Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

AGAMA

“SUMBER AJARAN ISLAM AR-RA’YU”

Dosen Pengampu :

Ahmad Hariandi, S.Pd.I., M.Ag

Disusun Oleh :

1. Elvia Nur Azizah (A1D119116)


2. Ella Alfinda Oktaviani (A1D119007)
3. Lingga Eka Sari (A1D119110)
4. Arumningtias Dewi S. (A1D119093)

PEDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT Tuhan


Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunian-Nya
sehingga penyusunan makalah “ Sumber Ajaran Islam Ar-Ra’yu”
dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa kami ucapkan
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan
mendukung dalam penyusunan makalah ini.

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yakni untuk


mengenalkan dan membahas sumber-sumber hukum yang
dijadikan pedoman dan landasan oleh umat Islam selin alquran
dan hadist. Dengan makalah ini diharapkan baik penulis sendiri
maupun pembaca dapat memilki pengetahuan yang lebih luas
mengenai sumber hukum Islam.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini


masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Akhir
kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca
umumnya dan kami sendiri khususnya.

Muara Bulian, 0 September 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 4

1.1 Latar Belakang ................................................................................... 4


1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 5
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................ 5
1.4 Manfaat Penulisan .............................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 6

2.1 Pengertian Ar Ra’yu/Ijtihad .............................................................. 6

2.2 Macam-Macam Ar Ra’yu/ Ijtihad ..................................................... 7

2.3 Syarat-Syarat Ar Ra’yu/Ijtihad ....................................................... 22

2.4 Kedudukan Ar Ra’yu/Ijtihad ........................................................... 22

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 24

3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 24

3.2 Saran ............................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 25

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara garis besar ayat-ayat alquran dibedakan atas ayat muhkamat


dan ayat mutasyabihat. Ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas dan
terang maksudnya dan hukum yang dikandungnya tidak memrlukan
penafsiran. Pada umumnya bersifat perintah, seperti prnrgakan shalat, puasa,
zakat dan haji.

Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang memerlukan


penafsiran leboh lanjut walaupun dalam bunyinya sudah jelas mempunyai
arti, seperti ayat mengenai gejala alam yang terjadi setiap hari. Adanya ayat
mutasyabihat mengisyaratkan manusia untuk mempergunakan akalnya
dengan benar serta berfikir mengenai ketetapan hukum peristiwa tertentu
yang tidak di sebutkna secara eksplisit dalam al-qur’an maupun sunah
Rasulullah SAW. Pola berfikir seperti ini disebut ijtihad.

Ijtihad berasal dari kata ijtahada yang berarti mencurahkan tenaga dan
fikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan ijtihad sendiri berarti
mecurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan syara dari dalil-
dalil syara, yaitu al-qur’an dan hadist. Orang yang menetapkan hukum
dengan jalan ini disebut mujtahid. Hasil dari ijtihad merupakan sumber
hukum islam yang ketiga setelah al-qur’an dan hadist.

Walaupun islam adalah agama yang berdasarkan wahyu dari Allah


SWT, islam sangat menghargai akal. Hal ini terbukti dengan banyaknya ayat
al-qur’an yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal pikirannya,
seperti pada surat An-Nahl ayat 67 yang artinya ‘...sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran allah) bagi orang yang
memikirkannya ...”

4
Oleh karna itu, apabila ada suatu masalah ysng hukumnya tidak
terdapat didalam al-qur’an maupun hadist, maka diperintahkan untuk
berijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu kepada
al-qur’an dan hadist.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian ar ra’yu/ijtihad ?


2. Macam-macam ar ra’yu/ijtihad ?
3. Apa saja syarat-syarat ar ra’yu/ijtihad ?
4. Apa saja kedudukan ar ar’yu/ijtihad ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian ar ra’yu/ijtihad


2. Mengetahui macam-macam ar ra’yu/ijtihad
3. Mengetahui syarat-syarat ar ra’yu/ijtihad
4. Mengetahui kedudukan ar ra’yu/ijtihad

1.4 Manfaat Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad


2. Untuk mengetahui macam-macam ijtihad
3. Untuk mengertahui syarat-syarat ar ra’yu/ijtihad
4. Untuk mengetahui kedudukan ar ra’yu/ijtihad

