muhal),

4. Muhal Bih (hutang kepada muhal),

5. Sighat (ijab qabul).

Syarat orang yang berhiwalah:

1. Muhil

a. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal.

b. Ada pernyataan persetujuan atau rida.

2. Muhal

a. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal.

b. Ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah.

3. Muhal ‘Alaih

a. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal.

b. Adanya pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (muhal 'alaih).

11
c. Imam abu Hanifah menambahkan syarat bahwa qabul atau pernyataan menerima akad

harus dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga di dalam suatu majelis akad.

Jenis-jenis Hiwalah:

1. Hiwalah Muthlaqoh

2. Hiwalah Muqoyyadah

Ditinjau dari segi obyeknya:

a. Hiwalah Haq

b. Hiwalah Dayn

Hiwalah juga memiliki hikmah, antara lain yaitu:

1. Jaminan atas harta

2. Membantu kebutuhan orang lain

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghazaly, d. (2022). Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana.

Nizaruddin. (2013). Hiwalah dan Aplikasinya dalam Lembaga Keuangan Syari'ah. 1-17.

Noor, S. M. (2019). Akad Hawalah. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing.

Sodiq, J. (2019). Tinjauan Hukum Islam tentang Hiwalah dalam Transaksi Jual Beli Ayam. 33-

52.

13

Anda mungkin juga menyukai