Anda di halaman 1dari 19

AL HAJR (Larangan Bertransaksi)

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih

Disusun Oleh :

1. Nurfathiyyah Lestari (7220006)

2. Nurhayati (6220005)

3. Ummu Zahroh (8220020)

4. Zulfa Khairiyyah (15230115)

Dosen Pengampu:

Avika Alfidiana Khumaedi, LC,. M.A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH PEMALANG

PEMALANG

2023

1
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang yang telah memberi
nikmat kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga dengan nikmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar. Shalawat serta salam semoga tetap
tersanjungkan kepada baginda Rasul Muhammad ṡhalallahu ‘alaihi wasallam yang dengan jerih
payahnya telah mampu membawa manusia dari alam kebodohan menuju alam yang berilmu
pengetahuan yang dihiasi iman dan islam.

Makalah ini membahas mengenai “Al HAJR (Larangan Bertransaksi)” disusun guna
memenuhi tugas mata kuliah Fiqh ibadah yang dibimbing oleh Ibu Avika Alfidiana Khumaedi,
LC,. M.A. Penulis mengucapkan terima kasih kepada beliau atas bimbingannya.

Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini mungkin masih terdapat kekurangan yang
harus diperbaiki, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang
budiman agar dalam pembuatan makalah yang berikutnya tidak terjadi kesalahan serupa.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, penulis mohon maaf apabila dalam makalah ini
ada kata-kata yang kurang berkenan di hati pembaca. Semoga makalah ini bermanfa’at bagi
semua pihak, baik di dunia maupun akhirat.

Cirebon, 22 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG...................................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................................1
C. TUJUAN.........................................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
A. PENGERTIAN HAJR...................................................................................................................3
B. DASAR HUKUM AL HIJR..........................................................................................................5
C. MACAM – MACAM AL HIJR....................................................................................................8
D. SEBAB AL HIJR...........................................................................................................................9
E. AKIBAT AL HIJR........................................................................................................................9
F. KAPAN WAKTU PENGAMPUNAN (AL HAJR)?..................................................................13
BAB III.....................................................................................................................................................14
KESIMPULAN........................................................................................................................................14
Daftar Pustaka..........................................................................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Al Hajru adalah larangan bagi seseorang untuk mengelola kekayaan karena masih kecil
atau akalnya tidak sempurna. Allah melarang memberikan harta kepada para pemilik yang tidak
mampu mengelola hartanya dengan baik. Seperti anak yatim yang belum baligh, orang yang
bodoh, dan lain sebagainya. Mata harta tersebut harus diserahkan kepada walinya yang sanggup
mengelola harta tersebut dengan baik. Jika harta tersebut diserahkan kepara orang yang bodoh
atau orang yang padir dikhawatirkan harta itu habis karena harta tersebut tidak dikelola dengan
baik.
Agar tidak ada yang dirugikan atau merugikan orang lain, dengan demikian apabila ada
anak kecil, orang gila, dungu dan pemboros, distatuskan dibawah pengampuan, maka hal ini
semata-mata untuk menjaga kemaslahatan diri orang yang bersangkutan, agar segala
kegiatan muamalahnya yang mereka lakukan tidak sampai ditipu oleh orang lain.
Dari latar belakang diatas, maka disini penulis akan menjelaskan makalah yang
berjudul al-hajru, dimana akan dibahas secara mendalam agar mudah untuk dimengerti dan
mudah untuk dipahami bersama guna mendapatkan pengetahuan yang luas
tentang muamalah khususnya tentang materi al hajru.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah yang dimaksud dengan Al-Hajr?

2. Bagaimana dasar hukum Al-Hajr?

3. Apa saja macam Al-Hajr?

1
4. Apakah penyebab dan akibat Al-Hajr?

