AGAMA
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
UNIVERSITAS JAMBI
2019
KATA PENGANTAR
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Ijtihad berasal dari kata ijtahada yang berarti mencurahkan tenaga dan
fikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan ijtihad sendiri berarti
mecurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan syara dari dalil-
dalil syara, yaitu al-qur’an dan hadist. Orang yang menetapkan hukum
dengan jalan ini disebut mujtahid. Hasil dari ijtihad merupakan sumber
hukum islam yang ketiga setelah al-qur’an dan hadist.
4
Oleh karna itu, apabila ada suatu masalah ysng hukumnya tidak
terdapat didalam al-qur’an maupun hadist, maka diperintahkan untuk
berijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu kepada
al-qur’an dan hadist.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
dari satu sehingga perlu ditentukan dengan jalan ijtihad untuk mengetahui
makna-makna yang sesungguhnya yang dimaksud.
2.2 Macam-macam Ar ra’yu/Ijtihad
a. Ijmak.
Ijmak menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat.
Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat
nabi Muhammad SAW. Sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang
hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari ijmak adalah
fatwa yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang
berwenang untuk diikuti seluruh umat. Ijmak berarti menghimpun,
mengumpulkan, atau bersatu dalam pendapat, dengan kata lain ijmak
merupakan consensus yang terjadi di kalangan para mujtahid terhadap
suatu masalah sepeninggal Rasulullah SAW.
Ahli ushul fikih mengemukakan bahwa ijmak adalah kesepatan
para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah
SAW terhadap suatu hukum syariat mengenai suatu peristiwa. Apabila
terjadi suatu peristiwa yang memerlukan ketentuan hukum yang tidak
ditemukan dalam kedua sumber sebelumnya (Al-Quran dan sunnah) maka
para mujtahid mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu peristiwa
dan jika disetujui atau disepakati oleh para mujtahid lain, kesepakatan
itulah yang disebut ijmak.
Ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki
posisi kuat dalm menetapkan hukum dari suatu peristiwa. Bahkan telah
diakui luas sebagai sumber hukum yang menempati posisi ketiga dalam
hukum Islam. Sejumlah ayat dan hadits nabi menjadi pembenaran teologis
kekuatan ijmak sebagai sumber hukum dalam Islam. Pemberian warisan
kepada nenek laki-laki (jadd) ketika ia berkumpul dengan laki-laki orang
yang meninggal dunia yang dalam keadaan seperti ini nenek laki-laki
tersebut menggantikan ayah (orang yang meninggal) untuk menerima
seperenam dari harta warisan atau harta peninggalannya merupakan contoh
penetapan hukum berdasarkan ijmak sahabat.
7
Dalam transaksi jual beli, misalnya istishna’ atau pemesanan
barang yang baru akan dibuat yang seharusnya tidak boleh,karena dinilai
sama seperti halnya membeli barang yang tidak ada, merupakan contoh
hukum yang bersumber dari hasil ijmak sahabat (Hanafi, 1995: 61)
Penggunaan ijmak sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum suatu
peristiwa secara historis terjadi pasca wafatnya Nabi SAW.
Selama beliau hidup, setiap peristiwa yang muncul selalu diminta
untuk ditetapkan hukumnya sehingga tidak mungkin terjadi perlawanan
hukum terhadap suatu masalah. Ijmak yang memiliki kehujahan sebagai
sumber hukum didasarkan pada sejumlah argumentasi teologis terutama
ayat 59 surah An-nisa’ yang didalamnya terdapat anjuran untuk taat pada
ulil amri setelah taat pada Allah SWT dan Rosul-Nya. Ulil amri dalam
ayat tersebut dipahami sebagai pemegang urusan dalam arti luas mencakup
urusan dunia ( seperti kepala Negara, menteri, legislative, dan lain-lain)
dan pemegang urusan agama seperti para mujtahid, mufti, dan ulama.
