Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH

USHUL FIQH
“MEMAHAMI MAKNA AHLIYAH DAN
MENGAPLIKASIKAN KEBERADAANNYA DALAM
BERBAGAI HUKUM ISLAM”

Dosen Pengampu : Dr. Badrah Uyuni, MA.


Di susun oleh : Kelompok 9
1. Ananda Shafitri (3120220021)
2. Anita Rahma (3120220001)
3. Putri Hidayah (3120220108)
4. Resa Siti Nurjanah (3120220006)
5. Siti Saidah. O (3120220015)

FAKULTAS AGAMA ISLAM


PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH
TA 2022/2023
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Ushul Fiqh, dengan judul “Memahami Makna
Ahliyah Dan Mengaplikasikan Keberadaannya Dalam Berbagai Hukum Islam”.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna di karenakan
terbatasnya pengalamaan dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.

Jakarta, November 2023

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ahliyah .............................................................................................. 2
2.2 Dalil Naqli dan Aqli Ahliyah .............................................................................. 3
2.3 Rukun dan Syarat Ahliyah .................................................................................. 4
2.4 Macam-macam Ahliyah ...................................................................................... 5
2.5 Contoh-contoh Ahliyah ....................................................................................... 9
2.6 Mengaplikasikan Keberadaan Ahliyah ............................................................. 11

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 12
3.2 Hikmah .............................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ahliyyah menjadi satu pekara yang penting dalam kebanyakan aspek seperti jual
beli, perkahwinan, dan sebagainya. malah ia juga merupakansalah satu syarat yang
menjadikan sesuatu perbuatan itu sah disisi Islam.Perbincangan mengenai ahliyyah
berkisar tentang kedudukan ahliyyah itusendiri seperti kelayakan bagi seseorang untuk
melakukan sesuatu perbuatanyang sah dengan mengira beberapa aspek termasuklah
halangan-halanganyang menghalang seseorang dari melakukan perbuatan tersebut.
Ahliyyah merupakan salah satu unsur dan keperluan utama yangditetapkan dalam
menetapkan hukum. Keseluruhan tindakan menuntutkepada kelayakan dan kelayakan
ini diambil kira bagi setiap orang yangmelaksanakan sesuatu akad. Syarat ahliyyah al-
tasaruf dikenakan terhadaporang yang ingin melakukan sesuatu akad. Syarat tersebut
mestilah terdiridaripada dua pihak yang berakad yang mana keduanya mestilah
berkeahliandan berkelayakan. Oleh sebab itu ahliyyah menjadi sangat penting dalam
penetapan hukum untuk menimbangkan sesuatu perbuatan itu sah atau tidakdi sisi
syara.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dijelaskan, maka penulis dapat
merumuskan suatu masalah yaitu
1. Apa yang dimaksud dengan Ahliyyah?
2. Apa saja dalil terkait Ahliyah?
3. Apa Rukun dan Syarat Ahliyah?
4. Apa Macam-macam Ahliyyah?
5. Apa saja contoh-contoh Ahliyah?
6. Bagaimana mengaplikasikan keberadaan Ahliyah dalam hukum Islam?

1.3 Tujuan
Mengetahui makna Ahliyah, Macam-macam Ahliyah serta cara
mengaplikasikan keberadaannya dalam berbagai hukum islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ahliyah

Dari segi etimologi, ahliyyah berarti “kecakapan menangani suatu urusan”.


Misalnya, seseorang dikatakan ahli untuk menduduki suatu jabatan atau posisi berarti
ia punya kemampuan pribadi untuk itu. Adapun ahliyyah secara terminologi ialah :
Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk
menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara.

Fikih Islam menggunakan istilah ahliyah untuk menunjuk arti kecakapan.


Kecakapan mendukung hak disebut ahliyatul wujub, dan kecakapan menggunakan hak
terhadap orang lain disebut ahliyyatul ada 28 Menurut Rachmat Syafe’i, secara bahasa,
ahliyah adalah suatu kepantasan atau kelayakan. Sedangkan menurut istilah, ahliyah
adalah kepantasan seseorang untuk menetapkan hak yang telah ditetapkan baginya dan
pantas beraktivitas atas barang tersebut.