5. Kapankah berakhirnya pengampunan (Al-Hajr) ?

C. TUJUAN

1. Mengetahui yang dimaksud dengan Al-Hajr

2. Mengetahui dasar hukum Al-Hajr

3. Mengetahui macam Al-Hajr

4. Mengetahui penyebab dan akibat Al-Hajr

5. Mengetahui waktu berakhirnya pengampunan (Al-Hajr)

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HAJR

Definisi Hajr

Secara Bahasa, Al-Hajr adalah berarti al-man’u, berarti mencegah atau menghalangi atau
pencekalan.

Secara Syariat, Al-Hajr adalah pencekalan terhadap seseorang untuk bertidak terhadap hartanya.

Maka Al-hajr disini secara istilah syari berarti:

‫َم ْنُع الَّتَص ُّر ِف ِفي الَم اِل‬

“Mencegah penggunaan dalam hal harta.”

Tentang perihal hajr disebutkan dalam ayat,

‫ۚ َفِإْن َك اَن اَّلِذ ي َع َلْيِه اْلَح ُّق َسِفيًها َأْو َضِع يًفا َأْو اَل َيْسَتِط يُع َأْن ُيِم َّل ُهَو َفْلُيْمِلْل َو ِلُّيُه ِباْلَع ْد ِل‬

“Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri
tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.” (QS. Al-
Baqarah: 282)

Hilang seperti orang gila dan anak anak kecil terhadap harta mereka agar harta mereka itu tidak
beresiko hilang atau rusak. Dan jangan di serahkan diserahkan sampai mereka terbukti mampu
untuk mengurusi atau mengelolanya dengan baik maka disini diperlukan wali untuk mengurus
atau mengelola harta tersebut demi kemaslahatan.

Sebagian ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan al-hajr sebagai “larangan melaksanakan


akad dan bertindak secara hukum dalam bentuk perkataan”. Jika seseorang yang berada dalam

3
pengampuan melakukan tindakan hukum dalam bentuk perkataan, seperti jual beli atau hibah,
tindakannya itu tidak dapat dilaksanakan dan segala akibat akad tersebut tidak berlaku, karena
akadnya sendiri tidak sah.

Ulama Mazhab Hanafi lainnya mendefinisikannya dengan “larangan khusus yang


berkaitan dengan pribadi tertentu dalam tindakan hukum tertentu pula”. Apabila orang yang
dalam pengampuan melakukan suatu tindakan hukum yang bersifat ucapan atau pernyataan,
transaksi yang dilakukannya itu tidak sah kecuali apabila ia mendapatkan izin dari walinya (yang
mengampunya).

Akan tetapi, jika ia melakukan tindakan hukum berupa perbuatan dan tindakannya itu
mempunyai risiko kerugian harta benda, maka ia harus menggantinya dengan hartanya apabila ia
memiliki harta atau memintanya kepada walinya. Namun, hukuman yang bersifat fisik tidak
boleh dikenakan kepada orang yang berada dalam pengampuan tersebut.

Ulama Mazhab Maliki mengemukakan definisi lain. Menurut mereka, al-hajr adalah
status hukum yang diberikan syarak (hukum Islam) terhadap seseorang sehingga ia dilarang
melakukan tindakan hukum di luar batas kemampuannya atau melakukan suatu tindakan
pemindahan hak milik melebihi sepertiga hartanya.

Orang yang dilarang bertindak hukum di luar batas kemampuannya mencakup antara lain
anak kecil, orang gila, orang dungu, dan orang yang jatuh pailit. Mereka dilarang melakukan
tindakan hukum seperti jual beli atau perbuatan pemindahan hak milik lainnya. Apabila mereka
tetap mau melakukannya, tindakan mereka amat tergantung pada izin walinya.

Adapun orang yang dilarang memindah tangankan hak miliknya melebihi sepertiga
hartanya adalah orang sakit yang diduga keras tidak akan sembuh lagi dan penyakitnya itu
mengakibatkan ia meninggal. Orang seperti ini tidak dilarang melakukan segala bentuk transaksi
jual beli.