Karena itu, apabila ulil amri telah sepakat dalam status hukum
suatu urusan maka wajib ditaati, diikuti, dan dilaksanakan sebagaimana
mentaati, mengikuti, dan melaksanakan perintah Allah SWT dan Rosul-
Nya dalam (QS. An-nisa’ [4] : 83 ): Artinya: Dan apabila datang kepada
mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil
Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu,
tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di
antaramu). (QS. An-nisa’ 4: 83)
Argumentasi yang kedua yang dijadikan pembenaran kehujahan
ijmak sebagai sumber hukum Islam adalah sejumlah hadis Nabi SAW
yang menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari bersepakat membuat
kesalahan dan kesesatan separti hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu
Majah, yang mengatakan : “umatku tidak sepakat untuk membuat
8
kekeliruan.” Hal ini berarti bahwa kesepakatan yang telah dicapai oeh para
mujtahid memiliki kehujahan yang kuat sebagai sumber hukum dalam
Islam dan wajib diikuti oleh umat Islam pada umumnya.
Ijmak adalah kesepakatan ulama dan mujtahid pada masa setelah
Rasulullah SAW wafat. Misalnya kesepakatan sahabat nabi, mengangkat
kalifah Abu bakar, sebagai pengganti Rasulullah SAW. Dalam memimpin
umat islam. Kesepakatan yang lain, misalnya sahabat sepakat untuk
mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-quran yang masih
berserakan agar mudah untuk menjaganya.
b. Qiyas
Qiyas yang berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan
menyamakannya. Dengan kata lain qiyas dapat diartikan pula sebgai suatu
upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang
mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya
adalah pada surat al- isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan “ah,cis,hus”
kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau
menghina, maka qiyas yang diambil adalah berkata seperti itu saja tidak
diperbolehkan, apalagi sampai memukul karena sma-sama menyakiti hati
orangtua.
Secara harfiah berarti analogi atau mengumpamakan. Adapun
menurut pengertian para ahli fikih, qiyas adalah menetapkan hukum
tentang sesuatu yang belum ada nash atau dalilnya yang tegas, dengan
sesuatu hukum yang sudah ada nash atau dalilnya yang didasarkan atas
persamaan illat antara keduanya. Misalnya, menetapkan haramnya
minuman bir yang tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an dengan khamar
yang ada hukumnya di dalam Al-Quran. Menyamakan atau
menganalogikan bir dengan khamar ini didasarkan pada adanya persamaan
illat antara keduanya, yaitu memabukkan.
Qiyas adalah menetapkan suatu hukum terhadap sesuatu hal yang
belum diterangkan dalam al-quran dan hadits, dengan dianalogikan kepada
9
hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-quran atau
hadits, karena keduanya terdapat persamaan sebab.
Contoh haram menggunakan narkotika yang dikiaskan dengan
khamar dalam al-quran, karena keduanya mempunyai persamaan akibat,
yaitu sama-sama memabukkan.
10
c. Illat, yaitu sifat yang menjadi dasar persamaan antara hukum
cabang dengan hukum pokok. Syarat-syaratnya:
11
Keadilan dan kebijaksanaan Allah tidak akan sesuai jika Dia
mengharamkan minuman khamr karena ia memabukkan dengan maksud
untuk memelihara akal hamba-Nya dan minuman keras lainnya yang
didalamnya mengandung ciri-ciri khas khamr, yaitu memabukkan. Karena
acuan larangan ini adalah memelihara akal dari sesuatu yang
memabukkan, sedangkan meninggalkan pengharaman minuman keras
lainnya merupakan suatu penawaran untuk menghilangkan akal dengan
sesuatu yang memabukkan lainnya.
2. Macam-macam Qiyas
1. Qiyas Aqwa
12
lebih utama. Sedikit ketaatan yang dipuji apabila dilakukan,
maka melakukan ketaatan yang banyak lebih patut dipuji.
Sesuatu yang diperbolehkan (mubah) dilakukan dalam jumlah
yang banyak, maka lebih utama apabila dilakukan dalam
jumlah sedikit.
