Dosen Pengampu
Dr. Rahmat M.Pd.I
Di susun oleh :
Kelompok 2
ABDUL KHAKIM
RAMA INDRA SURYA PERMANA
ASTRI EVALUWAYANTI
KHAFIDOTUL ILMI
KHUSNUL LATHIFAH
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT PESANTREN KH. ABDUL CHALIM
PACET MOJOKERTO
2021
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang
Sebagai sebuah disiplin ilmu yang mempunyai prosedur dan langkah-
langkah tertentu, ushul fiqh dibangun selain mengacu pada teks wahyu juga
didasarkan pada logika berpikir secara sistematis dan prosedural. Berbeda
dengan disiplin ilmu pada umumnya yang hanya mengacu pada salah satu di
antara wahyu dan logika, ushul fiqh justru mengapresiasi keduanya secara
terintegrasi. Selain pijakan wahyu dalam wujud dalil-dalil kulli, ushul fiqh juga
mempunyai basis empirisme ilmu pengetahuan dengan beberapa proses
penyederhanaan di dalamnya. Penyederhanaan di sini dianggap perlu karena
realitas kehidupan sebagai obyek hukum mempunyai watak begitu kompleks
dengan sampel dari berbagai faktor yang terlibat di dalamnya. Dalam konteks
inilah ilmu ushul fiqh bertujuan menjembatani keberadaan teks wahyu yang
banyak mengungkapkan persoalan secara global dengan realitas sosial
masyarakat yang terus bergerak dinamis.1
Menurut Auffah Yumni, ushul fiqih adalah metode/jalan yang harus
ditempuh bagi seorang mujtahid agar ijtihadnya benar. Itulah di antara hikmah
mengapa Allah mengganjar dua pahala bagi seorang mujtahid yang benar
ijtihadnya, karena ia telah menempuh metode dan proses ijtihad yang benar dan
hasilnya juga benar, sedang mujtahid yang salah hasil ijtihadnya tetap
mendapat satu pahala karena meski hasil ijtihadnya keliru namun ia telah
menempuh metode/jalan ijtihad yang benar. Disinilah arti penting ilmu Ushul
Fiqih.2
Dari paparan latar belakang diatas, serta mengingat banyak dikalangan
Mahasiswa yang masih belum memahami sumber hukum Islam, maka penulis
tertarik untuk membuat makalah tentang ruang lingkup ushul fiqh yang
1
Abu Yazid, “Mendialogkan Dimensi Keilmuan Ushul Fiqh”, Jurnal At-Ta’dib, Vol. 7, No. 1,
Juni 2012, hlm. 23-24
2
Auffah Yumni, “Urgensi Ushul Fiqh Bagi Permasalahan Fiqh Yang Dinamis”, Jurnal
Nizhamiyah, Vol. IX, No. 2 Juli-Desember 2019, hlm. 64
meliputi kajian tentang, Ijtihad dan mujtahid, konsep taqlid, ittiba’ dan talfiq.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Hukum
Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, mengenai ruang lingkup
ushul fiqh, berikut penulis paparkan rumusan masalahnya:
1. Bagaimana tinjauan hukum tentang konsep Ijtihad?
2. Bagaimana tinjauan hukum tentang konsep Taqlid?
3. Bagaimana tinjauan hukum tentang konsep Ittiba’?
4. Bagaimana tinjauan hukum tentang konsep Talfiq?
C. Tujuan Penulisan
Setelah mengetahui rumusan masalahnya, maka penulis selanjutnya
menjelaskan tujuan penulisannya sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tinjauan hukum tentang konsep Ijtihad
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum tentang konsep Taqlid
3. Untuk mengetahui tinjauan hukum tentang konsep Ittiba’
4. Untuk mengetahui tinjauan hukum tentang konsep Talfiq
BAB II
PEMBAHASAN
3
Pengertian Ijtihad https://belajar-fiqih.blogspot.com/2015/11/pengertian-ijtihad-menurut-bahasa-
dan.html. diakses pada Selasa, 19 Oktober 2021, 09.00 WIB
4
Aplikasi Al Qur’an in word, An Nisa’:105
Juga hadits Mu’adz Ibnu Jabal ketika Rasulullah SAW
mengutusnya ke Yaman untuk menjadi hakim di Yaman dan hal itu telah
diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad jika
menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan
Sunnah Rasul.