4
Adapun yang berkenaan dengan tindakan pemindahan hak milik secara sukarela, seperti
ber sedekah, wakaf atau hibah, berlaku baginya pembatasan sampai sepertiga hartanya. Lebih
dari itu tidak dibenarkan.

Ulama Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali mendefinisikan al-hajr dengan “larangan
melakukan tindakan hukum terhadap seseorang, baik larangan itu datang dari syarak (seperti
larangan tindakan hukum yang ditujukan kepada anak kecil, orang gila, dan orang dungu),
maupun dari hakim (seperti larangan dari hakim kepada seorang pedagang untuk menjual
barangnya melebihi harga pasar)”.

B. DASAR HUKUM AL HAJR

Surat An-Nisa Ayat 5

‫َو اَل ُتْؤ ُتو۟ا ٱلُّس َفَهٓاَء َأْم َٰو َلُك ُم ٱَّلِتى َجَعَل ٱُهَّلل َلُك ْم ِقَٰي ًم ا َو ٱْر ُز ُقوُهْم ِفيَها َو ٱْك ُس وُهْم َو ُقوُلو۟ا َلُهْم َقْو اًل َّم ْعُروًفا‬

Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah
mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang
baik.

‫( َو اَل ُتْؤ ُتو۟ا الُّس َفَهآَء َأْم ٰو َلُك ُم‬Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu))

Yang dimaksud disini adalah anak-anak dan orang yang lemah akalnya yang tidak mengetahui
hal-hal yang dapat memperbaiki hartanya dan tidak dapat menjauhi hal-hal yang dapat
menghancurkan dan menghilangkan hartanya.

‫( اَّلِتى َجَعَل ُهللا َلُك ْم ِقٰي ًم ا‬yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan)

5
Yakni harta yang dijadikan penopang urusan-urusan kalian, karena apabila harta itu hilang atau
rusak maka mereka akan menjadi tanggungan bagi kalian.

‫( َو اْر ُز ُقوُهْم ِفيَها َو اْك ُس وُهْم‬Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu))

Yakni mereka sebagian harta mereka untuk menafkahi diri mereka dan mencukupi kebutuhan
pakaian mereka.

‫( َو ُقوُلو۟ا َلُهْم َقْو اًل َّم ْعُروًفا‬dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik)

Yakni berupa janji yang baik dengan mengatakan apabila kalian telah dewasa maka kami akan
mengembalikan harta ini kepada kalian.

Dan juga firman Allah dalam quran surat An- nissa ayat 6

‫ٰا َنۡس ُتۡم ِّم ۡن ُهۡم ُر ۡش ًدا َفاۡد َفُع ۤۡو ا ِاَلۡي ِه ۡم َاۡم َو اَلُهۡمۚ‌ َو اَل َتۡا ُك ُلۡو َهۤا ِاۡس َر اًفا َّو ِبَداًرا َاۡن َّيۡك َب ُر ۡو ا‌ؕ َو َم ۡن َك اَن‬ ‫َو اۡب َتُلوا اۡل َيٰت ٰم ى َح ّٰت ۤى ِاَذ ا َبَلُغ وا الِّنَك اَح‌ۚ َفِاۡن‬
‫َك اَن َفِقۡي ًرا َفۡل َيۡا ُكۡل ِباۡل َم ۡع ُر ۡو ِف‌ؕ َفِاَذ ا َد َفۡع ُتۡم ِاَلۡي ِهۡم َاۡم َو اَلُهۡم َفَاۡش ِهُدۡو ا َع َلۡي ِه ۡم‌ؕ َو َك ٰف ى ِباِهّٰلل َحِس ۡي ًبا‬ ‫َغ ِنًّيا َفۡل َيۡس َتۡع ِفۡف‌ۚ َو َم ۡن‬

Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada
mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan
dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di
antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut.
Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan
saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas.

