Anda di halaman 1dari 11

IJTIHAD DALAM HUKUM ISLAM

Makalah Ini Di Buat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Study

Hukum Islam Pengampu: Abdul Kholil S.Sy.M.H

Di susun oleh:

Kelompok 5

Fuja Annisa (22.1308.11.015)

Rahma Aulia (22.1308.11.006)

Ulpia Septiani (22.1308.11.022)

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-FALAH

RIMBO BUJANG, TEBO, JAMBI

2023/2024
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-NYA, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-NYA kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kami tentang “IJTIHAD DALAM HUKUM ISLAM”
yang di ampu oleh Bapak abdul kholil S.Sy.M.H dalam mata kuliah study hukum
islam.

Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan berdasarkan
beberapa sumber yang kami baca. Terlepas dari semua itu, kami menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran
dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah kami ini.

Akhir kata, semoga makalah kami ini yang berjudul “IJTIHAD DALAM
HUKUM ISLAM” dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.

Rimbo bujang, 29 Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i


DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 4
A. Latar Belakang .............................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 4
C. Tujuan Masalah............................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 5
A. Pengertian Ijtihad ................................................................................... 5
B. Dasar Penetapan Ijtihad .......................................................................... 5
C. Ruang lingkup ijtihad ............................................................................. 6
D. Hakekat nash Qath‟I dan dzanni ............................................................ 7
E. syarat-syarat mujtahid...............................................................................7
BAB III PENUTUP ............................................................................................... 10
A. Kesimpulan ................................................................................................. 10
B. Saran ........................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................11
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

dan dipraktekkan oleh umat Islam semenjak zaman Rasulullah saw. masih hidup,
dan terus berkembang pada masa sahabat serta generasi-generasi berikutnya. Para
sahabat melakukan ijtihad selain karena mendapat dorongan dan bimbingan Nabi saw.,
juga atas inisiatif dari kalangan sahabat itu sendiri. Cukup banyak riwayat yang dapat
dirujuk yang menunjukkan upaya yang dilakukan oleh para sahabat dalam berijtihad.
Misalnya riwayat yang menceritakan ijtihad Umar tentang hal yang membatalkan puasa
dan ijtihad tersebut secara hukum telah dibenarkan oleh Nabi saw..

Adapun hadist lainnya yang memperkuat kedudukan diperbolehkannya melakukan


ijtihad adalah sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh „Amr bin „Ash, ra. Ia
mendengar Rasulullah bersabda: “Apabila seorang hakim menetapkan hukum melalui
ijtihad dan benar maka ia diberikan dua pahala, sedangkan apabila ia salah maka diberi
satu pahala.” Dan hadist yang yang cukup populer tentang ijtihad adalah berkaitan
dengan Mu‟az bin Jabal ketika akan diangkat sebagai qadhi di Yaman.

B. Rumusan masalah

1. Apa saja yang di maksud ijtihad?

2. Apa saja syarat-syarat mujtahid?

3. Apa saja dasar penerapan itjihat?

C. Tujuan masalah

1. Mengetahui apa pengertian ijtihad dalam hukum islam?

2. Mengetahui syarat-syarat mutjtahid?

3. Mengetahui dasar penetapan ittihad?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad berasal dari kata berbahasa Arab “‫“ جهد‬yang berarti “pencurahan segala
kemampuan untuk memperoleh sesuatu dari berbagai urusan”. Ringkasnya, ijtihad
berarti “sungguh-sungguh” atau “bekerja keras dan gigih untuk mendapatkan
sesuatu”. Sedangkan secara teknis menurut Abdullahi Ahmed An-Na‟im ijtihad
berarti penggunaan penalaran hukum secara independen untuk memberikan jawaban
atas sesuatu masalah ketika alQur‟an dan al-Sunnah diam tidak memberi jawaban.
Lebih jauh ia mengatakan bahwa ijtihad telah menuntun para perintis hukum pada
kesimpulan dimana konsensus masyarakat atau para ulama atas suatu masalah harus
dijadikan sebagai salah satu sumber syari‟ah. Dan al-Qur‟an dan Sunnah itu yang
mendukung dan mendasari ijtihad sebagai sumber syari‟ah.3 Lebih dari itu,
penggunaan ijtihad dalam pengertian umum sangat relevan dengan interpretasi al-
Qur‟an dan al-Sunnah. Ketika suatu prinsip atau syari‟ah didasarkan pada makna
umum atas suatu teks al-Qur‟an dan alSunnah, maka teks dan prinsip (aturan)
syari‟ah itu harus dihubungkan dengan penalaran hukum. Sebab bagaimana pun juga
sulit untuk dibayangkan, ketika suatu teks al-Qur‟an atau al-Sunnah -betapapun jelas
dan rincinya-, tidak lagi memerlukan ijtihad untuk interpretasi dan penerapanya
dalam situasi konkrit. Dari sisi ini menurut Abdullahi Ahmed, jelaslah bahwa ijtihad
adalah konsep yang fundamental dan sangat aktif dalam pembentukan syari‟ah
selama abad VIII dan IX M. Begitu syari‟ah matang sebagai sistem
perundangundangan, dan pengembangan berbagai prinsip dan aturan yang segar.