3. Macam-macam ijtihad
Di kalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah
ijtihad. Imam Syafi’i menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama,
tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada
istihsan atau maslahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya
memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu
mencakup ra’yu, qiyas, dan akal.5
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan
oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat
oleh seorang mujtahid, atau setidak-tidaknya mendekati syari’at,
berdasarkan pendapat tersebut, Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga
bagian, yang sebagaiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab
Al-Muwafaqat, yaitu:
a. Ijtihad al-Batani, yaitu Ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’
dari nash.
b. Ijtihad al-Qiyasi, yaitu Ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan menggunakan metode Qiyas.
c. Ijtihad al-istishlah, yaitu Ijtihad terhadap permasalahan yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan menggunakan ra’yu
berdasarkan kaidah istishlah.6
9
Aplikasi Al-Qur’an in Word, An Nur:56
10
Rachmat Syafi’i, op cit, hlm 107
dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum
tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
c. Dihukumi fardhu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya
tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain
dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
d. Dihukumi sunnah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahannya yang
baru, baik ditanya ataupun tidak.
e. Dihukumi haram apabila ber-ijtihad terhadap permasalahannya yang
sudah ditetapkan secara qath’i, sehingga hasil ijtihad-nya itu
bertentangan dengan dalil syara’.
7. Tingkatan Mujtahid
Dalam membicarakan masalah tingkatan ijtihad, tidak terlepas dari
perbedaan pendapat di kalangan para ulama ushul tentang telah tertutupnya
menurut pintu ijtihad. Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada
zamannya) telah terjebak pada pemikiran bahwa mujtahid mutlaq itu sudah
tidak ada lagi dan yang ada sekarang hanyalah mujtahid muqayyad.
Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan pendapat
para ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan antara
mujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid muntasib yang
semuanya berbeda.
Adapun tingkatan para mujtahid, menurut para ulama, diantaranya
menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah dan lain-lain, terbagi dalam lima
tingkatan:
1. Mujtahid mustaqil
Adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah
yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqih-nya sendiri yang berbeda dengan
madzhab yang ada. Menurut As-Suyuthi, Menurut As-Suyuthi, tingkatan
ini sudah tidak ada lagi.
2. Mujtahid muthlaq ghairu mustaqil
Adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil,
namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti
metode salah satu imam madzhab. Dia bisa disebut juga sebagai muthlaq
muntasib, tidak mustaqil, tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak
dikategorikan taqlid kepada imamnya, melainkan mengikuti jalan yang
ditempuh imamnya. Diantaranya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari
Hanafiyah.
3. Mujtahid Muqayyad/mujtahid Takhrij
Adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya. Memang dia
diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan
dalil, tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai
imamnya. Diantaranya Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu
Qayyim dan Asyhab dari golongan Maliki serta Al Buwaiti dan Majani
dari golongan Syafi’i.
4. Mujtahid Tarjih
Adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid
takhrij, tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu’, Mujtahid ini
sangat faqih, hapal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya,
cara memutuskan hukumnya, dia juga mengetahui bagaimana cara
mencari dalil yang lebih kuat dan lain-lain. Tetapi kalau dibandingkan
dengan tingkatan mujtahid di atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah
imamnya, ia tergolong masih kurang. Diantaranya, Al-Qaduri dan
Pengarang kitab Al-Hidayah dalam madzhab Hanafi.
5. Mujtahid Fatwa
Adalah orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam
madzhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang
sulit, namun dia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan
berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.
Menurut Imam Nawawi, “Tingkatan ini dalam fatwanya sangat bergantung
kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai
cabang yang ada dalam madzhab tersebut.
8. Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad
Pada abad 4 Hijriyah, Daulah Islamiyah terbagi-bagi kepada beberapa
negara. Hal itu menyebabkan lemahnya kekuatan umat Islam, karena
hubungan diantara negara-negara tersebut menjadi terputus, Selain itu,
perkembangan keilmuan dan kebebasan berpikir pun menjadi lemah. Hal itu
menyebabkan timbulnya sikap loyal (ta’asub) dan fanatik yang sangat
berlebihan para ulama pada saat itu terhadap madzhab mereka dan
menjadikan mereka kurang percaya diri terhadap kemampuan mereka
sendiri. Selain itu, diantara mereka pun sering terjadi perdebatan dan
perpecahan sehingga menyebabkan tidak tuntasnya berbagai permasalahan
yang dihadapkan kepada mereka dan mereka disibukkan dengan upaya
menyusun berbagai kitab madzhab, bahkan merasa cukup dengan membuat
berbagai ringkasan dari kitab-kitab imam madzhab mereka dan yang lebih
parah lagi, mereka terlalu khawatir menyalahi berbagai ketetapan yang telah
ditetapkan oleh Imam madzhab. Semua itu menyebabkan mereka
berpendirian bahwa pintu iijtihad telah tertutup dan merasa bahwa mereka
bukan ahli ijtihad.11
Menurut Imam Suyuthi, sebenarnya para ulama dari setiap madzhab
telah sepakat bahwa itu hukumnya wajib dan taqlid adalah perbuatan
tercela. Merekapun melarang umat Islam untuk taqlid buta kepada pendapat
mereka tanpa berpikir dan menyelidiki terlebih dahulu terhadap apa-apa
yang telah difatwakan. 12
11
Al Khudri dalam Rachmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2010), hlm 109-110.
12
Ibid, hlm. 110
13
Asy-Syikh al-Allamah Muhammad bin Sholeh al-‘Utsimin, Prinsip Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 133
14
Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta : Raja Wali Press, 2013), hlm. 368
Lebih sederhananya kita dapat mengartikan taqlid sebagai قبول قول بال حجة
“menerima pendapat orang lain tanpa hujjah”.15
Secara terminologis Taqlid adalah “ اتباع من ليس قوله حجةmengikuti
perkataan seseorang yang perkataannya bukan hujjah”.16 Ulama’ lain
seperti Ibn Al-Hummam mengemukakan bahwa التقليد العمل بقول من ليس قوله
“ احدى الحجج بال حجة منهاtaqlid adalah beramal dengan pendapat seseorang
yang tidak berkedudukan sebagai hujjah tanpa mengetahui hujjahnya”.17
Imam Al-Ghazali memberikan pengertian bahwa taqlid adalah قَبُوْ ُل قَوْ ِل
ْالقَائِ ِل ال َغي ِْر ُدوْ نَ ُح َّجتِهmenerima ucapan tanpa hujjah. Al-Asnawi
mendefinisikan taqlid adalah التقليدهواالخدبقول غيردليلmengambil perkataan
orang lain tanpa dalil. Ibnu Subki mendefinisikan taqlid adalah
التقليدهواخدالقول من غيرمعرفةدليلmengambil suatu perkara tanpa mengetahui
dalilnya.18
Ada beberapa rumusan mengenai definisi taqlid, antara lain :
a. Taqlid merupakan suatu ungkapan mencerminkan sikap seseorang yang
mengikuti orang lain, baik dalam hal perbuatannya, pendapanya dengan
meyakini realitas tanpa mencari tahu kebenaran dalilnya.19
b. Menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa
mengetahui kekuata dari dalil-dali tersebut.20
c. Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.21
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa taqlid
adalah suatu yang mencerminkan seseorang untuk mengikuti orang lain,
baik dalam perbuatan maupun pendapatnya tanpa mencari tahu kekuatan
dalil-dalilnya.
2. Hukum Taqlid
15
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2012), hlm. 163
16
Mardani, Loc.Cit.
17
Amir Syarifuddin, Loc.Cit.
18
Basiq Jalil, Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm. 23.
19
Ali Ibn Muhammad Ibn ‘ibn Ali al-Jurjani, at-Ta’rifat. Al-Maktabah Syamila, ver 2, hlm. 90.
20
Abd al-Karim Zaydan, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, (Beirut : al-Mu’assasah al-Risalah, 1998), hlm.
410.
21
Wahbah Zuhaily, Usul-al-Fiqh al-Islami, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1986) II, 1052. Dan Lihat,
Sjechul Hadi Permono, Dinamisasi Hukum Islam Dalam Menjawab Tantangan Era Globalisasi,
(Demak : Demak Press, 2002), hlm. 28.
Hukum taklid terbagi menjadi dua macam,yaitu ada taklid yang
diperbolehkan dan ada taklid yang dilarang atau diharamkan. Dengan
demikian dapat kita katakan taklid dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Taklid yang diperbolehkan atau mubah. Taklid ini diperbolehkan untuk
orang-orang yang tidak dapat mengkaji dalil dari hukum syariat. Imam
Hasan Al-Banna mengungkapkan bahwa taklid adalah sesuatu yang
mubah atau diperbolehkan oleh syariat Islam, namun tidak semua
manusia dapat melakukannya. Taklid hanya diperbolehkan bagi setiap
muslim yang tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari
hukum syariat serta bagi orang yang tidak memiliki keahlian dalam
mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk mengetahui hukum
dari Al-Qur’an, hadis, ijma’ maupun qiyas.
