Anda di halaman 1dari 35

RUANG LINGKUP USHUL FIQH

(IJTIHAD, TALQID, ITTIBA’, TALFIQ)

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas


“Metodologi Hukum Islam”

Dosen Pengampu
Dr. Rahmat M.Pd.I

Di susun oleh :
Kelompok 2
ABDUL KHAKIM
RAMA INDRA SURYA PERMANA
ASTRI EVALUWAYANTI
KHAFIDOTUL ILMI
KHUSNUL LATHIFAH

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT PESANTREN KH. ABDUL CHALIM
PACET MOJOKERTO
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami limpahkan kehadirat Allah SWT yang


telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Ruang Lingkup Ushul Fiqh” ini. Sholawat serta
salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
Nabi akhir zaman. Amien.
Sebagai manusia biasa kami sadar bahwa pembuatan makalah ini masih
jauh dari sempurna. Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, dan
kelemahan adalah milik kita sebagai makhluk. Maka dengan demikian demi
terciptanya makalah yang lebih baik untuk kedepan, kami mohon sekiranya para
pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun. Semoga Allah
SWT senantiasa memberikan petunjuk-Nya kepada kita semua. Amien.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat M.Pd, selaku dosen pengampu mata kuliah Metodologi
Hukum Islam.
2. Akhirnya penulis berdo’a kepada Allah SWT dengan harapan makalah ini
dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi penulis khususnya,
dan bagi para pembaca umumnya dan semoga mendapat ridlo dari Allah
SWT. Amiin ya robbal alamin.

Mojokerto, 20 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................................


Daftar Isi ...............................................................................................................
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 1
Bab II Pembahasan
A. Tinjauan tentang Ijtihad............................................................................. 2
Pengertian Ijtihad ...................................................................................... 1
Dasar Hukum Ijtihad ................................................................................. 1
Macam-Macam Ijtihad .............................................................................. 1
Syarat-Syarat Ijtihad ................................................................................. 1
Objek Ijtihad ............................................................................................. 1
Hukum Ijtihad ........................................................................................... 1
Tingkatan Mujtahid .................................................................................. 1
Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad ..................................................... 1
B. Tinjauan Tentang Taqlid ........................................................................... 3
Pengertian Taqlid ...................................................................................... 1
Hukum Taqlid ........................................................................................... 1
Macam-Macam Taqlid .............................................................................. 1
Syarat-Syarat Taqlid ................................................................................. 1
C. Tinjauan Tentang Ittiba’ ........................................................................... 3
Pengertian Ittiba’ ...................................................................................... 3
Ruang Lingkup Ittiba’ ............................................................................... 3
Kedudukan Ittiba’ dalam Islam................................................................. 3
Tujuan Ittiba’ ............................................................................................ 3
D. Tinjauan Tentang Talfiq ........................................................................... 3
Pengertian Talfiq ...................................................................................... 3
Ruang Lingkup Talfiq ............................................................................... 3
Hukum Talfiq ........................................................................................... 3
Urgensi Talfiq dalam Kehidupan Bermasyarakat ..................................... 3
Tujuan Ittiba’ ............................................................................................ 3
Bab III Penutup
Kesimpulan ............................................................................................... 1
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai sebuah disiplin ilmu yang mempunyai prosedur dan langkah-
langkah tertentu, ushul fiqh dibangun selain mengacu pada teks wahyu juga
didasarkan pada logika berpikir secara sistematis dan prosedural. Berbeda
dengan disiplin ilmu pada umumnya yang hanya mengacu pada salah satu di
antara wahyu dan logika, ushul fiqh justru mengapresiasi keduanya secara
terintegrasi. Selain pijakan wahyu dalam wujud dalil-dalil kulli, ushul fiqh juga
mempunyai basis empirisme ilmu pengetahuan dengan beberapa proses
penyederhanaan di dalamnya. Penyederhanaan di sini dianggap perlu karena
realitas kehidupan sebagai obyek hukum mempunyai watak begitu kompleks
dengan sampel dari berbagai faktor yang terlibat di dalamnya. Dalam konteks
inilah ilmu ushul fiqh bertujuan menjembatani keberadaan teks wahyu yang
banyak mengungkapkan persoalan secara global dengan realitas sosial
masyarakat yang terus bergerak dinamis.1
Menurut Auffah Yumni, ushul fiqih adalah metode/jalan yang harus
ditempuh bagi seorang mujtahid agar ijtihadnya benar. Itulah di antara hikmah
mengapa Allah mengganjar dua pahala bagi seorang mujtahid yang benar
ijtihadnya, karena ia telah menempuh metode dan proses ijtihad yang benar dan
hasilnya juga benar, sedang mujtahid yang salah hasil ijtihadnya tetap
mendapat satu pahala karena meski hasil ijtihadnya keliru namun ia telah
menempuh metode/jalan ijtihad yang benar. Disinilah arti penting ilmu Ushul
Fiqih.2
Dari paparan latar belakang diatas, serta mengingat banyak dikalangan
Mahasiswa yang masih belum memahami sumber hukum Islam, maka penulis
tertarik untuk membuat makalah tentang ruang lingkup ushul fiqh yang

1
Abu Yazid, “Mendialogkan Dimensi Keilmuan Ushul Fiqh”, Jurnal At-Ta’dib, Vol. 7, No. 1,
Juni 2012, hlm. 23-24
2
Auffah Yumni, “Urgensi Ushul Fiqh Bagi Permasalahan Fiqh Yang Dinamis”, Jurnal
Nizhamiyah, Vol. IX, No. 2 Juli-Desember 2019, hlm. 64
meliputi kajian tentang, Ijtihad dan mujtahid, konsep taqlid, ittiba’ dan talfiq.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Hukum
Islam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, mengenai ruang lingkup
ushul fiqh, berikut penulis paparkan rumusan masalahnya:
1. Bagaimana tinjauan hukum tentang konsep Ijtihad?
2. Bagaimana tinjauan hukum tentang konsep Taqlid?
3. Bagaimana tinjauan hukum tentang konsep Ittiba’?
4. Bagaimana tinjauan hukum tentang konsep Talfiq?

C. Tujuan Penulisan
Setelah mengetahui rumusan masalahnya, maka penulis selanjutnya
menjelaskan tujuan penulisannya sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tinjauan hukum tentang konsep Ijtihad
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum tentang konsep Taqlid
3. Untuk mengetahui tinjauan hukum tentang konsep Ittiba’
4. Untuk mengetahui tinjauan hukum tentang konsep Talfiq
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Tentang Ijtihad


1. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, Ijtihad berasal dari kata “ijtahda yajtahidu
ijtihaadan” yang artinya mengerahkan kemampuan dalam menanggung
beban.3
2. Dasar Hukum Ijtihad
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali
sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak
sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat,
diantaranya:
1. Firman Allah SWT.
      
         
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah),
karena (membela) orang-orang yang khianat. (an Nisa:105)4

Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad berdasarkan qiyas.


2. Adanya keterangan dari sunnah yang membolehkan berijtihad,
diantaranya:
(Hadits) Dari Amr bin ‘Ash ra. Yang mendengar Rasulullah
bersabda,
“Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia
mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.”  (H.R.
Muslim dan Ahmad).