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ar rayu

Ar ra’yu atau sering disebut Ijtihad memiliki arti kesungguhan, yaitu


mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Ijtihad dari sudut istilah
berarti menggunakan seluruh potensi nalar secara maksimal dan optimal
untuk meng-istinbath suatu hukum agama yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok ulama yang memenuhi persyaratan tertentu, pada waktu tertentu
untuk merumuskan kepastian hukum mengenai suatu perkara yang tidak ada
status hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah dengan tetap berpedoman pada
dua sumber utama.
Dengan demikian, ijtihad bukan berarti penalaran bebas dalam
menggali hukum satu peristiwa yang dilakukan oleh mujtahid, melainkan
tetap berdasar pada Al-Qur’an dan sunnah. Walaupun ijtihad diperbolehkan
untuk dilakukan oleh mujtahid (orang yang berijtihad) yang memenuhi syarat,
namun tidak berarti bahwa ijtihad dapat dilakukan dalam semua bidang.
Ijtihad memiliki ruang lingkup tertentu.
Ijtihad menurut bahasa arab berarti berusaha keras atau berusaha
dengan sungguh-sungguh. Adapun menurut istilah, ijtihad yaitu berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah dan menetaokan
hukum yang tidak ditetapkan dalam al-quran maupunnhadits dengan
menggunakan akal pikiran yang sehat serta berpedoman dengan cara-cara
menetapkan hukum yang telah ditetapkan.
Syaikh Muhammad Salut, misalnya membagi lingkup ijtihad ke
dalam dua bagian:
a. Permasalahan yang tidak ada atau tidak jelas ketentuan hukumnya dalam
Al-Qur’an atau hadist Nabi.
b. Ayat-ayat Al-Qur’an tertentu dan hadis tertentu tidak begitu jelas
maksudnya yang mungkin disebabkan oleh makna yang dikandung lebih

6
dari satu sehingga perlu ditentukan dengan jalan ijtihad untuk mengetahui
makna-makna yang sesungguhnya yang dimaksud.
2.2 Macam-macam Ar ra’yu/Ijtihad
a. Ijmak.
Ijmak menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat.
Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat
nabi Muhammad SAW. Sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang
hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari ijmak adalah
fatwa yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang
berwenang untuk diikuti seluruh umat. Ijmak berarti menghimpun,
mengumpulkan, atau bersatu dalam pendapat, dengan kata lain ijmak
merupakan consensus yang terjadi di kalangan para mujtahid terhadap
suatu masalah sepeninggal Rasulullah SAW.
Ahli ushul fikih mengemukakan bahwa ijmak adalah kesepatan
para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah
SAW terhadap suatu hukum syariat mengenai suatu peristiwa. Apabila
terjadi suatu peristiwa yang memerlukan ketentuan hukum yang tidak
ditemukan dalam kedua sumber sebelumnya (Al-Quran dan sunnah) maka
para mujtahid mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu peristiwa
dan jika disetujui atau disepakati oleh para mujtahid lain, kesepakatan
itulah yang disebut ijmak.
Ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki
posisi kuat dalm menetapkan hukum dari suatu peristiwa. Bahkan telah
diakui luas sebagai sumber hukum yang menempati posisi ketiga dalam
hukum Islam. Sejumlah ayat dan hadits nabi menjadi pembenaran teologis
kekuatan ijmak sebagai sumber hukum dalam Islam. Pemberian warisan
kepada nenek laki-laki (jadd) ketika ia berkumpul dengan laki-laki orang
yang meninggal dunia yang dalam keadaan seperti ini nenek laki-laki
tersebut menggantikan ayah (orang yang meninggal) untuk menerima
seperenam dari harta warisan atau harta peninggalannya merupakan contoh
penetapan hukum berdasarkan ijmak sahabat.

7
Dalam transaksi jual beli, misalnya istishna’ atau pemesanan
barang yang baru akan dibuat yang seharusnya tidak boleh,karena dinilai
sama seperti halnya membeli barang yang tidak ada, merupakan contoh
hukum yang bersumber dari hasil ijmak sahabat (Hanafi, 1995: 61)
Penggunaan ijmak sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum suatu
peristiwa secara historis terjadi pasca wafatnya Nabi SAW.
Selama beliau hidup, setiap peristiwa yang muncul selalu diminta
untuk ditetapkan hukumnya sehingga tidak mungkin terjadi perlawanan
hukum terhadap suatu masalah. Ijmak yang memiliki kehujahan sebagai
sumber hukum didasarkan pada sejumlah argumentasi teologis terutama
ayat 59 surah An-nisa’ yang didalamnya terdapat anjuran untuk taat pada
ulil amri setelah taat pada Allah SWT dan Rosul-Nya. Ulil amri dalam
ayat tersebut dipahami sebagai pemegang urusan dalam arti luas mencakup
urusan dunia ( seperti kepala Negara, menteri, legislative, dan lain-lain)
dan pemegang urusan agama seperti para mujtahid, mufti, dan ulama.
Karena itu, apabila ulil amri telah sepakat dalam status hukum
suatu urusan maka wajib ditaati, diikuti, dan dilaksanakan sebagaimana
mentaati, mengikuti, dan melaksanakan perintah Allah SWT dan Rosul-
Nya dalam (QS. An-nisa’ [4] : 83 ): Artinya: Dan apabila datang kepada
mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil
Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu,
tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di
antaramu). (QS. An-nisa’ 4: 83)
Argumentasi yang kedua yang dijadikan pembenaran kehujahan
ijmak sebagai sumber hukum Islam adalah sejumlah hadis Nabi SAW
yang menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari bersepakat membuat
kesalahan dan kesesatan separti hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu
Majah, yang mengatakan : “umatku tidak sepakat untuk membuat