Tafsir ayat annisa ayat 6

Setelah menjelaskan tentang larangan menyerahkan harta anak yatim dalam kondisi
mereka belum mampu mengelola, berikutnya Allah memerintahkan agar para wali menguji
terlebih dahulu kematangan berpikir, kecerdasan, dan kemampuan mereka mengelola harta
sebelum menyerahkannya. Dan ujilah kecerdasan dan mental anak-anak yatim itu dengan

6
memperhatikan keagamaan mereka, kematangan berpikir, dan cara membelanjakan harta,
kemudian latihlah mereka dalam menggunakan harta itu sampai hampir mereka cukup umur
untuk menikah dengan menyerahkan harta sedikit demi sedikit. Kemudian jika menurut pendapat
kamu melalui uji mental tersebut dapat diketahui dengan pasti bahwa mereka betul-betul telah
cerdas dan pandai dalam memelihara dan mengelola harta, maka serahkanlah kepada mereka
hartanya itu, sehingga tidak ada alasan bagi kalian untuk menahan harta mereka.

Dan janganlah kamu, para wali, dalam mengelola harta ikut memakannya harta anak
yatim itu dan mengambil manfaat melebihi batas kepatutan, dan janganlah kamu menyerahkan
harta kepada mereka dalam keadaan tergesa-gesa menyerahkannya sebelum mereka dewasa,
karena kalian khawatir bila mereka dewasa mereka akan memprotes kalian. Barang siapa di
antara pemelihara itu mampu mencukupi kebutuhan hidup untuk diri dan keluarganya, maka
hendaklah dia menahan diri dari memakan harta anak yatim itu dan mencukupkan diri dengan
anugerah dari Allah yang diperolehnya.

Dan barang siapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut
sekadar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, sebagai upah atau imbalan atas pemeliharaannya.
Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu yang sebelumnya berada di tangan kamu kepada
mereka, maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi ketika menyerahkan harta itu kepada mereka.
Dan cukuplah Allah sebagai pengawas atas segala amal perbuatan dan perilaku mereka. Dan Dia
memperhitungkan semua perilaku tersebut kemudian memberinya balasan setimpal.

Sebelum harta diserahkan kepada anak yatim, apabila mereka telah balig dan mampu
dalam menggunakan harta maka terlebih dahulu kepada mereka diberikan ujian. Apakah benar-
benar ia telah dapat memelihara dan menggunakan hartanya dengan baik, sebagaimana dipahami
oleh Mazhab Syafii. Mazhab Hanafi mewajibkan wali menyerahkan harta pada umur dewasa
dengan syarat cerdas, mampu dan pada umur 25 tahun walaupun dalam keadaan tidak cerdas.
Janganlah para wali ikut mengambil atau memakan harta anak yatim secara berlebiban. Apabila
wali termasuk orang yang mampu hendaklah ia menahan diri agar tidak ikut memakan harta anak
yatim tersebut. Tetapi apabila wali memang orang yang dalam keadaan kekurangan, maka boleh
ia ikut memakannya secara baik dan tidak melampaui batas.

7
Apabila masa penyerahan di atas telah tiba, hendaklah penyerahan itu dilakukan di hadapan dua
orang saksi untuk menghindarkan adanya perselisihan di kemudian hari. Allah selalu
menyaksikan dan mengawasi apa yang dikerjakan oleh manusia. Tidak ada hal yang tersembunyi
bagi-Nya baik di bumi maupun di langit.

Adapun landasan hukum al-Hajr dalam sunnah Rasulullah adalah dalam sebuah riwayat
yang menyatakan bahwa Rasul SAW pernah menjadikan Mu’az terlilit utang. Rasulullah SAW
lalu menjual harta Mu’az untuk melunasi hutangnya. Demikian pula Rasulullah SAW pernah
menjadikan Usman ibn Affan dalam pengampuannya, karena sikap mubazir yang dilakukan
Usman (HR al-Baihaqi, ad-Daruqothru, dan al-Hakim dari Ka’ab ibn Malik).