2. Qiyas Musawi
13
atau lebih rendah. Sehingga disebut juga sebagai qiyas fi Ma’na
al-ashl. Namun para ulama masih berbeda pendapat seputar
pemahaman qiyas ini.
3. Qiyas Adh’af
14
kemiripan untuk hukum inilah yang lazim disebut qiyas asy-
syabah.
15
yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan,
ketika kamu sedang ihram. Barang siapa diantara kamu
membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah
mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan
yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di
antara kamu, sebagai hadd-nya yang dibawa sampai Ka’bah.”
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk membayar denda
secara sepadan sesuai dengan keputusan dua hakim yang adil.
3. Kedudukan Qiyas
c. Al-mashlahat al-mursalah
16
manusia. Contohnya, dalam alquran maupun hadist tifak terdapat dalil
yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat alquran. Akan tetapi
hal ini dilakukan umat islam demi kemashalatan umat.
Secara harfiah berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi orang
banyak. Adapun menurut para ahli hukum Islam, Al-mashlahat al-
mursalah adalah sesuatu yang didalamnya mengandung kebaikan bagi
masyarakat, sehingga walaupun pada masa lalu hal tersebut tidak
diberlakukan, namun dalam keadaan masyarakat yang sudah makin
berkembang, keadaan tersebut dianggap perlu dilakukan. Misalnya,
pembukuan Al-quran dalam bentuk mushaf seperti yang ada sekarang
perlu dilakukan, mengingat jumlah para penghafal Al-Quran makin sedikit
karena meninggal dunia, serta pertentangan dalam membaca Al-Quran
sering terjadi
Mashlahat mursalah adalah mentapkan hukum terhadap persoalan
ijtihadiyah. Atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai
dengan tujuan syariat. Contoh, larangan kantin sekolah menjual rokok agar
siswa tidak merokok.
d. ‘Urf
Berupa perbuatan yang dilakukan terus menerus (adat), baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Contohnya dalah dalam hal jual beli.
Sipembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah
diambilnya tanpa mengadakan ijab kobul karena harga telah dimaklumi
bersama antara penjual dan pembeli.
Secara harfiah berarti sesuatu yang berlaku atau yang sudah
dibiasakan. Adapun menurut para ahli hukum Islam, ‘urf adalah sesuatu
yang berlaku dimasyarakat atau tradisi yang mengandung nilai-nilai
kebaikan bagi masyarakat. Contonya kebiasaan merayakan hari raya yang
pada zaman sebelum Islam, namun dinilai mengandung kebaikan, maka
tetap dilanjutkan.
Urf adalah adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan ajaran
islam dapat dijadikan sebagai sumber hukum islam. Contohnya, jual beli
17
dengan isyarat (tidak menggunakan akad jual beli) dan pembeli
memberikan uang seharga barang, kemudian mengambil barang tertentu.
Hal ini boleh karena keduanya sama-sama beruntung.
Setidaknya ada tiga alasan penguat yang mendasari urf diterapkan
sebagai sumber hukum Islam sebagaimana berikut: Pertama, apa yang
dipraktekkan dimasa Nabi Saw dimana haji dan umrah umat Islam tetap
melanjutkan apa yang dipraktekkan jauh sebelum Islam. Berbagai ritual
Arab seperti talbiyah, ihram, wuquf dan lain-lain diteruskan untuk
diterapkan dalam praktek haji umat Islam, kendati ritual lain dalam haji
seperti harus melakukannya dalam keadaan telanjang dihilangkan.