3
Pengertian Ijtihad https://belajar-fiqih.blogspot.com/2015/11/pengertian-ijtihad-menurut-bahasa-
dan.html. diakses pada Selasa, 19 Oktober 2021, 09.00 WIB
4
Aplikasi Al Qur’an in word, An Nisa’:105
Juga hadits Mu’adz Ibnu Jabal ketika Rasulullah SAW
mengutusnya ke Yaman untuk menjadi hakim di Yaman dan hal itu telah
diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad jika
menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan
Sunnah Rasul.
3. Macam-macam ijtihad
Di kalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah
ijtihad. Imam Syafi’i menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama,
tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada
istihsan atau maslahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya
memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu
mencakup ra’yu, qiyas, dan akal.5
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan
oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat
oleh seorang mujtahid, atau setidak-tidaknya mendekati syari’at,
berdasarkan pendapat tersebut, Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga
bagian, yang sebagaiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab
Al-Muwafaqat, yaitu:
a. Ijtihad al-Batani, yaitu Ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’
dari nash.
b. Ijtihad al-Qiyasi, yaitu Ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan menggunakan metode Qiyas.
c. Ijtihad al-istishlah, yaitu Ijtihad terhadap permasalahan yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan menggunakan ra’yu
berdasarkan kaidah istishlah.6

Pembagian di atas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan


oleh Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alasan,
diantaranya jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi
dua bagian saja, yaitu:
5
Ad-Dawalibi, Muhammad Ma’ruf, Al-Madkhal ila Ilm ‘Ushul al Fiqh, (Damaskus : Jami’ah
Damaskus, 1959), hlm 37
6
Rachmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih: untuk UIN, STAIN, PTAIS, CV, (Bandung: Pustaka Setia,
2010), hlm 104.
1. Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak
menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan
mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan,
hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan dan lain-lain.
2. Ijtihad syar’i. yaitu Ijtihad jtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk
dalam pembagian ini adalah ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, ‘urf,
istishhab dan lain-lain.
4. Syarat-syarat ijtihad
Ulama’ ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat
ijtihad atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang
yang melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang
persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebaga berikut:
a. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-
Qur’an, baik menurut bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi, tidak
disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-
letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia membutuhkan.
Imam Ghazali, Ibnu Arabi dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum
tersebut sebanyak lima ratus ayat.
b. Menguasai dan mengetahui hadits-hadits tentang hukum, baik menurut
bahasa maupun syari’at. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus
menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja secara
pasti, sehingga memudahkannya jika ia membutuhkannya. Ibnu Arabi
membatasinya sebanyak 3000 hadits. Menurut Ibnu Hanbal, dasar ilmu
yang berkaitan dengan hadits Nabi berjumlah sekitar 1.200 hadits. Oleh
karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadits-hadits
hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda.
c. Mengetahui Nasakh dan mansukh dari al-Qur’an dan as-Sunnah, supaya
tidak salah dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus
menghafalnya. Diantara kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam
nasakh dan mansukh adalah kitab karangan Ibnu Khuzaimah, Abi Ja’far
An-Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm dan lain-lain.
d. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ Ulama,
sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa
dijadikan rujukan diantaranya Kitab Maratibu al-Ijma’ (Ibn Hajm).
e. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya serta meng-istinbath-nya,
karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
f. Mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan
dengan bahasa serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena
al-Qur’an dan as-Sunnah ditulis dengan bahasa Arab. Namun tidak
disyaratkan untuk betul-betul menguasainya atau menjadi ahlinya,
melainkan sekurang-kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dari
al-Qur’an atau al-Hadits.7
g. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh yang merupakan pondasi dari ijtihad.
Bahkan, menurut Fakhru Ar Razi, ilmu yang paling penting dalam ber-
ijtihad adalah ilmu Ushul Fiqh.
h. Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum,
karena bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan maqashidu Asy-
Syari’ah atau rahasia disyari’atkannya suatu mursalah, urf, dan
sebagaiannya yang menggunakan maqashidu Asy-Syari’ah sebagai
standarnya.8
5. Objek ijtihad
Menurut Al-Ghazali, Objek ijtihad adalah setiap hukum syari’at yang
tidak memiliki dalil yang qath’i. Dari pendapatnya itu, diketahui ada
permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.
Dengan demikian, syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad
terbagi dalam dua bagian:
1. Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum
yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan
pada dalil-dalil yang qath’i, seperti kewajiban melaksanakan shalat,
zakat, puasa, ibadah haji atau haramnya melakukan zina, mencuri dan
lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam al-Qur’an dan
As-Sunnah. Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman Allah SWT.
7
Al-Amidi, Al-Akhma fi Ushul Al Ahkam, (Cairo: , Muassasah al-Halabi, 1967), hlm 140
8
Rachmat Syafi’i, op cit, hlm 106
......    
56. dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat.....(An-Nur:56)9

Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk


mengetahui maksud shalat.
2. Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang
didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya,
petunjuknya, ataupun eksistensinya (tsubut), serta hukum-hukum yang
belum ada nash-nya dan Ijma’ para ulama.
Apabila ada nash yang keberadaaannya masih zhanni, hadits ahad
misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad diantaranya adalah
meneliti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya dan lain-lain. Nash
yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad,
antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan
memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad dan lain-lain. Sedangkan
terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi
lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang
bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan lain-
lain. Namun, permasalahan ini banyak diperdebatkan dikalangan para
ulama.10
6. Hukum melakukan ijtihad
Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi
persyaratan ijtihad diatas, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang
tersebut berkenaan dengan ijtihad, yaitu:
a. Orang tersebut dihukumi fardu ‘ain untuk berijtihad apabila ada
permasalahan yang menimpa dirinya dan harus mengamalkan hasil dari
ijtihad-nya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain. Karena hukum
ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia
yakini bahwa hal itu termasuk hukum Allah.
b. Juga dihukumi fardhu ‘ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan
yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab,

9
Aplikasi Al-Qur’an in Word, An Nur:56
10
Rachmat Syafi’i, op cit, hlm 107
dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum
tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
c. Dihukumi fardhu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya
tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain
dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
d. Dihukumi sunnah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahannya yang
baru, baik ditanya ataupun tidak.
e. Dihukumi haram apabila ber-ijtihad terhadap permasalahannya yang
sudah ditetapkan secara qath’i, sehingga hasil ijtihad-nya itu
bertentangan dengan dalil syara’.
7. Tingkatan Mujtahid
Dalam membicarakan masalah tingkatan ijtihad, tidak terlepas dari
perbedaan pendapat di kalangan para ulama ushul tentang telah tertutupnya
menurut pintu ijtihad. Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada
zamannya) telah terjebak pada pemikiran bahwa mujtahid mutlaq itu sudah
tidak ada lagi dan yang ada sekarang hanyalah mujtahid muqayyad.
Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan pendapat
para ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan antara
mujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid muntasib yang
semuanya berbeda.
Adapun tingkatan para mujtahid, menurut para ulama, diantaranya
menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah dan lain-lain, terbagi dalam lima
tingkatan:
1. Mujtahid mustaqil
Adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah
yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqih-nya sendiri yang berbeda dengan
madzhab yang ada. Menurut As-Suyuthi, Menurut As-Suyuthi, tingkatan
ini sudah tidak ada lagi.
2. Mujtahid muthlaq ghairu mustaqil
Adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil,
namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti
metode salah satu imam madzhab. Dia bisa disebut juga sebagai muthlaq
muntasib, tidak mustaqil, tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak
dikategorikan taqlid kepada imamnya, melainkan mengikuti jalan yang
ditempuh imamnya. Diantaranya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari
Hanafiyah.
3. Mujtahid Muqayyad/mujtahid Takhrij
Adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya. Memang dia
diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan
dalil, tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai
imamnya. Diantaranya Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu
Qayyim dan Asyhab dari golongan Maliki serta Al Buwaiti dan Majani
dari golongan Syafi’i.
4. Mujtahid Tarjih
Adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid
takhrij, tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu’, Mujtahid ini
sangat faqih, hapal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya,
cara memutuskan hukumnya, dia juga mengetahui bagaimana cara
mencari dalil yang lebih kuat dan lain-lain. Tetapi kalau dibandingkan
dengan tingkatan mujtahid di atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah
imamnya, ia tergolong masih kurang. Diantaranya, Al-Qaduri dan
Pengarang kitab Al-Hidayah dalam madzhab Hanafi.
5. Mujtahid Fatwa
Adalah orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam
madzhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang
sulit, namun dia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan
berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.
Menurut Imam Nawawi, “Tingkatan ini dalam fatwanya sangat bergantung
kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai
cabang yang ada dalam madzhab tersebut.
8. Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad
Pada abad 4 Hijriyah, Daulah Islamiyah terbagi-bagi kepada beberapa
negara. Hal itu menyebabkan lemahnya kekuatan umat Islam, karena
hubungan diantara negara-negara tersebut menjadi terputus, Selain itu,
perkembangan keilmuan dan kebebasan berpikir pun menjadi lemah. Hal itu
menyebabkan timbulnya sikap loyal (ta’asub) dan fanatik yang sangat
berlebihan para ulama pada saat itu terhadap madzhab mereka dan
menjadikan mereka kurang percaya diri terhadap kemampuan mereka
sendiri. Selain itu, diantara mereka pun sering terjadi perdebatan dan
perpecahan sehingga menyebabkan tidak tuntasnya berbagai permasalahan
yang dihadapkan kepada mereka dan mereka disibukkan dengan upaya
menyusun berbagai kitab madzhab, bahkan merasa cukup dengan membuat
berbagai ringkasan dari kitab-kitab imam madzhab mereka dan yang lebih
parah lagi, mereka terlalu khawatir menyalahi berbagai ketetapan yang telah
ditetapkan oleh Imam madzhab. Semua itu menyebabkan mereka
berpendirian bahwa pintu iijtihad telah tertutup dan merasa bahwa mereka
bukan ahli ijtihad.11
Menurut Imam Suyuthi, sebenarnya para ulama dari setiap madzhab
telah sepakat bahwa itu hukumnya wajib dan taqlid adalah perbuatan
tercela. Merekapun melarang umat Islam untuk taqlid buta kepada pendapat
mereka tanpa berpikir dan menyelidiki terlebih dahulu terhadap apa-apa
yang telah difatwakan. 12

