Anda di halaman 1dari 19

IJTIHAD DALAM HUKUM ISLAM

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Perkuliahan


Mata Kuliah Fiqhi
Ahwal al-Syakhsiyah
Semester III

Oleh :

AFRIANI

RISKA LEONY

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AS’ADIYAH

SENGKANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat dan hidayahnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Ijtihad
dalam Hukum Islam ". Pada makalah ini Penulis banyak mengambil dari berbagai sumber dan
refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak. oleh sebab itu, dalam kesempatan ini Penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan
makalah ini.

Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…

Sengkang, 05 Desember 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1


A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah........................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3-14


A. Definisi Ijtihad ................................................................................ 3
B. Dasar Hukum dan Kehujjaan Ijtihad ............................................. 4
C. Syarat Mujtahid .............................................................................. 6
D. Pembagian Ijtihad ........................................................................... 11
E. Tingkatan Ijtihad ............................................................................. 13
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 15
A. Kesimpulan ..................................................................................... 15
B. Saran ............................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, kita tahu bahwa hukum Islam adalah sistem hukum yang
bersumber dari wahyu agama, sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep

yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa.

Seperti lazim diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih
tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam pengertian

biasa hanya menyangkut soal keduniaan semata. Sedangkan Joseph Schacht

mengartikan hukum Islam sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur

kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspek menyangkut penyembahan dan

ritual, politik dan hukum.

Pada umumnya sumber hukum islam ada dua, yaitu: Al-Qur’an dan Hadist,

namun ada juga yang disebut Ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga berfungsi

untuk menetapkan suatu hukum yang tidak secara jelas ditetapkan dalam Al-Qur’an

maupun Hadist. Namun demikian, tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan

Al-Quran dan Hadist.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah penulis singgung di atas maka dapat diperinci
rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Apa definisi Ijtihad?

2. Apa dasar hukum dan kehujjaan Ijtihad?

3. Apa syarat Mujtahid?

4. Apa pembagian Ijtihad?

5. Bagaimana tingkatan Ijtihad?

1
2

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi Ijtihad

2. Untuk mengetahui dasar hukum dan kehujjaan Ijtihad

3. Untuk mengetahui syarat Mujtahid

4. Untuk mengetahui pembagian Ijtihad

5. Untuk mengetahui tingkatan Ijtihad


3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Ijtihad

Ijtihad dilihat dari kata masdar dari fiil madhi yaitu “ijtihada”, penambahan
hamzah dan ta’ pada kata “jahada” menjadi “ijtihada” pada wazan ifta’ala, berarti

usaha untuk lebih sungguh-sungguh. Seperti halnya “kasaba” menjadi “iktasaba”

berati usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh. Dengan demikian “ijtihada” berarti
usaha keras atau pengerahan daya upaya. Ijtihad dalam pengertian lain yaitu

berusaha memaksimalkan daya dan upaya yang dimilikinya.1 Dengan demikian,

ijtihad bisa digunakan sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang

menyangkut tentang hukum Islam.

Tetapi pengertian ijtihad dapat dilihat dari dua segi baik etimologi maupun

terminologi. Dalam hal ini memiliki konteks yang berbeda. Ijtihad secara etimologi

memiliki pengertian: “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu

yang sulit”. Sedangkan secara terminologi adalah “penelitian dan pemikiran untuk

mendapatkan sesuatu yang terdekat pada kitabullah (syara) dan sunnah rasul atau

yang lainnya untuk memperoleh nash yang ma’qu; agar maksud dan tujuan umum

dari hikmah syariah yang terkenal dengan maslahat.

Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata “al-faqih” dalam definisi tersebut


sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih atas semua

kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa penambahan

faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan oleh

orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.

Pengertian lain bahwa ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu

hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah Saw. Hingga dalam
perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masamasa
4

selanjutnya sampai sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang

kita kenal dengan masa taklid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode

tertentu (kebangkitan atau pembaruan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak

dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan

yang semakin kompleks.

Ijtihad mempuyai arti umum, yaitu sebagai kekuatan atau kemampuan

dalam mencentuskan ide-ide yang bagus demi kemaslahatan umat. Ada beberapa

pendapat bahwa ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli

fikih atau mujtahid untuk memeroleh pengertian terhadap hukum syara (hukum

Islam).

B. Dasar Hukum dan Kehujjaan Ijtihad

Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode penggali sumber hukum.

