Anda di halaman 1dari 26

PENGERTIAN, DASAR HUKUM, MACAM-MACAM, RUKUN & SYARAT SERTA

HIKMAH WAKALAH, SULHU, KAFALAH, JIALAH, ‘ARIYAH DAN ROHN

Makalah ini disusun sebagai bahan diskusi kelompok pada Mata Kuliah
Fiqih Ibadah dan Muamalah
Selasa, 18 juni 2019

Dosen Pembimbing:
Drs. H. Ghufron Ihsan, M.A.

Disusun Oleh:
Kelompok 1

1. Annisa Oktavia 11180110000032


2. Rabiatul Adawiah 11180110000034
3. Siti Toimah Diana Sari 11180110000035

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirroohmaanirrohim

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahuwata’ala yang telah memberi kita nikmat sehat
wal’afiat. Karena dengan nikmat tersebut penyusun bisa menyelesaikan makalah yang
berjudul “PENGERTIAN, DASAR HUKUM, MACAM-MACAM, RUKUN & SYARAT
SERTA HIKMAH WAKALAH, SULHU, KAFALAH, JIALAH, ‘ARIYAH DAN
ROHN”. Makalah ini merupakan wujud aplikasi dari penyelesaian tugas mata kuliah Fiqih
Ibadah dan Muamalah sebagai upaya dalam memaksimalkan proses pembelajaran yang
komprehensif.

Selesainya makalah ini tidak terlepas dari kerja sama berbagai pihak, baik itu dari
dosen pengajar ataupun pihak – pihak lainnya yang turut serta membantu terselesaikannya
makalah ini. Penyusun berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi kita mengenai pemahaman
tentang Fiqih Ibadah dan Muamalah.

Dalam makalah ini kami menyadari masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu segala
saran dan kritik guna perbaikan dan kesempurnaan sangat penyusun harapkan.

Alhamdulillah

Ciputat, 10 Juni 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................1

A. Latar Belakang ...........................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ......................................................................................................1
C. Tujuan ........................................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................2

A. Wakalah ....................................................................................................................2
B. Sulhu .......................................................................................................................... 3
C. Kafalah ......................................................................................................................8
D. Jialah ......................................................................................................................... 9
E. ‘Ariyah ....................................................................................................................... 13
F. Rohn .......................................................................................................................... 17

BAB III PENUTUP ..............................................................................................................21

A. Kesimpulan ................................................................................................................21
B. Saran .......................................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hidup dimuka bumi ini pasti selalu melakukan yang namanya kegiatan
ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Bertransaksi sana-sini untuk menjalankan
kehidupan dan tanpa kita sadari pula kita melakukan yang namanya wakalah, sulhu,
ijarah, ariyah, rahn, hiwalah dan ji’alah.
Latar belakang disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang
telah diberikan oleh dosen pengajar. Makalah ini membahas tentang beberapa
masalah bidang muamalah yaitu ijarah, ariyah, rahn, hiwalah dan ji’alah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada indicator-indikar masalah yang dikemukakan di latar
belakang masalah, rumusan yang kami tetapkan adalah:

1. Apa itu pengertian wakalah, sulhu, kafalah, jialah, ‘ariyah dan rohn?
2. Apa dasar hukum wakalah, sulhu, kafalah, jialah, ‘ariyah dan rohn?
3. Sebutkan macam-macam wakalah, sulhu, kafalah, jialah, ‘ariyah dan rohn?
4. Apa rukun&syarat wakalah, sulhu, kafalah, jialah, ‘ariyah dan rohn?
5. Apa hikmah wakalah, sulhu, kafalah, jialah, ‘ariyah dan rohn?

C. Tujuan Makalah
1. Mengatahui Pengertian wakalah, sulhu, kafalah, jialah, ‘ariyah dan rohn.
2. Mengetahui dasar hukum wakalah, sulhu, kafalah, jialah, ‘ariyah dan rohn.
3. Mangatahui macam-macam wakalah, sulhu, kafalah, jialah, ‘ariyah dan rohn.
4. Mengetahui rukun&syarat wakalah, sulhu, kafalah, jialah, ‘ariyah dan rohn.
5. Mengetahui hikmah wakalah, sulhu, kafalah, jialah, ‘ariyah dan rohn.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. WAKALAH
1. Pengertian wakalah
Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
Dalam bahasa Arab, hal ini dapat dipahami sebagai at-tafwidh. Contoh kalimat “aku
serahkan urusanku kepada Allah” mewakili pengertian istilah tersebut. Namun dalam hal
ini yang dimaksud al-wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang
lain dalam hal-hal yang diwakilkan.1
2. Dasar hukum wakalah
Islam mensyari’atkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap
orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusan
sendiri. Pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada
orang lain untuk mewakili dirinya.
a. Al-Qur’an
Salah satu dasar dibolehkannya al-wakalah adalah sebagaimana dalam firman Allah
SWT berikut:

‫قا ل اجعلنى على خزا ئن االء رض انى حفيظ عليم‬

“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang
pandai menjaga lagi berpengalaman.” (Yusuf: 55)
Dalam hal ini, nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga
Federal Reserve negeri Mesir.

b.Al-Hadits

‫ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم بعث اب رافع ورجال من اال نصار فزو جاه ميمو نة بنت الحارث‬

“Bahwasanya Rasulullah saw. mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk
mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits.”