B. Tinjauan Tentang Taqlid


1. Pengertian Taqlid
Secara etimologi ‫“ تَ ْقلِ ْي ٌد‬taqlid” berasal dari kata ‫( قَلَّ َد‬qallada), ‫يُقَلِّ ُد‬
(yuqallidu), ‫( تَ ْقلِ ْيدًا‬taqlidan) yang mempunyai arti “mengalungkan” atau
“menjadi kalung”. Kemudian diambil pemahaman taqlid berarti “mengikuti
seseorang secara patuh”, taqlid juga dapat diartikan ً ‫وضع الشيء في العنق محيطا‬
‫“ به كالقالدة‬meletakkan sesuatu dileher dengan melilitkan kepadanya seperti
tali kekang”.13 Mardani mengartikan taqlid sebagai ‫وضع الشيء في العنق محطا به‬
‫“ كالقالدة‬meletaki sesuatu di leher dengan mengitarinya seperti kalung”.14

11
Al Khudri dalam Rachmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2010), hlm 109-110.
12
Ibid, hlm. 110
13
Asy-Syikh al-Allamah Muhammad bin Sholeh al-‘Utsimin, Prinsip Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 133
14
Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta : Raja Wali Press, 2013), hlm. 368
Lebih sederhananya kita dapat mengartikan taqlid sebagai ‫قبول قول بال حجة‬
“menerima pendapat orang lain tanpa hujjah”.15
Secara terminologis Taqlid adalah ‫“ اتباع من ليس قوله حجة‬mengikuti
perkataan seseorang yang perkataannya bukan hujjah”.16 Ulama’ lain
seperti Ibn Al-Hummam mengemukakan bahwa ‫التقليد العمل بقول من ليس قوله‬
‫“ احدى الحجج بال حجة منها‬taqlid adalah beramal dengan pendapat seseorang
yang tidak berkedudukan sebagai hujjah tanpa mengetahui hujjahnya”.17
Imam Al-Ghazali memberikan pengertian bahwa taqlid adalah ‫قَبُوْ ُل قَوْ ِل‬
‫ ْالقَائِ ِل ال َغي ِْر ُدوْ نَ ُح َّجتِه‬menerima ucapan tanpa hujjah. Al-Asnawi
mendefinisikan taqlid adalah ‫ التقليدهواالخدبقول غيردليل‬mengambil perkataan
orang lain tanpa dalil. Ibnu Subki mendefinisikan taqlid adalah
‫ التقليدهواخدالقول من غيرمعرفةدليل‬mengambil suatu perkara tanpa mengetahui
dalilnya.18
Ada beberapa rumusan mengenai definisi taqlid, antara lain :
a. Taqlid merupakan suatu ungkapan mencerminkan sikap seseorang yang
mengikuti orang lain, baik dalam hal perbuatannya, pendapanya dengan
meyakini realitas tanpa mencari tahu kebenaran dalilnya.19
b. Menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa
mengetahui kekuata dari dalil-dali tersebut.20
c. Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.21
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa taqlid
adalah suatu yang mencerminkan seseorang untuk mengikuti orang lain,
baik dalam perbuatan maupun pendapatnya tanpa mencari tahu kekuatan
dalil-dalilnya.
2. Hukum Taqlid

15
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2012), hlm. 163
16
Mardani, Loc.Cit.
17
Amir Syarifuddin, Loc.Cit.
18
Basiq Jalil, Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm. 23.
19
Ali Ibn Muhammad Ibn ‘ibn Ali al-Jurjani, at-Ta’rifat. Al-Maktabah Syamila, ver 2, hlm. 90.
20
Abd al-Karim Zaydan, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, (Beirut : al-Mu’assasah al-Risalah, 1998), hlm.
410.
21
Wahbah Zuhaily, Usul-al-Fiqh al-Islami, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1986) II, 1052. Dan Lihat,
Sjechul Hadi Permono, Dinamisasi Hukum Islam Dalam Menjawab Tantangan Era Globalisasi,
(Demak : Demak Press, 2002), hlm. 28.
Hukum taklid terbagi menjadi dua macam,yaitu ada taklid yang
diperbolehkan dan ada taklid yang dilarang atau diharamkan. Dengan
demikian dapat kita katakan taklid dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Taklid yang diperbolehkan atau mubah. Taklid ini diperbolehkan untuk
orang-orang yang tidak dapat mengkaji dalil dari hukum syariat. Imam
Hasan Al-Banna mengungkapkan bahwa taklid adalah sesuatu yang
mubah atau diperbolehkan oleh syariat Islam, namun tidak semua
manusia dapat melakukannya. Taklid hanya diperbolehkan bagi setiap
muslim yang tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari
hukum syariat serta bagi orang yang tidak memiliki keahlian dalam
mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk mengetahui hukum
dari Al-Qur’an, hadis, ijma’ maupun qiyas.
2. Taklid yang dilarang atau haram. Taklid tidak perbolehkan bagi orang-
orang yang sanggup untuk mengkaji hukum-hukum syariat.22
Para ulama masih memperselisihkan taklid pada madzhab-madzhab
fikih yang bersifat amaliyah. Perbedaan pandangan ulama dalam hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Bertaklid tidak diperbolehkan dalam bentuk apapun, hal ini dikarenakan
yang wajib adalah berijtihad dan meneliti. Demikian setiap orang
mukallaf diwajibkan untuk berijtihad dengan sekuat kemampuan yang
dimilikinya. Pendapat ini di ungkapkan oleh Ibn Hazm, bertaklid itu
haram karena tidak diperbolehkan mengikui perkataan orang lain tanpa
adanya dalil yang menguatkan.
b. Lain halnya dengan pendapat yang diungkap oleh Hasywiyah.
Hasywiyah mengungkap tidak diperbolehkannya berijtihad setelah
periode imam-imam madzhab dan setiap mukallaf harus bertaklid kepada
mereka.
c. Tidak diperbolehkannya bertaklid bagi orang-orang yang mampu
berijtihad dan diperbolehkan bertaklid bagi orang-orang yang tidak
mampu berijtihad. Ulama-ilama madzhab beranggapan bahwa pendapat
ini adalah shahih.
22
Yahya Muhammad, Ijtihad wa al-Taqlid wa al-ittiba’ wa Al-Nazar, cet 1 (Bayrut:Muassasah
Intisyar Al-Arabi, 2000), hlm. 143.
Adapun dasar yang dijadikan sebagai dalil atas diperbolehkannya
taklid yaitu, firman Allah :“maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahuinya”. (Q.S. An-Nahl :
43)
Ayat ini menjadi anjuran bagi orang-orang yang tidak berilmu.
Dengan demikian orang-orang yang tidak mampu berijtihad pada masa
sahabat dan juga tabi’in akan menanyakan suatu hukum kepada orang-orang
alim di kalangan mereka. Jika seluruh manusia dibebani untuk melakukan
ijtihad akan terjadi kesulitan dan kesukaran. Dan ijtihad merupakan suatu
kemampuan yang tidak dimiliki oleh semua orang, hanya ulama-ulama
tertentu yang mampu melakukannya.23
3. Macam-Macam Taqlid
Macam-macam taklid dapat dibagi sesuai dengan kualifikasi
Muqallidnya. Dalam hal ini status Muqallid bisa dibedakan menjadi dua,
yaitu Muttabi’ dan Ammi.24
a. Muqallid Muttabi’
Muqallid Muttabi’ ialah seseorang yang memiliki sebagian ilmu untuk
melakukan ijtihad, dan ia bertaklid kepada seorang mujtahid setelah
mengetahui dalil-dalil dan kebenarannya.
b. Muqallid ‘Ammi
Muqallid ‘Ammi ialah seseorang yang tidak memiliki ilmu dan
kemampuan untuk melakukan ijtihad. Sehingga ia bertaklid kepada seorang
mujtahid tanpa mengetahui dalilnya.
Dari hal ini kita dapat mengklarifikasikan bahwa taklid dapat dibagi
menjadi dua yaitu :
a. Taqlid Muttabi’
Taklid Muttabi’ adalah taklid yang dilakukan oleh seorang muttabi’
yang bertaklid kepada hukum syara’ yang digali oleh mujtahid lain
b. Taqlid ‘Ammi