Menurut Muhammad Abu Zahrah, ahliyah adalah kemampuan seseorang


untuk menerima kewajiban dan menerima hak atau kecakapan menangani suatu urusan.
Menurut Wahbah al-Zuhayli, ahliyah adalah kecakapan seseorang untuk memiliki hak
dan dikenai kewajiban atasnya, dan kecakapan untuk melakukan tasarruf (perbuatan
hukum). Adapun pengertian ahliyah menurut ulama ushul fiqh adalah suatu sifat
yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syar‘I untuk menentukan
seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.

Sebagaimana juga didefinisikan oleh imam al-Rahawi, ahliyah adalah suatu


ungkapan mengenai kepantasan seseorang untuk menerima hak dan dibebani
kewajiban. ahliyah merupakan suatu amanat yang dijelaskan oleh Allah Swt :

2
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak
akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh,
manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.” (Q.S. al-Ahzab: 72)

Berdasarkan berbagai penjelasan ulama mengenai pengertian dari ahliyah yang


kami sebutkan, ditemukan dalam definisi tersebut sekalipun berbeda-beda
tekanannya, namun maknanya sama, yang pada intinya bahwa ahliyah adalah
kepantasan seseorang untuk mendapatkan hak-haknya dan kepantasannya untuk
melakukan hal-hal yang menjadi kewajibannya, setelah terpenuhinya syarat-syarat
yang mesti ada pada seorang mukalaf untuk mendapatkan hak dan dibebani kewajiban.

2.2 Dalil Naqli dan Aqli Ahliyah


Prinsip Dalil Naqli dan aqli yang mendasari ahliyah adalah bahwa untuk
mengambil keputusan yang benar dalam hukum Islam, diperlukan pengetahuan dan
pemahaman yang mendalam. Dalam pandangan aqli, seseorang yang tidak memiliki
ahliyah dalam suatu bidang tidak dapat memberikan keputusan yang sah dalam masalah
tersebut. Makna “ahliyah” biasanya merujuk kepada keahlian atau kepakaran dalam
suatu bidang atau disiplin ilmu tertentu. Dalil-dalil yang mendukung makna ini dapat
mencakup:
 Al-Quran: Banyak ayat dalam Al-Quran yang menghargai dan mendorong
pencarian ilmu dan kepakaran. Contohnya, Surat Al-Mujadila (58:11) yang
menyatakan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman
dan memiliki ilmu.
 Hadis: Hadis-hadis dari Nabi Muhammad SAW juga menekankan pentingnya
ilmu. Misalnya, hadis yang menyatakan, “Mencari ilmu adalah kewajiban atas
setiap Muslim.” Ini menunjukkan bahwa menjadi ahli dalam bidang ilmu adalah
suatu kewajiban dalam Islam.
 Sejarah: Banyak contoh dalam sejarah Islam yang menunjukkan bagaimana
para ulama dan cendekiawan Islam memiliki tingkat kepakaran yang tinggi
dalam berbagai bidang, seperti ilmu agama, ilmu pengetahuan, kedokteran, dan
matematika.

3
 Konsep Ijma’ (konsensus): Ijma’ adalah salah satu prinsip hukum dalam Islam
yang melibatkan kesepakatan ulama dalam suatu masalah hukum. Ini
menunjukkan bahwa para ulama yang dianggap sebagai ahli dalam hukum
Islam memiliki otoritas dalam membuat keputusan hukum.