B.Dasar Penetapan Ijtihad

1. Sunnah Nabi

Hadis Nabi saw. yang dijadikan landasan ijtihad adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-
Baghawi dari Mu‟az bin Jabal yang menerangkan tentang dialog yang terjadi antara Nabi

5
saw. dengan Mu‟az ketika akan diangkat sebagai qadhi di Yaman. Nabi bersabda,
“Bagaimana jika engkau diserahi urusan peradilan?. Jawab Mu‟az: “Saya akan menetapkan
perkara berdasarkan nash al-Qur‟an”. Nabi bertanya: “Bagaimana jika tidak kau dapatkan di
dalam al-Qur‟an”. Jawab Mu‟az: “Dengan Sunnah Rasul”. Kemudian Nabi mengakhiri
pertanyaannya dengan: “Bagaimana jika di dalam Sunnah pun tidak kau dapatkan?”. Mu‟az
menjawab: “Saya akan mengerahkan kemampuan saya untuk menetapkan hukum dengan
pikiranku”. Rasulullah saw. mengakhiri dialog tersebut dengan mengatakan: “Segala puji
hanya bagi Allah yang memberikan petunjuk kepada utusan RasulNya jalan yang diridlai
Rasul Allah” Hampir setiap pembahasan mengenai ijtihad menjelaskan tentang hadis Mu‟az
ini. Di mana ditampilkan bahwa Nabi Muhammad saw. memuji Mu‟az yang akan melakukan
ijtihad dengan ra‟yu (pikiran) jika ia tidak dapat menemukan penjelalasan atau perkara
tentang suatu hal di dalam al-Qur‟an maupun al-Sunnah, dengan kata lain ra‟yu dapat dipakai
sebagai sarana penetapan hukum.8

3. Dalil Aqli

Allah menciptakan syari‟at Islam yang dibawa Nabi saw. merupakan yang terakhir dan
berlaku sampai hari akhir. Perlu diingat, bahwa nash atau teks al-Qur‟an dan al-Sunnah
sangat terbatas jumlahnya, sementara kejadian demi kejadian terus berjalan sepanjang zaman
sesuai perskembangan situasi. Para ahli hukum Islam menegaskan “an nushus mutanahiyah
wa al waqa‟i ghair mutanahiyah” (Teks hukum terbatas adanya, sementara kasus-kasus
hukum berkembang tidak terbatas). Dengan kondisi nash yang jumlahnya terbatas dan jika
ijtihad tetap tidak dibolehkan, maka akan menyebabkan kesulitan dalam memecahkan
persoalan hidup, oleh

C.Ruang Lingkup

Ijtihad Apabila sebuah perkara telah ada di dalam nash yang jelas (sharih) dan pasti (qath‟i)
baik dari sumber asalnya (riwayat) maupun pengertiannya dan ia telah menunjuk kepada
suatu hukum syar‟i, maka tidak ada peluang ijtihad di dalamnya.