23
Muhammad Ibrahim al-Hafnawi, Tabsir An-Nujaba’ bi Haqi qati al-ijtihad, wa al-taqlid, al-
Talfiiq wa al-ifta’, (Cairo : Dar al-Hadith, 1995), hlm. 207.
24
Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam, (Jakarta : HTI Press, 2012), hal. 130.
Taklid yang dilakukan oleh seorang ‘Ammi adalah taklid kepada
hukum syara’ yang digali oleh Mujtahid lain, tanpa disertai pengetahuan
tentang dalil mujtahid yang diikutinya, juga tidak mempunyai sejumlah ilmu
yang di akui dalam persyaratan hukum

4. Syarat-Syarat Taqlid
Ada lima syarat yang diberikan oleh para ulama agar seseorang boleh
untuk bertaklid:25

1. Orang yang taklid itu jahil atau tidak berilmu, ia sulit untuk mengenal
(memahami) hukum Allah dan Rasul-Nya.

Adapun orang yang mampu untuk berijtihad, yang tepat, ia pun masih
boleh bertaklid ketika ia tidak mampu berijtihad karena keterbatasan dalil
atau sempitnya waktu untuk berijtihad. Boleh jadi tidak ada dalil yang
nampak yang bisa dipakai.

Ketika seseorang tidak mampu berijtihad, maka ia beralih pada


penggantinya yaitu taklid. Ibnu Taimiyah berkata,

‫ َز ع َْن‬‰‫وْ َع َج‬‰‰َ‫ا ل‬‰‰‫ط َع ْنهُ ُوجُوبُ َما َع َج َز َع ْنهُ َوا ْنتَقَ َل إلَى بَ َدلِ ِه َوه َُو التَّ ْقلِي ُد َك َم‬ َ َ‫ْث َع َج َز َسق‬ ُ ‫فَإِنَّهُ َحي‬
‫ا َد‬‰‰َ‫إ ِ َّن ااِل جْ تِه‬‰َ‫ا ُد ف‬‰‰َ‫هُ ااِل جْ تِه‬‰َ‫ ا َز ل‬‰‫ْض ْال َم َسائِ ِل َج‬
ِ ‫ك ْال َعا ِّم ُّي إ َذا أَ ْم َكنَهُ ااِل جْ تِهَا ُد فِي بَع‬
َ ِ‫ َو َك َذل‬. ‫الطَّهَا َر ِة بِ ْال َما ِء‬
‫اج ًزا فِي‬‰ ٍ ‫ا ِدرًا فِي بَع‬‰‰َ‫ ُل ق‬‰‫ُمنَصَّبٌ يَ ْقبَ ُل التجزي َوااِل ْنقِ َسا َم فَ ْال ِعب َْرةُ بِ ْالقُ ْد َر ِة َو ْال َعجْ ِز َوقَ ْد يَ ُكونُ ال َّر ُج‬
ِ ‰‫ْض َع‬
‫ْض‬
ٍ ‫بَع‬

“Ketika seseorang tidak mampu berijtihad, maka kewajiban berijtihad


jadi gugur. Ketika itu beralihlah kepada taklid. Sebagaimana seseorang yang
tidak mampu bersuci dengan air, ia tentu beralih pada penggantinya.

Begitu pula orang awam ketika ia mampu berijtihad untuk sebagian


masalah, maka boleh ia berijtihad pada masalah tersebut. Ijtihad boleh
terbagi-bagi seperti itu. Pokoknya dilihat dari kemampuan dan
ketidakmampuan. Boleh jadi seseorang mampu berijtihad dalam suatu
masalah, dan masalah lain tidak demikian. ”

25
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatwa. Cet. 4, (Jakarta : Pustaka Azam, 2002), hal. 204.
2. Bertaklid pada orang yang diketahui keilmuannya

Di halaman lainnya, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

‫ْرفَ ِة ُح ْك ِم هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه َوقَ ْد اتَّبَ َع فِيهَا َم ْن هُ َو ِم ْن أَ ْه ِل ْال ِع ْل ِم َوالدِّي ِن‬


ِ ‫َوأَ َّما َم ْن َكانَ عَا ِج ًزا ع َْن َمع‬
‫ك َواَل يُ َعاقَبُ َوإِ ْن َكانَ قَا ِدرًا‬ َ ِ‫َولَ ْم يَتَبَي َّْن لَهُ أَ َّن قَوْ َل َغي ِْر ِه أَرْ َج ُح ِم ْن قَوْ لِ ِه فَهُ َو َمحْ ُمو ٌد يُثَابُ اَل يُ َذ ُّم َعلَى َذل‬
ِ ‫َعلَى ااِل ْستِدْاَل ِل َو َمع‬
ِ ‫ْرفَ ِة َما هُ َو الر‬
‫َّاج ُح‬

“Adapun orang yang tidak mampu mengenal hukum Allah dan Rasul-
Nya, lalu ia cuma taklid pada orang yang berilmu dan memiliki agama yang
baik, tidak nampak baginya pendapat yang lebih baik dari pendapat tersebut,
maka orang yang taklid seperti itu tetap terpuji dan mendapatkan pahala,
tidak dicela, tidak boleh dihukum. Walaupun ia saat itu mampu untuk
mencari dan mengenal dalil yang lebih kuat.” 26

3. Taklid tidak menyelisihi dalil dan ijma’ (kata sepakat ulama).

Ibnu Taimiyah berkata,

ِ ‫ف أِل َ ْم ِر هَّللا ِ فَاَل يَ ُكونُ ْال ُم ِطي ُع لِهَؤُاَل ِء عَا‬


‫صيًا‬ ٌ ِ‫إ َذا أَ ْفتَى ْال ُم ْستَ ْفتِ َي بِ َما لَ ْم يَ ْعلَ ْم ْال ُم ْستَ ْفتِي أَنَّهُ ُم َخال‬
ِ ‫صيَةٌ هَّلِل‬
ِ ‫ك َم ْع‬َ ِ‫ف أِل َ ْم ِر هَّللا ِ فَطَا َعتُهُ فِي َذل‬
ٌ ِ‫َوأَ َّما إ َذا َعلِ َم أَنَّهُ ُم َخال‬

“Jika seorang ahli fatwa mengeluarkan fatwa di mana ia tidak


mengetahui kalau ia menyelisihi aturan Allah, maka orang yang mengikuti
(mentaati) pendapat tersebut tidak disebut bermaksiat. Adapun jika ada yang
mengetahui orang yang diikuti itu menyelisihi aturan Allah, maka
mengikutinya berarti bermaksiat pada Allah.”27

4. Tidak boleh mewajibkan mengikuti madzhab imam tertentu dalam semua


masalah, namun yang diperintahkan adalah untuk mengikuti kebenaran.