2.3 Rukun dan Syarat Ahliyah


Rukun-rukun dari Ahliyah dalam usul fiqih adalah prinsip-prinsip dasar yang
membentuk landasan pemahaman dalam ilmu usul fiqih. Rukun-rukun tersebut adalah:
1 Al-‘Illah (Penyebab): Al-‘Illah adalah faktor atau penyebab yang mendasari
hukum syariat. Pengetahuan tentang al-‘illah adalah penting dalam menentukan
hukum hukum syariat.
2 Al-Hukm (Hukum): Al-Hukm adalah hasil dari pengamatan dan pemahaman
terhadap al-‘Illah. Hukum syariat dapat dibagi menjadi beberapa jenis, seperti
wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah.
3 Al-Mani’ (Halangan): Al-Mani’ adalah faktor-faktor yang menghalangi
berlakunya hukum syariat. Pengetahuan tentang al-mani’ membantu dalam
menentukan apakah suatu perbuatan dapat diterima atau tidak.
4 Al-Maslahah (Kepentingan): Al-Maslahah mengacu pada kepentingan atau
manfaat yang mendasari hukum syariat. Prinsip ini digunakan dalam
menentukan hukum yang sejalan dengan kepentingan umat.
5 Al-Mafsadah (Kemudharatan): Al-Mafsadah adalah kerugian atau
kemudharatan yang harus dihindari dalam hukum syariat. Prinsip ini digunakan
dalam menentukan hukum yang bertentangan dengan kepentingan umat.

Adapun syarat-syarat ahliyah (kemampuan hukum) merujuk pada kriteria yang harus
dipenuhi oleh seseorang agar dapat dianggap sebagai subjek hukum yang sah dalam
Islam. Syarat-syarat ini berfungsi sebagai dasar untuk menentukan apakah seseorang
dapat dikenai hukum atau kewajiban tertentu. Syarat-syarat ahliyah biasanya termasuk:
1 Islam: Seseorang harus menganut agama Islam untuk memiliki ahliyah dalam
hukum Islam.
2 Baligh: Seseorang harus mencapai usia baligh (dewasa) sebelum dapat
dianggap sebagai subjek hukum. Usia baligh bervariasi tergantung pada jenis
kelamin dan perkembangan individu.

4
3 Aqil: Individu harus memiliki akal sehat yang cukup untuk memahami
konsekuensi hukum dari tindakan mereka.
4 Merdeka: Ahliyah biasanya hanya berlaku untuk individu yang tidak menjadi
budak atau terikat dalam perbudakan. Budak memiliki status hukum yang
berbeda dalam Islam.
5 Bukan Orang Gila: Seseorang yang tidak mengalami gangguan mental yang
membuat mereka tidak dapat memahami atau bertanggung jawab atas tindakan
mereka.
6 Taklif: Individu harus menerima atau diwajibkan oleh hukum untuk melakukan
tindakan tertentu. Ini dapat melibatkan akad (perjanjian) atau kewajiban hukum
lainnya.
7 Ketidaktidakan (Al-‘Udhr): Jika seseorang menghadapi halangan yang
membuatnya tidak dapat bertindak atau memenuhi kewajiban (misalnya, karena
sakit atau keadaan darurat), mereka mungkin tidak dianggap bertanggung jawab
atas tindakan tersebut.
Dari beberapa syarat umum ahliyah dalam usul fiqh, terkadang ada perbedaan pendapat
di antara para ahli fiqh tentang interpretasi dan aplikasi syarat-syarat ini dalam situasi-
situasi khusus.

2.4 Macam-macam Ahliyah


Dari beberapa pendapat para ahli bahwa ahliyah adalah kelayakan atau
kecakapan atau kemampuan seseorang untuk memiliki hak-hak yang ditetapkan
baginya atau untuk menunaikan kewajiban agar terpenuhi hak-hak orang lain yang
dibebankan kepadanya atau untuk dipandang sah oleh Syara' perbuatan- perbuatannya.
Adapun macam-macam Ahliyah sebagai berikut:
1. Ahliyah al-Wujub
Ahliyah al-Wujub adalah kepantasan seorang manusia untuk
menerima hak-hak dan kemampuan untuk menjalankan kewajibannya.
Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi tiap manusia ditinjau dari segi ia
sebagai manusia, semenjak ia dilahirkan sampai menghembuskan napas
terakhir dalam segala sifat, kondisi dan keadaannya. Selanjutnya ahliyah al-
wujub ini, dibedakan lagi menjadi dua tingkat, yaitu:

5
a) Ahliyah al-Wujub al-Naqishah atau kecakapan dikenai hukum
secara lemah atau tidak sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk
menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban, atau kecakapan
untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak. Sifat
lemah dalam kecakapan ini disebabkan oleh karena hanya salah
satu kecakapan pada dirinya diantara dua kecakapan yang harus ada
padanya.
 Contoh kecakapan untuk menerima hak, tetapi tidak untuk
menerima kewajiban adalah bayi dalam kandungan ibunya.
Bayi atau janin itu telah memiliki hak kebendaan seperti
warisan dan wasiat, meskipun ia belum lahir. Bayi dalam
kandungan tidak dibebani kewajiban apa-apa, karena ia
belum bernama manusia.
 Contoh kecakapan untuk dikenakan kewajiban tetapi tidak
cakap untuk menerima hak adalah orang mati tetapi
meninggalkan hutang. Dengan kematian ia tidak akan
mendapatkan hak apa-apa lagi, karena hak hanya untuk
manusia hidup. Tetapi orang mati itu tetap akan dikenai
kewajiban untuk membayar hutang yang dibuatnya semasa
ia masih hidup.

b) Ahliyah al-Wujub al-Kamilah atau kecakapan dikenai hukum


secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai
kewajiban dan juga menerima hak. Kecakapan ini berlaku
semenjak ia lahir sampai ia sekarat selama ia masih bernafas.

 Contoh anak yang baru lahir, di samping ia berhak secara pasti


menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya, ia juga
dikenai kewajiban seperti zakat fitrah atau zakat harta menurut
sebagian pendapat ulama yang pelaksanaannya dilakukan oleh
orang tua atau walinya.

6
2. Ahliyah al-Ada’
Ahliyah al-Ada’ atau kecakapan bertindak, adalah kecakapan seseorang
untuk melakukan perbuatan yang dipandang sah menurut Syara'. Ulama
ushul fiqh mendefinisikan ahliyah al-ada’ adalah kecakapan seorang
mukalaf dalam melaksanakan suatu perbuatan dengan cara yang diatur
dalam syariat. Sementara itu, sebagian ahli lainnya berpandangan bahwa
ahliyah al-ada’ meliputi perbuatan maupun ucapan verbal, yakni jika
perbuatan atau ucapan itu muncul dari seorang mukalaf maka telah terjadi
suatu ikatan atau bila suatu perbuatan terjadi maka perbuatan tersebut
memiliki konsekuensi terhadap dirinya. Jika ia salat atau haji maka
perbuatannya itu menggugurkan kewajiban. Jika ia melakukan suatu
kejahatan terhadap orang lain, maka ia dikenakan hukuman dan diharuskan
melakukan kompensasi.
Seseorang dipandang sebagai ahliyah al-ada’ atau memiliki kecerdasan
secara sempurna apabila telah balig, berakal dan bebas dari semua yang
menjadi penghalang dari kecakapan ini, seperti keadaan tidur, gila, lupa,
terpaksa dan lain-lain. Khusus berkaitan dengan harta, kewenangan dan
kecakapan seseorang dipandang sah selain balig, berakal, juga harus cerdas
(rushd). Rushd adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan
hartanya. Sesuai dengan perkembangan kemampuan akal tersebut, maka
ahliyyatul ada', dibagi menjadi dua macam, yaitu :

a) Ahliyah al-Ada al-Naaqishah atau kecakapan tak sempurna, yaitu


kecakapan yang bertindak secara tak sempurna, kecakapan
seseorang untuk melakukan perbuatan tertentu saja. Dengan
demikian, maka orang yang memiliki ahliyah al-ada al-naqishah,
tidak semua perbuatannya dipandang sah oleh Syara'. Kecakapan
seperti ini, dimiliki oleh seseorang selagi kemampuan akalnya
belum sempurna, yaitu selagi seseorang masih dalam periode
tamyyiz. Perbuatan seorang mumayyiz, ada yang sah, ada yang
tidak sah dan ada pula yang sah setelah mendapat izin dari wali atau
washinya. Dalam lapangan aqidah, perbuatan orang mumayyiz
telah dipandang sah, seperti apabila ia semula kafir kemudian