Demikian juga dengan hukum qisah dan diyat dimana keduanya
merupakan praktek budaya masyarakat pra Islam. Kedua budaya ini lalu
diafirmasi menjadi bagian dari ajaran Islam. 12 Abdul Karim menyebut
pola rekruitmen adat-istiadat atau tradisi masyarakat Arab ke dalam
hukum Islam mengambil tiga pola. Pertama, shari‟ah mengambil sebagian
tradisi itu dan membuang sebagian yang lain. Kedua, Islam mengambil
sebagian dan membuang sebagian yang lain dengan melakukan
penambahan dan pengurangan sana-sini. Ketiga, Islam mengadopsinya
secara utuh tanpa ada perubahan bentuk dan identitasnya. 13 Ketiga pola
ini tidak mengganggu pada bentuk, prinsip dan isi shari‟ah Islam secara
umum. Kedua, setelah wafatnya Nabi Saw, para sahabat juga mendasarkan
hukum-hukum Islam yang ada dengan „urf masyarakat sekitar. Pada masa
dimana Islam melakukan ekspansi besar-besaran, maka terlihat jelas
bahwa Islam sangat memperhatikan budaya local masing-masing.
Khalifah Umar sebagai missal mengadopsi sistem dewan dan
tradisi masyarakat Persia. Di samping itu juga, Umar juga megadopsi
system pelayanan pos yang juga menjadi tradisi sasanid dan Kerajaan
Byzantium. 14Ini semua mengukuhkan bahwa para sahabat meneruskan
langkah Nabi Saw. yang bersikap akomodatif terhadap kearifan local
(local wisdom). Ketiga, generasi tabi‟in yang hidup setelah sahabat juga
memasukkan klausul „urf dalam sumber hukum Islam. Madzhab Hanafi
18
misalnya membangun fiqhnya atas dasar „urf. Al-Nu‟man ibn Thabit Ibn
Zuti yang dikenal dengan Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
menggunakan tradisi Kufah sebagai dasar penetapan hukumnya yang
diakomodir dalam konsep istihsan. Bahkan, Abu Hanifah menolak qiyas
demi mengunggulkan „urf. 15. Al- Syaibani (w. 189 M/805 M), seorang
pengikut Abu Hanifah, menyatakan bahwa aturan interpretasi yang
sifatnya teoritis dan menunjukkan undangundang berasal dari „urf.
Abu Yusuf (w. 182 H/795 M) mengatakan bahwa adat menjadi
pertimbangan utama dalam system hukum madhhab Hanafi ketika nash
yang jelas tidak dapat ditemukan. 17Masih menurut Abu Yusuf, jika suatu
nash yang berasal dari adat kebiasaan atau tradisi tertentu dan kebiasaan
tersebut kemudian mengalami perubahan, maka hukum yang ditegaskan
oleh nas tersebut menjadi gugur. Hal demikian ini, menurut Abu Yusuf,
bukan bentuk pengabaian nash, melainkan merupakan salah satu cara
menakwilkannya.
Imam Malik juga menerima „urf sebagai sumber hukum Islam.
Kita bisa melihat beberapa karya Imam Malik seperti al-Muwatta‟, al-
Mudawanah, dan Fath al-Ali al-Malik mendasarkan hukum-hukumnya
pada kemaslahatan umum, dimana a „urf Ahli Madinah salah satunya.
Imam Malik sering menggunakan istilah “praktek yang kita setujui”
menunjukkan bahwa „urf Ahli Madinah dalam pandangan Imam Malik
merupakan salah satu sumber hukum yang paling kuat, bahkan lebih kuat
daripada hadith Ahad. Karena berdasarkan „urf Madinah ini, maka Imam
Malik membebaskan para wanita ningrat dari pelaksanaan aturan Qur‟an
yang memerintahkan para ibu untuk menyusui anak-anak mereka, karena
adat para wanita ningrat di Madinah tidak menyusui anak-anak mereka.
e. Istihsan
Istihsan yang berarti suatu proses perpindahan dari suatu qiyas
kepada qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan
fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudaratan atau dapat
19
diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika
dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syara’ kita dilarang
mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan
tetapi menurut ihtisan syara’ memberikan rukhsah (kemudahan atau
keringanan) bahwa jual beli diperbolehakan dalam sistem pembayaran
diawal seangkan barangnya dikirim kemudia.