Abdul Wahhab Khallaf menegaskan bahwa ruang lingkup ijtihad meliputi dua lapangan
kajian: Pertama, peristiwa yang terdapat nash, namun tidak cukup jelas dan pasti atau bersifat
dzanni. Yang dimana sifat dzanni adalah merupakan dugaan dari segi riwayat maupun
dalalahnya. Kedua, peristiwa yang memang tidak ada nashnya sama sekali. Di sinilah
lapangan ijtihad tempat para mujtahid mencurahkan segenap daya kemampuan intelektualnya

6
untuk menemukan sebuah ketetapan hukum sebagai sebuah solusi dan jalan keluar dari
problematika yang dihadapi umat. Seorang mujtahid pada dasarnya harus mampu meneliti
dan menemukan hukum melalui qiyas, istishab, atau maslahah mursalah. 12 Namun hal
tersebut tidak disepakati oleh Abdullahi Ahmed an-Na‟im yang dengan tegas mengatakan
bahwa kaum muslim kontemporer pun memiliki kemampuan untuk melakukan formulasi
ushul Fiqih dan berhak melakukan ijtihad, sekalipun menyangkut masalah yang sudah diatur
oleh teks al-Qur‟an dan al-Sunnah secara jelas dan terinci dengan catatan bahwa sepanjang
hasil ijtihad itu sesuai

D. Hakekat Nash Qath‟i dan Dzanni

Persoalan penting yang selalu menjadi salah satu fokus penelitian dalam konsep ijtihad
adalah ketika sampai pada pembicaraan apa yang dinamakan qath‟i dan apa yang dinamakan
dzanni. Konsep qath‟i al-dalalah menurut Abdul Wahhab Khallaf adalah “sesuatu yang
menunjukkan kepada makna tertentu yang harus dipahami darinya (teks) tidak mengandung
kemungkinan takwil serta tidak ada tempat atau peluang untuk memahami makna selain
makna tersebut darinya(teks tersebut)”.14 Dalam konsep ushul fiqh, apa yang disebut dengan
qath‟i adalah sesuatu yang tidak bisa diubah-ubah oleh ijtihad, yaitu hukum-hukum yang
secara sharih ditunjuk oleh al-Qur‟an dan al-Sunnah. Sementara yang disebut dengan dzanni
adalah hukum-hukum yang petunjuk nashnya kurang atau bahkan tidak sharih, dan nash
tersebut dapat mengandung pengertian yang berbeda-beda. Namun demikian hal yang mesti
diingat adalah bahwa penetapan qath‟i dan dzanni ini pun merupakan perumusan yang
sifatnya juga ijtihadiyah, sehingga tidak memiliki kepastian yang tetap. Pada saatnya
memang harus dikaji ulang dan ditinjau kembali terhadap konsep qath‟i dan dzanni di dalam
hukum Islam ini.

E. Syarat-Syarat Mujtahid

Pintu ijtihad senantiasa terbuka sepanjang zaman, seiring dengan perkembangan kehidupan
manusia. Oleh karena itu ijtihad tetap selalu dibutuhkan sebagai solusi atas kejumudan Islam
dan ketaqlidan penganutnya. Namun hal yang demikian bukan berarti semua orang boleh
secara bebas dan semaunya melakukan ijtihad. Hal ini sama dengan tidak semuanya memiliki
otoritas sebagai seorang dokter dalam mendiagnosis suatu penyakit dan memberikan resep
kepada seorang pasien. Memberikan kesempatan atau peluang ijtihad kepada orang yang
tidak mampu melakukannya sama halnya berbuat sesuatu yang membahayakan umat Islam.
Untuk melakukan ijtihad, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk sampai

7
pada derajat mujtahid. Di dalam hal ini al-Syatibi mensyaratkan seseorang faqih (ahli dalam
bidang fiqh dan agama pada umumnya) harus memiliki dua sifat yaitu: pertama, mampu
memahami maksud-maksud syari‟at (maqasid asy-syari‟ah), dan kedua, sanggup
mengistinbathkan hukum berdasar pemahamannya sendiri tentang maqashid asy-syari‟ah. 15
Sementara itu Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan adanya empat syarat bagi mujtahid:

1. Mengetahui bahasa arab, hal ini penting sekali sebab orientasi pertama seorang mujtahid
adalah nash al-Qur‟an dan al-Hadist serta berupaya memahaminya. Dengan demikian ia
harus mampu menerapkan kaidah pokok bahasa untuk menyimpulkan arti dan ungkapan
bahasa

2. Memiliki kemampuan atau pengetahuan tentang al-Qur‟an, maksudnya adalah mengerti


hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur‟an yang berupa ayat-ayat yang menjadi nash
hukum, dan juga menguasai metode menemukan hukum dari ayat tersebut

3. Mengetahui pengetahuan tentang al-Sunnah, mujtahid harus mengerti tentang hukum syar‟i
yang terdapat dalam sunnah serta mengerti tingkatan sanad dari aspek shahih atau lemahnya
suatu riwayat

4. Mengerti segi-segi mengenai qiyas, maksudnya mengerti tentang „illat dan hikmah
pembentukan syari‟at. Termasuk juga mengerti berbagai peristiwa kemanusiaan dan
mu‟amalah sehingga dapat mengenali sesuatu yang menjadi „illat hukum suatu peristiwa
yang tidak ada nash di dalamnya.