2. Taklid yang dilarang atau haram. Taklid tidak perbolehkan bagi orang-
orang yang sanggup untuk mengkaji hukum-hukum syariat.22
Para ulama masih memperselisihkan taklid pada madzhab-madzhab
fikih yang bersifat amaliyah. Perbedaan pandangan ulama dalam hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Bertaklid tidak diperbolehkan dalam bentuk apapun, hal ini dikarenakan
yang wajib adalah berijtihad dan meneliti. Demikian setiap orang
mukallaf diwajibkan untuk berijtihad dengan sekuat kemampuan yang
dimilikinya. Pendapat ini di ungkapkan oleh Ibn Hazm, bertaklid itu
haram karena tidak diperbolehkan mengikui perkataan orang lain tanpa
adanya dalil yang menguatkan.
b. Lain halnya dengan pendapat yang diungkap oleh Hasywiyah.
Hasywiyah mengungkap tidak diperbolehkannya berijtihad setelah
periode imam-imam madzhab dan setiap mukallaf harus bertaklid kepada
mereka.
c. Tidak diperbolehkannya bertaklid bagi orang-orang yang mampu
berijtihad dan diperbolehkan bertaklid bagi orang-orang yang tidak
mampu berijtihad. Ulama-ilama madzhab beranggapan bahwa pendapat
ini adalah shahih.
22
Yahya Muhammad, Ijtihad wa al-Taqlid wa al-ittiba’ wa Al-Nazar, cet 1 (Bayrut:Muassasah
Intisyar Al-Arabi, 2000), hlm. 143.
Adapun dasar yang dijadikan sebagai dalil atas diperbolehkannya
taklid yaitu, firman Allah :“maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahuinya”. (Q.S. An-Nahl :
43)
Ayat ini menjadi anjuran bagi orang-orang yang tidak berilmu.
Dengan demikian orang-orang yang tidak mampu berijtihad pada masa
sahabat dan juga tabi’in akan menanyakan suatu hukum kepada orang-orang
alim di kalangan mereka. Jika seluruh manusia dibebani untuk melakukan
ijtihad akan terjadi kesulitan dan kesukaran. Dan ijtihad merupakan suatu
kemampuan yang tidak dimiliki oleh semua orang, hanya ulama-ulama
tertentu yang mampu melakukannya.23
3. Macam-Macam Taqlid
Macam-macam taklid dapat dibagi sesuai dengan kualifikasi
Muqallidnya. Dalam hal ini status Muqallid bisa dibedakan menjadi dua,
yaitu Muttabi’ dan Ammi.24
a. Muqallid Muttabi’
Muqallid Muttabi’ ialah seseorang yang memiliki sebagian ilmu untuk
melakukan ijtihad, dan ia bertaklid kepada seorang mujtahid setelah
mengetahui dalil-dalil dan kebenarannya.
b. Muqallid ‘Ammi
Muqallid ‘Ammi ialah seseorang yang tidak memiliki ilmu dan
kemampuan untuk melakukan ijtihad. Sehingga ia bertaklid kepada seorang
mujtahid tanpa mengetahui dalilnya.
Dari hal ini kita dapat mengklarifikasikan bahwa taklid dapat dibagi
menjadi dua yaitu :
a. Taqlid Muttabi’
Taklid Muttabi’ adalah taklid yang dilakukan oleh seorang muttabi’
yang bertaklid kepada hukum syara’ yang digali oleh mujtahid lain
b. Taqlid ‘Ammi
23
Muhammad Ibrahim al-Hafnawi, Tabsir An-Nujaba’ bi Haqi qati al-ijtihad, wa al-taqlid, al-
Talfiiq wa al-ifta’, (Cairo : Dar al-Hadith, 1995), hlm. 207.
24
Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam, (Jakarta : HTI Press, 2012), hal. 130.
Taklid yang dilakukan oleh seorang ‘Ammi adalah taklid kepada
hukum syara’ yang digali oleh Mujtahid lain, tanpa disertai pengetahuan
tentang dalil mujtahid yang diikutinya, juga tidak mempunyai sejumlah ilmu
yang di akui dalam persyaratan hukum
4. Syarat-Syarat Taqlid
Ada lima syarat yang diberikan oleh para ulama agar seseorang boleh
untuk bertaklid:25
1. Orang yang taklid itu jahil atau tidak berilmu, ia sulit untuk mengenal
(memahami) hukum Allah dan Rasul-Nya.