Secara harfiah berarti memandang sesuatu sebagai yang baik.
Menurut Islam, istihsan artinya segala sesuatu yang dipandang manusia
pada umumnya sebagai hal yang baik, dan tidak bertentangan dengan al-
Quran dan sunnah. Penggunaan istihsan ini antara lain didasarkan pada
sabda Rasulullah SAW : Artrinya : “segala sesuatu yang dinilai oleh kaum
muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka yang demikian itu disisi Allah
dipandang sebagai hal yang baik.”
Istihsan adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada
suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara,
menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga,
karena ada suatu dalil syara yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Contohnya pada kasus al-ajir al-musyitarak(pekerja yang terikat pada
banyak orang) seperti tukang jahit yang kehilangan bahan. Dilihat dari
kacamata qiyash, ia tidak wajib mengganti apabila bukan karena
kelalainnya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan, ia wajib
menggantinya untuk menjaga agar hak milik orang tidak disia-siakan
f. Qaul al-shahabat
Secara harfiah berarti ucapan sahabat. Dalam pengertian umum,
Qaul al-shahabat adalah pendapat, pandangan, pikiran, dan perbuatan para
sahabat yang sejalan denganAl-Quran dan sunnah. Penggunaan Qaul al-
shahabat sebagai dasar hukum, mengingat para sahabat selain sebagai
orang yang dekat, bergaul dan ikut berjuang dengan Rasulullah SAW, juga
memang memiliki pemikiran, gagasan, dan karya-karya yang layak untuk
dijadikan bahan renungan dan pertimbangan dalam mengembangkan
ajaran Islam pada masa selanjutnya.
20
g. Syar’un man qablana
Secara harfiah berarti agama sebelum kita. Dalam pengertian yang
lazim, Syar’un man qablana adlah ajaran yang terdapat didalam agama
yang diturunkan Tuhan sebelum Islam yang terdapat di dalam kitab Zabur,
Taurat, Injil yang masih asli yang tidak bertentangan dan masih sesuai
dengan kebutuhan zaman. Di dalam kitab Taurat yang ditinggalkan Nabi
Musa misalnya terdapat ajaran mengesakan Tuhan, larangan
menyekutukan-Nya, memuliakan kedua orang tua, memiliki kepedulian
terhadap kerabat, orang miskin, ibnu sabil, bersikap boros, membunuh
anak, berbuat zina, memakan harta anak yatim, mengurangi timbangan,
menjadi saksi palsu, dan larangan bersikap sombong.
Ajaran yang dibawa Nabi Musa ini terus dilanjutkan oleh Nabi
Muhammad SAW, sebagaimana terdapat dalam QS. Bani Israil (17) ayat
23 sampai dengan ayat 37. Ajaran yang pernah berlaku pada zaman Nabi
Musa itu, masih tetap diberlakukan dimasa sekarang, karena masih
dianggap cocok dan dibutuhkan untuk zaman sekarang dan yang akan
datang.
h. Suddudz Dzariah
Menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah
adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah mejadi makruh atau
haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan
meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum
seteguk tidak memabukkan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar
jangan sampai orang-orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan
sampai kebiasaan.
i. Istishab
Istishab yang berarti melanjutkan berlakunya hukum yang tekah ada
dan telah ditetapkan dimasa lalu hingga ada dalil yang mengubah
kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seorang yang ragu-ragu dia sudah
21
berwudhu atau belum. Disaat seperti ini ia harus berpegang atau yakin
kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali
karena solat tidak sah bila tidak berwudhu.
2.3.Syarat-syarat Ar ra’yu/ijtihad
Dalam berijtihad juga terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi
sebagai berikut
1. Memiliki pengetahuan yang luas
2. Memahami dan menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agam
islam misalnya ilmu fiqih, tarikh atau sejarah, dan bahasa arab.