Dasar -dasar ijtihad atau dasar hukum ijtihad ialah al-Qur’ an dan sunnah. Di dalam
ayat yang menjadi dasar dalam ber-ijtihad sebagai firman Allah Swt dalam QS. al-

Nisa’:105 sebagai berikut:


ِ َ‫ّٰللاُ َۗو ََل تَكُ ْن ِل ْلخ َۤاىنِيْنَ خ‬
ۙ ‫ص ْي ًما‬ ‫ىك ه‬ َ ‫اس ِب َما ٓ اَ ٰر‬ ِ ‫ب بِ ْال َح‬
ِ َّ‫ق ِلت َْحكُ َم بَيْنَ الن‬ َ ‫اِنَّا ٓ اَ ْنزَ ْلنَا ٓ اِلَي َْك ْال ِك ٰت‬
١٠٥
Terjemahnya
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu
(Nabi Muhammad) dengan hak agar kamu memutuskan (perkara) di antara
manusia dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu. Janganlah engkau
menjadi penentang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) para
pengkhianat”
Ayat ini diturunkan terkait dengan kasus pencurian yang dilakukan oleh

Tu‘mah. Dia menyembunyikan barang curiannya di rumah seorang Yahudi dan

menuduh orang itulah yang telah mencurinya. Ketika kerabat-kerabat Tu‘mah


meminta agar Nabi Muhammad saw. membela Tu‘mah dan menghukum orang

Yahudi itu, Nabi Muhammad saw. hampir terpengaruh, tetapi Allah Swt.

menurunkan ayat ini dan melarangnya untuk membela pengkhianat.


5

Demikian juga dijelaskan dalan QS. al-Rum: 21:


‫َو ِم ْن ٰا ٰي ِت ٓه اَ ْن َخ َلقَ َلكُ ْم ِم ْن اَ ْنفُ ِسكُ ْم اَ ْز َوا ًجا ِلتَ ْسكُنُ ْٓوا اِلَ ْي َها َو َج َع َل َب ْينَكُ ْم َّم َو َّدةً َّو َر ْح َمةً ۗا َِّن‬
٢١ َ‫ت ِلقَ ْو ٍم يَّتَفَ َّك ُر ْون‬ ٍ ‫ِف ْي ٰذ ِل َك َ َٰل ٰي‬
Terjemahnya
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa
tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Adapun fungsi ijtihad, di antaranya: 1) fungsi al-ruju’ (kembali):

mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada al-Qur’an dan sunnah dari segala


interpretasi yang kurang relevan, 2) fungsi al-ihya (kehidupan): menghidupkan

kembali bagian-bagian dari nilai dan Islam semangat agar mampu menjawab

tantangan zaman, 3) fungsi al-inabah (pembenahan): memenuhi ajaran-ajaran Islam


yang telah di-ijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan

menurut konteks zaman dan kondisi yang dihadapi.

Begitu pentingnya melakukan ijtihad sehingga jumhur ulama menunjuk

ijtihad menjadi hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan firman Allah Swt

dalam QS. An-Nisa’: 59:


َ ْ ‫الرسُ ْو َل َواُو ِلى‬
‫اَل ْم ِر ِم ْن ُك ْۚ ْم َفا ِْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِ ْي‬ َّ ‫ّٰللا َواَ ِط ْيعُوا‬ َ ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا ه‬
‫اَل ِخ ۗ ِر ٰذ ِل َك َخي ٌْر َّواَ ْح َس ُن‬ ٰ ْ ‫اّٰلل َو ْاليَ ْو ِم‬
ِ ‫الرسُ ْو ِل ا ِْن كُ ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُ ْونَ ِب ه‬ ِ ‫َيءٍ فَ ُرد ُّْوهُ اِلَى ه‬
َّ ‫ّٰللا َو‬ ْ ‫ش‬
٥٩ ࣖ ‫تَأْ ِوي ًًْل‬

Terjemahannya
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi
Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-
Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari
Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di
dunia dan di akhirat)”
6

Perintah untuk mengembalikan masalah kepada al-Qur’an dan sunnah

ketika terjadi perselisihan hukum ialah dengan penelitian saksama terhadap

masalah yang nash-nya tidak tegas. Demikian juga sabda Nabi Saw:

Artinya: “Jika seorang hakim bergegas memutus perkara tentu ia melakukan

ijtihad dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua pahala.Jika ia

bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan ternyata hasilnya salah ,

maka ia mendapat satu pahala” (HR. Asy-Syafi’i dari Amr bin ‘Ash).

Hadis ini bukan hanya memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga

menunjukkan kepada kita bahwa perbedaan-perbedaan pendapat hasil ijtihad bisa

dilakukan secara individual (ijtihad fardi) yang hasil rumusan hukumnya tentu

relatif terhadap tingkat kebenaran.