Adapun orang yang mampu untuk berijtihad, yang tepat, ia pun masih
boleh bertaklid ketika ia tidak mampu berijtihad karena keterbatasan dalil
atau sempitnya waktu untuk berijtihad. Boleh jadi tidak ada dalil yang
nampak yang bisa dipakai.
َز ع َْن‰وْ َع َج‰‰َا ل‰‰ط َع ْنهُ ُوجُوبُ َما َع َج َز َع ْنهُ َوا ْنتَقَ َل إلَى بَ َدلِ ِه َوه َُو التَّ ْقلِي ُد َك َم َ َْث َع َج َز َسق ُ فَإِنَّهُ َحي
ا َد‰‰َإ ِ َّن ااِل جْ تِه‰َا ُد ف‰‰َهُ ااِل جْ تِه‰َ ا َز ل‰ْض ْال َم َسائِ ِل َج
ِ ك ْال َعا ِّم ُّي إ َذا أَ ْم َكنَهُ ااِل جْ تِهَا ُد فِي بَع
َ ِ َو َك َذل. الطَّهَا َر ِة بِ ْال َما ِء
اج ًزا فِي‰ ٍ ا ِدرًا فِي بَع‰‰َ ُل ق‰ُمنَصَّبٌ يَ ْقبَ ُل التجزي َوااِل ْنقِ َسا َم فَ ْال ِعب َْرةُ بِ ْالقُ ْد َر ِة َو ْال َعجْ ِز َوقَ ْد يَ ُكونُ ال َّر ُج
ِ ‰ْض َع
ْض
ٍ بَع
25
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatwa. Cet. 4, (Jakarta : Pustaka Azam, 2002), hal. 204.
2. Bertaklid pada orang yang diketahui keilmuannya
“Adapun orang yang tidak mampu mengenal hukum Allah dan Rasul-
Nya, lalu ia cuma taklid pada orang yang berilmu dan memiliki agama yang
baik, tidak nampak baginya pendapat yang lebih baik dari pendapat tersebut,
maka orang yang taklid seperti itu tetap terpuji dan mendapatkan pahala,
tidak dicela, tidak boleh dihukum. Walaupun ia saat itu mampu untuk
mencari dan mengenal dalil yang lebih kuat.” 26
26
Ibid., hal. 225.
27
Ibid., hal. 261
ك أَوْ ال َّشافِ ِع ِّي أَوْ أَحْ َمد أَوْ أَبِي َحنِيفَةَ َويَ َرى أَ َّن قَوْ َل هَ َذا ْال ُم َعي َِّن هُ َو
ِ ِهَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َك َم ْن يَتَ َعصَّبُ لِ َمال
ُ الص ََّوابُ الَّ ِذي يَ ْنبَ ِغي اتِّبَا ُعهُ ُدونَ قَوْ ِل اإْل ِ َم ِام الَّ ِذي خَالَفَه.
28
Majma’ al-Lughah al-’Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasīth, ed. Ibrāhīm Madkūr, (Istanbul: al-
Maktabah al-Islāmiyyah ed. Ibrāhīm Madkūr, Istanbul: al-Maktabah al-Islāmiyyah, 1972), hlm.
81.
29
Ibnu Manzhur, Lisanul Arab, (Beirut :Dār, al-shadīr) jilid iv, hlm. 350
Menurut ulama ushul, ittiba’ adalah mengikuti atau menuruti semua
yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah saw. Dengan
kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang
dikerjakan Nabi Muhammad saw.30 Definisi lainnya, ittiba’ ialah
pengambilan hukum dengan mengetahui dalil dan alasan-alasannya dan ia
diketahui dengan jalan yang ditunjuki oleh mujtahid.31 Ittiba’ ditetapkan
berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba’ adalah lawan taqlid.
