Anda di halaman 1dari 14

Dosen : AHMAD TRI MUSLIM. HD, S.Ag. M.

Ag

Mata Kuliah : USHUL FIQH

MAKALAH

IJTIHAD

Oleh :

KELOMPOK 8

MUDARRIS
NPM : 0219210029

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUD DA’WAH WAL-IRSYAD

PANGKAJENE SIDRAP

2022/2023
KATA PENGANTAR
Mengingat materi ini yang menjadi tugas kami untuk menggali lebih luas dan
mendalam, namun kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
karena keterbatasan penulis, baik tentang pengetahuan dan literature yang kami miliki.
Maka dari itu, adanya kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami
harapkan demi tercapainya makalah yang lebih baik dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya.

Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmatNyalah penyusun dapat menyelesaikan makalah yang merupakan tugas dalam
Mata Kuliah USHUL FIQIH. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan
kehadirat Nabi Muhammad SAW atas keluarganya, sahabat– sahabatnya serta
orang– orang yang mengikutinya yang telah membimbing umat manusia kejalan yang
benar untuk menuju kehidupan kebahagiaan dunia dan akhirat. Makalah ini dengan
judul “IJTIHAD“ yang merupakan tugas dari dosen pembimbing.

Kulo, 15 November 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................2

DAFTAR ISI...........................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................4

1.1. Latar Belakang............................................................................................................4


1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................................5
1.3. Tujuan Penulisan.............................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................6

A. Pengertian ijtihad............................................................................................................6
B. Kedudukan hukum Ijtihad............................................................................................6
C. Syarat-syarat dan Tingkatan Mujtahid......................................................................10
D. Ruang Lingkup dan pembagian kaidah-kaidah ijtihad............................................12
DAFTAR PUSTAKA

..................................................................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada
zamanRasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh
para sahabat,tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun
pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak
diperbolehkan, tetapi pada masa periodetertentu pula (kebangkitan atau
pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidakbisa dipungkiri, ijtihad
adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupanyang semakin
kompleks problematikanya.Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan
madzhab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa
dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal,fundamental, ekstrimis, moderat,
dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu
masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru
dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segalalapis
waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak
bisu”dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin
kompleks.Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu
melaluidalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat.
Adapun mujtahid ituialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh
kesanggupannya untukmemperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum
agama. Oleh karena itu kita harusberterima kasih kepada para mujtahid yng telah
mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiranuntuk menggali hukum tentang masalah-
masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yangsudah lama terjadi di zaman
Rasullullah maupun yang baru terjadi.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah
diantaranya sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan Ijtihad?

