USHUL FIQH
“MEMAHAMI MAKNA AHLIYAH DAN
MENGAPLIKASIKAN KEBERADAANNYA DALAM
BERBAGAI HUKUM ISLAM”
Syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Ushul Fiqh, dengan judul “Memahami Makna
Ahliyah Dan Mengaplikasikan Keberadaannya Dalam Berbagai Hukum Islam”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna di karenakan
terbatasnya pengalamaan dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.
Kelompok 9
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ahliyah .............................................................................................. 2
2.2 Dalil Naqli dan Aqli Ahliyah .............................................................................. 3
2.3 Rukun dan Syarat Ahliyah .................................................................................. 4
2.4 Macam-macam Ahliyah ...................................................................................... 5
2.5 Contoh-contoh Ahliyah ....................................................................................... 9
2.6 Mengaplikasikan Keberadaan Ahliyah ............................................................. 11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Mengetahui makna Ahliyah, Macam-macam Ahliyah serta cara
mengaplikasikan keberadaannya dalam berbagai hukum islam.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak
akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh,
manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.” (Q.S. al-Ahzab: 72)
3
Konsep Ijma’ (konsensus): Ijma’ adalah salah satu prinsip hukum dalam Islam
yang melibatkan kesepakatan ulama dalam suatu masalah hukum. Ini
menunjukkan bahwa para ulama yang dianggap sebagai ahli dalam hukum
Islam memiliki otoritas dalam membuat keputusan hukum.
Adapun syarat-syarat ahliyah (kemampuan hukum) merujuk pada kriteria yang harus
dipenuhi oleh seseorang agar dapat dianggap sebagai subjek hukum yang sah dalam
Islam. Syarat-syarat ini berfungsi sebagai dasar untuk menentukan apakah seseorang
dapat dikenai hukum atau kewajiban tertentu. Syarat-syarat ahliyah biasanya termasuk:
1 Islam: Seseorang harus menganut agama Islam untuk memiliki ahliyah dalam
hukum Islam.
2 Baligh: Seseorang harus mencapai usia baligh (dewasa) sebelum dapat
dianggap sebagai subjek hukum. Usia baligh bervariasi tergantung pada jenis
kelamin dan perkembangan individu.
4
3 Aqil: Individu harus memiliki akal sehat yang cukup untuk memahami
konsekuensi hukum dari tindakan mereka.
4 Merdeka: Ahliyah biasanya hanya berlaku untuk individu yang tidak menjadi
budak atau terikat dalam perbudakan. Budak memiliki status hukum yang
berbeda dalam Islam.
5 Bukan Orang Gila: Seseorang yang tidak mengalami gangguan mental yang
membuat mereka tidak dapat memahami atau bertanggung jawab atas tindakan
mereka.
6 Taklif: Individu harus menerima atau diwajibkan oleh hukum untuk melakukan
tindakan tertentu. Ini dapat melibatkan akad (perjanjian) atau kewajiban hukum
lainnya.
7 Ketidaktidakan (Al-‘Udhr): Jika seseorang menghadapi halangan yang
membuatnya tidak dapat bertindak atau memenuhi kewajiban (misalnya, karena
sakit atau keadaan darurat), mereka mungkin tidak dianggap bertanggung jawab
atas tindakan tersebut.
Dari beberapa syarat umum ahliyah dalam usul fiqh, terkadang ada perbedaan pendapat
di antara para ahli fiqh tentang interpretasi dan aplikasi syarat-syarat ini dalam situasi-
situasi khusus.
5
a) Ahliyah al-Wujub al-Naqishah atau kecakapan dikenai hukum
secara lemah atau tidak sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk
menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban, atau kecakapan
untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak. Sifat
lemah dalam kecakapan ini disebabkan oleh karena hanya salah
satu kecakapan pada dirinya diantara dua kecakapan yang harus ada
padanya.
Contoh kecakapan untuk menerima hak, tetapi tidak untuk
menerima kewajiban adalah bayi dalam kandungan ibunya.
Bayi atau janin itu telah memiliki hak kebendaan seperti
warisan dan wasiat, meskipun ia belum lahir. Bayi dalam
kandungan tidak dibebani kewajiban apa-apa, karena ia
belum bernama manusia.
Contoh kecakapan untuk dikenakan kewajiban tetapi tidak
cakap untuk menerima hak adalah orang mati tetapi
meninggalkan hutang. Dengan kematian ia tidak akan
mendapatkan hak apa-apa lagi, karena hak hanya untuk
manusia hidup. Tetapi orang mati itu tetap akan dikenai
kewajiban untuk membayar hutang yang dibuatnya semasa
ia masih hidup.
6
2. Ahliyah al-Ada’
Ahliyah al-Ada’ atau kecakapan bertindak, adalah kecakapan seseorang
untuk melakukan perbuatan yang dipandang sah menurut Syara'. Ulama
ushul fiqh mendefinisikan ahliyah al-ada’ adalah kecakapan seorang
mukalaf dalam melaksanakan suatu perbuatan dengan cara yang diatur
dalam syariat. Sementara itu, sebagian ahli lainnya berpandangan bahwa
ahliyah al-ada’ meliputi perbuatan maupun ucapan verbal, yakni jika
perbuatan atau ucapan itu muncul dari seorang mukalaf maka telah terjadi
suatu ikatan atau bila suatu perbuatan terjadi maka perbuatan tersebut
memiliki konsekuensi terhadap dirinya. Jika ia salat atau haji maka
perbuatannya itu menggugurkan kewajiban. Jika ia melakukan suatu
kejahatan terhadap orang lain, maka ia dikenakan hukuman dan diharuskan
melakukan kompensasi.
