Anda di halaman 1dari 13

TUGAS KELOMPOK

MAKALAH IJTIHAD

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Pendidikan Agama
Dosen Pengampu : MUDZAKIR S.Ag., M.Pd.I

Disusun Oleh :
Fajar Saepullah 191011202369
Budiono 191011201650

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
nikmat dan karuniaNya yang begitu luar biasa kepada hamba –
hambanya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah Ijtihad ini
tepat pada waktunya.
Makalah ini tentunya tidak dapat selesai tepat pada waktunya tanpa ada
dukungan dari pihak – pihak lain yang senantiasa memberikan masukan
dan arahan demi terselesaikannya makalah ini dengan baik. Oleh karena
itu ucapan terimakasih saya kepada Bapak MUDZAKIR S.Ag., M.Pd.I
selaku dosen mata kuliah Pendidikan Agama yang telah memberikan
bimbingannya.
Terlepas dari itu semua, tentunya makalah ini masih banyak kekurangan
yang harus diperbaiki, sehingga saran dan kritik sangat saya harapkan
demi kesempurnaan tugas-tugas saya selanjutnya dikemudian hari. Akhir
kata, semoga makalah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi dunia
pendidikan, serta tambahan wawasan bagi pembacanya.

Tangerang, 1 Desember 2019


Penulis

Pendidikan Agama Islam 1


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................. 1

DAFTAR ISI ........................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 3

A. LATAR BELAKANG .......................................................................... 3

BAB II ISI MAKALAH ............................................................................ 4

A. RUANG LINGKUP IJTIHAD ............................................................. 4


B. DASAR IJTIHAD ............................................................................... 5
C. PEMBAGIAN IJTIHAD ...................................................................... 6
D. SYARAT IJTIHAD ............................................................................. 6
E. URGENSI IJTIHAD ........................................................................... 7
F. FUNGSI IJTIHAD ............................................................................. 8
G. JENIS-JENIS IJTIHAD .................................................................... 8
H. TINGKATAN-TINGKATAN IJTIHAD ................................................. 9

BAB III PENUTUP ................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 11

Pendidikan Agama Islam 2


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Secara etimologis, ijtihad berarti bekerja-keras, bersungguh-
sungguh, atau mencurahkan segala kemampuan sampai pada batas yang
maksimal. Secara teknis, ijtihad meliputi tiga dimensi pengertian.
Pengertian menurut kata kerja, menurut kata benda, dan menurut kata
sifat. Pertama, pengertian menurut kata kerja, ijtihad adalah “mencurahan
kemampuan maksimal oleh seorang ahli hukum (faqih) untuk meng-
istinbath-kan ketentuan-ketentuan hukum syara’ yang rinci dari dalil-
dalilnya,” yakni menyangkut perbuatan manusia dengan manusia lain dan
alam (muamalat). Kedua, pengertian menurut kata benda, ijtihad adalah
hasil kerja intelektual seorang ahli hukum dalam menyimpulkan ketentuan-
ketentuan hukum. Pengertian menurut kata sifat, ijtihad adalah kata yang
menunjukkan sifat seorang mujtahid, yaitu “kecakapan yang dengannya
seorang ahli hukum mampu menyimpulkan suatu ketentuan hukum syara’
dari dalil-dalilnya. Dilihat dari asal katanya, ijtihad berasal dari kata “al
jahdu” dan “al juhdu” yang berarti “daya upaya” dan “usaha keras”,
adapun definisi Ijtihad menurut istilah mempunyai dua pengertian: arti luas
dan arti sempit, ijtihad dalam arti luas tidak hanya mencakup pada bidang
fiqh saja, akan tetapi juga masuk ke aspek-aspek kajian islam yang lain,
seperti tasawuf dan aqidah. Sementara itu Abu Zahra Ia mengatakan:

‫بذل الفقيه وسعُه في استنباط االحكام العملية من ادلتها التفصلية‬.


Artinya: “Mengerahkan segala kemampuan bagi seorang ahli fikih dalam
melakukan istinbat hukum yang bersifat amali dari dalil-dalil yang
terperinci”.

Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek dan
target capaian ijtihad adalah :
1. Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqh, bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i bidang amali
(furu’iyah) yaitu hukum yang berhubungan dengan tingkah laku
orang mukallaf.
3. Hukum syar’i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah
dhanni.