1
Shapiudin Shidiq. Fiqh Muamalat. Jakarta : prenadamedia group. H 187

2
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk
berbagai urusan. Diantaranya membayar utang, mewakilkan penetapan had dan
membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain.
3. Syarat dan rukun wakalah
a. Rukun wakalah
Rukun wakalah terdiri atas ijab dari muwakil (pihak yang mewakilkan), dan qabul dari
wakil. Ijab harus di ucapkan secara jelas oleh muwakil, sedangkan qabul tidak harus di
ungkapkan, namun bisa di wujudkan dalam tindakan. Jika wakil mengetahui jenis
pekerjaan yang diwakilkan, kemudian ia secara langsung melakanakannya, maka hal ini
dianggap sebuah qabul, cukup mengetahui adanya wakalah dan diwujudkan dalam
tindakan.
b. Syarat wakalah
• seorang muwakil, diisyaratkan harus memiliki otoritas penuh atas suatu pekerjaan yang
akan didelegasikan kepada orang lain. Dengan alasan orang yang tidak memiliki otoritas
tersebut kepada orang lain.
• Seorang wakil, disyaratkan haruslahorang yang berakal dan tamyiz.
• Obyek yang diwakilkan harus diketahui oleh wakil, wakil mengetahui secara jelas apa
yang harus dikerjakan dengan spesifikasi yang diinginkan. Obyek tetrsebut memang bisa
diwakilkan kepada orang lain.2
4. Pekerjaan yang dapat diwakilkan dan masa berakhirnya
Pekerjaan yang boleh diwakilkan adalah semua pekerjaan yang dapat diakadkan oleh
dirinya sendiri, artinya secara hukum pekerjaan ini dapat gugur jika digantikan. Contoh,
mewakilkan orang lain untuk menjual barang atau membeli, dan menjadi wali
pernikahan. Adapun sesuatu yang tidak dapat diwakilkan adalah pekerjaan yang tidak ada
campur tangan perwakilan artinya hukum ini tidak gugur jika digantikan oleh orang lain
seperti ibadah badaniyah karena dalam ibadah badaniyah tujuannya untuk menguji
ketaatan hamba, yang tidak dapat dicapai tujuan itu jika dilakukan oleh orang lain seperti
shalat, dan puasa.
Berakhirnya wakalah
Transaksi wakalah dinyatakan berakhir atau tidak dapat dilanjutkan dikarenakan oleh
salah satu sebab dibawah ini :
1. Matinya salah seorang dari yang berakad

2
Ibid hal. 189

3
2. Bila salah satunya gila
3. Pekerjaan yang dimaksud dihentikan.
4. Wakil memutuskan sendiri.
5. Keluarnya orang yang mewakilkan (muwakkil) dari status pemilikan.

5. Hikmah wakalah
Hikmah yang diperoleh dari wakalah antara lain :
1. Mengajarkan prinsip tolong menolong antara satu dengan yang lainnya untuk tujuan
kebaikan, bukan untuk kejahatan atau kemaksiatan.
2. Mengajarkan kepada manusia untuk merenungi bahwa hidup ini tidak sempurna.
Dalam memenuhi kebutuhannya, tidak semua pekerjaan dapat dilakukan atau
diselesaikan sendiri. Oleh sebab itu manusia perlu mewakilkan kepada orang lain.\
3. Memberikan kesempatan bagi orang lain untuk melakukan sesuatu sehingga
mengurangi pengangguran.

B. SHULHU
a. Pengertian Shulhu
Ash-Shulh berasal dari bahasa Arab yang berarti perdamaian, penghentian
perselisihan, penghentian peperangan. Dalam kazanah keilmuan, ash-shulhu
dikategorikan sebagai salah satu akad berupa perjanjian diantara dua orang yang
berselisih atau berperkara untuk menyelesaikan perselisihan diantara keduanya. Dalam
terminologi ilmu fiqih ash-shulhu memiliki pengertian perjanjian untuk menghilangkan
polemik antar sesama lawan sebagai sarana mencapai kesepakatan antara orang-orang
yang berselisih.
Misalnya seseorang menuduh orang lain mengambil suatu hak yang diklaimnya sebagai
miliknya, lalu tertuduh mengakui karena ketidaktahuannya terhadap penuduh, kemudian
tertuduh mengajak penuduh berdamai dengan tujuan menjauhi atau menghindari suatu
permusuhan dan sumpah yang diwajibkan atas tertuduh yang menyangkal tuduhan.

Di dalam Ash-shulhu ini ada beberapa istilah yaitu: Masing-masing pihak yang
mengadakan perdamaian dalam syariat Islam distilahkan musalih, sedangkan persoalan
yang diperselisihkan di sebut musalih’anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu
pihak terhadap pihak yang lain untuk mengaklhjiri pertingkaian/pertengkaran dinamakan

4
dengan musalih’alaihi atau di sebut juga badalush shulh.3

b. Hukum Shulhu
Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian akan
terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungan kasih sayang) sekaligus permusuhan di
antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri.
Adapun dasar hukum anjuran diadakan perdamaian dapat dilihat dalam al-qur’an, sunah
rasul dan ijma.
Al-qur’an menegaskan dalam surat al-hujarat ayat 9 yang artinya “jika dua golongan
orang beriman bertengkar damaikanlah mereka. Tapi jika salah satu dari kedua golongan
berlaku aniaya terhadap yang lain maka perangilah orang yang aniaya sampai kembali
kepada perintah Allah tapi jika ia telah kembali damaiakanlah keduanya dengan adil, dan
bertindaklah benar. Sungguh Allah cinta akan orang yang bertindak adil (QS. Al-Hujurat :
9)”.
Mengenai hukum shulhu diungkapkan juga dalam berbagai hadits nabi, salah satunya
yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Imam Tirmizi yang artinya “perdamaian
dibolehkan dikalangan kaum muslimin, kecuali perdamaian menghalalkan yang haram
atau mengharamkan yang haram. Dan orang-orang islam (yang mengadakan perdamaian
itu) bergantung pada syarat-syarat mereka (yang telah disepakati), selain syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR. Ibnu Hibban dan
Turmuzi)”.
Pesan terpenting yang dapat dicermati dari hadits di atas bahwa perdamaian merupakan
sesuatu yang diizinkan selama tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang bertentangan
dengan ajaran dasar keislaman. Untuk pencapaian dan perwujudan perdamaian, sama
sekali tidak dibenarkan mengubah ketentuan hukum yang sudah tegas di dalam islam.
Orang-orang islam yang terlibat di dalam perdamaian mesti mencermati agar kesepakatan
perdamaian tidak berisikan hal-hal yang mengarah kepada pemutarbalikan hukum; yang
halal menjadi haram atau sebaliknya.
Dasar hukum lain yang mengemukakan di adakannya perdamaian di antara para pihak-
pihak yang bersengketa di dasarkan pada ijma.