Sedangkan menurut Wael B. Hallaq, sebagian persyaratan itu berkaitan dengan akumulasi
keahlian dalam berbagai bidang keilmuan. Dalam hal ini ia menyebut enam syarat:

1. Memahami ayat-ayat hukum yang jumlahnya di dalam al-Qur‟an ada sekitar 500 ayat.
Meskipun tidak disyaratkan untuk hafal, namun harus mengetahui bagaimana mengeluarkan
atau menemukan hukum dari ayat-ayat tersebut
2. Mengetahui koleksi hadist-hadist hukum termasuk mengetahui teknik kritik hadist
sehingga dapat menguji hadist yang akan digunakan sebagai sumber berijtihad
3. Menguasai bahasa arab, sehingga dapat memahami kompleksitas permasalahan, ungkapan-
ungkapan yang digunakan, dan perkataan yang tegas dan yang samar-samar
4. Menguasai pengetahuan tentang nasakh
5. Menguasai prosedur penarikan kesimpulan (istinbath al-hukmi
6. Mengetahui kasus-kasus yang telah menjadi konsensus.

8
Tentang kebenaran seorang mujtahid dalam ijtihadnya terdapat dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama adalah ia benar dalam ijtihadnya sehingga memperoleh dua pahala,
karena ia memenuhi kewajibannya berijtihad dan berhasil mencapai kebenaran dalam
ijtihadnya. Dan kemungkinan yang kedua adalah ia salah, maka kepadanya diberikan satu
pahala sebagai pengakuan atas usahanya memenuhi kewajiban berijtihad. Para ahli ushul fiqh
tampaknya sepakat bahwa di dalam ijtihad hanya ada satu yang benar, kendati demikian bagi
mujtahid yang ijtihadnya keliru maka tidak berakibat dosa baginya.

9
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari uraian singkat yang telah penulis kemukakan di atas dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
Ijtihad merupakan petunjuk hukum yang sangat penting dalam perumusan hukum Islam
sebagai upaya menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan yang konkrit serta penjabaran
konsepsi Islam dalam segala aspeknya. Selian itu, ijtihad adalah juga merupakan salah
satu hal yang dalam menyelesaikan permasalahan dalam hal kejumudan Islam dan
ketaqlidan penganutnya
Ruang lingkup permasalahan yang boleh dijadikan lapangan ijtihad adalah mengenai
hukum-hukum yang di dalamnya tidak ada nash yang qath‟i
Dasar penetapan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah al-Qur‟an dan al-Sunnah.
Hal itu karena jika dalam berijtihad dan di dalamnya terjadi perselisihan diperintahkan
kembali merujuk kepada al-Qur‟an dan al-Sunnah
Seorang faqih yang akan melakukan ijtihad harus memenuhi kriteria tertentu untuk dapat
mencapai derajat mujtahid. Secara umum adalah: memahami ilmu al-Qur‟an dan al-
Sunnah serta nash-nash hukum di dalamnya, mengetahui metode penemuan hukum,
menguasai bahasa Arab, dan beberapa syarat lainnya.

B.Saran

Inilah yang dapat kami paparkan dalam makalah ini, yang tentunya pembahasan
tentang isslam pada masa khulafa urrasyidin, pada pembahasan tersebut kami selaku
pembuat makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.
Kami juga mengharapkan makalah ini sangat bermanfaat untuk kami khususnya daan
pembaca umumnya.

10
Daftar pustaka

Al-Qur‟an al-Karim. An-Na‟im, Abdullahi Ahmed. Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad


Suaedy dan Amiruddin Arrani, Yogyakarta : LKiS, 1994. Hallaq, Wael B. Sejarah Teori
Hukum Islam: Pengantar untuk Ushul Fiqh Madzhab Sunni, terj. Kusnadiningrat dan
Abdul Haris Bin Wahid, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

11

Anda mungkin juga menyukai