Pendidikan Agama Islam 3


BAB II

ISI MAKALAH

A. RUANG LINGKUP IJTIHAD

Secara lebih jelas, Wahbah Al-Zuhaili[13] menjelaskan lapangan


ijtihad itu ada dua. Pertama, sesuatu yang tidak dijelaskan sama sekali
oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah
(ma la nasha fi ashlain). Kedua sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil
zhanni al-tsubut wa al-dalalah atau salah satunya (zhanni al-tsubut atau
zhanni al-dalalah).[14]
Selama ada dalil yang pasti maka dalil itu tidak bisa dijadikan obyek
ijtihad, atas dasar ayat-ayat hukum tadi telah benar menunjukkan arti yang
jelas dan tidak mengandung ta’wil yang harus diterapkan untuk ayat-ayat
itu. Contoh masalah yang sudah ada hukumnya dalam nash:

‫جلدة ماة واحد كل فاجلدوا والزاني الزانية‬


Artinya:
perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
masing-masing seratus kali dera. (QS.An-Nuur: 22).
Contoh diatas sudah jelas, bahwa baik laki-laki maupun perempuan yang
berzina, masing-masing didera seratus kali, hukum ini sudah jelas
sehingga tidak perlu diijtihadi.
Sedangkan contoh masalah yang membutuhkan ijtiihad adalah:

‫واتوالزكوة الصلوة اقيمو‬


Artinya :
Dan lakukanlah sholat, tunaikanlah zakat… (QS.Al-Baqarah:43).
Dalam contoh ini memang sudah jelas bahwa umat manusia
diperintahkan untuk melaksanakan sholat dan zakat, namun bagaimana
cara melakukannya belum diterangkan dalam ayat tersebut, jadi masih
perlu diijtahadi, contohnya berapa ukuran zakat padi, zakat perdagangan,
zakat profesi, dan seterusnya.

Sedangkan KH. Ibrahim Husen memberikan ruang lingkup atau medan


ijtihad pada 4 macam:
A. Masalah – masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash
Al-Qur‟an dan hadist secara jelas.
B. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum di ijma‟i oleh ulama.
C. Nash-nash dhany dan dalil-dalil hukum yang di perselisihkan.
D. Hukum Islam yang kausalitas hukumnya dapat di ketahui mujtahid.

Pendidikan Agama Islam 4


B. DASAR IJTIHAD

Ijtihad sebagai salah satu sumber hukum dari sumber-sumber


hukum syari’ah merupakan sebuah pernyataan yang didasarkan pada
dalil-dalil yang menunjukan kevalidannya, baik dalil yang bersifat isyarat
ataupun jelas eksplisit. Diantara dalil-dalil yang menunjukan hal tersebut,
didasarkan pada dalil naqli al-Qur’an, diantaranya Allah berfirman,

[Kemudian firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Kitab


kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara
manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.”

Ayat ini menjustifikasi eksistensi ijtihad dengan cara qiyas. Kemudian


firman-Nya, “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” Dan “Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum
yang berakal.” Juga “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memperhatikan tanda-
tanda.”

Istilah berpikir dan berakal adalah sebuah aktifitas yang menggunakan


logika dengan penekanan yang ditunjukan ayat ini, yakni berpikir tanpa
mendahului al-Qur’an dan al-Sunnah.

Kemudian firman Ta’ala, “Maka ambillah pelajaran oleh kalian wahai


orang-orang yang mempunyai pandangan.

Menurut al-Amidi, ayat ini pun menjadi landasan hukum adanya ijtihad,
dimana ayat ini menyatakan perintah untuk mengambil pelajaran atas hal
yang bersifat umum bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan.

Selanjutnya firman Allah,“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam


urusan itu” Dimana ayat ini menjelaskan bahwa adanya musyawarah
berarti menunjukan penghukuman atas dasar ijtihad, bukan atas dasar
penghukuman wahyu.

Diantaranya pula yang berdasarkan hadits Rasulullah SAW. yang


diriwayatkan dari Amr ibn al-’Āsh :

“...Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia


mendapatkan dua pahala. Dan jika ia salah, ia mendapatkan satu pahala.”

Pendidikan Agama Islam 5


C. PEMBAGIAN IJTIHAD

1. Ijtihadbayānī, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’


dari nash-nash syāri’ (Al-Qur’an dan al-sunnah). Ijtihad ini untuk
menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya
zhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya.
Lapangan ijtihad bayani ini hanya dalam batas pemahaman terhadap
nash dan menguatkan salah satu diantara beberapa pemahaman yang
berbeda.