7
beriman. Dengan sah keimanannya itu/kepadanya berlaku pula
hukum-hukum yang berkaitan dengan keimanannya, seperti saling
waris mewarisi dengan ahli waris yang sesama imannya (muslim)
dan terhalang dari saling waris mewarisi dengan ahli waris yang
kafir. Sedangkan apabila ia semula Islam kemudian murtad, atau
menjadi kafir, di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat.
Menurut Muhammad bin Hasan kekafiran atau murtadnya adalah
sah, sedangkan menurut Abu Yusuf kekafiran atau murtadnya
adalah tidak sah.

b) Ahliyah al-ada al-Kamilah atau kecakapan secara sempurna, yaitu


kecakapan seseorang untuk melakukan berbagai macam perbuatan.
Dengan demikian, orang yang telah memiliki kecakapan bertindak
secara sempurna, semua perbuatannya telah dipandang sah oleh
Syara'. Adapun orang yang memiliki kecakapan bertindak secara
sempurna ini ialah orang yang telah memiliki kemampuan akal
secara sempurna, yaitu mereka yang telah baligh. Khusus untuk
kecakapan bertindak secara sempurna yang menyangkut dengan
harta kekayaan, maka di samping seseorang itu telah baligh, ia
harus telah memiliki sifat rasyid.
 Contoh yang kaitannya dengan harta benda, apabila seseorang
sudah baligh dan cerdas maka ia memiliki hak penuh untuk
melakukan tindakan hukum (tasarruf) atas hartanya. Akan
tetapi, apabila ia baligh dalam kondisi tidak cerdas maka para
fuqaha sepakat bahwa ia tidak boleh diserahi harta kekayaan
untuk di-tasarruf-kan sendiri.

3. Penghalang Ahliyah
Manusia sebagai subyek hukum tidak selamanya dalam keadaan seperti
sedia kala, terkadang kondisinya normal sehingga beban-beban hukum
mudah untuk dilakukan. Begitu pula sebaliknya, terkadang dia dalam
keadaan tidak normal baik secara biologis ataupun psikis yang
menyebabkan dirinya tidak mampu menjalankan tanggung jawab hukum

8
yang dibebankan kepadanya. Karenanya, para ahli ushul merumuskan
penghalang atau pengguru seseorang dipandang tidak lagi cakap hukum
secara sempurna.Penghalang kecakapan hukum terhada subyek hukum
dibagi menjadi dua, yaitu : Awaridl samawiyah dan awaridh muktasabah.

Awaridl samawiyah adalah penghalang kecakapan seseorang tanpa ada


kemampuan untuk mengusahakannya atau menolak. Sedangkan Awaridl
muktasabah adalah pengalang kecakapan yang diakibatkan oleh usaha atau
perbuatan manusia selaku subyek hukum itu sendiri. Dari penjelasan di atas
awaridl samawiyah bisa kita namakan dengan penghalang yang bersifat
takdir ilahi, sedangkan awarid muktasabah juga dapat disebut sebagai
penghalang kecakapan yang ada peran serta manusia untuk
mengusahakannya atau menolaknya. Diantara bentuk-bentuk penghalang
samawiyah yang disebutkan oleh ahli ushul, yaitu gila, idiot, tidur, mati,
sakit keras, pingsan, lupa, haid dan nifas. Sedangkan penghalang yang
dapat diusahakan, yaitu boros, pailit, alfa, dan terpaksa.