Seseorang dipandang sebagai ahliyah al-ada’ atau memiliki kecerdasan
secara sempurna apabila telah balig, berakal dan bebas dari semua yang
menjadi penghalang dari kecakapan ini, seperti keadaan tidur, gila, lupa,
terpaksa dan lain-lain. Khusus berkaitan dengan harta, kewenangan dan
kecakapan seseorang dipandang sah selain balig, berakal, juga harus cerdas
(rushd). Rushd adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan
hartanya. Sesuai dengan perkembangan kemampuan akal tersebut, maka
ahliyyatul ada', dibagi menjadi dua macam, yaitu :
7
beriman. Dengan sah keimanannya itu/kepadanya berlaku pula
hukum-hukum yang berkaitan dengan keimanannya, seperti saling
waris mewarisi dengan ahli waris yang sesama imannya (muslim)
dan terhalang dari saling waris mewarisi dengan ahli waris yang
kafir. Sedangkan apabila ia semula Islam kemudian murtad, atau
menjadi kafir, di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat.
Menurut Muhammad bin Hasan kekafiran atau murtadnya adalah
sah, sedangkan menurut Abu Yusuf kekafiran atau murtadnya
adalah tidak sah.
3. Penghalang Ahliyah
Manusia sebagai subyek hukum tidak selamanya dalam keadaan seperti
sedia kala, terkadang kondisinya normal sehingga beban-beban hukum
mudah untuk dilakukan. Begitu pula sebaliknya, terkadang dia dalam
keadaan tidak normal baik secara biologis ataupun psikis yang
menyebabkan dirinya tidak mampu menjalankan tanggung jawab hukum
8
yang dibebankan kepadanya. Karenanya, para ahli ushul merumuskan
penghalang atau pengguru seseorang dipandang tidak lagi cakap hukum
secara sempurna.Penghalang kecakapan hukum terhada subyek hukum
dibagi menjadi dua, yaitu : Awaridl samawiyah dan awaridh muktasabah.
9
b) Ahliyah dalam Bidang Kepemimpinan
Dalam konteks kepemimpinan, ahliyah bisa berarti kemampuan
seseorang untuk mengelola dan memimpin organisasi atau tim
dengan efektif. Seorang pemimpin yang mampu mencapai hasil
yang baik dan memimpin dengan bijaksana dianggap sebagai
seorang “ahli” dalam kepemimpinan.
10
Pembahasan tentang ahliyah ini perlu dikaji lebih dalam lagi, karena ahliyah ini
memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai syarat seseorang sah dalam berakad,
yang tentunya memiliki implikasi yang lebih jauh yaitu kedudukan akad mereka apakah
nantinya sah atau tidak dan seterusnya. Disamping memang menjelaskan landasan
teoritis tentang ahliyah tersebut, bagaimana pendapat ulama’ serta kaitannya dengan
kematangan psikologis seseorang tatkala usia atas penetapan pada usia tertentu
seseorang dapat dikatakan cakap hukum, dalam rangka memberikan pemahaman
kepadamasyarakat selaku subyek dari undang-undang yang ada, agar akad yang mereka
lakukan benar secara aturan fiqih sekaligus tidak bertentangan dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku saat ini.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari beberapa pendapat para ahli bahwa ahliyah adalah kelayakan atau
kecakapan atau kemampuan seseorang untuk memiliki hak-hak yang ditetapkan
baginya atau untuk menunaikan kewajiban agar terpenuhi hak-hak orang lain yang
dibebankan kepadanya atau untuk dipandang sah oleh Syara' perbuatan -
perbuatannya.
3.2 Hikmah
Mempelajari ahliyah ushul fiqh, atau ilmu dasar hukum Islam, dapat membawa
banyak hikmah. Pertama, ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang
prinsip-prinsip dasar dalam menetapkan hukum dalam Islam. Dengan memahami ushul
fiqh, kamu dapat lebih baik memahami landasan hukum dari ajaran-ajaran dalam
agama. Kedua, belajar ahliyah ushul fiqh dapat meningkatkan kemampuan analisis dan
pemahamanmu terhadap naskah-naskah hukum Islam. Ini membantu kamu dalam
menafsirkan hukum dan menjawab permasalahan hukum yang kompleks. Selain itu,
memahami ushul fiqh juga dapat meningkatkan kesadaranmu terhadap keadilan dan
etika dalam konteks hukum Islam. Ini tidak hanya berdampak pada pemahamanmu
terhadap agama, tetapi juga dapat membentuk karakter dan nilai-nilai moral dalam
kehidupan sehari-hari.
12
DAFTAR PUSAKA
Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 54.
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, juz 4, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, hlm.
116-117
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami jilid ke-1, Damaskus : Dar al-Fikr, hlm. 168
Peunoh Daly dalam Ismail Muhammad Syah, dkk, op. cit ,hlm. 156. Abdul Wahhab Khallaf,
op. cit, hlm. 136.
Al-Mawardi, Al-Hawi kabir, dikutip oleh Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA, Hukum Perjanjian
Ibrahim Musthafa, dkk., Al-Mu’jam al-Wasith cet. Ke-4, Maktabah as-Syuruq ad-Dauliyah,
Kairo, hlm. 32
Alauddin Abdul Aziz bin Ahmad al-Bukhari, Kasyful Al-Asraar (Beirut: Dar al-Kitab al-
’Arabiyah, n.d), 4/237
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 4 (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve,
2006), 1220.
13