8
kekeliruan.” Hal ini berarti bahwa kesepakatan yang telah dicapai oeh para
mujtahid memiliki kehujahan yang kuat sebagai sumber hukum dalam
Islam dan wajib diikuti oleh umat Islam pada umumnya.
Ijmak adalah kesepakatan ulama dan mujtahid pada masa setelah
Rasulullah SAW wafat. Misalnya kesepakatan sahabat nabi, mengangkat
kalifah Abu bakar, sebagai pengganti Rasulullah SAW. Dalam memimpin
umat islam. Kesepakatan yang lain, misalnya sahabat sepakat untuk
mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-quran yang masih
berserakan agar mudah untuk menjaganya.
b. Qiyas
Qiyas yang berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan
menyamakannya. Dengan kata lain qiyas dapat diartikan pula sebgai suatu
upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang
mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya
adalah pada surat al- isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan “ah,cis,hus”
kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau
menghina, maka qiyas yang diambil adalah berkata seperti itu saja tidak
diperbolehkan, apalagi sampai memukul karena sma-sama menyakiti hati
orangtua.
Secara harfiah berarti analogi atau mengumpamakan. Adapun
menurut pengertian para ahli fikih, qiyas adalah menetapkan hukum
tentang sesuatu yang belum ada nash atau dalilnya yang tegas, dengan
sesuatu hukum yang sudah ada nash atau dalilnya yang didasarkan atas
persamaan illat antara keduanya. Misalnya, menetapkan haramnya
minuman bir yang tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an dengan khamar
yang ada hukumnya di dalam Al-Quran. Menyamakan atau
menganalogikan bir dengan khamar ini didasarkan pada adanya persamaan
illat antara keduanya, yaitu memabukkan.
Qiyas adalah menetapkan suatu hukum terhadap sesuatu hal yang
belum diterangkan dalam al-quran dan hadits, dengan dianalogikan kepada

9
hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-quran atau
hadits, karena keduanya terdapat persamaan sebab.
Contoh haram menggunakan narkotika yang dikiaskan dengan
khamar dalam al-quran, karena keduanya mempunyai persamaan akibat,
yaitu sama-sama memabukkan.

1.Rukun dan Syarat Qiyas

Para ahli Ushul yang mempergunakan qiyas sebagai dalil dalam


menetapkan ketika qiyas itu telah memenuhi rukunnya. Rukun qiyas ada
empat:

a) Ashlun, yaitu merupakan hukum pokok yang diambil


persamaan atau sesuatu yang ada nash hukumnya. Syarat-
syarat ashl:

1) Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang


masih ada pada pokok. Kalau sudah tidak ada
misalnya, sudah dihapuskan (mansukh) maka tidak
mungkin terdapat perpindahan hukum.
2) Hukum yang ada dalam pokok harus hukum Syara’
bukan hukum akal atau hukum bahasa.

b). Far’un, yaitu merupakan hukum cabang yang dipersamakan


atau sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. Syarat-syarat:

1) Hukum cabang tidak lebih dulu adanya daripada


hukum pokok.
2) Cabang tidak mempunyai kekuatan sendiri.
3) Illat yang terdapat pada hukum cabang harus sama
dengan illat yang terdapat pada pokok.
4) Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.

10
c. Illat, yaitu sifat yang menjadi dasar persamaan antara hukum
cabang dengan hukum pokok. Syarat-syaratnya:

1) Illat harus berupa sesuatu yang terang dan tertentu,


2) Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan
nashlah yang didahulukan.

d. Hukum, yaitu merupakan hasil dari qiyas tersebut. Lebih


jelasnya biasa dicontohkan bahwa Allah telah mengharamkan
arak, karena merusak akal, membinasakan badan,
menghabiskan harta. Maka segala minuman yang
memabukkan dihukumi haram. Dalam hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:

1) Segala minuman yang memabukkan adalah far’un atau


cabang artinya yang diqiyaskan.
2) Arak, adalah yang menjadi ukuran atau tempat
menyerupakan atau mengqiyaskan hukum, artinya ashal
atau pokok.
3) Mabuk merusak akal, adalah illat penghubung atau
sebab.
4) Hukum, segala yang memabukkan hukumnya haram.

Bahwasanya Allah SWT tidaklah mensyariatkan suatu hukum


melainkan untuk suatu kemaslahatan dan bahwasanya kemaslahatan
hamba merupakan sasaran yang dimaksudkan dari pembentukan hukum.9
Maka apabila suatu kejadian yang tidak ada nashnya menyamai suatu
kejadian yang ada nashnya dari segi illat hukum yang menjadi mazhinnah
al maslahah, maka hikmah dan keadilan menuntut untuk dipersamakannya
dalam segi hukum, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan yang menjadi
tujuan Syari’ (pembuat hukum) dari pembentukan hukumnya.