3
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal 188.

5
c. Rukun dan syarat shulhu
a. Rukun Shulhu
Adapun yang menjadi rukun perdamaian adalah:
1) Mushalih, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad perdamaian untuk
menghilangkan permusuhan atau sengketa.
2) Mushalih’anhu, yaitu persoalan-persoalan yang diperselisihkan atau disengketakan.
3) Mushalih ’alaih, ialah hal-hal yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap lawannya
untuk memutuskan perselisihan. Hal ini disebut juga dengan istilah badal al-shulh.
4) Shigat ijab dan Kabul di antara dua pihak yang melakukan akad perdamaian.
Ijab kabul dapat dilakukan dengan lafadz atau dengan apa saja yang menunjukan adanya
ijab Kabul yang menimbulkan perdamaian, seperti perkataan: “Aku berdamai denganmu,
kubayar utangku padamu yang lima puluh dengan seratus” dan pihak lain menjawab “
Telah aku terima”.
Dengan adanya perdamaian (al-shulh), penggugat berpegang kepada sesuatu yang disebut
badal al-shulh dan tergugat tidak berhak meminta kembali dan menggugurkan gugatan,
suaranya tidak didengar lagi.
Apabila rukun itu telah terpenuhi maka perdamaian di antara pihak-pihak yang
bersengketa telah berlangsung. Dengan sendirinya dari perjanjian perdamaian itu lahirlah
suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak untuk memenuhi / menunaikan pasal-
pasal perjanjian perdamaian.

b. Syarat Shulhu
Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan
kepada:
1) Menyangkut subyek, yaitu musalih (pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
perdamaian)
Tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap
bertindak menurut hukum. Selain cakap bertindak menurut hukum, juga harus orang yang
mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atas hal-hal
yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.
Adapun orang yang cakap bertindak menurut hukum dan mempunyai kekuasaan atau
wewenang itu seperti :
a. Wali, atas harta benda orang yang berada di bawah perwaliannya.

6
b. Pengampu, atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya
c. Nazir (pengawas) wakaf, atas hak milik wakaf yang berada di bawah pengawasannya.
2) Menyangkut obyek perdamaian
Tentang objek perdamaian haruslah memenuihi ketentuan sebagai berikut :
a. Untuk harta (dapat berupa benda berwujud seperti tanah dan dapat juga benda tidak
berwujud seperti hak intelektual) yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserah
terimakan, dan bermanfaat.
b. Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidak jelasan,
yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian yang baru pada objek yang sama.
3) Persoalan yang boleh di damaikan
Adapun persoalan atau pertikaian yang boleh atau dapat di damaikan adalah hanyalah
sebatas menyangkut hal-hal berikut :
a. Pertikaian itu berbentuk harta yang dapat di nilai
b. Pertikaian menyangkut hal manusia yang dapat diganti
Dengan kata lain, perjanjian perdamaian hanya sebatas persoalan-persoalan muamalah
(hukum privat). Sedangkan persoalan-persoalan yang menyangkut hak ALLAH tidak
dapat di lakukan perdamaian.

d. Macam-macam Shulhu
Secara garis besar ash-shulhu terbagi atas empat macam, yaitu:
a) Perdamaian antara kaum muslimin dengan masyarakat nonmuslim, yaitu membuat
perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa tertentu (dewasa ini dikenal dengan
istilah gencatan senjata), secara bebas atau dengan jalan mengganti kerugian yang diatur
dalam undang-undang yang disepakati dua belah pihak.
b) Perdamaian antara penguasa (imam) dengan pemberontak, yakni membuat perjanjian-
perjanjian atau peraturan-peraturan mengenai keamanan dalam Negara yang harus ditaati,
lengkapnya dapat dilihat dalam pembahasan khusus tentang bughat.
c) Perdamaian antara suami dan istri dalam sebuah keluarga, yaitu membuat perjanjian
dan aturan-aturan pembagian nafkah, masalah durhaka, serta dalam masalah
menyerahkan haknya kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.
d) Perdamaian antara para pihak yang melakukan transaksi (perdamaian dalam
mu’amalat), yaitu membentuk perdamaian dalam mesalah yang ada kaitannya dengan
perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam masalah ma’amalat.