“Dari Ka’ab bin Malik: Sesungguhnya Nabi SAW telah menahan harta Mu’az dan beliau
jual hata itu untuk membayar hutangnya” (HR. Daru-Quthni)

Berdasarkan ayat dan hadis diatas para ulama menyatakan bahwa al-Hajr itu boleh karena
seseorang kurang akal, seperti anak kecil dan orang gila, atau karena tindakannya merugikan
dirinya sendiri, seperti orang mubazir dan orang bodoh, atau merugikan orang lain, seperti orang
yang jatuh pailit dan mardh al-maut.

C. MACAM – MACAM AL HAJR

Dilihat dari tujuannya, Al Hijr dibagi menjadi 2:

 Pertama : untuk kemaslahatan orang yang berada di bawah pengampuan, seperti anak
kecil, orang gila, orang dungu, dan orang yang bersikap mubazir

 kedua untuk kemaslahatan orang lain, seperti orang pailit yang terlilit utang sampai
tidak mampu membayarnya kembali, orang sakit yang diduga keras akan meninggal, dan
orang yang menggadaikan hartanya sementara ia tidak mampu lagi menebus hartanya
itu.

8
D. SEBAB AL HAJR

Penyebab seseorang berada di bawah pengampuan bermacam-macam. Sebagian disepakati


ulama fikih, seperti al-hajr terhadap anak kecil dan orang gila yang tidak memiliki kemampuan
akal. Ulama berselisih tentang sebab pengampuan orang dungu dan orang berutang. Pengampuan
terhadap mereka bukan karena mereka tidak mempunyai kecakapan bertindak hukum, tetapi
dimaksudkan untuk menghindarkan orang lain mendapat mudarat dari tindakannya atau
mencegah terjadinya mudarat pada mereka sendiri.

E. AKIBAT AL HAJR

Perbedaan pandangan tersebut juga menyebabkan perbedaan dalam menentukan akibat hukum
dari tindakan mereka. Ulama fikih (fukaha) membahas persoalan ini sebagai berikut.

(1) Al-hajr terhadap tindakan hukum anak kecil. Ulama Mazhab Hanafi dan Maliki membedakan
anak kecil yang belum mumayiz (dapat membedakan sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk;
menurut mereka, di bawah usia 7 tahun) dan anak kecil yang sudah mumayiz.

Pembedaan ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang berisi perintah agar orangtua
menyuruh anaknya mengerjakan salat apabila telah berumur tujuh tahun (HR. Ahmad, Abu
Dawud, dan al-Hakim dari Abdullah bin Amr). Anak kecil yang melakukan tindakan hukum
yang bersifat perbuatan, seperti merusak barang orang lain, dikenai sanksi hukum, seperti
membayar ganti rugi, karena tidak ada pengampuan dalam perbuatan.

Lain halnya apabila tindakan hukum itu bersifat perkataan atau pernyataan. Jika anak yang
belum mumayiz melakukan tindakan hukum itu, maka perkataan atau pernyataannya dianggap
batal, baik tindakannya itu menguntungkan maupun merugikan dirinya, karena ia dinilai belum
cakap bertindak secara hukum.

9
Namun, jika tindakan itu dilakukan oleh anak yang sudah mumayiz, perlu dibedakan apakah
tindakan hukum itu menguntungkan atau merugikan dirinya. Jika tindakan itu menguntungkan
dirinya, seperti menerima wakaf atau hibah dari orang lain, tindakannya itu dapat dibenarkan dan
sah tanpa harus ada justifikasi dari walinya.

Apabila tindakan itu merugikan dirinya, seperti menghibahkan atau mewakafkan hartanya
kepada orang lain, tindakan itu dianggap tidak sah dan tidak pernah terjadi meskipun diizinkan
oleh walinya. Jika tindakan itu bersifat antara menguntungkan dan merugikan bagi dirinya,
seperti jual beli dan sewa-menyewa, transaksi itu sangat bergantung pada izin walinya. Jika
walinya mengizinkan, tindakan hukum itu sah dan dilaksanakan. Akan tetapi, jika walinya tidak
mengizinkan, tindakan itu batal.