11
Keadilan dan kebijaksanaan Allah tidak akan sesuai jika Dia
mengharamkan minuman khamr karena ia memabukkan dengan maksud
untuk memelihara akal hamba-Nya dan minuman keras lainnya yang
didalamnya mengandung ciri-ciri khas khamr, yaitu memabukkan. Karena
acuan larangan ini adalah memelihara akal dari sesuatu yang
memabukkan, sedangkan meninggalkan pengharaman minuman keras
lainnya merupakan suatu penawaran untuk menghilangkan akal dengan
sesuatu yang memabukkan lainnya.

Dan bahwasanya qiyas merupakan dalil yang dikuatkan oleh fitrah


yang sehat dan logika yang benar, sesungguhnya orang yang dilarang
meminum minuman karena minuman itu beracun. Maka ia akan
mengqiyaskan segala minuman yang beracun dengan minuman tersebut.
Maka qiyas merupakan sumber pembentukan hukum yang sejalan dengan
kejadian yang terus menerus datang dan menyingkap hukum Syari’at
terhadap berbagai peristiwa baru yang terjadi dan menyelaraskan antara
pembentukan hukum dan kemaslahatan.

2. Macam-macam Qiyas

Imam Syafi’i membagi qiyas menjadi tiga macem berdasarkan


kejelasan ‘illat, kesamaran, dan prediksinya terhadap persoalan yang
tidak termaktub dalam nash. Qiyas tersebut antara lain qiyas aqwa,
qiyas musawi, dan qiyas adh’af. Para ulama ushul fiqh berikutnya
mengikuti tiga klasifikasi ini.

1. Qiyas Aqwa

Qiyas aqwa adalah analogi yang ‘illat hukum cabangnya


(far’u) lebih kuat daripada ‘illat pada hukum dasarnya (ashl).
Artinya, suatu yang telah dijelaskan dalam nash al-Qur’an atau
hadis tentang keharaman melakukannya dalam jumlah sedikit,
maka keharaman melakukannya dalam jumlah banyak adalah

12
lebih utama. Sedikit ketaatan yang dipuji apabila dilakukan,
maka melakukan ketaatan yang banyak lebih patut dipuji.
Sesuatu yang diperbolehkan (mubah) dilakukan dalam jumlah
yang banyak, maka lebih utama apabila dilakukan dalam
jumlah sedikit.

2. Qiyas Musawi

Qiyas Musawi adalah qiyas yang kekuatan ‘illat pada


hukum cabang sama dengan hukum ashl. Qiyas ini disebut
juga dengan istilah qiyas fi Ma’na al-Ashl (analogi terhadap
makna hukum ashl), qiyas jali analogi yang jelas), dan qiyas bi
nafyi al-fariq (analogi tanpa perbedaan ‘illat). Imam Syafi’i
tidak menjelaskan qiyas bagian kedua ini dengan jelas.
Pembahasan mengenai qiyas ini hanya bersifat dalam
pernyataan, “Ada ulama yang berpendapat seperti pendapat ini,
yaitu apa-apa yang bersetatus halal, maka ia menghalalkannya,
dan apa-apa yang berlabel haram, maka ia mengharamkannya”.

Maksud dari pernyataan ini adalah qiyas yang mempunyai


kesamaan ‘illat pada hukum cabang dan hukum ashl. Adanya
kesamaan ‘illat tersebut bersifat jelas, sejelas nash itu sendiri.
Dari sinilah sebagian ulama meggolongkan dilalah nash
tersebut dalam kategore qiyas. Qiyas kategori ini jelas berbeda
dengan qiyas yang pertama, sebab ‘illat pada hukum cabang
lebih kuat daripada hukum ashl.

Dari pernyataan Imam al-Ghazali tanpaknya dia setuju


mengategorikan kesimpulan ini dalam bahasan qiyas.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Mustashfa’. “Tingkatan
yang kedua adalah kandungan makna pada nash yang tersirat
‘illat –nya sama dengan yang tersurat, yakni tidak lebih kuat

13
atau lebih rendah. Sehingga disebut juga sebagai qiyas fi Ma’na
al-ashl. Namun para ulama masih berbeda pendapat seputar
pemahaman qiyas ini.

3. Qiyas Adh’af

Qiyas adh’af adalah analogi yang illat pada hukum


cabangnya (far’) lebih lemah daripada ‘illat pada hukum
dasarnya (ashl). Dalam kitab ar-Risalah, Imam Syafi’i berkata,
“Sebagian ulama enggan menyebutkan sebagian qiyas, kecuali
ada kemungkinan kemiripan yang dapat ditetapkan dari dua
makna yang berbeda. Lalu dianalogikan terhadap salah satu
makna tersebut, bukan kepada yang lainnya.” Menurut imam
ar-Razi, Imam Syafi’i telah membagi qiyas jenis kedua ini ke
dalam dua bagian, yakni qiyas al-ma’na(analogi yang
didasarkan sebab hukum) dan qiyas al-syabah(analogi yang
didasarkan pada kemiripan).