2. ijtihad Qiyāsī, yang artinya ijtihad yang dilakukan untuk menggali dan
menemukan hukum terhadap permasalahan atau suatu kejadian yang
tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash – baik qath’i
ataupun zhanni - juga tidak ada ijma’ yang telah menetapkan
hukumnya. Ijtihad dalam hal ini untuk menetapkan hukum suatu
kejadian dengan merujuk pada kejadian yang telah ada hukumnya,
karena antara dua peristiwa itu ada kesamaan dalam ‘illat hukumnya,
atau biasa disebut Qiyas.

3. ijtihad Istishlāhī, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menggali,


menemukan, dan merumuskan hukum syar’i dengan cara menetapkan
kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat
dalam nash –baik qath’imaupun zhanni-, dan tidak memungkinkan
mencari kaitannya dengan nash yang ada, juga belum diputuskan
dalam ijma’. Dasar pegangan dalam ijtihad macam ketiga ini hanyalah
jiwa hukum syara’ yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan
umat, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat ataupun
menghindarkan madharat.

D. SYARAT IJTIHAD

1. Al-Syurūth al-’Āmmah (syarat-syarat umum)


Yang termasuk persyaratan yang pertama, yaitu (1) seorang
mujtahid mesti seorang muslim bertauhid, yakni mengetahui dan
meyakini keberadaan Allah, sifat-sifat-Nya, kesempurnaan-Nya.
Kemudian jua membenarkan Rasul SAW., dan apa yang dibawa
berupa syari’at, sehingga seorang mujtahid menjadikan hal itu menjadi
rujukan utamanya. Kemudian (2) sorang mujtahid adalah seorang yang
baligh, karena jika masih kecil tidak memenuhi syarat ilmu dalam
mengetahui fiqih dari berbagai aspeknya. Yang (3) seorang mujtahid
adalah orang yang berakal, karena tanpa akal tidak akan mendapat
ilmu, pemahaman, dan lainnya. Sedang yang ke (4) adalah mujtahid
mesti seorang yang faqīh al-nafs, yaitu orang yang mempunyai
kemampuan dalam menyimpulkan hukum-hukum fiqih dari dalil-
dalilnya.

Pendidikan Agama Islam 6


2. Al-syurūth al-khāshshah atau al-syurūth al-tahlīliyyah (syarat-
syarat khusus atau terperinci)
Syarat ini adalah syarat yang dilihat dari keahlian, sebagaimana
yang dijelaskan Yusuf al-Qarādhawī, bahwa syarat- tersebut adalah
sebagai berikut.
1. mengetahui dan menguasai arti ayat-ayat al-Qur’an, khususnya
tentang ayat-ayat hukum, baik menurut bahasa maupun syari’ah.
2. mengetahui dan menguasai hadits-hadits nabi SAW., khususnya
hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum, baik menurut bahasa
maupun syari’ah.
3. mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan
dengan bahasa, serta berbagai problematikanya.
4. mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’
‘Ulama, sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’.
5. mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad.
6. mengetahui maqāshid al-syarī’ah secara umum..
7. mengetahui kondisi masyarakat dan kehidupan atau lingkungan.
8. mempunyai jiwa adil dan taqwa.

3. Al-Syurūth al-Takmīliyyah (syarat-syarat penyempurna)


Diantara syarat penyempurna ini adalah sebagai berikut:
mengetahui peniadaan yang mendasar, yaitu seorang mujtahid
mengetahui bahwa yang mendasar itu adalah meniadakan bahwa ia
tidak berhukum kecuali apa yang telah digariskan oleh syara’, tidak
ada kewajiban kecuali apa yang diwajibkan oleh syara’, tidak ada yang
dilarang kecuali apa yang dilarang oleh dalil. Imam al-Ghazali
mengibaratkannya kepada dalil akal.

E. URGENSI IJTIHAD

Dari latar belakang historisnya Ijtihad bermula dari riwayat


percakapan antara Nabi dengan Mu‟az bin Jabal ketika ia ditunjuk
menjadi Gubernur/Hakim ke Yaman. Diriwayatkan, Nabi bertanya kepada
Mu‟az tentang sumber yang di gunakan dalam memerintah provinsi dan
memutuskan perkara di sana. Muaz menjawab : pertama-tama ia akan
mencari dari al-Qur‟an, jika Al-Qur‟an tidak memberi jawaban, maka akan
dicari dari sunnah nabi. Jika tidak ada sunnah yang dapat diterapkan, ia
akan menggunakan pendapat/keputusan pribadi “Ajtahidu ra‟yi wala alu”
nabi dikabarkan menyetujui urutan-urutan sumber syariah itu. Inilah awal
dari bolehnya ijtihad oleh nabi dalam memutuskan suatu keputusan
penting jika tidak terdapat dalam al-Qur‟an dan hadits.