Berbeda halnya dengan pendapat ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali. Menurut mereka,
tindakan hukum anak kecil, baik belum mumayiz maupun sudah, tidak sah. Lebih jauh ulama
Mazhab Syafi‘i mengatakan bahwa meskipun anak itu mumayiz dan tindakannya itu diizinkan
walinya, tindakan itu tetap tidak sah. Namun, ulama Mazhab Hanbali menganggap sah tindakan
anak yang telah mumayiz apabila diizinkan walinya.

(2) Al-hajr terhadap tindakan hukum orang gila. Dalam fikih Islam dibedakan antara gila yang
bersifat permanen (tetap) dan gila yang bersifat temporer (untuk sementara waktu). Tindakan
hukum orang gila yang permanen disamakan dengan anak kecil yang belum mumayiz. Adapun
tindakan hukum orang gila yang temporer dianggap tidak sah apabila gilanya kambuh. Akan
tetapi, tindakan hukumnya dianggap sah jika ia sembuh dari gilanya dan ia bebas dari ikatan
pengampuan.

(3) Al-hajr terhadap tindakan hukum orang bodoh/dungu. Dalam fikih Islam orang yang biasa
menghambur-hamburkan hartanya tanpa tujuan yang diridai syarak, seperti membelanjakan
hartanya untuk kepuasan nafsu seksualnya, membeli khamar, dan berjudi, atau pedagang yang

tidak mengerti cara berdagang sehingga sering ditipu, harus dikenakan pengampuan dan segala
tindakan hukum yang merugikan dirinya dianggap batal.

10
Mengenai hal ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama Mazhab Hanafi. Imam Abu
Hanifah (Imam Hanafi) mengatakan bahwa tindakan hukum orang bodoh yang telah balig dan
berakal dianggap sah meskipun merugikan dirinya sendiri. Ia mengatakan bahwa menetapkan
mereka di bawah pengampuan merupakan pengekangan terhadap hak asasi mereka.

Sementara itu, Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (keduanya sahabat
Abu Hanifah) mengatakan bahwa orang bodoh/dungu berada di bawah pengampuan untuk
kemaslahatan diri mereka sendiri. Pendapat ini sejalan dengan pendapat jumhur (mayoritas)
ulama, yang didasarkan kepada firman Allah SWT yang berarti: “Dan janganlah kamu serahkan
kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya…” (QS.4:5).

Dengan demikian, menurut jumhur ulama dan kedua sahabat Abu Hanifah di atas, tindakan
hukum orang bodoh/dungu disamakan dengan tindakan hukum anak kecil dan orang gila
permanen. Apabila sifat bodoh/dungu itu telah hilang, segala tindakan hukum mereka dianggap
sah.

(4) Al-hajr untuk kemaslahatan umum. Ulama Mazhab Hanafi membolehkan menetapkan
seseorang berada di bawah pengampuan jika ia sering mengganggu kemas lahatan umum, karena
kemaslahatan umum harus didahulukan daripada kemaslahatan pribadi; misalnya seorang dokter
yang merugikan pasien karena sering memberi obat dan diagnosis keliru atau seorang mufti yang
sering memberi fatwa yang menyesatkan dan membingungkan umat. Menurut mereka, orang
seperti ini boleh ditetapkan sebagai orang yang berada di bawah pengampuan.

(5) Al-hajr terhadap orang sakit yang diduga keras akan meninggal. Menurut ulama mazhab yang
empat (Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali), jika seseorang dalam keadaan sakit yang secara
medis tidak akan sembuh dan diduga akan meninggal, tindakan hukumnya harus dibatasi dan ia
ditetapkan sebagai orang yang berada di bawah pengampuan.

Ulama Mazhab Maliki memasukkan orang yang diduga keras akan menghadapi kematian,
seperti orang yang pergi berperang dan orang yang akan dihukum mati, ke dalam kelompok ini
meskipun orang tersebut tidak sakit. Tindakan hukum yang dibatasi terhadap orang seperti ini

11
adalah tindakan yang bersifat mengeluarkan harta tanpa imbalan, seperti wakaf, hibah, dan
sedekah.