2. Apa saja yang menjadi dasar hukum Ijtihad?

3. Apakah fungsi dari Ijtihad?

4. Sebutkan beberapa macam Ijtihad

5. Apa yang menjadi objek Ijtihad?

6. Sebutkan beberapa tingkatan dari mujtahid!

7. Bagaimana syarat dan hukum melakukan Ijtihad!

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad

2. Untuk mengetahui dasar dan fungsi Ijtihad

3. Untuk mengetahui syarat dan hukum melakukan Ijtihad

4. Untuk mengetahui macam, objek dan tingkatan mujtahid

5. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an

6. Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai Ijtihad

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ijtihad
Dikutip dari jurnal yang berjudul 'Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah
Umat Islam', kata ijtihad berasal dari kata “al-jahd” atau “al-juhd”, yang memiliki arti
“al-masyoqot” (kesulitan atau kesusahan) dan “athoqot” (kesanggupan dan
kemampuan) atas dasar pada firman Allah Swt dalam QS. Yunus ayat 9 yang
artinya: ..”dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan)
selain kesanggupan”.
Pengertian ijtihad sendiri dapat dilihat dari dua sisi, yakni pengertian ijtihad
secara etimologi dan pengertian ijtihad secara terminologi.
Pengertian ijtihad secara etimologi memiliki pengertian: “pengerahan segala
kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”. Sedangkan pengertian ijtihad
secara terminologi adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang
terdekat pada kitabullah (syara) dan sunnah rasul atau yang lainnya untuk memperoleh
nash yang ma’qu; agar maksud dan tujuan umum dari hikmah syariah yang terkenal
dengan maslahat.
Kemudian Imam al-Amidi menjelaskan pengertian ijtihad yaitu mencurahkan
semua kemampuan untuk mencari hukum syara yang bersifat dhanni, sampai merasa
dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan menurut
mayoritas ulama ushul fiqh, pengertian ijtihad adalah pencurahan segenap kesanggupan
(secara maksimal) seorang ahli fikih untuk mendapatkan pengertian tingkat dhanni
terhadap hukum syariat.
B. Kedudukan hukum Ijtihad
Bagaimana kedudukan ijtihad dalam Islam? Banyak umat Islam yang belum
menyadari bahwa peran ijtihad juga penting di dalam Islam. Kedudukan ijtihad dapat
dikatakan sejajar dengan hukum Islam lainnya, yakni Alquran dan sunnah.
Sangat penting adanya bagi umat muslim untuk memahami kedudukan ijtihad sebagai
tambahan pengetahuan tentang islam. Agar tidak ada kesalahpahaman dalam
mendalami ijtihad tersebut.
Menurut buku Islamology: Ijtihad, Maulana Muhammad Ali, 2011, bukan hanya
umatnya, para ulama pun harus melakukan ijtihad dalam mencari solusi permasalahan
yang dihadapi umat Islam. Berbagai perbedaan mazhab yang kita ketahui saat ini
adalah hasil dari ijtihad. Kita tahu tidak ada yang salah dari mazhab-mazhab tersebut
karena itu semua merupakan hasil terbaik dari para mujtahid untuk menemukan hukum
terbaik.
Kata “Ijtihad” berasal dari bahasa Arab, yaitu “Ijtihada Yajtahidu Ijtihadan” yang
artinya mengerahkan segala kemampuan dalam menanggung beban. Dengan kata lain,
Ijtihad dilaksanakan saat ada pekerjaan yang sulit untuk dilakukan.
Fungsi ijtihad sendiri di dalam Islam adalah:
1. Fungsi ijtihad al-ruju’ (kembali):mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada al-
Qur’an dan sunnah dari segala interpretasi yang kurang relevan.