Dalam kitab Manaqib asy-syafi’i, ia menegaskan, adanya


‘illat pada hukum cabang lebih lemah daripada ‘illat pada
hukum ashl. Qiyas seperti ini terbagi kedalam dua macam.
Pertama, qiyas al-ma’na, yaitu pencarian ‘illat hukum dalam
objek yang sama antara hukum cabangdan hukum ashl, lalu
‘illat pada hukum cabang dijadikan pedoman untuk
menemukan ketetapan hukumnya.

Kedua, tidak perlu adanya penggalian makna sama


sekali, tetapi dengan cara penelitian pola hukum dalam satu
kejadian dengan menggunakannya pada dua kejadian yang
berbeda, lalu dicari satu precendent (contoh) yang paling
banyak kemiripannya. Proses analogi dengan mencari

14
kemiripan untuk hukum inilah yang lazim disebut qiyas asy-
syabah.

Selanjutnya Imam Syafi’i menyebutkan berbagai contoh


mengenai qiyas bagian tiga ini. Saya hanya akan mengutip dua
contoh saja, satu contoh untuk menjelaskan qiyas al-‘illah dan
satu contoh untuk menerangkan qiyas asy-syabah. Berikut
contoh-contohnya: Allah SWT berfirman: Artinya: “Para Ibu
hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian para ibu
dengan cara yang ma’ruf.” “Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.”
Rasulallah SAW pernah menyuruh Hindun binti ‘Utbah
mengambil harta Abu Sufyan (suaminya) untuk mencukupi
kebutuhan anak-anaknya, meski tanpa seizin suaminya.

Kitabullah dan Sunnah Rasulallah menunjukkan bahwa


ayah berkewajiban menanggung anaknya yang masih
menyusui dan memberi nafkah kepada anak-anaknya yang
masih kecil. ‘Illaat hukum pada ayat ini adalah adanya
hubungan darah antara anak dan ayahnya. Sebaliknya, apabila
kondisi ayah sudah tidak sanggup lagi memberikan nafkah,
sementara anaknya sudah mapan, maka anak berkewajiban
merawat ayah dan menafkahinya. Kewajiban anak ini
merupakan hukum yang diperoleh berdasarkan qiyas.

Kewajiban ini tetap berlaku terhadap kedua orang tua,


kakek, dan seterusnya, karena hubungan darah bersifat
permanen dan tidak dipisahkan, yang disebut sebagai hukum
kekerabatan." Contoh berikutnya: Artinya: “Hai orang-orang

15
yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan,
ketika kamu sedang ihram. Barang siapa diantara kamu
membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah
mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan
yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di
antara kamu, sebagai hadd-nya yang dibawa sampai Ka’bah.”
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk membayar denda
secara sepadan sesuai dengan keputusan dua hakim yang adil.

Karena memakan binatang buruan diharamkan secara


umum, maka denda untuk binatang binatang buruan itu harus
dengan binatang lain yang sepadan ukurannya. Keputusan
seperti ini diberlakukan juga oleh sebagian sahabat Rasulallah
SAW. Misalnya, denda untuk hyena (sejenis srigala) adalah
seekor kambing jantan, kijang padanya seekor kambing betina.
Maksudnya denda yang sepadan adalah sepadan dalam
ukurannya, bukan dalam harganya.

3. Kedudukan Qiyas

Imam Syafi’i menempatkan qiyas di urutkan keempat dalam


hirarki sumber-sumber hukum syara’, yaitu setelah al-Qur’an, hadis,
dan ijma’. Karena itu, bisa dikatakan bahwa ijma’ kadang ditetapkan
berdasarkan qiyas. Ijma’ tidak dapat disandarkan pada qiyas, karena
kekuatan dalilnya lebih kuat daripada qiyas itu sendiri. Namun
demikian, seandainya ijma’ ditetapkan berdasarkan qiyas atau hadis
ahad,, maka kedudukan ijma’ tetap bersifat pasti (qath’i), karena banyak
dalil-dalil yang menunjukkan kepastiannya