Coba perhatikan baik-baik perkataan Ibnu Taimiyah berikut,

‫ْض ْال َم َسائِ ِل أَ َّن‬


ِ ‫ َو َرأَى فِي بَع‬: ‫ك أَوْ ال َّشافِ ِع ِّي أَوْ أَحْ َمد‬ ٍ ِ‫َوإِ َذا َكانَ ال َّر ُج ُل ُمتَّبِعًا أِل َبِي َحنِيفَةَ أَوْ َمال‬
‫اع ؛ بَلْ هَ َذا‬ٍ ‫ َواَل َعدَالَتِ ِه بِاَل نِ َز‬. ‫ك َولَ ْم يَ ْق َدحْ َذلِكَ فِي ِدينِ ِه‬ َ ِ‫َب َغي ِْر ِه أَ ْق َوى فَاتَّبَ َعهُ َكانَ قَ ْد أَحْ َسنَ فِي َذل‬ َ ‫َم ْذه‬
‫صلَّى‬ َ ‫ق َوأَ َحبُّ إلَى هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِم َّم ْن يَتَ َعصَّبُ لِ َوا ِح ِد ُم َعي ٍَّن َغي ِْر النَّبِ ِّي‬ ِّ ‫أَوْ لَى بِ ْال َح‬

26
Ibid., hal. 225.
27
Ibid., hal. 261
‫ك أَوْ ال َّشافِ ِع ِّي أَوْ أَحْ َمد أَوْ أَبِي َحنِيفَةَ َويَ َرى أَ َّن قَوْ َل هَ َذا ْال ُم َعي َِّن هُ َو‬
ِ ِ‫هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َك َم ْن يَتَ َعصَّبُ لِ َمال‬
ُ‫ الص ََّوابُ الَّ ِذي يَ ْنبَ ِغي اتِّبَا ُعهُ ُدونَ قَوْ ِل اإْل ِ َم ِام الَّ ِذي خَالَفَه‬.

“Jika seseorang mengikuti mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah


atau Imam Malik atau Imam Syafi’i atau Imam Ahmad, lalu ia melihat
pendapat lainnya ternyata lebih kuat dari pendapat tersebut, maka hendaklah
ia mengikutinya. Itu lebih baik dan tidak mencacati agamanya, juga tidak
membuatnya dianggap jelek (tidak ‘adel) tanpa ada khilaf dari para ulama
akan hal ini. Bahkan mengikuti pendapat yang benar itulah yang lebih
dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya daripada ta’ashub (fanatik) pada salah
satu pendapat selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti ada yang
bersikap fanatik pada Malik, Syafi’i, Ahmad atau Abu Hanifah lalu menilai
pendapat imamnya-lah yang paling benar, pendapat lain yang menyelisihi
tak pantas diikuti.”

C. Tinjauan Tentang Ittiba’


1. Pengertian Ittiba’
Berdasarkan dimensi literal-linguistiknya (etimologis), term al-ittibā’
atau al-mutāba’ah berasal dari akar kata dasar tabi’a (fi’il mādhī; kata
verbal lampau). Dalam al-Mu’jam al-Wasīth disebutkan, tabi’a–yatba’u–
taba’an al-syai‘a, berarti mengikuti jejak langkah (sāra fī atsarihi), atau
mengiringinya (talāhu). Kemudian term al-ittibā’ yang merupakan derivasi
(isytiqāq) dari bentuk tabi’a tersebut diartikan dengan mengikuti di
belakang dan menyertainya (sāra warā’ahu wa tathallabahu), meniti jejak
langkahnya (hadzā hadzwahu), dan mengamalkannya (’amila bihi).28
Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat
seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan
dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu khuwaizi Mandad mengatakan :
“setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka
engkau adalah muttabi’ (orang yang mengikuti).29

28
Majma’ al-Lughah al-’Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasīth, ed. Ibrāhīm Madkūr, (Istanbul: al-
Maktabah al-Islāmiyyah ed. Ibrāhīm Madkūr, Istanbul: al-Maktabah al-Islāmiyyah, 1972), hlm.
81.
29
Ibnu Manzhur, Lisanul Arab, (Beirut :Dār, al-shadīr) jilid iv, hlm. 350
Menurut ulama ushul, ittiba’ adalah mengikuti atau menuruti semua
yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah saw. Dengan
kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang
dikerjakan Nabi Muhammad saw.30 Definisi lainnya, ittiba’ ialah
pengambilan hukum dengan mengetahui dalil dan alasan-alasannya dan ia
diketahui dengan jalan yang ditunjuki oleh mujtahid.31 Ittiba’ ditetapkan
berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba’ adalah lawan taqlid.
Sebagai kesimpulan akhir, diperoleh beberapa komponen pokok yang
menjadi substansi dari term al-ittibā’ dalam Islam, yaitu (1) sebuah upaya
optimal untuk meniru, mengikuti dan meneladani; (2) adanya pihak
otoritatif “yang diikuti” (matbū’), secara mutlak adalah Rasulullah
berdasarkan spesifikasi penelitian; (3) hal yang diikuti meliputi akidah,
ucapan, perbuatan maupun dalam hal-hal lain yang ditinggalkannya, baik
berstatus hukum wajib, sunnah, mubah, makruh ataupun haram; (4)
berlandaskan kepada hujjah atau dalil qath’i, yaitu al-Qur‘an dan al-Sunnah
atau Hadits-hadits yang shahīh; dan (5) disertai niat, kehendak dan
keinginan kuat, bukan berdasarkan keterpaksaan atau kebencian hati dalam
berittiba’ walaupun tetap mengamalkannya.32
2. Ruang Lingkup Konsep al-Ittibā’
Karena termasuk salah satu aksioma agama yang fundamental, maka
al-ittibā’ merupakan konsep integralistik yang mencakup seluruh aspek
kehidupan beragama, bukan saja yang berdimensi ukhrawi atau keakhiratan,
bahkan menyentuh dimensi duniawi yang memiliki keterkaitan sangat erat
dengan aktifitas kehidupan dan interaksi sosial sehari-hari.
Menurut al-Ba’dāni, domain yang harus diikuti, dicontoh dan
diteladani dari Rasulullah mencakup ranah keyakinan (i’tiqādāt), ucapan
perkataan (aqwāl), amal perbuatan (af’al) dan tindakan meninggalkan (tark,
pluralnya turūk). Yaitu dengan mengerjakan pelbagai aspek dan ranah
tersebut sesuai dengan yang telah dicontohkannya, baik yang berstatus
30
Deri Adlis, Ushul Fiqh Ijtihad, Taqlid, Ittiba. 2010, http://deriaadlis.blogspot.com. (19 Oktober
2021)
31
Azhar Aziz, Persoalan Tentang Ijtihad, Ittiba, Taqlid, 2010 http://azharazizblog.blogspot.com.
(l9 Oktober 2021)
32
Rahendra Maya, “Konsep Al-Ittiba’ Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadist”, Al-Tadabbur:
Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, hlm. 18
hukum wajib, sunnah (anjuran), mubah, makruh ataupun haram, disertai niat
dan keinginan (irādah) untuk ittiba’ kepadanya.
Ittibā’ kepada Rasulullah dalam keyakinan (i’tiqādāt) berarti
seseorang berkeyakinan seperti yang telah diyakini oleh Rasulullah sebagai
sebuah keyakinan valid yang harus direalisasikan atau keyakinan bid’ah
yang harus dinegasikan dan ditinggalkan; sebagai aksioma agama yang
fundamental, atau menegasikan hal yang dapat membatalkan fondasinya,
atau yang akan menodai kesempurnaannya, atau karena landasan syar’i
lainnya, disertai keyakinan bahwa akidah tersebut adalah akidah dan
keyakinan Rasulullah.
Ittibā’ kepada Rasulullah dalam ucapan dan perkataannya (aqwāl)
berarti merealisasikan kandungan Hadits atau sabdanya, bukan hanya
sekedar menghafal redaksional atau mengulang-ulang lafazhnya saja.
Sebagai contoh, ketika Rasulullah bersabda:
َ ُ‫ َك َما َرأَ ْيتُ ُموْ نِى أ‬‰‫وصلُّوا‬
‫صلِّي‬
“Dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat shalatku.” (H.R. al-
Bukhārī)

