DOSEN PEMBIMBING :
DISUSUN OLEH :
FAKULTAS PERTANIAN
PRODI AGRIBISNIS
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama ALLAH SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya.yang telah melimpahkan rahmat, hidayat, dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “IJTIHAD SEBAGAI
SUMBER DAN METODOLOGI HUKUM ISLAM”
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun taat bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang “IJTIHAD SEBAGAI SUMBER DAN
METODOLOGI HUKUM ISLAM” ini dapat memberikan manfaat maupun wawasan terhadap pembaca
terutama bagi mahasiswa.
Penulis
-1-
DAFTAR ISI
-2-
BAB I
PENDAHULUAN
-3-
BAB II
IJTIHAD
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek dan target capaian ijtihad adalah :
1. Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqh, bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i bidang amali (furu’iyah) yaitu hukum yang
berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.
3. Hukum syar’i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah dhanni.
Status dhanni pada hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut, ia benar tapi
mengandung kemungkinan salah. Hanya saja menurut Mujtahid yang bersangkutan porsi kebenarannya
lebih absolut. Atau sebaliknya ia salah tapi mengandung kemungkinan benar.
Sandaran kerja ijtihad salalu pada dalil dhanni baik dhanniyu al-subut atau al-dalalah, seperti pada :
a. Hadits ahad : dikategorikan dalil dhanniyu al-subut, mujtahid sebelum menyimpulkan hukum lebih
dulu menyelidiki kondisi sanad dan segi patut tidaknya hadits tersebut dijadikan dasar hukum.
b. Ayat al-Qur’an adalah dalalah lafadz (penunjukan maksud kata-katanya) perlu pengujian mutu tafsir
atau mutu takwil-nya, demikian juga segala pertentangan dengan ayat lain (ta’arudh an-nushus) serta
penunjukan ‘am-khasnya dan lain-lain.
Abdul Wahab Khallaf menerangkan bahwa ijtihad juga meliputi pengerahan segenap kesanggupan
untuk mendapatkan hukum syara’ yang tidak ada hasilnya, disebut dengan (al-ijtihad bi al-ra’yi). Ijtihad
bi al-ra’yi merupakan satu macam ijtihad dalam arti umum yang meliputi pengertian :
-4-
1. Ijtihad untuk mendapatkan hukum yang dikehendaki nashnya yang dhanni dalalahnya. Hukum yang
diperoleh berupa penafsiran berkualitas terhadap ungkapan nash al-Qur’an dan Hadits.
2. Ijtihad untuk mendapatkan hukum syar’i amali (furu’iyah) dengan cara menetapkan qaidah syar iyah
kulliyah.
3. Ijtihad untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh
suatu nash secara langsung yang disebut dengan “Ijtihad al-Ra’yi”.
ٍ ق لَ ُك ْم ِم ْن أَ ْنفُ ِس ُك ْم أَ ْز َواجًا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرحْ َمةً ۚ إِ َّن فِي َٰ َذلِكَ ََليَا
َت لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون َ ََو ِم ْن آيَاتِ ِه أَ ْن َخل
Artinya : "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (QS. Ar-Rum : 21).
2. As-Sunnah
Adapun Sunnah yang menjadi dasar ijtihad di antaranya hadis Amr bin al-'Ash yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi
Muhammad bersabda :
"Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian dia benar maka ia
mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah
maka ia mendapatkan satu pahala." (Muslim, II, t.th: 62)
-5-
Ditinjaudari segi historis ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman nabi muhammad SAW,
kemudian berkembang pada masa sahabat, dan tabiin, serta generasi berikutnya hingga kini dan
mendatang dengan memiliki ciri khusus masing-masing. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari
‘amr ibn al-‘ash ra. Ia mendengar rosulullah bersabda:” apabila seorang hakim hendak menetapkan
suatu hukum, kemudian dia berijtihad dan ternyata ijtihadnya benar, maka baginya dua pahala, dan
apabila ijtihadnya salah baginya satu ganjaran.”
Demikian juga sebuah hadis yang sangat populer di kala nabi muhammad SAW, hendak
mengutus muadz sebagai hadis qodli’ (hukum) di Yaman, nabi bertanya kepadanya:dengan apa kamu
memutuskan perkara muadz? lalu muadz menjawab: dengan sesuatu yang terdapat dalam kitabullah.