7
e. Hikmah Shulhu
Dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi antara ummat manusia, Islam telah
memberikan beberapa konsep dasar untuk membantu menyelesaikan sengketa yang
terjadi. Penyelesaian masalah ini dapat melalui shulhu (perdamaian).
Imam Ash-Shan’ani menerangkan hadits di atas dengan berkata :
‫ص ْل ُح َبيْنَ ْال ِفئ َ ِة ْال َبا ِغ َي ِة َو ْال َعا ِدلَ ِة‬ َّ َ‫ص ْل ُح َبيْن‬
ُّ ‫الز ْو َجي ِْن َوال‬ ُّ ‫ َوال‬،‫ص ْل ُح ْال ُم ْس ِل ِم َم َع ْالكَافِ ِر‬ َ ‫ص ْل َح أ َ ْق‬
ُ ،‫سا ًما‬ ُّ ‫قَدْ قَس ََّم ْالعُلَ َما ُء ال‬
‫ق‬ ِ ‫ت ِفي ْاْل َ ْم َال ِك َو ْال ُحقُو‬ ُ ‫طعِ ْال ُخ‬
ْ ‫صو َم ِة إذ َا َوقَ َع‬ ْ َ‫ص ْل ُح ِلق‬ ُّ ‫ص ْل ُح ِفي ْال ِج َراحِ ك َْال َع ْف ِو َعلَى َما ٍل َوال‬ ِ َ‫ص ْل ُح َبيْنَ ْال ُمتَق‬
ُّ ‫اض َيي ِْن َوال‬ ُّ ‫َوال‬
ِ‫ص ْلح‬ ُّ ‫ب ال‬ ِ ‫َو َهذَا ْال ِق ْس ُم ه َُو ْال ُم َراد ُ ُهنَا َوه َُو الَّذِي يَذْ ُك ُرهُ ْالفُقَ َها ُء فِي بَا‬
“Para ulama telah membagi ash-shulhu (perdamaian) menjadi beberapa macam;
perdamaian antara muslim dan kafir, perdamaian antara suami isteri, perdamaian antara
kelompok yang bughat dan kelompok yang adil, perdamaian antara dua orang yang
bertahkim kepada qadhi (hakim), perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti
pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan perdamaian untuk
memberikan sejumlah harta kepada lawan sengketa jika terjadi pada harta milik bersama
(amlaak) dan hak-hak. Pembagian inilah yang dimaksud di sini, yakni pembagian yang
disebut oleh para fuqoha pada bab ash-shulhu (perdamaian).” (Imam Ash-Shan’ani,
Subulus Salam, 4/247).
Secara ringkas hikmah ash-shulhu dapat mengakibatkan penyelesaian suatu masalah
dengan jalan yang sama-sama adil bagi kedua belah pihak dan tetap berada dijalan allah
serta syariat islam. Serta melindungi seorang muslim dari penyakit hati terutama iri dan
dengki juga menghindari seseorang dari sikap curiga terhadap lawannya dalam suatu
sengketa atau masalah.

C. KAFALAH
1. Pengertian
Menurut Madzhab Maliki, Syafi’i dan hambali, kafalah adalah menjadikan seseorang ikut
bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan / pembayaran utang.
Aplikasinya dalam dunia perbankan adalah penerbitan garansi bank. Kafalah adalah akad
antara dua pihka dimana pihak pertama menanggung beban dan tanggung jawab pihak
kedua untu menyelesaikan utang.
2. Dasar Hukum
Menurut QS. Yusuf ayat 66 “Ya’qub berkata : “aku sekali-kali akan melepaskannya
bersama-sama kamu, sebelum kamu memeberikan kepadaku janji yang teguh atas nama

8
Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali kecuali jika kamu
dikepung musuh. Tatkla mereka memberikan janji mereka, maka yaqub berkata : Allah
adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan.
4. Rukun dan Syarat

Rukun dalam akad kafalah adalah sebagai berikut:

1. Pelaku akad, yaitu kafil dan makful


2. Objek akad
3. Shighah.4
Syarat dari akad kafalah adalah:
1. Objek akad harus jelas dan dapat dijaminkan
2. Tidak bertentangan dengan syariat islam.5
4. Contoh Kafalah
Kartu Kredit
Bank menjamin nasabah (pemegang kartu) untuk belanja tanpa uang cash kepada pihak
ketiga (merchant, supermarket, hypermarket). Dan karena penjaminan itu, maka bank selaku
kafil dapat mengenakan ujrah (fee) kepada nasabah.6
5. Jenis-Jenis Kafalah
a. kafalah bin nash, yaitu akad memberikan jaminan atas diri sendiri sipenjamin.
b. kafalah bin maal, yaitu jaminan pembayaran atau pelunasan utang.
c. kafalah mulaqah dan munzanah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi olek kurun waktu dan
untuk tujuan tertentu.
d. kafalah bin taslim, yaitu penjaminan atas pengambalian barang sewa pada saat jangga
waktu habis.
6. Berakhirnya akad Kafalah
1) Harta telah diserahkan (ad-din)
2) Utang telah dibebaskan
3) Penyerahan diri orang yang dituntut

4
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar baru Algesindo, H. 312-313

5
Ibid hal. 105

6
Zuhaili, Wahbah. Fiqh Muamalah Perbankan Syariah, Kapita Selekta. Hal 56

9
4) Pembebasan terhadap kafil oleh pemilik hak dan kewajiban kafalah bin nafs.
5) Meninggalnya wakful ‘Anhu
6) Penyerahan benda yang ditanggung, apabila barang nya masih ada. Atau persamaannya
atau harganya apabila barangnya telah rusak.
7) Pembebasan penjamin dari tugas kafalah.