Maka ittibā’ kepadanya dalam sabdanya tersebut di atas adalah


dengan mengaktualisasikan shalat seperti yang telah beliau contohkan, atau
sesuai dengan Sunnahnya. Contoh lainnya, ketika Rasulullah bersabda:
َ ‫الَ تَ َحا َس ُدوْ ا َوالَ تَنَا‬
‫جسُوْ ا‬
“Janganlah kalian saling mendengki dan menggembosi harga barang
yang akan dibeli orang lain.” (H.R. Muslim)
Maka ittibā’ kepada Rasulullah dalam sabdanya tersebut adalah
dengan menjauhi sifat dengki (hasad) dan meninggalkan perilaku
menggembosi atau merusak harga pasar (najasy).
Ittibā’ kepada Rasulullah dalam amal perbuatannya (af’āl) berarti
mengerjakan perbuatan tersebut seperti contoh yang telah dikerjakannya,
disertai keyakinan bahwa amal perbuatan tersebut adalah perbuatan yang
telah dikerjakannya.
Sedangkan ittibā’ dalam turūk adalah meninggalkan berbagai hal yang
ditinggalkan oleh Rasulullah seperti yang telah dicontohkannya, disertai
keyakinan bahwa amal perbuatan tersebut adalah amal yang ditinggalkan
oleh Rasulullah. Contohnya, Rasulullah meninggalkan shalat di saat terbit
matahari, maka kitapun harus meninggalkan shalat pada waktu tersebut
sesuai dengan petunjuknya, disertai keyakinan bahwa ini adalah perbuatan
yang benar-benar telah ditinggalkan oleh Rasulullah
3. Kedudukan Ittiba’ Dalam Islam
Ittiba’ kepada rasulullah Saw memiliki kedudukan yang sangat tinggi
dalam Islam, bahkan merupakan pintu seseorang dalam di terima amal
perbutan di sisi Allah Swt. Kedudukan ittiba’ dalam syariat di antaranya
sebagai berikut.
1. Ittiba’ sebagai syarat diterimanya amal ibadah
Suatu perbuatan dari amalan ibadah tidak akan diterima jika tidak
disertai dengan ittiba’ kepada Rasulullah. Karena sebagaima diketahui
segala perkara ibadah telah di jelaskan dalam al-Qur’an maupun Hadist.
Oleh karena itu jika seseorang menambah-nambah suatu ibadah yang
tidak berlandaskan oleh hadist maka hal tersebut tertolak.33
2. Ittiba’ sebagai salah satu prinsip dalam Islam.
Ikhlas dan menunggalkan Allah dalam ibadah adalah hakikat
keimanan seorang hamba kepada Allah dengan persaksiannya la ilaha
illallah. Adapun ittiba’ dan meniru Rasulullah adalah hakikat keimanan
seorang hamba dan persaksiannya bahwa Muhammad Rasulullah. Dua
hal tersebut termasuk salah satu prinsip dalam islam.34
3. Ittiba’ sebagai sebab masuk surga.
Pada hakikatnya Rasulullah sangat mencintai umatnya,sehingga
beliau meninggalkan dua pusaka agar ummatnya dapat masuk surga.
Adapun dua pusaka tersebut al-Qur‟an dan as-sunnah. Namun Rasulullah
hanya mengajak umatnya yang mau masuk surga bersamanya, bukan
ummatnya yang enggan masuk surga bersamanya.
33
Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi Syarah Hadis Arba’in Imam An-
Nawawi, (Jakarta: Qisthi Press, 2014), hlm. 33.
34
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Terjemahan Minhajul Muslim “Konsep Hidup Ideal Dalam
Islam”, (Jakarta:Darul Haq, 2009), hlm. 17.
4. Ittiba’ adalah bukti cinta kepada nabi.
Salah satu bukti cinta kepada Rasulullah yaitu dengan cara
mengikuti beliau dengan cara ucapan dan perbuatan. Contohnya yaitu
mengikuti, taat, dan menjalankan sunnahnya serta mengagungkan
perintah dan larangannya.35
5. Ittiba’ adalah jalan mendapatkan cinta Nabi sebenarnya.
Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk cinta kepada rasul dan
mengedepankan dari cinta terhadap diri sendiri. Rasulullah juga
menegaskan kepada ummatnya untuk mencintainya melebihi apupun.
Cinta kepada Rasulullah merupukan konsekuensi cinta kepada Allah
yang mengutus-Nya. Tidak terwujud cinta kepada Rasulullah, kecuali
jika terwujud cinta kepada Allah.36
4. Tujuan Ittiba’
Ittiba’ memiliki tujuan dalam suatu amal perbuatan umat muslim.
Dengan kita mengikuti rasulullah, niscaya kita tidak akan keliru dalam
melaksanakan ibadah dalam keseharian kita. Salah satu tujuan kita berittiba’
kepada rasulullah diantaranya sebagai berikut;
1. Mendapatkan hidayah
Seseorang yang berusaha berittiba’ kepada rasulullah akan
memperoleh hidayah dari Allah swt. Karena telah diberi petunjuk
Rasulullah melalui al-Qur’an dan hadist, agar ummatnya mendapatkan
petunjuk dan hidayah.
2. Memperoleh Keberuntungan
Al-Qur’an adalah kitab suci yang mencakup seluruh ajaran-ajaran
Ilahi, di mana Allah yang menurunkannya telah memberi jaminan
kebahagiaan dunia akhirat bagi siapa saja yang beriman dan
mengamalkannya dengan ancaman kesengsaraan di dunia dan
akhirat.37Adapun yang mengamalkanya akan mendapatkan

35
Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Ittiba’ Rasulullah Saw Bagaimana Mengikuti Nabi Dengan Benar,
(Jakarta : Akbar media Eka Sarana, 2011), hlm. 75
36
Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi Syarah Hadis Arba’in Imam An-
Nawawi, (Jakarta: Qisthi Press, 2014), hlm. 386.
37
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Terjemahan Minhajul Muslim “Konsep Hidup Ideal Dalam
Islam”, (Jakarta:Darul Haq, 2009), hlm. 34
keberuntungan dari Allah berupa surga yang penuh dengan kenikmatan,
kekal dalamnya selamanya.
3. Teguh Di atas Kebenaran
Seperti yag dikisahkan dalam perang al-Kubra di masa rasululllah,
dimana mereka melawan kafir Quraisy. Sebagai bentuk taatnya kaum
Muhajirin kepada Rasulullah dan siap melakukan apapun demi dirinya
ketika perang.38 Akibat keimanan mereka kepada Allah dan kepatuhan
mereka pada perintah rasulullah, Kemenangan di pihak kaum Muslimin.
Itulah salah bentuk contoh bahwa Allah sebaik-baik pelindung bagi
hambanya.
4. Mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari Allah Swt.
Hal ini pernah terjadi pada perang badar, Allah mendukung kaum
Muslimin dengan mengirim bala bantuan Malaikat. Akhirnya,
peperangan dimenangkan oleh kaum Muslimin dengan kemanangan yang
besar. Dari pihak kaum Musrikin, terbunuh 70 orang dan tertawan 70
orang, sedangkan dari pihak kaum Muslimin gugur mencapai syahid 14
orang. Itulah bukti dari pertolongan Allah secara nyata.
5. Memperoleh Pintu Taubat dan Ampunan
Hakikatnya Allah adalah penerima taubat terhadap hamba-
hambanya. Namun, syarat taubat yang diterima Allah yakni menyesali
perbuatan yang telah dilakukan pada masa lalu, menjahuinya pada masa
kini, dan bertekad tidak mengulanginya pada masa mendatang.39

D. Tinjauan Tentang Talfiq


1. Pengertian Talfiq
Dalam kajian bahasa Talfiq merupakan bahasa Arab yang memiliki
arti yaitu menjahit atau menggabungkan. Secara harfiah Talfiq memiliki arti
yaitu, “Menyamakan atau merapatkan dua ujung yang berbeda”. Dalam
istilah fiqih dapat diambil pengertian yaitu; “Tindakan mengambil atau
mengikuti hukum tentang suatu peristiwa dengan mengambilnya dari
38
Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah Cet 1, (Jakarta: Robbani Press,
1999), hlm. 212
39
Muhammad Mutawalli Sha’rawi, Kenikmatan Taubat: Pintu Menuju Kebahagiaan Surga dan
Surga, (Jakarta : Qultum Media, 2006), hlm. 6
berbagai madzab”. Sebagaimana pendapat dari para Fuqaha, talfiq memiliki
pengertian yaitu melakukan sesuatu (aktifitas fiqhiyah) yang tidak
disampaikan oleh satu Mujtahid. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
talfiq merupakan tindakan mengambil satu qodliyah (rangkain) yang
mempunyai dasar kandungan pendapat dua/lebih dari Ulama (Mujtahid),
lalu dalam tahap praktek pelaksanaannya melalui cara yang tak pernah
dipilih dan diakui oleh Mujtahid (Imam Madzhab manapun (dari
keduanya)).40
Konsep talfiq ini muncul dikarenakan kuatnya perasaan taqlid yang
ditanamkan oleh para Ulama’ Madzhab di zaman berkembangnya taqlid
yang mengharamkan seseorang pengikut madzhab tertentu untuk
mengambil pendapat dari madzab lain, sedangkan dalam realitas yang
terjadi zaman selalu dinamis memunculkan masalah baru yang berhubungan
dengan hukum syariat ajaran islam. Talfiq pada haikatnya terdapat dua
kemungkinan seseorang untuk melakukan talfiq, yaitu karena bertujuan
untuk memilih sebuah qaul (pendapat) yang ringan dan meninggalkan qaul
(pendapat) berat yang tidak sesuai dengan kemampuannya. 41 Sebagaimana
pendapat para Ulama tentang perkara memilih yang lebih ringan dan sesuai
dengan kemampuan, tanpa ada niat kesengajaan untuk mengerjakan yang
ringan dalam menjalankan hukum syariat. Artinya, pembebanan hukum
syariat seseorang sesuai dengan kemampuan orang tersebut.