3. Mengerti dan pahamtentang cara menyusun dan merumuskan
hukum (istinbat)
4. Memiliki pribadi yang baik dan perilaku terpuji yang dapat
menjadi contoh bagi orang lain
2.4. Kedudukan ar ar’yu/ijtihad
Kedudukan hukum ijtihad terletak setelah hukum al-quran dan hadits.
Hasil dari ijtihad dapat digunakan ketika kita sudah tidak dapat
menemukan jawaban yang sesuai dalam al-quran dan hadits atas suatu
persoalan. Oleh karena itu, setiap ijtihad harus mengambil kandungan
dalam al-quran dan hadits sebagai pedomannya. Nabi Muhammad SAW.
Pernah bersabda dalam hadits berikut
Dari mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad SAW ketika mengutusnya
ke yaman, ia bersabda, “bagaimana engkau akan memutuskan suatu
perkara yang dibawa orang kepadamu ?” mu’az berkata “saya akan
memutuskan menurut kitabullah(al-quran)” lalu Nabi berkata, “dan jika
didalam kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”
mu’az menjawab, “jika begitu saya akan memutuskan menurut sunnah
Rasulullah SAW...” kemudian, nabi bertanya lagi, “dan jika engkau tidak
menemukan sesuatu hal itu didalam sunnah?” mu’az menjawab “saya akan
mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihadu bi ra’yi) tanpa
bimbang sedikitpun...” kemudian, nabi bersabda.”maha suci Allah SWT
22
yang memberikan bimbingan kepada utusan rasulnya dengan suatu sikap
yang disetujui rasulnya.” (hadits riwayat darami).
Sesungguhnya orang yang berijtihad apabila ijtihadnya itu benar maka
dia akan memperoleh dua pahala. Akan tetapi apabila setelah berijtihad
kemudian ijtihadnya salah, maka dia akan mendapatkan satu pahala saja.
23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa sumber ajaran islam ada tiga macam, yaitu Al-qur’an,
hadits dan ijtihad. Ijtihad sebagai sumber ajaran karena
melalui konsep ijtihad, setiap peristiwa baru akan didapatkan
ketentuan hukumnya Dari pemaparan makalah kami tersebut
kita tahu bahwa sumber ajaran islam sangat penting sebagai
pedoman hidup, untuk itu hendaknya apabila kita melenceng
dari salah satu sumber ajaran tersebut, maka akan
menjadikan hal yang fatal.
3.2 Saran
Alqur’an, Alhadits adalah sumber hukum Islam begitu
juga dengan ijtihad, Oleh karenanya diharapkan dan
diharuskan agar semua umat Islam menjadikan ketiganya
sebagai pedoman hidup dan dasar hukum dalam Islam.
24
DAFTAR PUSTAKA
Jauhari, Mohammad Ajwad. 2019. Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti.
Surakarta : Putra Nugraha.
Muchtar, Nashikun. 2011. Pendidikan agama islam untuk SMK dan MAK Kelas
X. Jakarta : Erlangga
Sukari. 2010. Pendidikan Agama Islam untuk kelas X. Surakarta : Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri.
Syamsari. 2007. Pendidikan agama islam untu SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga.
Tim Dosen PAI Universitas Jambi, 2012. Pendidikan agama islam. Jakarta
Selatan : Gaung Persada Press Jakarta.
Tim Dosen PAI Universitas Jambi, 2018. Pendidikan agama islam berbasis
karakter dan modernisasi. Tangerang Selatan : GP Press Group.
https://www.neliti.com/id/publications/58139/rayu-sebagai-sumber-hukum-islam
https://www.academia.edu/35816109/MAKALAH_SUMBER_HUKUM_ISLAM
https://www.academia.edu/11905986/Sumber_Hukum_Islam
https://www.academia.edu/12897035/IJTIHAD_SEBAGAI_SUMBER_AJARAN
_ISLAM
http://eprints.walisongo.ac.id/589/2/082111034_bab2.pdf
25