c. Al-mashlahat al-mursalah

Menurut bahasa berati kesejahteraan umum. Adapun menurut


istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemashalatan

16
manusia. Contohnya, dalam alquran maupun hadist tifak terdapat dalil
yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat alquran. Akan tetapi
hal ini dilakukan umat islam demi kemashalatan umat.
Secara harfiah berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi orang
banyak. Adapun menurut para ahli hukum Islam, Al-mashlahat al-
mursalah adalah sesuatu yang didalamnya mengandung kebaikan bagi
masyarakat, sehingga walaupun pada masa lalu hal tersebut tidak
diberlakukan, namun dalam keadaan masyarakat yang sudah makin
berkembang, keadaan tersebut dianggap perlu dilakukan. Misalnya,
pembukuan Al-quran dalam bentuk mushaf seperti yang ada sekarang
perlu dilakukan, mengingat jumlah para penghafal Al-Quran makin sedikit
karena meninggal dunia, serta pertentangan dalam membaca Al-Quran
sering terjadi
Mashlahat mursalah adalah mentapkan hukum terhadap persoalan
ijtihadiyah. Atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai
dengan tujuan syariat. Contoh, larangan kantin sekolah menjual rokok agar
siswa tidak merokok.
d. ‘Urf
Berupa perbuatan yang dilakukan terus menerus (adat), baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Contohnya dalah dalam hal jual beli.
Sipembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah
diambilnya tanpa mengadakan ijab kobul karena harga telah dimaklumi
bersama antara penjual dan pembeli.
Secara harfiah berarti sesuatu yang berlaku atau yang sudah
dibiasakan. Adapun menurut para ahli hukum Islam, ‘urf adalah sesuatu
yang berlaku dimasyarakat atau tradisi yang mengandung nilai-nilai
kebaikan bagi masyarakat. Contonya kebiasaan merayakan hari raya yang
pada zaman sebelum Islam, namun dinilai mengandung kebaikan, maka
tetap dilanjutkan.
Urf adalah adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan ajaran
islam dapat dijadikan sebagai sumber hukum islam. Contohnya, jual beli

17
dengan isyarat (tidak menggunakan akad jual beli) dan pembeli
memberikan uang seharga barang, kemudian mengambil barang tertentu.
Hal ini boleh karena keduanya sama-sama beruntung.
Setidaknya ada tiga alasan penguat yang mendasari urf diterapkan
sebagai sumber hukum Islam sebagaimana berikut: Pertama, apa yang
dipraktekkan dimasa Nabi Saw dimana haji dan umrah umat Islam tetap
melanjutkan apa yang dipraktekkan jauh sebelum Islam. Berbagai ritual
Arab seperti talbiyah, ihram, wuquf dan lain-lain diteruskan untuk
diterapkan dalam praktek haji umat Islam, kendati ritual lain dalam haji
seperti harus melakukannya dalam keadaan telanjang dihilangkan.
Demikian juga dengan hukum qisah dan diyat dimana keduanya
merupakan praktek budaya masyarakat pra Islam. Kedua budaya ini lalu
diafirmasi menjadi bagian dari ajaran Islam. 12 Abdul Karim menyebut
pola rekruitmen adat-istiadat atau tradisi masyarakat Arab ke dalam
hukum Islam mengambil tiga pola. Pertama, shari‟ah mengambil sebagian
tradisi itu dan membuang sebagian yang lain. Kedua, Islam mengambil
sebagian dan membuang sebagian yang lain dengan melakukan
penambahan dan pengurangan sana-sini. Ketiga, Islam mengadopsinya
secara utuh tanpa ada perubahan bentuk dan identitasnya. 13 Ketiga pola
ini tidak mengganggu pada bentuk, prinsip dan isi shari‟ah Islam secara
umum. Kedua, setelah wafatnya Nabi Saw, para sahabat juga mendasarkan
hukum-hukum Islam yang ada dengan „urf masyarakat sekitar. Pada masa
dimana Islam melakukan ekspansi besar-besaran, maka terlihat jelas
bahwa Islam sangat memperhatikan budaya local masing-masing.
Khalifah Umar sebagai missal mengadopsi sistem dewan dan
tradisi masyarakat Persia. Di samping itu juga, Umar juga megadopsi
system pelayanan pos yang juga menjadi tradisi sasanid dan Kerajaan
Byzantium. 14Ini semua mengukuhkan bahwa para sahabat meneruskan
langkah Nabi Saw. yang bersikap akomodatif terhadap kearifan local
(local wisdom). Ketiga, generasi tabi‟in yang hidup setelah sahabat juga
memasukkan klausul „urf dalam sumber hukum Islam. Madzhab Hanafi