6. Hikmah Kafalah
Dhaman (jaminan) merupakan salah satu ajaran Islam. Jaminan pada hakikatnya
usaha untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi semua orang yang melakukan
sebuah transaksi. Untuk era sekarang ini kafalah ialah asuransi. Hikmah yang dapat diambil
dari kafalah adalah mendatangkan sikap tolong menolong, keamanan, kenyamanan, dan
kepastian dalam bertransaksi.
Wahbah Zuhaily mencatat hikmah tasry’ dari kafalah untuk memperkuat hak,
merealisasikan sifat tolong menolong, mempermudah transaksi dalam pembayaran utang,
harta, dan pinjaman. Supaya orang yang memiliki hak mendapatkan ketenangan terhadap
hutang yang dipinjamkan kepada orang lain atau benda yang dipinjam.
D. JIALAH
1. Pengertian
Jialah adalah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain.
Berdasarkan sabda Nabi yang artinya “ Orang yang mampu membayar utang, haram baginya
melalaikan utangnya. Maka apabila seseorang diantara kamu memindahkan utangnya kepada
orang lain, memindahkan itu hendaklah diterima, asal yang lain itu mampu membayar”. (HR.
Ahmad dan Baihaq).
2. Dasar Hukum
Jialah sebagai salah satu bentuk transaksi antar sesama manusia dibenarkan oleh Rasulullah
SAW melalui sabda beliau: Artinya : Memperlambat pembayaran hurtang yang dilakukan
oleh orang kaya merupakan perbuatan dzalim, jika salah seorang kamu dialihkan kepada
orang yang mudah membayar hutang, hendaknya ia berani. (HR. Al jama’ah).
3. Rukun Jialah
a. Muhil
b. Muhtal
c. Muhal ‘alaih
d. Utang Muhil kepada Muhtal
e. Utang muhal ‘alaih kepada muhil

10
f. Shighat
4. Faktor-faktor yang memberhentikan akad Jialah
a. Apabila Jialah berjalan sah dengan sendirinya tanggungan muhil menjadi gugur.
b. Andaikan muhil ‘alaih mengalami kebangkrutan, membantah Jialah atau meninggal dunia,
maka sisi muhil tidak boleh lagi kembali kepada muhil. Kecuali dalam hal penipuan.
c. Jika muhal menghibahkan harta kepada muhal ‘alaih dan ia menerima hibah tersebut.
d. Karena dibatalkan atau fasakh. Dalam keadaan ini hak penagih oleh muhal akan kembali
lagi kepada muhil.7
5. Contoh Jialah
Seumpamannya A (muhil) berutang kepada B (Muhtal) dan ia
(A) berpiutang kepada C (Muhal ‘alaih). Jadi A adalah orang yang berutang dan berpiutang,
B hanya berpiutang dan C hanya berutang. Kemudian A dengan persetujuan B menyuruh C
membayar utangnya kepada B, tidak kepadanya (A). Setelah terjadi akad hiwalah, terlepaslah
A dari utangnya kepada B, dan C tidak berutang lagi kepada A, tetapi utangnya kepada A
telah berpindah kepada B, berarti C harus membayar utangnya itu kepada B, tidak lagi
kepada A.
Memindahkan utang dengan cara ini tidak ada halanganya, dengan syarat : keadaan C mampu
membayar utangnya, dan dengan ridho keduanya (A dan B). Ridho C tidak menjadi syarat
sahnya Hiwalah, dan diisyaratkan pula bahwa utang C kepada A sama banyak dan jenisnya
dengan janji atau tunai dengan utang A kepada B. Jika teryata C tidak dapat membayar
karena ia tidak mampu, maka B tidak dapat kembali kepada A, karena hal itu termasuk sia-
sia, tidak diselidikinya sebelum terjadi akad hiwalah.8

6. Macam-macam Jialah
Dilihat dari pengalihan utang, hiwalah juga dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Jialah Haq
Jialah haqq (pemindahan hak) terjadi apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut
uang atau dengan kata lain pemindahan piutang.
2) Jialah Dayn
Jialah ini (pemindahan hutang) terjadi jika yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar
hutang.

7
Ismail Nawawi, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya, 2010), hal 307.

8
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal 222.

11
Sedangkan ditinjau dari segi objek akad, ada dua jenis hiwalah yang berdasarkan pada rukun
Jialah yaitu :
1) Jialah Muthlaqoh
Jialah mutlaqoh adalah seseorang memindahkan hutang pada yang lain tanpa memberikan
keterangan bahwa orang tersebut harus membayar hutang yang ada padanya, kemudian orang
tersebut menerimanya.
Contoh : Jika A berutang kepada B dan ketika jatuh tempo maka A lalu memindahkan
pembayaran hutang kepada kepada C dan C menerimanya. Sementara C tidak punya
hubungan utang-piutang kepada B. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan
jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah. Dimana orang lain
menanggung hutang orang lain.9
2) Jialah Muqoyyadah
Jialah ini terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal ‘alaih karena
yang terakhir punya utang kepada Muhil. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan
kesepakatan para ulama.
Contoh: A berpiutang kepada B sebesar 5 dirham.
Sedangkan B berpiutang kepada C sebesar 5 dirham. Kemudian B memindahkan atau
mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang berada pada C kepada A sebagai ganti
pembayaran utang B kepada A.
Dengan demikian Jialah al-muqayyadah pada satu sisi merupakan Jialah al-haq karena
mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C ke A (pemindahan hak). Sedangkan pada sisi
lain, sekaligus merupakan Jialah al-dain karena B mengalihkan kepada A menjadi kewajiban
C kepada A (pemindahan utang/kewajiban).
7. Beban Muhil Setelah Jialah
Apabila Jialah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata
muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah Jialah atau meninggal dunia, maka
muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil. Hal ini adalah pendapat jumhur ulama.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang kafir
yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada
muhil. Menurut Imam Malik, orang yang menghiwalahkan utang kepada orang lain,
kemudian muhal ‘alaih mengalami kebagnkrutan atau meniggal dunia ia belum membayar
kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih, dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal’ alaih
mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang mengutangkan (muhal)
kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.

9
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dkk. Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hal 255.