Apabila orang sakit yang diduga keras akan meninggal tersebut meninggal dunia dan telah
mengeluarkan harta tanpa imbalan itu, tindakan hukumnya hanya dapat disahkan jika jumlahnya
tidak melebihi sepertiga harta. Namun, jika ia ternyata berumur panjang dan hidup normal
kembali, seluruh tindakan hukumnya dianggap sah.

(6) Al-Hajr terhadap orang yang jatuh pailit. Ulama sepakat menyatakan bahwa orang yang jatuh
pailit dan mempunyai utang yang cukup besar pada beberapa orang ditetapkan sebagai orang
yang berada di bawah pengampuan. Akibat dari status pengampuan ini adalah:

(a) orang tersebut dilarang melakukan tindakan hukum terhadap hartanya karena pada harta itu
terkait hak orang yang memberi utang kepadanya;

(b) orang tersebut boleh dipenjarakan berdasarkan keputusan hakim untuk kemaslahatan dirinya
dan para pemberi utang kepadanya

(c) hartanya dijual untuk membayar utangnya; dan

(d) menurut Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf, dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, orang
tersebut harus dijaga terus-menerus jika ia tidak dipenjarakan. Akan tetapi, ulama Mazhab
Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali berpendapat bahwa orang tersebut tidak perlu diawasi terus-menerus
jika ia telah ditetapkan sebagai seorang pailit, sehingga ia mempunyai kesempatan berusaha
untuk membayar utangnya. Alasan mereka adalah firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2)
ayat 280 yang berarti:

“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.”

12
F. KAPAN WAKTU PENGAMPUNAN (AL HAJR)?

Status pengampuan seseorang akan hilang apabila faktor penyebabnya hilang pula. Status
pengampuan anak kecil hilang secara otomatis jika ia telah balig berakal (menurut ulama
Mazhab Hanafi dan Maliki, setelah mencapai umur 7 tahun), telah sembuh (bagi orang gila), dan
telah cerdas kembali (bagi orang bodoh/dungu).

Bagi orang yang berada di bawah pengampuan karena pailit, menurut ulama Mazhab
Syafi‘i dan Hanbali, statusnya bisa kembali normal setelah semua utangnya dibayar. Namun, ada
juga yang berpendapat, karena al-hajr itu ditetapkan oleh hakim, maka yang mencabutnya pun
harus hakim.

13
BAB III

KESIMPULAN

Al-hajr adalah larangan untuk memberikan harta kepada seseorang yang dirasa belum bisa atau
belum mampu mengelola harta itu dengan baik. Ada beberapa alasan mengapa seseorang
dikatakan tidak bisa mengelola harta; diantaranya karena ia adalah anak kecil, orang gila, orang
dungu, dan orang jatuh pailit. Mereka semua dilarang melakukan tindakan secara hukum seperti
jual-beli atau pemindahan hak milik lainnya. Apabila melakukan hal itu, maka tindakannya tidak
berlaku dengan sendirinya. Namun, sebagai akibat dari tindakan hukum yang mereka lakukan,
mereka harus mendapat izin dari walinya. Sedangkan orang yang dilarang memindahtangankan
hak miliknya melebihi sepertiga hartanya adalah orang sakit yang diduga keras penyakitnya tidak
akan sembuh lagi, sehingga penyakitnya itu berakhir dengan kematian.

Adapun landasan hukum al-Hajr dalam sunnah Rasulullah adalah dalam sebuah riwayat yang
menyatakan bahwa Rasul SAW pernah menjadikan Mu’az terlilit utang. Rasulullah SAW lalu
menjual harta Mu’az untuk melunasi hutangnya. Demikian pula Rasulullah SAW pernah
menjadikan Usman ibn Affan dalam pengampuannya, karena sikap mubazir yang dilakukan
Usman (HR al-Baihaqi, ad-Daruqothru, dan al-Hakim dari Ka’ab ibn Malik).