Sebagai kesimpulan akhir, diperoleh beberapa komponen pokok yang
menjadi substansi dari term al-ittibā’ dalam Islam, yaitu (1) sebuah upaya
optimal untuk meniru, mengikuti dan meneladani; (2) adanya pihak
otoritatif “yang diikuti” (matbū’), secara mutlak adalah Rasulullah
berdasarkan spesifikasi penelitian; (3) hal yang diikuti meliputi akidah,
ucapan, perbuatan maupun dalam hal-hal lain yang ditinggalkannya, baik
berstatus hukum wajib, sunnah, mubah, makruh ataupun haram; (4)
berlandaskan kepada hujjah atau dalil qath’i, yaitu al-Qur‘an dan al-Sunnah
atau Hadits-hadits yang shahīh; dan (5) disertai niat, kehendak dan
keinginan kuat, bukan berdasarkan keterpaksaan atau kebencian hati dalam
berittiba’ walaupun tetap mengamalkannya.32
2. Ruang Lingkup Konsep al-Ittibā’
Karena termasuk salah satu aksioma agama yang fundamental, maka
al-ittibā’ merupakan konsep integralistik yang mencakup seluruh aspek
kehidupan beragama, bukan saja yang berdimensi ukhrawi atau keakhiratan,
bahkan menyentuh dimensi duniawi yang memiliki keterkaitan sangat erat
dengan aktifitas kehidupan dan interaksi sosial sehari-hari.
Menurut al-Ba’dāni, domain yang harus diikuti, dicontoh dan
diteladani dari Rasulullah mencakup ranah keyakinan (i’tiqādāt), ucapan
perkataan (aqwāl), amal perbuatan (af’al) dan tindakan meninggalkan (tark,
pluralnya turūk). Yaitu dengan mengerjakan pelbagai aspek dan ranah
tersebut sesuai dengan yang telah dicontohkannya, baik yang berstatus
30
Deri Adlis, Ushul Fiqh Ijtihad, Taqlid, Ittiba. 2010, http://deriaadlis.blogspot.com. (19 Oktober
2021)
31
Azhar Aziz, Persoalan Tentang Ijtihad, Ittiba, Taqlid, 2010 http://azharazizblog.blogspot.com.
(l9 Oktober 2021)
32
Rahendra Maya, “Konsep Al-Ittiba’ Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadist”, Al-Tadabbur:
Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, hlm. 18
hukum wajib, sunnah (anjuran), mubah, makruh ataupun haram, disertai niat
dan keinginan (irādah) untuk ittiba’ kepadanya.
Ittibā’ kepada Rasulullah dalam keyakinan (i’tiqādāt) berarti
seseorang berkeyakinan seperti yang telah diyakini oleh Rasulullah sebagai
sebuah keyakinan valid yang harus direalisasikan atau keyakinan bid’ah
yang harus dinegasikan dan ditinggalkan; sebagai aksioma agama yang
fundamental, atau menegasikan hal yang dapat membatalkan fondasinya,
atau yang akan menodai kesempurnaannya, atau karena landasan syar’i
lainnya, disertai keyakinan bahwa akidah tersebut adalah akidah dan
keyakinan Rasulullah.
Ittibā’ kepada Rasulullah dalam ucapan dan perkataannya (aqwāl)
berarti merealisasikan kandungan Hadits atau sabdanya, bukan hanya
sekedar menghafal redaksional atau mengulang-ulang lafazhnya saja.
Sebagai contoh, ketika Rasulullah bersabda:
َ ُ َك َما َرأَ ْيتُ ُموْ نِى أ‰وصلُّوا
صلِّي
“Dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat shalatku.” (H.R. al-
Bukhārī)
35
Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Ittiba’ Rasulullah Saw Bagaimana Mengikuti Nabi Dengan Benar,
(Jakarta : Akbar media Eka Sarana, 2011), hlm. 75
36
Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi Syarah Hadis Arba’in Imam An-
Nawawi, (Jakarta: Qisthi Press, 2014), hlm. 386.
37
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Terjemahan Minhajul Muslim “Konsep Hidup Ideal Dalam
Islam”, (Jakarta:Darul Haq, 2009), hlm. 34
keberuntungan dari Allah berupa surga yang penuh dengan kenikmatan,
kekal dalamnya selamanya.
3. Teguh Di atas Kebenaran
Seperti yag dikisahkan dalam perang al-Kubra di masa rasululllah,
dimana mereka melawan kafir Quraisy. Sebagai bentuk taatnya kaum
Muhajirin kepada Rasulullah dan siap melakukan apapun demi dirinya
ketika perang.38 Akibat keimanan mereka kepada Allah dan kepatuhan
mereka pada perintah rasulullah, Kemenangan di pihak kaum Muslimin.
Itulah salah bentuk contoh bahwa Allah sebaik-baik pelindung bagi
hambanya.
4. Mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari Allah Swt.
Hal ini pernah terjadi pada perang badar, Allah mendukung kaum
Muslimin dengan mengirim bala bantuan Malaikat. Akhirnya,
peperangan dimenangkan oleh kaum Muslimin dengan kemanangan yang
besar. Dari pihak kaum Musrikin, terbunuh 70 orang dan tertawan 70
orang, sedangkan dari pihak kaum Muslimin gugur mencapai syahid 14
orang. Itulah bukti dari pertolongan Allah secara nyata.
5. Memperoleh Pintu Taubat dan Ampunan
Hakikatnya Allah adalah penerima taubat terhadap hamba-
hambanya. Namun, syarat taubat yang diterima Allah yakni menyesali
perbuatan yang telah dilakukan pada masa lalu, menjahuinya pada masa
kini, dan bertekad tidak mengulanginya pada masa mendatang.39
40
Muhamad Fadly, “TALFIQ (Teori dan Penerapannya)”. AL-TADABBUR. Vol. 2, No. 1, 2016. Hal.3
41
Rasyida Arsjad, “Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Prespektif Empat Madzab”.
CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman. Vol. 1, No. 1, Juni 2015. Hal. 63
bahwa mewajibkan orang awam bertanya kepada ahlinya jika mendapati
suatu masalah yang tidak diketahuinya.
Dalam ruang lingkup pembingkaian talfiq, setidaknya dapat dilakukan
dari beberapa sudut, diantaranya adalah;42
a. Ijtihad yang dilakukan oleh Mujtahid mu’tabarah saja. Ini bisa
tercapai melalui madzhab empat atau madzhab al-Arba’ah. Demikan nanti
memungkinkan talfiq ini hanya terjadi maksimal pada empat qaul
(pendapat) saja.
b. Masalah yang belum terdapat penjelasan secara shorih oleh nash
baik dalam al-Qur’an maupun Hadits, dan belum di Ijma’ oleh Ulama atas
ketidak bolehan atau ketidaksahannya. Dari sisi ketidaksahannya dan
ketidakbolehannya saja yang dapat diambil, karena sisi sah dan boleh
tidaklah menjadi persoalan debat dalam talfiq, jikalau perbuatan tersebut
dikerjakan.
c. Masalah ijtihadiyah dzanniyah saja. Berpijak dari kenyataan bahwa
medan ijtihad hanya terjadi dalam hal yang dalilnya dzanniyah saja.
d. Masalah yang berkaitan dengan furu’ din (cabang-cabang agama),
bukan ushul (inti-inti agama)
Adapun simpulan dari ruang lingkup talfiq seperti halnya taqlid, yaitu
hanya terbatas pada permasalahan ijtihad yang bersifat dzhanniyah (yang
42
Ahmad Mujalli, “Diskursus Talfiq: Antara Mudah dan Mengambil yang Mudah-Mudah”.
SYAIKHUNA. Vol. 6, No. 2, Oktober 2015. Hal. 332-333
43
Ibid., Hal. 333
meragukan), sedangkan segala sesuatu yang telah diketahui dan telah jelas
menurut nash al-Qr’an dan agama atau telah disepakati tentang hukumnya
tidaklah termasuk dalam ruang lingkup talfiq.
3. Hukum Talfiq
44
Rasyida Arsjad, “Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Prespektif Empat Madzab”.
CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman. Vol. 1, No. 1, Juni 2015. Hal. 66
masih mempunyai efek, sehingga apabila dilakukan pendapat baru, maka
hal itu menimbulkan pencampuradukan amalan (talfiq) yang tidak diakui
imam-imam madzhab yang dianutnya. (2) Talfiq itu dilakukan dalam satu
kasus permasalahan tertentu, bukan pada kasus serupa yang berlainan.