C. Syarat-Syarat Mujtahid

Para ulama berbeda pendapat dalam menetukan syarat yang harus dimiliki
oleh seorang mujtahid. Mujtahid adalah orang yang mampu melakukan ijtihad

melalui cara istinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tatbiq

(penerapan hukum). Di samping akan menyebutkan syarat bagi seorang mujtahid


terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang rukun ijtihad tersebut, adapun rukun

ijtihad sebagai berikut: 1) al-Waqi’ yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga

akan terjadi tidak diterangkan oleh nash, 2) mujtahid ialah orang yang melakukan

ijtihad dan mempunyai kemampuan untuk ber-ijtihad dengan syarat-syarat tertentu,

3) mujtahid fill ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi), dan 4)

dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fill.

Dalam menentukan syarat-syarat seorang mujtahid terdapat banyak

perbedaan atau pendapat dari beberapa pemikir Islam di antaranya, Abu Hamid

Muhammad Bin Muhammad al-Ghazali. Menurutnya, syarat-syarat bagi seorang


mujtahid harus mempunyai kriteria: pertama, mengetahui syariat serta hal-hal yang
7

berkaitan dengannya. Kedua, adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak

keadilannya.

Menurut Fakhr al-Din Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Rozi, syarat-

syaratnya sebagai berikut: 1) mukallaf, 2) mengetahui makna-makna lafaz dan

rahasia, 3) mengetahui keadaan mukhattab yang merupakan sebab pertama

terjadinya perintah atau larangan, 4) mengetahui keadaan lafaz, apakah memiliki

qarinah atau tidak. Adapun syarat-syarat yang telah disepakati adalah:

1. Mengetahui al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer sebagai fondasi dasar hukum

Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara

mendalam. Barangsiapa yang tidak mengerti al-Qur’an sudah tentu ia tidak

mengerti syariat Islam secara utuh. Mengerti al-Qur’an tidak cukup dengan piawai

membaca, tetapi juga bisa melihat bagaimana al-Qur’an memberi cakupan terhadap
ayat-ayat hukum. Misalnya alGhazali memberi syarat seorang mujtahid harus tahu

ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar 500 ayat.

2. Mengetahui Asbab al-Nuzul


Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat

mengetahui al-Qur’an secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks tetapi

juga akan mengetahui secara sosial-psikologis. Sebab dengan mengetahui sebab-

sebab turunnya ayat akan memberi analisis yang komprehensif untuk memahami

maksud diturunkannya teks Qur’an tersebut kepada manusia.

Imam as-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqat, mengatakan bahwa

mengetahui sebab turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang hendak

memahami al-Qur’an. Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda pengertiannya

menurut perbedaan keadaan. Kedua, tidak mengetahui sebab turunnya ayat bisa
8

menyeret dalam keraguan dan kesulitan dan juga bisa membawa pada pemahaman

global terhadap nash yang bersifat lahir sehingga sering menimbulkan perselisihan.

3. Mengetahui Nasikh dan Mansukh

Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai

berdalih menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah di-nasikh-

kan dan tidak bisa dipergunakan untuk dalil.

4. Mengetahui As-Sunnah

Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang

dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang

diriwayatkan dari Nabi Saw.

5. Mengetahui Ilmu Diroyah Hadis

Ilmu diroyah menurut al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan

memisahkan hadis yang sahih dari yang rusak dan hadis yang bisa diterima dari
hadis yang ditolak. Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadis dan

ilmunya, mengenai ilmu tentang para perawi hadis, syarat-syarat diterima atau

sebab-sebab ditolaknya suatu hadis, tingkatan kata dalam menetapkan adil dan
cacatnya seorang perawi hadis dan hal-hal yang tercakup dalam ilmu hadis.

Kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam menggunakan hadis sebagai

dasar hukum.

6. Mengetahui Hadis yang Nasikh dan Mansukh

Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang

mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus

hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti hadis yang membolehkan nikah

mut’ah di mana hadis tersebut sudah di-nasikh secara pasti oleh hadis-hadis lain.

7. Mengetahui Asbab Al-Wurud Hadis


9

Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai asbab

al-nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi dan lokus hadis tersebut muncul.

8. Mengetahui Bahasa Arab

Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar

penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam karena teks otoritatif Islam

menggunakan bahasa Arab.