12
8. Berakhirnya Jialah
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad hiwalah akan berakhir apabila:
1) Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu mem-faskh (membatalkan) akad
hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap, dengan adanya pembatalan itu akad itu, pihak
kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama. Demikian pula
hak pihak pertama kepada pihak ketiga.
2) Pihak ketiga melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
3) Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta
pihak kedua.
4) Pihak kedua menghibahkan, atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam akad
hiwalah itu kepada pihak ketiga.
5) Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang yang
dialihkan itu.
6) Hak pihak kedua, menurut ulama Hanafi, tidak dapat dipenuhi karena at-tawa, yaitu:
pihak ketiga mengalami trans (muftis, bangkrut), atau wafat dalam keadaan mutlis atau,
dalam keadaan tidak ada bukti otentik tentang akad hiwalah, pihak ketiga mengingkari akad
itu.
Sedangkan menurut ulama Maliki, Syafil dan Hanbali, selama akad hiwalah sudah berlaku
tetap, karena persyaratan yang ditetapkan sudah tepenuhi, maka akad hiwalah tidak dapat
berakhir karena at-tawa. Dengan kata pihak kedua tidak dapat menuntut pengembalian hak
meminta pembayaran utang kepada pihak pertama, dengan alasan ia tidak berhasil
mendapatkan pelunasan utang dari pihak ketiga.10

E. ‘ARIYAH
a. Pengertian ‘Ariyah

Secara etimologi, ‘ariyah diambil dari kata ‘Aara yang berarti datang dan
pergi. Menurut sebagian pendapat ‘ariyah berasal dari kata ‘At-Ta’aawuru yang sama
artinya dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu yang berarti saling menukar dan
mengganti dalam konteks tradisi pinjam meminjam.11

10
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hal. 44.

11
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiuddin shidiq. Fiqih Muamalat, (jakarta: KENCANA, 2010)
hlm.247

13
Secara terminologi syara’, ulama fiqih berbeda pendapat dalam
mendefinisikan ‘ariyah, antara lain:
1. Ibnu Rif’ah berpendapat, bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah kebolehan
mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya, supaya
dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
2. Menurut pendapat al-Malikiyah sebagaimana yang ditulis oleh Wahbah al-
juhaili, ‘ariyah adalah pemilikan atas manfaat suatu barang tanpa adanya
imbalan. Adapun menurut Al-Syafi’iyah dan Al-Hanabalah ‘ariyah adalah
pembolehan untuk mengambil manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan.
3. Amir Syarifuddin berpendapat bahwa ‘ariyah adalah transaksi atas manfaat
suatu barang tanpa imbalan, dalam arti sederhana ‘ariyah adalah
menyerahkan suatu wujud baranf untuk dimanfaatkan orang lain tanpa
adanya imbalan.

Menurut Wahbah al- Juhaili akad ini berbeda dengan hibah, karena
‘ariyah dimaksudkan hanya untuk mengambil manfaat dari suatu barang.
Sedangkan hibah, mengambil zat dan manfaat sekaligus. ‘ariyah berbeda
pula dengan ijarah, sebab pada ijarah, barang yang dimanfaatkan itu harus
diganti dengan imbalan tertentu.
Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi ‘ariyah dapat berlaku
pada seluruh jenis tingkatan masyarakat. Ia dapat berlaku pada masyarakat
tradisional maupun masyarakat modern, dan oleh sebab itu dapat
diperkirakan bahwa jenis akad atau transaksi ini sudah sangat tua, yaitu sejak
manusia yang satu berhubungan dengan manusia yang lainnya.
Menurut Wahbah al-juhaili tolong menolong dalam arti ‘ariyah atau
pinjam meminjam sesuatu hukumnya sunah, sedangkan menurut Amir
Syarifuddin, transaksi dalam bentuk ini hukumnya boleh atau mubah
sepanjang dilaukan sesuai dengan ketentuan syara’.

Jadi ‘ariyah yaitu pinjaman, sedangkan menurut terminologi ‘Ariyah


ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain

14
secara cuma-cuma (gratis). Bila digantikan dengan sesuatu atau ada
imbalannya, hal itu dapat tidak disebut ‘ariyah.

6. Dasar Hukum ‘Ariyah

) ٢: ‫وتعا ونوا على البر والتقوى وال تعا ونوا على اال ثم والعدوان ( الما ئدة‬
“Dan tolong menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan
janganlah kamu tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.” [Al-
Maidah:2]

)٥٨: ‫ان هللا يأ مر كم ان تؤ د و ااال ما نا ت ا لى اهلها (النساء‬


“sesungguhnya Allah memerintah kamu agar menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya” [An-Nisa: 58]

) ‫اداآل ما نة الى من ائتمنك وال تخن من خانك ( رواه أبو داود‬


“Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan
janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” [Dikeluarkan oleh
Abu Dawud].

‫من أخذ اموا ل الناس يريد أداء ها ادى هللا عنه ومن أخذ يريد اتال فها اتلفه هللا‬
“Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya maka
Allah akan membayarkannya, barang siapa yang meminjam hendak
melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya” [Riwayat Buhari].

15
7. Rukun dan Syarat-Syarat ‘Ariyah

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang
meminjamkan barang.

Menurut ulama Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafazh shighat akad,
yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjam barang pada waktu
transaksi sebabmemanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.

Secara umum, jumhur ulama fiqh menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat,yaitu

1. Mu’ir (peminjam)
2. Musta’ir (yang meminjamkan)
3. Mu’ar (barang yang dipinjam)
4. Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil
manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

Menurut Syafi’iyah, rukun ariyah adalah sebagai berikut.

1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini
kepada kamu” dan yang menerima berkata. “saya mengaku berutang benda anu kepada
kamu.” Syarat bendanya ialah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan musta’ir yaitu orang menerima
utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-
syarat bagi mu’ir dan musta’ir adalah:
a) Baligh, maka batal ariyah yang dilakukan anak kecil atau shabiy;
b) Berakal, maka batal ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan
orang gila;
c) Orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle), maka tidak sah ariyah yang
dilakukan oleh orang yang berada dibawah perlindungan (curatelle), seperti
pemboros.
d) Benda yang diutangkan.