Berdasarkan ayat dan hadis diatas para ulama menyatakan bahwa al-Hajr itu boleh.

Apabila seseorang dinyatakan dibawah pengampuan wali atau hakim, tidaklah berarti hak
asasinya dibatasi dan pelecehan terhadap kehormatan dirinya sebagai manusia. Tetapi
pengampuan itu diberlakukan syara’ untuk menunjukan, bahwa syara’ itu benar-benar
memperdulikan orang-orang seperti itu, terutama soal muamalah, syara’ menginginkan agar
tidak ada pihak yang dirugikan atau merugikan orang lain. Dengan demikian, apabila ada anak
kecil, orang gila, dungu dan pemboros, distatuskan dibawah pengampuan, maka hal itu semata-
mata untuk menjaga kemaslahatan diri orang yang bersangkutan, agar segala kegiatan muamalah
yang mereka lakukan tidak sampai ditipu orang. Demikian juga halnya orang yang jatuh pailit
dan orang sakit berat, tidak dibenarkan bertindak secara hukum yang bersifat pemindahan hak

14
milik, agar orang lain tidak dirugikan yang masih berhak atas hartanya. Khusus bagi orang yang
sakit keras dikhawatirkan, bahwa pemindahan hak kepada orang lain akan merugikan ahli waris,
sedangkan masa depan anak cucu harus diperhatikan sebagaimana yang tertuang dalam QS. AN-
Nisa’ [4] : 9

Dilihat dari segi tujuannya, ulam fiqh membagi al-Hajr kepada dua bentuk: Untuk kemaslahatan
orang yang berada dibawah pengampuan dan untuk kemaslahatan orang lain.

Penyebab al-Hajr itu ada yang disepakati oleh para ulama fiqh dan ada pula yang diperselisihkan

Ada beberapa akibat hukum al-Hajr:

1. Al-Hajr terhadap anak kecil.

2. Al-Hajr terhadap orang gila.

3. Al-Hajr terhadap orang bodoh/dungu

4. Al-Hajr terhadap orang yag sakit kritis (mardh al-maut)

5. Al-Hajr terhadap orang pailit

Al-Hajr bisa berakhir Apabila anak kecil sudah baligh dan berakal, orang bodoh/dungu sudah cerdas dan
sadar, pemboros sudah mulai hemat dan tidak lagi melanggar agama, orang gila menjadi sembuh dan
orang yang sakit kritis meninggal atau sembuh kembali, maka berakhirlah masa pengampuan. Khusus
bagi orang yang pailit, dia baru bebas dari status hukum pengampuan setelah dia lunasi hutang-
hutangnya.

15
Daftar Pustaka

bnu Qayyim al-Jauziah. A‘lam al-Muwaqi‘in ‘an Rabbil ‘alamin. Beirut: Dar al-Fikr, 1977.

Ibnu Qudamah. al-Mugni. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, 1981.

Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Beirut: Dar al-Fikr. 1978.

al-Jaziri, Abdurrahman. Kita al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba‘ah. Libanon: Dar al-Fikr, 1972.

al-Kahlani, Subul as-Salam. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960.

al-Kasani. Badha’i as-Shana’i. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.

al-Kurdi, Ahmad al-Hajji. Fiqh al-Muawadah. Damascus: Matabi’ Mu’assasah al-Wahdah, 1981.

Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.

az-Zarqa, Mustafa Ahmad. al-Madkhal al-Fiqh al-‘amm: al-Fiqh al-Islami fi Saubih al-Jadid.
Beirut: Dar al-Fikr, 1976

Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H.
Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.
Fath Al-Qarib Al-Mujib. Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi. Penerbit
Thaha Semarang.

Haasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allaamah Ibn Qaasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’.
Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuuri.
Penerbit Dar Al-Minhaaj.

Web Tafsir :

Ensiklopedi islam tentang Al- Hajr

16

Anda mungkin juga menyukai