2.5 Contoh – Contoh Ahliyah


 Contoh Ahliyah yg terjadi pada masa Rasulullah
Pada zaman Rasulullah saw. melibatkan berbagai kecakapan dan ahliyah yang
sangat penting dalam konteks perjalanan dakwah, kepemimpinan, dan
pembentukan masyarakat Muslim. contoh kecakapan dan ahliyah pada zaman
Rasulullah yaitu : Ahliyah dalam Ijtihad (An-Nabiyy al-Ummi) Meskipun
Rasulullah tidak dapat membaca atau menulis, kecakapan dalam menerima wahyu
dan memahami makna serta aplikasinya (ijtihad) sangat penting. Kemampuan
beliau dalam merespons situasi-situasi yang kompleks dengan bimbingan ilahi
adalah bentuk contoh kecakapan.
 Contoh Ahliyah dalam konteks kontemporer
a) Ahliyah dalam Bidang Profesional
Ahliyah bisa merujuk pada tingkat keahlian atau kecakapan seseorang dalam
bidang profesional tertentu. Misalnya, seseorang yang memiliki pengetahuan
dan keterampilan tinggi dalam ilmu komputer dianggap sebagai “ahli” dalam
bidang tersebut.

9
b) Ahliyah dalam Bidang Kepemimpinan
Dalam konteks kepemimpinan, ahliyah bisa berarti kemampuan
seseorang untuk mengelola dan memimpin organisasi atau tim
dengan efektif. Seorang pemimpin yang mampu mencapai hasil
yang baik dan memimpin dengan bijaksana dianggap sebagai
seorang “ahli” dalam kepemimpinan.

c) Ahliyah dalam Kajian Agama


Dalam kajian agama, ahliyah merujuk pada pengetahuan mendalam
tentang ajaran agama tertentu. Misalnya, seorang ulama Islam yang
memiliki pemahaman yang mendalam tentang Al-Quran dan Hadis
disebut sebagai “ahli agama.”

d) Ahliyah dalam Kebijakan Publik


Ahliyah dapat merujuk pada tingkat pemahaman dan kompetensi
dalam masalah kebijakan publik. Seorang individu yang memiliki
pengetahuan yang luas tentang isu-isu kebijakan dan berkontribusi
pada perumusan kebijakan dianggap sebagai “ahli” dalam bidang
kebijakan publik.

e) Ahliyah dalam Seni


Dalam seni, ahliyah bisa berarti tingkat keunggulan dalam karya
seni atau keterampilan tertentu. Seorang seniman yang
menghasilkan karya seni yang diakui secara luas untuk keindahan
dan keahlian teknisnya dianggap sebagai seorang “ahli” dalam seni.

2.6 Mengaplikasikan Keberadaan Ahliyah


Wahbah az-Zuhaili berpendapat ahliyah adalah kelayakan seseorang untuk
menerima hukum dan bertindak hukum, atau sebagai kelayakan seseorang untuk
menerima hak dan kewajiban dan untuk diakui tindakan-tindakannya secara hukum
syari’ah. Ahliyah merupakan kepantasan seseorang untuk dapat dibebankan kepadanya
syariat, dan perbuatan-perbuatannya dapat berimplikasi apakah dapat menimbulkan
hak atau kewajiban serta dikenai hukum atau tidak.

10
Pembahasan tentang ahliyah ini perlu dikaji lebih dalam lagi, karena ahliyah ini
memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai syarat seseorang sah dalam berakad,
yang tentunya memiliki implikasi yang lebih jauh yaitu kedudukan akad mereka apakah
nantinya sah atau tidak dan seterusnya. Disamping memang menjelaskan landasan
teoritis tentang ahliyah tersebut, bagaimana pendapat ulama’ serta kaitannya dengan
kematangan psikologis seseorang tatkala usia atas penetapan pada usia tertentu
seseorang dapat dikatakan cakap hukum, dalam rangka memberikan pemahaman
kepadamasyarakat selaku subyek dari undang-undang yang ada, agar akad yang mereka
lakukan benar secara aturan fiqih sekaligus tidak bertentangan dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku saat ini.