16
Pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
1. Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang
materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur
sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
2. Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan manfaat
materinya dibatalkan oleh syara’, seperti meminjam benda-benda najis.

Syarat- syarat ‘ariyah


a. Orang yang meminjam itu haruslah orang yang berakal dan cakap bertindak hukum,
karena orang yang tidak berakal tidak dapat dipercaya memegang amanah, sedangkan
barang al-ariyah ini pada dasarnya amanah yang harus dipelihara oleh orang yang
memanfaatkannya. Oleh sebab itu anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh
melakukan akad ariyah.
b. Barang yang dipinjam itu bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis
atau musnah, seperti makanan. Jenis-jenis barang yang tidak habis atau musnah
apabila dimanfaatkan antara lain : rumah, tanah, pakaian, dan binatang ternak, kecuali
apabila dihabiskan atau dimusnahkan.
c. Barang yang dipinjamkan itu harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam.
Artinya, dalam al-‘ariyah,pihak peminjam harus menerima langsung barang itu dan
dapat ia manfaatkan secara langsung pula.
d. Manfaat barang yang dipinjam itu termasuk manfaat yang mubah (dibolehkan syara’).

8. Macam-macam ‘Ariyah

1. Ariyah Mutlak

Ariyah mutlak yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak
dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk meminjam saja
atau dibolehkan orang lain, atau tidak dijelaskan cara penggunaannya. Contohnya, seorang
meminjam binatang, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan
penggunaan binatang tersebut, misalnya waktu tempat mengendarainya. Jadi hukumnya
sebagaimana pemilik hewan-hewan, yaitu dapat mengambil. Namun, demikian, harus sesuai
dengan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat. Tidak dibolehkan menggunakan binatang

17
tersebut siang dan malam tanpa henti. Sebaliknya, jika penggunaannya tidak sesuai kebiasaan
dan barang pinjaman rusak, peminjam harus bertanggung jawab.

2. Ariyah Muqayyad
Ariyah muqayyad adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu
dan kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya. Hukumnya,
peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut. Hal ini karena asal dari
batas adalah menaati batasan, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat
mengambil manfaat barang. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggarbatasan
tersebutapabila kesulitan untuk memanfaatkannya.

9. Hikmah ‘Ariyah
Bagi peminjam
1. Dapat memenuhi kebutuhan seseorang terhadap manfaat sesuatu yang
belum dimiliki
2. Adanya kepercayaan terhadap dirinya untuk dapat memanfaatkan sesuatu
yang ia sendiri tidak memilikinya.
Bagi yang memberi pinjaman
1. Sebagai manifestasi rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah
dianugrahkan kepadanya.
2. Allah akan menambah nikmat kepada orang yang bersyukur.
3. Membantu orang yang membutuhkan.
4. Meringankan penderitaan orang lain.
5. Disenangi sesama serta di akhirat terhindar dari ancaman Allah seperti yang
terdapat dalam surat Al-Maun ayat 4-7.12

F. AL-RAHN (GADAI / PEMINJAMAN DENGAN JAMINAN)


A. Pengertian Rahn
Menurut bahasa,al-rahn berarti tetap dan lestari,seperti juga dinamakan al-
hasabu,artinya penahanan.begitupun dikatakan “ni`matun rohinah”artinya: karunia yang tetap

12
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiuddin shidiq. Fiqih Muamalat, (jakarta: KENCANA, 2010)
hlm.248-252

18
dan lestari.Ar-rahnujuga berati al-tsubut dan al habs,yaitu penetapan dan penahan. Gadai
atau dalam bahasa arab rahn menurut arti bahasa berasal dari kata rahana-rahnan yang
sinonimnya:tsabata yang artinya tetap, dama yang artinya kekal atau langgeng,
dan habasa yang artinya menahan. Sedangkan secara istilah gadai/rahn ialah perjanjian(akad)
pinjam meminjam barang dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang.
Sedangkan menurut sayyid sabiq, rahn adalah menjadikan barang berharga menurut
pandangan syara’ sebagai jaminan hutang. 13
B. Dasar Hukumnya
Perjanjian gadai itu di benarkan oleh islam,berdasarkan Q.S al baqarah ayat : 283

)٢٨۳ : ‫ (البقرة‬.… ٌ‫ضة‬


َ ‫َان َم ْقبُو‬
ٌ ‫سفَ ٍر َولَ ْم تَ ِجد ُوا َكاتِبًا فَ ِره‬
َ ‫علَى‬
َ ‫َوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم‬
“Apabila kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secar tunai, sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis hendaklah ada barang yang di pegang” (Q.S. 2: 283)
Dan di dalam Hadits pun terdapat keterangan yang menjelaskan bahwa Nabi saw. Pernah
menggadaikan barangya.
)‫ (روه البخارى والمسلم‬.‫ أشتر ى من يهودي طعاما ورهنه درعا من حديد‬.‫م‬.‫ ان رسول هللا ص‬.‫ع‬.‫عن عائسة ر‬
Artinya : “Dari Siti Ai’sah r.a. bahwa rasulullah saw bersabda: pernah membeli makanan
dengan baju besi”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dari ayat dan hadits di atas,jelaslah bahwa gadai hukumnya boleh,baik baik bagi orang
yang perjalanan atau tinggal di rumah.
C. Rukun dan Syarat-Syarat Rahn
1. Rukun Rahn
Para ulam fikih berbeda pendapat dalam menetapkan hokum rukun rahn.namun bila di
gabungkan menurut jumhur ulama,rahn ada lima :
a) Rahin(orang yang menggadaikan)
b) Murtahin(orang yang menerima gadai)
c) Marhun/rahn(objek/barang gadia)
d) Marhun bih(hutang)
e) Sighat(ijab kabul)