Dalam sudut pandang lain dalam rangkaian pendapat Ulama NU
menyatakan; kalau seandainya bermadzhab adalah wajib dan talfiq dilarang,
maka akan menyebabkan ibadah-ibadah yang dilakukan masyarakat awam
menjadi rusak dan batal. Sebetulnya NU sangatlah elastis dan fleksibel
dalam ber-fiqh, terbukti dengan mengikuti empat madzhab (Hanafi,
Hambali, Maliki, dan Syafi’i) secara formal-teoritis. Selain dari pendapat
diatas, dengan diperbolehkannya talfiq, maka pintu kemudahan telah
terbuka kepada khalayak ramai.45
4. Urgensi Talfiq dalam Kehidupan Bermasyarakat
Secara teoritis, perubahan akan nilai yang berkembang di masyarakat
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor determinan tension (ketegangan
internal), tuntutan moernisasi, demokrasi, perkembangan iptek, kontak
budaya luar, munculnya sikap terbuka, toleransi dan lain-lain. Sehingga
dallam hal ini fiqh mengambil peranan sebagai fungsi sosiologisnya yaitu
sebagai problem solving, dan memberi jawaban atas persoalan yang terjadi
di masyarakat sesuai dengan tuntunan zaman. Sehingga orientasi talfiq
dalam hal ini dapat dirasakan kehadiran manfaat bagi masyarakat (down to
earth), setidaknya memiliki peranan penting sebagaimana berikut:46
a. Hukum ditetapkan berdasarkan kemudahan dan kelapangan, artinya
pembebanan hukum dapat berbeda dengan perbedaan kondisi dari
setiap individu. Hukum-hukum seperti ini adalah hukum yang
termasuk dalam jenis al-ibadah al-mahdhah (ibadah khusus),
dikarenakan dalam masalah ibadah khusus ini memiliki orientasi pada
capaian keputusan dan loyalitas ibadah hamba kepada Allah SWT.
Sehingga dalam ibadah ini faktor kemudahan dan menghindarkan diri
dari kesulitan amatlah diperhatikan.
45
Asa’ari, “Transformasi Pemikiran Fiqh Nahdlatul Ulama”. Jurnal Islamika. Vol. 16, No. 2, 2016.
Hal. 53
46
Ibid., Hal. 50-53
b. Memberikan ingatan penjelas pada sikap kewaspadaan pada kita
ketika mengambil sebuah keputusan, bahwasannya dalam hal
mengindikasikan kemudahan dan kelapangan dalam menjalankan
suatu perintah tidak dibenarkan untuk menerobos hal yang memiliki
dzat keniscayaan yang dilarang (haram) seperti memakan daging babi
dan mengkonsumsi khamr tidak dibenarkan untuk menjalankan talfiq
atau tidak ada toleransi didalamnya.
c. Memiliki corak khusus sebagaimana yaitu untuk mengusung
kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia umpamanya, dalam hal
penikahan, mu’amalah, dan uqubah (pidana).
A. Kesimpulan
Secara etimologi, Ijtihad berasal dari kata “ijtahda yajtahidu ijtihaadan”
yang artinya mengerahkan kemampuan dalam menanggung beban.
Menurut Al-Ghazali, Objek ijtihad adalah setiap hukum syari’at yang
tidak memiliki dalil yang qath’i. Dari pendapatnya itu, diketahui ada
permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad
Taqlid adalah suatu yang mencerminkan seseorang untuk mengikuti orang
lain, baik dalam perbuatan maupun pendapatnya tanpa mencari tahu
kekuatan dalil-dalilnya.
ittiba’ ialah pengambilan hukum dengan mengetahui dalil dan alasan-
alasannya dan ia diketahui dengan jalan yang ditunjuki oleh mujtahid.
Ittiba’ ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba’ adalah lawan
taqlid.
Ittibā’ kepada Rasulullah dalam amal perbuatannya (af’āl) berarti
mengerjakan perbuatan tersebut seperti contoh yang telah dikerjakannya,
disertai keyakinan bahwa amal perbuatan tersebut adalah perbuatan yang
telah dikerjakannya
Sedangkan ittibā’ dalam turūk adalah meninggalkan berbagai hal yang
ditinggalkan oleh Rasulullah seperti yang telah dicontohkannya, disertai
keyakinan bahwa amal perbuatan tersebut adalah amal yang ditinggalkan
oleh Rasulullah
Talfiq merupakan tindakan mengambil satu qodliyah (rangkain) yang
mempunyai dasar kandungan pendapat dua/lebih dari Ulama (Mujtahid),
lalu dalam tahap praktek pelaksanaannya melalui cara yang tak pernah
dipilih dan diakui oleh Mujtahid (Imam Madzhab manapun (dari
keduanya))
talfiq dapat dilakukan dalam hukum-hukum furu’ (cabang) yang
ditetapkan berdasar dalil zhanniy (keberadaannya belum pasti). Adapun
dalam masalah aqidah dan akhlak, tidak dibenarkan melakukan talfiq.
DAFTAR PUSTAKA