Pendidikan Agama Islam 7


F. FUNGSI IJTIHAD

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu


tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan
tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas
ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka
persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana
disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan
tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya
dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam
memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah
mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

G. JENIS-JENIS IJTIHAD

Ijmak
Ijmak artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam
menetapkan suatu hukum-hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an
dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama
yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian
dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan
bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti
seluruh umat.

Qiyâs
Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya
menetapkan suatu hukum atau suatu perkara yang baru yang belum ada
pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab,
manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga
dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila
memang terdapat hal-hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-
masa sebelumnya

Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh
atau haram demi kepentingan umat.

Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai
ada alasan yang bisa mengubahnya, contohnya apabila ada pertanyaan
bolehkah seorang perempuan menikah lagi apabila yang bersangkutan
ditinggal suaminya bekerja di perantauan dan tidak jelas kabarnya? maka
dalam hal ini yang berlaku adalah keadaan semula bahwa perempuan

Pendidikan Agama Islam 8


tersebut statusnya adalah istri orang sehingga tidak boleh menikah(lagi)
kecuali sudah jelas kematian suaminya atau jelas perceraian keduanya.

Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat
dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

H. TINGKATAN-TINGKATAN

Ijtihad Muthlaq
Adalah kegiatan seorang mujtahid yang bersifat mandiri dalam
berijtihad dan menemukan 'illah-'illah hukum dan ketentuan hukumnya dari
nash Al-Qur'an dan sunnah, dengan menggunakan rumusan kaidah-
kaidah dan tujuan-tujuan syara', serta setelah lebih dahulu mendalami
persoalan hukum, dengan bantuan disiplin-disiplin ilmu.
Ijtihad fi al-Madzhab
Adalah suatu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang ulama
mengenai hukum syara', dengan menggunakan metode istinbath hukum
yang telah dirumuskan oleh imam mazhab, baik yang berkaitan dengan
masalah-masalah hukum syara' yang tidak terdapat dalam kitab imam
mazhabnya, meneliti pendapat paling kuat yang terdapat di dalam mazhab
tersebut, maupun untuk memfatwakan hukum yang diperlukan
masyarakat.
Secara lebih sempit, ijtihad tingkat ini dikelompokkan menjadi tiga
tingkatan ini:
Ijtihad at-Takhrij
Yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam mazhab
tertentu untuk melahirkan hukum syara' yang tidak terdapat dalam
kumpulan hasil ijtihad imam mazhabnya,
Ijtihad at-Tarjih
Yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan untuk memilah pendapat yang
dipandang lebih kuat di antara pendapat-pendapat imam mazhabnya, atau
antara pendapat imam dan pendapat murid-murid imam mazhab, atau
antara pendapat imam mazhabnya dan pendapat imam mazhab lainnya.
Ijtihad al-Futya
Yaitu kegiatan ijtihad dalam bentuk menguasai seluk-beluk pendapat-
pendapat hukum imam mazhab dan ulama mazhab yang dianutnya, dan
memfatwakan pendapat-pendapat terebut kepada masyarakat.

Pendidikan Agama Islam 9


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ijtihad berarti mencurahkan segala kemampuan untuk mendapatkan
sesuatu (yang sulit) dan dalam prakteknya digunakan untuk sesuatu yang sulit dan
memayahkan.

Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan


berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan
untuk menggali dan mengetahui hukum Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah
upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin
hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi
terhadap problematika tersebut.

B. SARAN

Semoga makalah yang penulis buat dapat memberikan manfaat


pengetahuan tentang Ijtihad kepada pembaca. Semoga makalah ini dapat
membantu para pembaca untuk pembuatan makalah tentang Ijtihad .
penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam makalah ini ,oleh
karena itu penulis meminta saran dan kritik dari para pembaca untuk
penyempurnaan makalah ini.

Pendidikan Agama Islam 10


DAFTAR PUSTAKA

http://bulekh.blogspot.com/2012/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html

https://muhsulaiman.blogspot.com/2018/06/ijtihad-sebagai-upaya-
penggalian-hukum.html

"Ushul Fiqh", oleh Drs. H Abd. Rahman Dahlan, M.A., BAB VIII Cetakan
pertama 2010, halaman 354-356

Azra, Azyumardi. 1998. Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan


Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Marimba, Ahmad D. 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:


al-Ma’arif

Uhbiyati, Nur. 1998. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia

Darajat, Zakiah. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Langgulung, Hasan. 1980. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan


Islam. Al-Ma’arif, Bandung

Pendidikan Agama Islam 11

Anda mungkin juga menyukai