2. Syarat-syarat Rahn
Para ulam fikih mengemukakan syarat-syarat ar rahn sesuai dengan rukun ar-rahn itu
sendiri yaitu :

13
Sayyid sabiq, fiqh sunnah ( Beirut: Dar kitab al-arabi, 1971), jilid 3 hlm.153

19
a) Para pihak dalam pembiayaan rahn(rahin dan murtahin)para pihak yang melakukan
akad rahn harus cakap bertindak menurut hukum (ahliyyah).
b) Adanya kesepakatan(sighat)atau ijab Kabul
c) Marhun bih(utang),utang(marhun bih)wajib dibayar kembali oleh
debitur(rahin)kepada kreditur(murtahin).utang boleh di lunasi dengan agunan,dan
hutang harus jelas serta tertentu(dapat di kuantifikasikan atau di hitung jumlahnya).
d) Marhun(barang)
D. Macam-macam Rahn

1. Rahn ‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily)

Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan


kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh
pemberi gadai.

Elsa memiliki hutang kepada Elda sebesar Rp. 10jt. Sebagai jaminan atas pelunasan
hutang tersebut, Elsa menyerahkan BPKB Mobilnya kepada Elda secara Rahn ‘Iqar.
Walaupun surat-surat kepemilikan atas Mobil tersebut diserahkan kepada Elda, namun mobil
tersebut tetap berada di tangan Elsa dan dipergunakan olehnya untuk keperluannya sehari-
hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas mobil di maksud.

Konsep ini dalam hukum positif lebih mirip kepada konsep Pemberian Jaminan
Secara Fidusia atau penyerahan hak milik secara kepercayaan atas suatu benda. Dalam
konsep Fidusia tersebut, dimana yang diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda tersebut,
sedangkan fisiknya masih tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan masih dapat dipergunakan
untuk keperluan sehari-hari.

2. Rahn Hiyazi

Bentuk Rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep Gadai baik dalam
hukum adat maupun dalam hukum positif. Jadi berbeda dengan Rahn ‘Iqar yang hanya
menyerahkan hak kepemilikan atas barang, maka pada Rahn Hiyazi tersebut, barangnya pun
dikuasai oleh Kreditur.

Jika dilihat dalam contoh pada point 1 di atas, jika akad yang digunakan adalah Rahn
Hiyazi, maka Mobil milik Tenriagi tersebut diserahkan kepada Elda sebagai jaminan

20
pelunasan hutangnya. Dalam hal hutang Tenriagi kepada Elda sudah lunas, maka Tenriagi
bisa mengambil kembali mobil tersebut.

Sebagaimana halnya dengan gadai berdasarkan hukum positif, barang yang


digadaikan bisa berbagai macam jenisnya, baik bergerak maupun tidak bergerak. Dalam hal
yang digadaikan berupa benda yang dapat diambil manfaatnya, maka penerima gadai dapat
mengambil manfaat tersebut dengan menanggung biaya perawatan dan pemeliharaannya.

Dalam praktik, yang biasanya diserahkan secara Rahn adalah benda-benda bergerak,
khususnya emas dan kendaraan bermotor. Rahn dalam Bank syariah juga biasanya diberikan
sebagai jaminan atas Qardh atau pembiayaan yang diberikan oleh Bank Syariah kepada
Nasabah. Rahn juga dapat diperuntukkan bagi pembiayaan yang bersifat konsumtif seperti
pembayaran uang sekolah, modal usaha dalam jangka pendek, untuk biaya pulang kampung
pada waktu lebaran dan lain sebagainya. Jangka waktu yang pendek (biasanya 2 bulan) dan
dapat diperpanjang atas permintaan nasabah.

E. Hikmah Rahn

Allah mensyariatkan rahn untuk kemaslahatan orang yang menggadai (raahin),


pemberi hutangan(Murtahin) dan masyarakat.

Untuk yang menggadai ia mendapat keuntungan dapat menutupi kebutuhannya. Ini


tebtunya bisa menyelamatkan dari krisis dan menghilangkan kegundahan dihatinya serta
kadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut lalu menjadi sebab ia menjadi kaya.

Sedangkan pihak pemberi hutang akan menjadi tenang dan merasa aman atas haknya
dan mendapatkan keuntungan syar’i dan bila ia berniat baik maka mendapatkan pahala dari
Allah.

Adapun kemaslahatan untuk masyarakat adalah memperluas interkasi perdagangan


dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang diantara manusia, karena ini termasuk
tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. 14

14
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiuddin shidiq. Fiqih Muamalat, (jakarta: KENCANA, 2010)
hlm.265-268

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kegiatan muamalah seperti ijarah, ariyah, rahn, hiwalah dan ji’alah. adalah sesuatu yang
tidak bisa terlepas dari kehidupan kita sehari-hari. Hukum asalnya terikat dengan hukum
syara. Oleh karena itu sebagai seorang muslim, kita seharusnya mengetahui dalil-dalil syara
dan ketentuan-ketentuan mengenai kegiatan tersebut agar kita terhindar dari hal-hal yang
diharamkan dan dibenci Allah swt.

B. Saran
Dari uraian di atas maka penulis menyadari bahwa banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan, untuk itu pemakalah mohon kritikan dan saran yang sifatnya konstruktif demi
kesempurnaan makalah ini.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ghazaly, Abdul Rahman, Ghufron Ihsan dan Sapiuddin shidiq. Fiqih Muamalat. jakarta:
Kencana. 2010.

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah (Beirut: Dar Kitab Al-Arabi, 1971, jilid 3

Nawawi, Ismail. Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya, 2010.

Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.

Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung : Sinar baru Algesindo, 2007

Zuhaili, Wahbah. Fiqh Muamalah Perbankan Syariah, Kapita Selekta, 2010

Anda mungkin juga menyukai