Jadi untuk mengaplikasikan keberadaan Ahliyah adalah dengan akal


sebagaimana para ulama sepakat bahwa standar kecakapan adalah akal. kemampuan
akal seseorang itu terjadi melalui suatu perkembangan, dari tidak berkemampuan,
kemudian berkemampuan tidak sempurna dan akhirnya berkemampuan secara
sempurna. Akal merupakan perantara untuk memahami titah shari‘ (pembuat syariat:
Allah Swt) yang maha bijak. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda, seperti
diriwayatkan at-Tirmidzi, “Tidak ada yang lebih mulia dari makhluk-makhluk ciptaan
Allah selain akal.”

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Fikih Islam menggunakan istilah ahliyah untuk menunjuk arti kecakapan.


Ahliyah adalah kepantasan seseorang untuk menetapkan hak yang telah ditetapkan
baginya dan pantas beraktivitas atas barang tersebut. Menurut Wahbah Zuhaily,
ahliyah adalah kecakapan seseorang untuk memiliki hak dan dikenai kewajiban
atasnya, dan kecakapan untuk melakukan tasharuf (perbuatan hukum). Menurut
Muhammad Abu Zahrah, ahliyah adalah kemampuan seseorang untuk menerima
kewajiban dan menerima hak.

Dari beberapa pendapat para ahli bahwa ahliyah adalah kelayakan atau
kecakapan atau kemampuan seseorang untuk memiliki hak-hak yang ditetapkan
baginya atau untuk menunaikan kewajiban agar terpenuhi hak-hak orang lain yang
dibebankan kepadanya atau untuk dipandang sah oleh Syara' perbuatan -
perbuatannya.

3.2 Hikmah

Mempelajari ahliyah ushul fiqh, atau ilmu dasar hukum Islam, dapat membawa
banyak hikmah. Pertama, ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang
prinsip-prinsip dasar dalam menetapkan hukum dalam Islam. Dengan memahami ushul
fiqh, kamu dapat lebih baik memahami landasan hukum dari ajaran-ajaran dalam
agama. Kedua, belajar ahliyah ushul fiqh dapat meningkatkan kemampuan analisis dan
pemahamanmu terhadap naskah-naskah hukum Islam. Ini membantu kamu dalam
menafsirkan hukum dan menjawab permasalahan hukum yang kompleks. Selain itu,
memahami ushul fiqh juga dapat meningkatkan kesadaranmu terhadap keadilan dan
etika dalam konteks hukum Islam. Ini tidak hanya berdampak pada pemahamanmu
terhadap agama, tetapi juga dapat membentuk karakter dan nilai-nilai moral dalam
kehidupan sehari-hari.

12
DAFTAR PUSAKA

Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 54.

Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, juz 4, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, hlm.
116-117

Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami jilid ke-1, Damaskus : Dar al-Fikr, hlm. 168

Peunoh Daly dalam Ismail Muhammad Syah, dkk, op. cit ,hlm. 156. Abdul Wahhab Khallaf,
op. cit, hlm. 136.

Al-Mawardi, Al-Hawi kabir, dikutip oleh Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA, Hukum Perjanjian

Syari’ah, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2010. Hal. 112

Ibrahim Musthafa, dkk., Al-Mu’jam al-Wasith cet. Ke-4, Maktabah as-Syuruq ad-Dauliyah,
Kairo, hlm. 32

Kecakapan Hukum (Ahliyah) Dalam Islam, May 02, 2013

al Jubury, ’Awaridh al-Ahliyyah ’Inda ’Ulama Ushul Fiqh, 52–56

Alauddin Abdul Aziz bin Ahmad al-Bukhari, Kasyful Al-Asraar (Beirut: Dar al-Kitab al-
’Arabiyah, n.d), 4/237

Syarifuddin, Ushul Fiqh, 147.

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 4 (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve,
2006), 1220.

13

Anda mungkin juga menyukai