2. Fungsi ijtihad al-ihya (kehidupan): menghidupkan kembali bagian-bagian dari
nilai dan Islam semangat agar mampu menjawab tantangan zaman.
3. Fungsi ijtihad al-inabah (pembenahan): memenuhi ajaran-ajaran Islam yang
telah di-ijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan
menurut konteks zaman dan kondisi yang dihadapi.
Contoh ijtihad
1. Tentang penentuan 1 Syawal.
Para ulama berkumpul untuk berdiskusi mengeluarkan argumen masing-masing untuk
menentukan 1 Syawal, juga penentuan awal Ramadhan. Masing-masing dari mereka
memiliki dasar hukum dan cara dalam penghitungannya, bila telah ketemu kesepakatan
ditentukanlah 1 Syawal itu.
2. Tentang bayi tabung.
Pada zaman Rasulullah SAW bayi tabung belum ada. Akhir akhir ini bayi tabung
dijadikan solusi oleh orang yang memiliki masalah dengan kesuburan jadi dengan cara
ini berharap dapat memenuhi pemecahan masalah agar dapat memperoleh keturunan.
Pada dasarnya Ijtihad berguna untuk membantu manusia dalam menemukan solusi
hukum atas suatu masalah yang belum ada dalilnya di dalam Alquran dan hadis.
Sedangkan tujuan Ijtihad adalah untuk memenuhi kebutuhan umat Islam dalam
beribadah kepada Allah pada waktu dan tempat tertentu.
1 . Hukum Ijtihad,
Jumhur ulama sepakat bahwa apabila dalam nas tidak dijumpai hukum yang
akan diterapkan pada suatu kasus, maka seorang mujtahid boleh melakukan ijtihad
sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama. Mayoritas Ulama fiqih dan
us}u>l , diperkuat oleh atTaftazani dan ar-Ruhawi mengatakan, “ijtihad tidak boleh
dalam masalah qat}’iyya>t dan masalah akidah”. Minoritas Ulama (al.Ibnu Taimiyah
dan Al-H}umma>m) membolehkan adanya ijtihad dalam akidah.
Hukum melakukan ijtihad bagi orang yang telah memenuhi syarat dan kriteria ijtihad:
a. Fardu ‘ain untuk melakukan ijtihad untuk kasus dirinya sendiri dan ia harus
mengamalkan hasil ijtihadnya sendiri.
b. Fardu ‘ain juga untuk menjawab permasalahan yang belum ada hukumnya. Dan bila
tidak dijawab dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum
tersebut, dan habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
c. Fard}u kifayah jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan
akan habis waktunya, atau ada lagi mujtahid yang lain yang telah memenuhi syarat.
d. Dihukumi sunnah, jika berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya
ataupun tidak.
e. Hukumnya h}aram terhadap ijtihad yang telah ditetapkan secara qat}’i karena
bertentangan dengan syara’
Lapangan Ijtihad, Tidak semua lapangan hukum Islam dapat menjadi pokok
ijtihad. Lapangan yang tidak boleh menjadi lapangan ijtihad adalah:
1. Hukum yang dibawa oleh nas} qat}’i, baik kedudukannya maupun
pengertiannya, atau di bawa oleh Hadis\ mutawatir, seperti kewajiban shalat, puasa,
zakat, haji, dan sebagainya. Haramnya riba dan memakan harta orang. Demikian pula
penentuan bilangan-bilangan tertentu dari syara’ yang dibawa oleh hadi>s\ mutawatir
juga tidak menjadi objek ijtihad, seperti bilangan rekaat shalat, waktu-waktu shalat,
cara melakukan haji dan sebagainya.
2. Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh suatu nas} dan tidak pula diketahui
dengan pasti dari agama, tetapi telah disepakati (diijma’kan) oleh para mujtahidin dari
suatu masa, seperti pemberian warisan sebesar seperenam harta warisan untuk nenek
perempuan, tidak sahnya perkawinan antara wanita Islam dengan lelaki non-muslim.