9. Mengetahui Tempat-Tempat Ijma

Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah

disepakati oleh para ulama sehingga tidak terjerumus dalam memberikan fatwa

yang bertentangan dengan hasil ijma. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash

dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash tersebut. Namun

menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa bertentangan dengan ijma para ulama

selama hasil ijtihad-nya membawa maslahat bagi umat.


10. Mengetahui Ushul Fiqh

Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu ushul fiqh,

yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha utuk meletakkan kaidah-
kaidah dan cara untuk mengambil istinbat hukum dari nash dan mencocokkan cara

pengambilan hukum yang tidak ada nash hukumnya. Dalam ushul fiqh, mujtahid

juga dituntut untuk memahami qiyas sebagai modal pengambilan ketetapan hukum.

11. Mengetahui Maksud dan Tujuan Syariah

Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan memelihara

kepentingan manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan dalam tiga tingkatan

maslahat, yakni dlaruriyyat (apabila dilanggar akan mengancam jiwa, agama, harta,

akal dan keturunan), hajiyyat (kelapangan hidup, misal memberi rukshah dalam

kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang terdiri dari kebiasaan dan akhlak yang
baik).
10

12. Mengenal Manusia dan Kehidupan Sekitarnya

Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zaman, masyarakat,

problem, aliran ideologi, politik dan agamanya serta mengenal sejauh mana

interaksi saling memengaruhi antara masyarakat tersebut.

13. Bersifat Adil dan Takwa

Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh

mujtahid benar-benar proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan

politik dalam istinbat hukumnya.

Adapun ketentuan-ketentuan yang masih dipersilihkan adalah mengetahui

ilmu ushuluddin, ilmu mantiq dan mengetahui cabang-cabang fikih.4 Maka dari itu

menurut Muhaimin, dengan menyesuaikan syaratsyarat yang dimilikinya dibagi

menjadi dua tingkatan: tingkatan mujtahid mutlak dan tingkatan mujtahid mazhab.

Mujtahid mutlak ialah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dan
sumbernya serta mampu menerapkan dasar pokok sebagai landasan dari ijtihad-

nya. Mujtahid mutlak dibagi menjadi dua: pertama, mujtahid mutlak mustaqil,

yakni mujtahid yang dalam ijtihad-nya menggunakan metode dan dasardasar yang
ia susun sendiri. Kedua, mujtahid mutlak muntsib, yaitu mujtahid yang telah

mencapai derajat mutlak mustaqil tetapi ia tidak menyususn metode tersendiri

mengenai hukum-hukum agama.

Sedangkan mujtahid mazhab ialah mujtahid yang mampu mengeluakan

hukum yang tidak atau belum dikeluarkan oleh mazhabnya dengan cara

menggunakan metode yang telah disusun oleh mazhabnya. Mujtahid ini terbagi

menjadi dua, yaitu mujtahid takhrij atau biasa disebut mujtahid ashabul wujud dan

mujtahid tarjih atau mujtahid fatwa.

D. Pembagian Ijtihad
1. Ijma’
11

Ijmak atau Ijma' (Arab: ‫ )إجماع‬adalah kesepakatan para ulama dalam

menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-

Qur'an dan Hadis dalam suatu perkara yang terjadi.

Secara etimologi ijma’ mengandung dua arti, yang pertama memiliki arti

kesepakatan atau consensus. Seperti perkataan seseorang: yang berarti kaum itu

telah sepakat tentang yang demikian itu. Arti kedua dengan arti ketetapan hati untuk

melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Kata ijma secara bahasa berarti”

kebetulan tekad terhadap suatu persoalam” atau “kesepakatan tentang suatu

masalah” Menurut istilah ushul fiqih seperti yang di kemukakan oleh abdul karim

zaidan kesepakatan para mujtahid dari kelapangan umat islam tentang hukum syara

pada suatu masa setelah rasullah wafat.

2. Qiyas

Qiyas (Arab: ‫قياس‬, translit. qiyās, har. 'menggabungkan atau menyamakan')


adalah penetapan suatu hukum dan perkara baru yang belum ada pada masa

sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai

aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijmak dan
Kias sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan

pada masa-masa sebelumnya. Beberapa definisi qiyas :

a. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan

titik persamaan di antara keduanya.

b. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu

persamaan di antaranya.

c. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-

Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab

(iladh).
12

d. Menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yg belum di terangkan oleh

al-qur'an dan hadits.


3. Istihsan

Beberapa definisi Istihsân:

a. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia

merasa hal itu adalah benar.


b. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan

olehnya

c. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang

banyak.

d. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.

e. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang

ada sebelumnya..

4. Maslahah Mursalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskahnya dengan


pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan

menghindari kemudharatan.

5. Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau

haram demi kepentingan umat.

6. Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan

yang bisa mengubahnya, contohnya apabila ada pertanyaan bolehkah seorang

perempuan menikah lagi apabila yang bersangkutan ditinggal suaminya bekerja di

perantauan dan tidak jelas kabarnya? maka dalam hal ini yang berlaku adalah

keadaan semula bahwa perempuan tersebut statusnya adalah istri orang sehingga
13

tidak boleh menikah(lagi) kecuali sudah jelas kematian suaminya atau jelas

perceraian keduanya

7. Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan

kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan

aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

E. Tingkatan Ijtihad

1. Ijtihad Mutlaq

Ijtihad Muthlaq adalah kegiatan seorang mujtahid[4] yang bersifat mandiri

dalam berijtihad dan menemukan sebab-sebab hukum dan ketentuan hukumnya dari

teks Al-Qur'an dan sunnah, dengan menggunakan rumusan kaidah-kaidah dan

tujuan-tujuan syara', serta setelah lebih dahulu mendalami persoalan hukum,

dengan bantuan disiplin-disiplin ilmu.


2. Ijtihad fi al-Madzhab

Seorang ulama berijtihad mengenai hukum syara', dengan menggunakan

metode istinbath hukum yang telah dirumuskan oleh imam mazhab, baik yang
berkaitan dengan masalah-masalah hukum syara' yang tidak terdapat dalam kitab

imam mazhabnya, meneliti pendapat paling kuat yang terdapat di dalam mazhab

tersebut, maupun untuk memberikan fatwa hukum yang disesuaikan kepada

masyarakatnya. Secara lebih sempit, ijtihad tingkat ini dikelompokkan menjadi 3

tingkatan.

a. Ijtihad at-Takhrij, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid

dalam mazhab tertentu untuk melahirkan hukum syara' yang tidak terdapat

dalam kumpulan hasil ijtihad imam mazhabnya, dengan berpegang kepada

kaidah-kaidah atau rumusan-rumusan hukum imam mazhabnya. Pada


tingkatan ini kegiatan ijtihad terbatas hanya pada masalah-masalah yang belum
14

pernah difatwakan imam mazhabnya, ataupun yang belum pernah difatwakan

oleh murid-murid imam mazhabnya.

b. Ijtihad at-Tarjih, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan untuk memilah pendapat

yang dipandang lebih kuat di antara pendapat-pendapat imam mazhabnya, atau

antara pendapat imam dan pendapat murid-murid imam mazhab, atau antara

pendapat imam mazhabnya dan pendapat imam mazhab lainnya. Kegiatan

ulama pada tingkatan ini hanya melakukan pemilahan pendapat, dan tidak

melakukan istinbath hukum syara'

c. Ijtihad al-Futya, yaitu kegiatan ijtihad dalam bentuk menguasai seluk-beluk

pendapatpendapat hukum imam mazhab dan ulama mazhab yang dianutnya,

dan memfatwakan pendapat-pendapat terebut kepada masyarakat. Kegiatan

yang dilakukan ulama pada tingkatan ini terbatas hanya pada memfatwakan

pendapat-pendapat hukum mazhab yang dianutnya, dan sama sekali tidak


melakukan istinbath hukum dan tidak pula memilah pendapat yang ada di

dalamnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ijtihad mempuyai arti umum, yaitu sebagai kekuatan atau kemampuan


dalam mencentuskan ide-ide yang bagus demi kemaslahatan umat. Ada beberapa

pendapat bahwa ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli

fikih atau mujtahid untuk memeroleh pengertian terhadap hukum syara (hukum
Islam).

B. Saran

Demikian makalah ijtihad dalam mata kuliah yang tentunya masih jauh dari

kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh

pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun

demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kami semoga dapat dijadikan suatu

ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.

15
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syarqawi, Abdurrahman, Riwayat sembilan Imam Fikih, Jakarta: Pustaka
Hidayah, t.t. Basyir, Ahmad Azhar, dkk. Ijtihad dalam Sorotan, Bandung:
Penerbit Mizan, 1988. Hakim, Atang Abd., Metodologi Studi Islam, Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 1999. Mukti, Ali, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad
Abduh, Ahmad Dakhlan dan Muhammad Iqbal, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990.
Qardawi, Yusuf, Ijtihad dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987.
Ramadan, Said, Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam, terj. Badri Saleh,
Jakarta: Firdaus, 1991. Syafe’i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: PT.
PustakaSetia, 1999.
Zuhri, Moh, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: PT. Dina Utama, 1994

16

Anda mungkin juga menyukai