18
misalnya membangun fiqhnya atas dasar „urf. Al-Nu‟man ibn Thabit Ibn
Zuti yang dikenal dengan Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
menggunakan tradisi Kufah sebagai dasar penetapan hukumnya yang
diakomodir dalam konsep istihsan. Bahkan, Abu Hanifah menolak qiyas
demi mengunggulkan „urf. 15. Al- Syaibani (w. 189 M/805 M), seorang
pengikut Abu Hanifah, menyatakan bahwa aturan interpretasi yang
sifatnya teoritis dan menunjukkan undangundang berasal dari „urf.
Abu Yusuf (w. 182 H/795 M) mengatakan bahwa adat menjadi
pertimbangan utama dalam system hukum madhhab Hanafi ketika nash
yang jelas tidak dapat ditemukan. 17Masih menurut Abu Yusuf, jika suatu
nash yang berasal dari adat kebiasaan atau tradisi tertentu dan kebiasaan
tersebut kemudian mengalami perubahan, maka hukum yang ditegaskan
oleh nas tersebut menjadi gugur. Hal demikian ini, menurut Abu Yusuf,
bukan bentuk pengabaian nash, melainkan merupakan salah satu cara
menakwilkannya.
Imam Malik juga menerima „urf sebagai sumber hukum Islam.
Kita bisa melihat beberapa karya Imam Malik seperti al-Muwatta‟, al-
Mudawanah, dan Fath al-Ali al-Malik mendasarkan hukum-hukumnya
pada kemaslahatan umum, dimana a „urf Ahli Madinah salah satunya.
Imam Malik sering menggunakan istilah “praktek yang kita setujui”
menunjukkan bahwa „urf Ahli Madinah dalam pandangan Imam Malik
merupakan salah satu sumber hukum yang paling kuat, bahkan lebih kuat
daripada hadith Ahad. Karena berdasarkan „urf Madinah ini, maka Imam
Malik membebaskan para wanita ningrat dari pelaksanaan aturan Qur‟an
yang memerintahkan para ibu untuk menyusui anak-anak mereka, karena
adat para wanita ningrat di Madinah tidak menyusui anak-anak mereka.

e. Istihsan
Istihsan yang berarti suatu proses perpindahan dari suatu qiyas
kepada qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan
fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudaratan atau dapat

19
diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika
dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syara’ kita dilarang
mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan
tetapi menurut ihtisan syara’ memberikan rukhsah (kemudahan atau
keringanan) bahwa jual beli diperbolehakan dalam sistem pembayaran
diawal seangkan barangnya dikirim kemudia.
Secara harfiah berarti memandang sesuatu sebagai yang baik.
Menurut Islam, istihsan artinya segala sesuatu yang dipandang manusia
pada umumnya sebagai hal yang baik, dan tidak bertentangan dengan al-
Quran dan sunnah. Penggunaan istihsan ini antara lain didasarkan pada
sabda Rasulullah SAW : Artrinya : “segala sesuatu yang dinilai oleh kaum
muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka yang demikian itu disisi Allah
dipandang sebagai hal yang baik.”
Istihsan adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada
suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara,
menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga,
karena ada suatu dalil syara yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Contohnya pada kasus al-ajir al-musyitarak(pekerja yang terikat pada
banyak orang) seperti tukang jahit yang kehilangan bahan. Dilihat dari
kacamata qiyash, ia tidak wajib mengganti apabila bukan karena
kelalainnya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan, ia wajib
menggantinya untuk menjaga agar hak milik orang tidak disia-siakan
f. Qaul al-shahabat
Secara harfiah berarti ucapan sahabat. Dalam pengertian umum,
Qaul al-shahabat adalah pendapat, pandangan, pikiran, dan perbuatan para
sahabat yang sejalan denganAl-Quran dan sunnah. Penggunaan Qaul al-
shahabat sebagai dasar hukum, mengingat para sahabat selain sebagai
orang yang dekat, bergaul dan ikut berjuang dengan Rasulullah SAW, juga
memang memiliki pemikiran, gagasan, dan karya-karya yang layak untuk
dijadikan bahan renungan dan pertimbangan dalam mengembangkan
ajaran Islam pada masa selanjutnya.

20
g. Syar’un man qablana
Secara harfiah berarti agama sebelum kita. Dalam pengertian yang
lazim, Syar’un man qablana adlah ajaran yang terdapat didalam agama
yang diturunkan Tuhan sebelum Islam yang terdapat di dalam kitab Zabur,
Taurat, Injil yang masih asli yang tidak bertentangan dan masih sesuai
dengan kebutuhan zaman. Di dalam kitab Taurat yang ditinggalkan Nabi
Musa misalnya terdapat ajaran mengesakan Tuhan, larangan
menyekutukan-Nya, memuliakan kedua orang tua, memiliki kepedulian
terhadap kerabat, orang miskin, ibnu sabil, bersikap boros, membunuh
anak, berbuat zina, memakan harta anak yatim, mengurangi timbangan,
menjadi saksi palsu, dan larangan bersikap sombong.
Ajaran yang dibawa Nabi Musa ini terus dilanjutkan oleh Nabi
Muhammad SAW, sebagaimana terdapat dalam QS. Bani Israil (17) ayat
23 sampai dengan ayat 37. Ajaran yang pernah berlaku pada zaman Nabi
Musa itu, masih tetap diberlakukan dimasa sekarang, karena masih
dianggap cocok dan dibutuhkan untuk zaman sekarang dan yang akan
datang.
h. Suddudz Dzariah
Menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah
adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah mejadi makruh atau
haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan
meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum
seteguk tidak memabukkan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar
jangan sampai orang-orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan
sampai kebiasaan.

i. Istishab
Istishab yang berarti melanjutkan berlakunya hukum yang tekah ada
dan telah ditetapkan dimasa lalu hingga ada dalil yang mengubah
kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seorang yang ragu-ragu dia sudah