2. Ruang Lingkup Talfiq


Berbincang mengenai kebolehan talfiq memang tidak bisa diperluas
dalam segala bidang. Dikarenakan alasan perluasan tanpa batas dari model
talfiq ini dikhawatirkan menjadi penyebab terlepasnya orang atau kelompok
awam dari syariat, artinya mereka tidak perlu lagi mempertanyakan apapun
hal yang tidak mereka ketahui. Padahal jelas dalam perintah al-Qur’an

40
Muhamad Fadly, “TALFIQ (Teori dan Penerapannya)”. AL-TADABBUR. Vol. 2, No. 1, 2016. Hal.3
41
Rasyida Arsjad, “Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Prespektif Empat Madzab”.
CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman. Vol. 1, No. 1, Juni 2015. Hal. 63
bahwa mewajibkan orang awam bertanya kepada ahlinya jika mendapati
suatu masalah yang tidak diketahuinya.
Dalam ruang lingkup pembingkaian talfiq, setidaknya dapat dilakukan
dari beberapa sudut, diantaranya adalah;42
a. Ijtihad yang dilakukan oleh Mujtahid mu’tabarah saja. Ini bisa
tercapai melalui madzhab empat atau madzhab al-Arba’ah. Demikan nanti
memungkinkan talfiq ini hanya terjadi maksimal pada empat qaul
(pendapat) saja.
b. Masalah yang belum terdapat penjelasan secara shorih oleh nash
baik dalam al-Qur’an maupun Hadits, dan belum di Ijma’ oleh Ulama atas
ketidak bolehan atau ketidaksahannya. Dari sisi ketidaksahannya dan
ketidakbolehannya saja yang dapat diambil, karena sisi sah dan boleh
tidaklah menjadi persoalan debat dalam talfiq, jikalau perbuatan tersebut
dikerjakan.
c. Masalah ijtihadiyah dzanniyah saja. Berpijak dari kenyataan bahwa
medan ijtihad hanya terjadi dalam hal yang dalilnya dzanniyah saja.
d. Masalah yang berkaitan dengan furu’ din (cabang-cabang agama),
bukan ushul (inti-inti agama)

Namun hal tersebut bukan memiliki arti bahwa talfiq diperbolehkan


secara mutlak. Tetapi terdapat beberapa batasan bahwa talfiq itu dilarang
dalam penerapan-penerapannya, diantara lain:43

a. Talfiq yang mengantarkan padal hal yang telah jelas ketetapan


hukumnnya, seperti zina dan khomr.
b. Talfiq yang diambil sebagai tatabu’u rukhas murni, tanpa adanya
catatan.
c. Talfiq yang dapat menyebabkan pada tindakan apological. Syarat
ini berlaku dalam hal mu’amalat.

Adapun simpulan dari ruang lingkup talfiq seperti halnya taqlid, yaitu
hanya terbatas pada permasalahan ijtihad yang bersifat dzhanniyah (yang

42
Ahmad Mujalli, “Diskursus Talfiq: Antara Mudah dan Mengambil yang Mudah-Mudah”.
SYAIKHUNA. Vol. 6, No. 2, Oktober 2015. Hal. 332-333
43
Ibid., Hal. 333
meragukan), sedangkan segala sesuatu yang telah diketahui dan telah jelas
menurut nash al-Qr’an dan agama atau telah disepakati tentang hukumnya
tidaklah termasuk dalam ruang lingkup talfiq.

3. Hukum Talfiq

“Memelihara (nilai-nilai) yang baik, dan mengambil (nilai-nilai)


baru yang lebih baik.”
Seperti yang kita ketahui sebagai sebuah kaidah, spectrum ini
memiliki daya cakupan yang sangat luas dalam mengakomodir berbagai
masalah, pada setiap zaman, tempat, situasi, dan kondisi. Penggalan dari
kaidah tersebut bisa menjadi fundamen sebuah bangunan transformasi yang
luas, tidak hanya dalam cakupan bidang hukum islam (fiqih) saja, tetapi
juga di bidang peradaban, sosial, kultur (budaya), ekonomi, saint dan
teknologi, dst. Hal tersebut senada dengan sebuah hadits yang menyatakan:
ketika Nabi dihadapkan pada dua buah pilihan yang sama-sama benar
berdasarkan dalil secara syar’i, maka Nabi akan memilih dan mengerjakan
hal yang lebih ringan dan mudah. Sebagaimana hadits Aisyah r.a, dan
diriwayatkan oleh Bukhari, yang artinya:44
“Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang
paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut
adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal
tersebut.” (H.R. Bukhari).
Dari uraian tersebutlah menjadikan dasar diperbolehkannya talfiq.
Namun ditegaskan kembali oleh Ulama NU yang berpendapat bahwa talfiq
dapat dilakukan dalam hukum-hukum furu’ (cabang) yang ditetapkan
berdasar dalil zhanniy (keberadaannya belum pasti). Adapun dalam masalah
aqidah dan akhlak, tidak dibenarkan melakukan talfiq.
Menurut Ulama NU tentang syarat batalnya talfiq terdapat dua hal
penyebab dari batalnya talfiq, yaitu (1) praktik amalan yang telah dilakukan

44
Rasyida Arsjad, “Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Prespektif Empat Madzab”.
CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman. Vol. 1, No. 1, Juni 2015. Hal. 66
masih mempunyai efek, sehingga apabila dilakukan pendapat baru, maka
hal itu menimbulkan pencampuradukan amalan (talfiq) yang tidak diakui
imam-imam madzhab yang dianutnya. (2) Talfiq itu dilakukan dalam satu
kasus permasalahan tertentu, bukan pada kasus serupa yang berlainan.
Dalam sudut pandang lain dalam rangkaian pendapat Ulama NU
menyatakan; kalau seandainya bermadzhab adalah wajib dan talfiq dilarang,
maka akan menyebabkan ibadah-ibadah yang dilakukan masyarakat awam
menjadi rusak dan batal. Sebetulnya NU sangatlah elastis dan fleksibel
dalam ber-fiqh, terbukti dengan mengikuti empat madzhab (Hanafi,
Hambali, Maliki, dan Syafi’i) secara formal-teoritis. Selain dari pendapat
diatas, dengan diperbolehkannya talfiq, maka pintu kemudahan telah
terbuka kepada khalayak ramai.45
4. Urgensi Talfiq dalam Kehidupan Bermasyarakat
Secara teoritis, perubahan akan nilai yang berkembang di masyarakat
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor determinan tension (ketegangan
internal), tuntutan moernisasi, demokrasi, perkembangan iptek, kontak
budaya luar, munculnya sikap terbuka, toleransi dan lain-lain. Sehingga
dallam hal ini fiqh mengambil peranan sebagai fungsi sosiologisnya yaitu
sebagai problem solving, dan memberi jawaban atas persoalan yang terjadi
di masyarakat sesuai dengan tuntunan zaman. Sehingga orientasi talfiq
dalam hal ini dapat dirasakan kehadiran manfaat bagi masyarakat (down to
earth), setidaknya memiliki peranan penting sebagaimana berikut:46
a. Hukum ditetapkan berdasarkan kemudahan dan kelapangan, artinya
pembebanan hukum dapat berbeda dengan perbedaan kondisi dari
setiap individu. Hukum-hukum seperti ini adalah hukum yang
termasuk dalam jenis al-ibadah al-mahdhah (ibadah khusus),
dikarenakan dalam masalah ibadah khusus ini memiliki orientasi pada
capaian keputusan dan loyalitas ibadah hamba kepada Allah SWT.
Sehingga dalam ibadah ini faktor kemudahan dan menghindarkan diri
dari kesulitan amatlah diperhatikan.