Adapun lapangan yang dapat menjadi objek ijtihad adalah:


1. Lapangan yang dibawa oleh nas} yang z}anni. Baik dari segi kedudukannya
maupun dari segi pengertiannya. Nas} seperti ini terdapat di dalam Hadis\ . Ijtihad
dalam hal ini ditujukan dalam segi sanad dan penyahihannya, juga dari pertalian
pengertiannya dengan hukum yang sedang dicari.
2. Lapangan yang dibawa oleh nas} qat}’i> kedudukannya, tetapi z}anni
pengertiannya. Nas} seperti ini terdapat dalam Al-Qur’a>ndan Hadis\ juga. Objek
ijtihad di sini ialah dari segi pengertiannya saja.
3. Lapangan yan dibawa oleh nas} yang z}anni kedudukannya, tetapi qat}’i
pengertiannya. Nas} ini hanya terdapat dalam H}adis\. Objek ijtihad dalam hal ini ialah
segi, sahihnya Hadis\ , dan pertaliannya dengan Rasu>lulla>h. Dalam ketiga lapangan
ini, daerah ijtihad terbatas sekitar nas} sehingga seorang mujtahid tidak dapat
melampuai kemungkinan-kemungkinan pengertian nas}.
4. Lapangan yang tidak ada nas}nya atau tidak diijma’kan dan tidak pula
diketahui dengan pasti. Disini orang yang berijtihad memakai qiyas, istih}sa>n, urf,
atau jalan lain. Disinilah daerah ijtihad lebih luas dari pada ketiga lapangan lainnya.7
Sudah tentu pandangan orang yang berijtihad dapat berbeda-beda. Oleh karena itu
pendapat dalam suatu persoalan bisa bermacam-macam, sesuai dengan perbedaan
tinjauan dan jalan pengambilan hukum yang dipakai. Perbedaan ini mencerminkan
bermacam-macamnya hasil ijtihad. Akan tetapi, keadaan ini tidak perlu melemahkan
kedudukan syari’at Islam. Bahkan menunjukkan sifat fleksibelitasnya dan sumber
kekayaan syari’at Islam. Ringkasnya lapangan ijtihad terdiri dari dua, yaitu perkara
yang tidak ada nas} (ketentuan) sama sekali dan perkara yang ada nas}nya, tetapi tidak
qat}’i wuru>d dan dala>lah-nya. Pembatasan lapangan ijtihad, seperti ini sama dengan
apa yang diikuti oleh sistem hukum positif, yaitu selam undang-undang menyatakan
dengan jelas, tidak boleh ada penakwilan dan perubahan terhadap nas}-nas}-nya.
Dengan dalil bahwa jika undang-undangnya menghendaki adanya perubahan, sekalipun
hakim berpendapat bahwa undang-undang tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan
tetaplah harus ada perubahan. Hal ini karena sumber undang-undang tersebut adalah
majelis perundang-undangan sendiri, sedang wewenang hakim hanya terbatas pada
pemberian keputusan berdasarkan undang-undang tersebut, bukan untuk mengadili
undang-undang itu sendiri.
2. Macam-macam Ijtihad
Secara garis besarnya ijtihad dibagi atas dua bagian, yaitu Ijtihad Fard}i> dan
Ijtihad Jama>’y>
a. Ijtihad fard}i adalah ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa
orang yang tak ada keterangan bahwa mujtahid lain menyetujuinya dalam
suatu perkara. Ijtihad semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh
Rasu>lulla>h kepada Muaz ketika Rasul mengutusnya untuk menjadi qat}’i
di Yaman. Sesuai dengan pula ijtihad yang pernah dilakukan Umar bin
Khattab kepada Abu> Mu>sa Al-Asya>ri dan Syuraikh. Umar dengan tegas
mengatakan kepada Syuraikh
Artinya: “apa-apa yang belum jelas bagimu di dalam AsSunnah, maka
berijtihadlah padanya dengan menggunakan daya pikiranmu”
Kemudian Umar berkata kepada Abu> Mu>sa al-‘Asy’ary>
Artinya: “kenalilah penyerupaan-penyerupaan dan tamsilan-tamsilan dan
qiyaskanlah segala urusan sesudah itu.”
b. Ijtihad Jama>’i, adalah suatu ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati
oleh semua mujtahidin.ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh Hadis\ Ali
ketika menanyakan kepada Rasul tentang urusan yang tidak ditemukan
hukumnya dalam Al-Qur’a>n dan As-Sunnah. Ketika itu nabi SAW.
Bersabda:

Artinya: “kumpulkanlah untuk menghadapi masalah itu orang-orang yang


berilmu dari orang-orang mukmin dan jadikanlah hal ini masalah yang
dimusyawarahkan di antara kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu
dengan pendapat orang seorang. (HR. Ibnu Abdul Barr).
Di samping itu, Umar bin Khattab juga pernah berkata kepada Syuraih:

Artinya: “Dan bermusyawarahlah (bertukar pikiran) dengan orang-orang


yang saleh.”
Diriwayatkan oleh Maimun bin Mihran bahwasanya Abu bakar dan Umar,
apabila menghadapi suatu yang tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’a>n dan Sunnah,
keduanya mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat atau menanyakan pendapat mereka.
Apabila mereka menyepakati suatu pendapat, mereka pun manggunakan pendapat itu
uuntuk menyelesaikan hal itu dengan pendapat tersebut. Contoh lain ijtihad jama’i
adalah kesepakatan sahabat dukung dan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah dan
kesepakatan mereka menerima anjuran Umar penulisan supaya Al-Qur;an di dalam
mushaf, padahal keputusan itu belum pernah dilakukan di masa Rasul. Dengan
demikian, benarlah apa yang dikatakan oleh ulama Hambali bahwa tak satu masa pun
berlalu di dunia ini, kecuali di dalamnya ada orang-orang yang mampu berijtihad.
Dengan adanya orang tersebut, agama akan terjaga dan upaya pengacau agama pun
dapat dicegah. Ima>m Abu Zahrah berkata, “kita tidak tahu siapa yang dapat menutup
pintu yang telah dibuka oleh Allah bagi perkembangan akal dan pikiran manusia. Bila
ada orang berkata pintu ijtihad tertutup, jelaskan dalil-dalilnya!”

Pendapat tersebut benar berdasarkan hal berikut ini.


1. Beberapa ayat Al-Qur’a>nmemerintahkan agar manusia menggunakan
akalnya atau dengan kata lain Islam menjamin H}urriyatul fikri wal akli.
2. Al-Qur’a>ndan As-Sunnah memberikan bimbingan kepada manusia supaya
akan dan pikirannya tidak tersesat, dan juga memerintahkannya untuk mencari
ilmu.
3. Al-Qur’an tetap utuh dan terpelihara selamanya.
4. Bahan-bahan untuk memurnikan Hadis\ dan sunnah nabi semakin lengkap.
5. Ilmu alat untuk berijtihad makin lengkap dan semakin memberikan
kemudahan.
Semua ini menunjukkan bahwa Allah SWT senantiasa membuka pintu ilmu dan
hidayah-Nya bagi manusia, dan menunjukkan bahwa pintu ijtihad itu tetap terbuka.
Pada awal abad kesepuluh, ada yang mengatakan bahwa ijtihad telah tertutup, dan ini
berimplikasi pada tidak ada upaya lanjutan yang menyebabkan lahirnya mazhab baru.
Pada abad kesembilan belas atau kedua puluh, ketika banyak masalah yang timbul,
yang mengharuskan adanya diskusi intensif dan membuat ijtihad kembali dibuka.
Kaum koservatif menolak hal ini, tetapi kaum liberal, mendukungnya member tekanan,
dengan menentukan dengan tegas membuka kembali pintu ijtihad, dan ini adalah fakta
yang tak terbantahkan.
C. Syarat-syarat dan Tingkatan Mujtahid

1.Syarat-syarat ijtihad
Mujtahid adalah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbath
(mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tatbiq (penerapan hukum).
Terdapat banyak perbedaan dalam menentukan syarat-syarat mujtahid.
Adapun syarat-syarat yang telah disepakati adalah.
 Mengetahui Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer sebagai fondasi dasar
hukum Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an
secara mendalam.
 Mengetahui Asbab al-Nuzul
Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat
mengetahui al-Qur’an secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks
tetapi juga akan mengetahui secara sosial-psikologis.
 Mengetahui Nasikh dan Mansukh
Hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai berdalih
menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah di-nasikh-kan dan
tidak bisa dipergunakan untuk dalil.
 Mengetahui As-Sunnah
Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan
yang diriwayatkan dari Nabi SAW.