21
berwudhu atau belum. Disaat seperti ini ia harus berpegang atau yakin
kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali
karena solat tidak sah bila tidak berwudhu.
2.3.Syarat-syarat Ar ra’yu/ijtihad
Dalam berijtihad juga terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi
sebagai berikut
1. Memiliki pengetahuan yang luas
2. Memahami dan menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agam
islam misalnya ilmu fiqih, tarikh atau sejarah, dan bahasa arab.
3. Mengerti dan pahamtentang cara menyusun dan merumuskan
hukum (istinbat)
4. Memiliki pribadi yang baik dan perilaku terpuji yang dapat
menjadi contoh bagi orang lain
2.4. Kedudukan ar ar’yu/ijtihad
Kedudukan hukum ijtihad terletak setelah hukum al-quran dan hadits.
Hasil dari ijtihad dapat digunakan ketika kita sudah tidak dapat
menemukan jawaban yang sesuai dalam al-quran dan hadits atas suatu
persoalan. Oleh karena itu, setiap ijtihad harus mengambil kandungan
dalam al-quran dan hadits sebagai pedomannya. Nabi Muhammad SAW.
Pernah bersabda dalam hadits berikut
Dari mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad SAW ketika mengutusnya
ke yaman, ia bersabda, “bagaimana engkau akan memutuskan suatu
perkara yang dibawa orang kepadamu ?” mu’az berkata “saya akan
memutuskan menurut kitabullah(al-quran)” lalu Nabi berkata, “dan jika
didalam kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”
mu’az menjawab, “jika begitu saya akan memutuskan menurut sunnah
Rasulullah SAW...” kemudian, nabi bertanya lagi, “dan jika engkau tidak
menemukan sesuatu hal itu didalam sunnah?” mu’az menjawab “saya akan
mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihadu bi ra’yi) tanpa
bimbang sedikitpun...” kemudian, nabi bersabda.”maha suci Allah SWT

22
yang memberikan bimbingan kepada utusan rasulnya dengan suatu sikap
yang disetujui rasulnya.” (hadits riwayat darami).
Sesungguhnya orang yang berijtihad apabila ijtihadnya itu benar maka
dia akan memperoleh dua pahala. Akan tetapi apabila setelah berijtihad
kemudian ijtihadnya salah, maka dia akan mendapatkan satu pahala saja.

23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa sumber ajaran islam ada tiga macam, yaitu Al-qur’an,
hadits dan ijtihad. Ijtihad sebagai sumber ajaran karena
melalui konsep ijtihad, setiap peristiwa baru akan didapatkan
ketentuan hukumnya Dari pemaparan makalah kami tersebut
kita tahu bahwa sumber ajaran islam sangat penting sebagai
pedoman hidup, untuk itu hendaknya apabila kita melenceng
dari salah satu sumber ajaran tersebut, maka akan
menjadikan hal yang fatal.

3.2 Saran
Alqur’an, Alhadits adalah sumber hukum Islam begitu
juga dengan ijtihad, Oleh karenanya diharapkan dan
diharuskan agar semua umat Islam menjadikan ketiganya
sebagai pedoman hidup dan dasar hukum dalam Islam.

24
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Nursalimi. 2004. Dasar-dasar pendidikan agama islam.


Jakarta: Bumi Aksara.

Ali, Zainudin. 2007. Pendidikan agama islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Jauhari, Mohammad Ajwad. 2019. Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti.
Surakarta : Putra Nugraha.

Muchtar, Nashikun. 2011. Pendidikan agama islam untuk SMK dan MAK Kelas
X. Jakarta : Erlangga

Sukari. 2010. Pendidikan Agama Islam untuk kelas X. Surakarta : Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri.

Syamsari. 2007. Pendidikan agama islam untu SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga.

Tim Dosen PAI Universitas Jambi, 2012. Pendidikan agama islam. Jakarta
Selatan : Gaung Persada Press Jakarta.

Tim Dosen MPK-PAI Universitas Jambi, 2014.pendidikan agama islam berbasis


karakter. Jakarta selatan : Gaung Persada Press Jakarta.

Tim Dosen PAI Universitas Jambi, 2018. Pendidikan agama islam berbasis
karakter dan modernisasi. Tangerang Selatan : GP Press Group.

Tim Dosen PAI Universitas Jambi, 2017.Pendidikan Agama Islam Berbasis


Karakter. Jakarta Selatan : Gaung Persada Press Group.

https://www.neliti.com/id/publications/58139/rayu-sebagai-sumber-hukum-islam

https://www.academia.edu/35816109/MAKALAH_SUMBER_HUKUM_ISLAM

https://www.academia.edu/11905986/Sumber_Hukum_Islam

https://www.academia.edu/12897035/IJTIHAD_SEBAGAI_SUMBER_AJARAN
_ISLAM

http://eprints.walisongo.ac.id/589/2/082111034_bab2.pdf

25

Anda mungkin juga menyukai