45
Asa’ari, “Transformasi Pemikiran Fiqh Nahdlatul Ulama”. Jurnal Islamika. Vol. 16, No. 2, 2016.
Hal. 53
46
Ibid., Hal. 50-53
b. Memberikan ingatan penjelas pada sikap kewaspadaan pada kita
ketika mengambil sebuah keputusan, bahwasannya dalam hal
mengindikasikan kemudahan dan kelapangan dalam menjalankan
suatu perintah tidak dibenarkan untuk menerobos hal yang memiliki
dzat keniscayaan yang dilarang (haram) seperti memakan daging babi
dan mengkonsumsi khamr tidak dibenarkan untuk menjalankan talfiq
atau tidak ada toleransi didalamnya.
c. Memiliki corak khusus sebagaimana yaitu untuk mengusung
kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia umpamanya, dalam hal
penikahan, mu’amalah, dan uqubah (pidana).

Akhirnya, oleh sebab itu talfiq diperbolehkan, karena hal muamalah


selalu berkembang seiring dengan perkembangan masa dan tempat. Melalui
segala cara yang dapat menjamin dan mencapai kemaslahatan manusia,
sekaligus menghidarkan diri dari kemudharatan. Hal ini boleh, bahkan
dianjurkan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Secara etimologi, Ijtihad berasal dari kata “ijtahda yajtahidu ijtihaadan”
yang artinya mengerahkan kemampuan dalam menanggung beban.
 Menurut Al-Ghazali, Objek ijtihad adalah setiap hukum syari’at yang
tidak memiliki dalil yang qath’i. Dari pendapatnya itu, diketahui ada
permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad
 Taqlid adalah suatu yang mencerminkan seseorang untuk mengikuti orang
lain, baik dalam perbuatan maupun pendapatnya tanpa mencari tahu
kekuatan dalil-dalilnya.
 ittiba’ ialah pengambilan hukum dengan mengetahui dalil dan alasan-
alasannya dan ia diketahui dengan jalan yang ditunjuki oleh mujtahid.
Ittiba’ ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba’ adalah lawan
taqlid.
 Ittibā’ kepada Rasulullah dalam amal perbuatannya (af’āl) berarti
mengerjakan perbuatan tersebut seperti contoh yang telah dikerjakannya,
disertai keyakinan bahwa amal perbuatan tersebut adalah perbuatan yang
telah dikerjakannya
 Sedangkan ittibā’ dalam turūk adalah meninggalkan berbagai hal yang
ditinggalkan oleh Rasulullah seperti yang telah dicontohkannya, disertai
keyakinan bahwa amal perbuatan tersebut adalah amal yang ditinggalkan
oleh Rasulullah
 Talfiq merupakan tindakan mengambil satu qodliyah (rangkain) yang
mempunyai dasar kandungan pendapat dua/lebih dari Ulama (Mujtahid),
lalu dalam tahap praktek pelaksanaannya melalui cara yang tak pernah
dipilih dan diakui oleh Mujtahid (Imam Madzhab manapun (dari
keduanya))
 talfiq dapat dilakukan dalam hukum-hukum furu’ (cabang) yang
ditetapkan berdasar dalil zhanniy (keberadaannya belum pasti). Adapun
dalam masalah aqidah dan akhlak, tidak dibenarkan melakukan talfiq.
DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dawalibi, Muhammad Ma’ruf. 1959. Al-Madkhal ila Ilm ‘Ushul al Fiqh,


Damaskus : Jami’ah Damaskus
Adlis, Deri. “Ushul Fiqh Ijtihad, Taqlid, Ittiba’.” 2010,
http://deriaadlis.blogspot.com. (19 Oktober 2021)
Al Khudri dalam Rachmat Syafi’i. 2010. Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN,
PTAIS, Bandung: CV Pustaka Setia
al-‘Utsimin, Asy-Syikh al-Allamah Muhammad bin Sholeh. Prinsip Ilmu Ushul
Fiqh
Al-Amidi. 1967. Al-Akhma fi Ushul Al Ahkam, Cairo: Muassasah al-Halabi
al-Bugha, Musthafa Dieb, dan Mistu, Muhyiddin. 2014. Al-Wafi Syarah Hadis
Arba’in Imam An-Nawawi, Jakarta: Qisthi Press.
Al-Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan. 1999. Sirah Nabawiyah Cet 1, Jakarta:
Robbani Press
al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. 2011. Ittiba’ Rasulullah Saw Bagaimana Mengikuti
Nabi Dengan Benar, Jakarta: Akbar media Eka Sarana
al-Hafnawi, Muhammad Ibrahim. 1995. Tabsir An-Nujaba’ bi Haqi qati al-
ijtihad, wa al-taqlid, al-Talfiiq wa al-ifta’, Cairo : Dar al-Hadith
al-Jaza’iri, Syaikh Abu Bakar Jabir. 2009. Terjemahan Minhajul Muslim “Konsep
Hidup Ideal Dalam Islam”, Jakarta:Darul Haq.
an-Nabhani, Taqiyuddin. 2012. Peraturan Hidup dalam Islam, Jakarta: HTI Press
Arsjad, Rasyida. 2015. Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Prespektif Empat
Madzhab, Cendekia : Jurnal Studi Keislaman. Vol 1, No. 1, Juni
Asa’ari. 2016. Transformasi Pemikiran Fiqh Nahdlatul Ulama, Jurnal Islamika,
Vol 16, No.
Aziz, Azhar. “Persoalan Tentang Ijtihad, Ittiba, Taqlid,” 2010
http://azharazizblog.blogspot.com. (l9 Oktober 2021)
Fadly, Muhammad. 2016. TALFIQ (Teori dan Penerapannya). Al-Tadabbur. Vol
2, No. 1.
Ibn ‘ibn Ali al-Jurjani, Ali Ibn Muhammad. at-Ta’rifat. Al-Maktabah Syamila
Jalil, Basiq. 2010. Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta : Kencana.
Majma’ al-Lughah al-’Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasīth, ed. Ibrāhīm Madkūr,
(Istanbul: al-Maktabah al-Islāmiyyah ed. Ibrāhīm Madkūr, Istanbul: al-
Maktabah al-Islāmiyyah, 1972.
Manzhur, Ibnu. Lisanul Arab, Beirut :Dār, al-shadīr jilid iv
Mardani. 2013. Ushul Fiqh, Jakarta : Raja Wali Press
Maya, Rahendra. (2017). “Konsep Al-Ittiba’ Dalam Perspektif Al-Qur’an dan
Hadist”, Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, hlm. 18
Muhammad, Yahya. 2000. Ijtihad wa al-Taqlid wa al-ittiba’ wa Al-Nazar, cet 1
Bayrut: Muassasah Intisyar Al-Arab.
Mujali, Ahmad. 2015. Diskursus Talfiq : Antara Mudah dan Mengambil yang
Mudah-Mudah, Syaikhuna. Vol 6, No. 2, Oktober
Pengertian Ijtihad https://belajar-fiqih.blogspot.com/2015/11/pengertian-ijtihad-
menurut-bahasa-dan.html. diakses pada Selasa, 19 Oktober 2021, 09.00
WIB
Sha’rawi, Muhammad Mutawalli. 2006. Kenikmatan Taubat: Pintu Menuju
Kebahagiaan Surga dan Surga, Jakarta : Qultum Media
Syafi’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih: untuk UIN, STAIN, PTAIS, CV,
Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana
Taimiyah, Ibnu. 2002. Majmu Fatawa Cet. 4, Jakarta : Pustaka Azam,
Yazid, Abu. (2012). “Mendialogkan Dimensi Keilmuan Ushul Fiqh”, Jurnal At-
Ta’dib, Vol. 7, No. 1, Juni
Yumni, Auffah. (2019). “Urgensi Ushul Fiqh Bagi Permasalahan Fiqh Yang
Dinamis”, Jurnal Nizhamiyah, Vol. IX, No. 2 Juli-Desember
Zaydan, Abd al-Karim. 1998. al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, Beirut : al-Mu’assasah al-
Risalah
Zuhaily, Wahbah. 2001. Usul-al-Fiqh al-Islami, Damaskus : Dar al-Fikr, 1986 II,
1052. Dan Lihat, Sjechul Hadi Permono, Dinamisasi Hukum Islam Dalam
Menjawab Tantangan Era Globalisasi, Demak : Demak Press

Anda mungkin juga menyukai