 Mengetahu iIlmu Diroyah Hadis


Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadis dan ilmunya,
mengenai ilmu tentang para perawi hadis, syarat-syarat diterima atau sebab-
sebab ditolaknya suatu hadis, tingkatan kata dalam menetapkan adil dan
cacatnya seorang perawi hadis dan hal-hal yang tercakup dalam ilmu hadis.
Kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam menggunakan hadis
sebagai dasar hukum.
 Mengetahui Hadis yang Nasikh dan Mansukh
Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar
seorang mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas
dihapus hukumnya dan tidak boleh dipergunakan.
 Mengetahui Asbab Al-Wurud Hadis
Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai
asbab al-nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi dan lokus hadis
tersebut muncul.
 Mengetahui Bahasa Arab
Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar
penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam karena teks otoritatif Islam
menggunakan bahasa Arab.
 Mengetahui Tempat-Tempat Ijma
Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah
disepakati oleh para ulama sehingga tidak terjerumus dalam memberikan fatwa
yang bertentangan dengan hasil ijma.
 Mengetahui Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh, yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha
untuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk mengambil istinbat hukum dari
nash dan mencocokkan cara pengambilan hukum yang tidak ada
nashhukumnya.
 Mengetahui Maksud dan Tujuan Syariah
Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan
memelihara kepentingan manusia.
 Mengenal Manusia dan Kehidupan Sekitarnya
Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zaman,
masyarakat, problem, aliran ideologi, politik dan agamanya serta mengenal
sejauh mana interaksi saling memengaruhi antara masyarakat tersebut.
 Bersifat Adil dan Takwa
Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh
mujtahid benar-benar proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari
kepentingan politik dalam istinbat hukumnya.
2.Tingkatan Mujtahid

Tingkatan menurut ulama mushul fiqh:


1) mujtahid mutlak yaitu mujtahid yang mempunyai kemampuan untuk menggali
hukum syara langsung dari sumbernya yang pokok yakni (al-Qur’an da sunnah) dan
mampu menerapkan metode dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai landasan segala
aktivitas ijtihad-nya,

2) mujtahid muntasib yaitu mujtahid menggabungkandirinyadanijtihad-


nyadengansuatumazhab,
3)mujtahid muqoyyadyaitumujtahid yang terikatkepada imam mazhab dan tidakmau
keluar dari mazhab dalam masalah ushul maupun furu’,

4) mujtahid murajih yaitu mujtahid yang membandingkan beberapa imam mujtahid dan
dipilih yang lebih unggul.

D. Ruang Lingkup dan pembagian kaidah-kaidah ijtihad

1. Ruang lingkup
Masalah yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia dan
hubungannya dengan alam, senantiasa berkembang dan berubah-ubah, sehingga
karenanya senantiasa membutuhkan adanya penyelesaian dalam ketentuannya. Semua
penyelesaian hubungan tersebut diperlukan penggunaan ijtihad guna menentukan
pedoman hukumnya, agar tidak salah dalam penetapannya akibat adanya perubahan
siatuasi dan kondisi tersebut. Disinilah pangkal perlunya ijtihad, sehingga ijtihad
tersebut menjangkau lapangan yang luas yang meliputi :

a. Hubungan individu/masyarakat dengan invidu/masyarakat yang termasuk


hubungansosial kemasyarakatan

b. Hubungan manusia dengan benda dalam rangka mencapai kemakmuran yang


termasuk hubungan sosial ekonomi
c. Hubungan manusia dengan penguasa, antara penguasa dengan penguasa yang lain,
dalam rangka
mengatur msyarakat yang termasuk hubungan politik
d. Hubungan maanusia dalam bentuk ciptaan, kesenangan dan keindahan, yang
termasuk hubungan estetika ekonomi
e. Hubungan manusia dengan kebenaran alam dan karya yang termasuk hubungan
ilmu dan tekhnologi
f. Hubungan manusia dengan hakikat kebenaran dan nilai-nilai yang temasuk
hubungan filsafat.
g. Hubungan manusia dengan alam flora dan fauna bahkan dengan alam semesta.

2. Kaidah-kaidah ijtihad
a. Pengertian kaidah
kaidah (‫( القاعدة‬secara bahasa, dapat diartikan sebagai dasar, fondasi, dan
pokok. Sementara kata jamanya (plural) adalah qawaid (‫ القواعد‬.(Kata kaidah di
dalam Alquran mislanya: Qs. Al-baqarah ayat 127

‫َوِاْذ َيْر َفُع ِاْبٰر ٖه ُم اْلَقَو اِع َد ِم َن اْلَبْيِت َو ِاْسٰم ِع ْيُۗل َرَّبَنا َتَقَّبْل ِم َّناۗ ِاَّنَك َاْنَت الَّسِمْيُع اْلَعِلْيُم‬

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail,


(seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh,
Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Sementara secara istilah, para ulama mendefinsikan sebagai berikut:


Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Damakus: Dar Qalam, 1994),
hlm.39. lihat juga al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Beirut dar al-kitab al-ilmiyyah,
1983), hlm.171; Kaidah adalah ketentuan yang bersifat umum yang
diaplikasikan terhadap semua bagian-bagiannya
Sementara definisi yang lain, diungkapkan oleh al-Taftazniy sebagai berikut:
Kaidah adalah hukum yang bersifat mencakup terhadap bagian bagianya untuk
dapat diketahui ketentuan hukumnya.
Dengan demikian, qaidah adalah ketentuan yang bersifat dan mencakup; yang
dicakup dari ketentuan umum itu adalah semua bagian-bagian; dan cakupan
terhadap bagian itu adalah untuk mengetahui ketentuan hukum yang ada di
bagian itu.
b. Rumusan Kaidah Ijtihad
Dalam kitabnya Qawa’id Ushul al-Fqh wa Tathbiqatuha, Shafwan bin
Adnan Dawudiy, memberikan kaidah-kaidah ijtihad sebagai berikut:
1) Kaidah Pertama ‫ ( ) االجتهادأصل من أصول الفقه‬Ijtihad adalah salah
dasar dari dasar-dasar fiqh (ushul fiqh)
2) Kaidah Kedua ( ‫دين‬pp‫اد اال من ْالجته‬pp‫ ) ال اجته‬Tidak ada ijtihad
kecuali dari kalangan ulama mujtahid.
3) Kaidah ketiga ( ‫) الواجب االجتهاد و الحق واحد‬Yang wajib ijtihad dan
yang benar adalah satu.
4) Kaidah keempat\ ( ‫ ) باب االجتهاد مفتوح ال يغلق‬Pintu ijtihad adalah
terbuka, tidak tertutup.
5) Kaidah kelima ( ‫ ) ال اجتهاد مع النص‬Tidak ada ijtihad bersamaan
dengan adanya nash.
6) Kaidah keenam) ( ‫ االجتهاد يتجزأ‬Ijtihad itu berpahala.
7) Kaidah ketujuh ( ‫) االجتهاد الجماعي أولي من الفردي‬Ijtihad jama’iy
adalah lebih utama dibandingkan dengan ijtihad individu.
8) Kaidah kedelapan) ( ‫اد في فهم النص محمود‬pp‫ االجته‬Ijtihad dalam
rangka untuk memahami nash adalah terpuji.
9) Kaidah Kesembilan ( ‫ ) االجتهاد ال ينقض باالجتهاد‬Ijtihad itu tidak
batal oleh ijtihad lain.
10) Kaidah Kesepuluh) ( ‫تقليد ْالجتهد واجب علي العام‬Taqlid kepada
mujtahid adalah wajib bagi orang awam.
11) Kaidah Kesebelas ( ‫ ) اجتهاد المرأة جائز‬Ijtihad seorang perempuan
diperbolehkan.

DAFTAR PUSTAKA

http://pikirdandzikir.blogspot.com/2020/02/ijtihad-dalam-ushul-fiqih-pai-
semester.html
https://www.merdeka.com/quran/al-baqarah/ayat-127

https://www.ilmusaudara.com/2015/09/pengertian-ijtihad-ruang-lingkup-dan.html

Anda mungkin juga menyukai