Kalau kamu tidak menemukannya dalam kitabullah?”pert`nyaan nabi selanjutnya.” Aku akan
memutuskan menurut hukum yang ada dalam sunnah rosulullah,” jawab muadz lagi” kalau tidak kamu
jumpai dalam kitabullah maupun dalam sunnah rosulullah?” Beliau mengakhiri pertanyaannya, muadz
menjawab:”aku akan berijtihad dengan fikiranku sendiri”. Mendengar jawaban itu rosulullah
mengakhiri dialognya sambil menepuk dada muadz seraya beliau bersabda: “segala puji bagi allah yang
telah memberikan petunjuk pada utusan rosulya ke jalan yang di ridhoi oleh rosulullah”
Menyimak beberapa riwayat di atas dapat di pahami bahwa terjadinnya ijtihad pada masa nabi
muhammad SAW bukan semata-mata disebabkan atas dorongan nabi sendiri, namun juga lahir atas
inisiatif dari sebagian sahabat, sebagaiman tergambar dari hadis muadz di atas, baru pada masa sahabat,
ijtihad benar-benar mulai berfungsi sebagai alat penggali hukum guna menyelesaikan berbagai kasus
yang dihadapi umat islam yang hukumnya tidak secara tegas di jumpai dalam al-quran dan sunnah,
maka muncullah para sahabat terkemuka, seperti abu bakar, umar, utsman, dan ali, sebagai pelopor
melakukuan ijtihad. Oleh karena itu mereka selalu bersikap:
a. Hanya berijtihad terhadap masalah-masalah yang terjadi.
b. Suka tukar menukar informasi
c. Sering bermusyawarah untuk memecahkan masalah(ijma’).
d. Tidak menganggap pendapatnya paling benar sendiri, tetapi menghargai pendapat orang lain.
e. Segera menarik fatwanya setelah mengetahui beberapa sunnah yang bertentangan dengan fatwanya.
Pada masa daulat bani umayyah(661-750) atau periode tiga, berlakunya ijtihad sama dengan priode-
priode sebelimnya meskipun situasi dalam keadaan perpecahan politik, banyak pemalsuan hadis dan
tersebarnya fatwa yang berlawanan. Sebagai puncaknya, muncullah beberapa mujtahid pada periode IV
(bani Abbasiyah), dimana pada fase ini fiqih islam mencapai puncak kejayaan bersam dengan kemajuan
islam di berbagai bidang. Sehingga periode ini sering di sebut ijtihad dan lahir para mujtahid seperti:
a. Imam abu hanifah(150 H) di kuffah
b. Imam Malik bin Anas(179H) di madinah.
c. Imam Syafi’i (240 H) di Baghdad dan pindah ke mesir
d. Imam Ahmad bin Hambal(241 H) di Baghdad
Selain empat imam madzhab di atas, sejarah juga mencatat mujtahid-mujtahid terkenal lainnya
seperti: imam zay ibn ali ibn al-khusain(80-122 H), imam ja’far al shoddiq(80-148 H), dan masih
banyak lainnya.
Sesungguhnya apabila ijtihad itu tidak ada maka akan memberikan dampak negatif pada umat islam
karena hukum-hukum islam yang semula dinamis menjadi statis dan kaku, sehingga islam tertinggal
zaman, bahkan masih banyak kasus baru yang hukumnya belim di jelaskan oleh al-quran dan sunnah,
-6-
serta belum di bahas oleh ulama’-ulama’ terdahulu. Demikian juga akan menutup kesempatan bagi para
ulama’ untuk menciptakan pemikiran-pemikiran baik dalma memanfaatkan dan menggali sumber
hukum islam sebagaimana di ungkapkan oleh ibn taimiyah bahwa seorang tidak berhak untuk
memaksaorang lain dan mewajibkan sesuatu pada mereka, selain yang telah di wajibkan allah dan
rasulullah, dan tidak boleh pula melarang kecuali sesuatu yang telah dilarang oleh allah dan rasulnya,
termasuk berijtihad.
-7-
Perintah untuk mengembalikan masalah kepada al-Qur’an dan Sunnah ketika terjadi perselisihan
hukum ialah dengan penelitian seksama terhadap masalah terhadap masalah yang nashnya tidak tegas .
Demikian juga sabda Nabi SAW: “Jika seorang hakim bergegas memutus perkara tentu ia melakukan
ijtihad dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua pahala.Jika ia bergegas memutus perkara
tentu ia melakukan ijtihad dan ternyata hasilnya salah , maka ia mendapat satu pahala”.(HR.Asy-Syafi’i
dari Amr bin ‘Ash) .Hadits ini bukan hanya memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga menunjukkan
kepada kita bahwa perbedaan perbedaan pendapat hasil ijtihad bisa di lakukan secara individual (ijtihad
fardi) yang hasil rumusan hukumnya tentu relatif terhadap tingkat kebenaran.
-8-
Dalam pandangan ulama’ salaf wilayah ijtihad terbatas pada masalah-masalah fiqhiyah, akan
tetapi pada akhirnya wilayah tersebut berkembang pada berbagai aspek keislaman yang meliputi:
Aqidah, filsafat, Tasawuf, dan feqih. Ibnu qoyyim mengatakan bahwa haram hukumnya memberikan
fatwa hasil ijtihad yang menyalahi nas, bahkan ijtihad menjadi gugur jika ditemukan nashnya.
Sebagaimana diungkapkan oleh imam syafi’i:’” bila ada hadis shahih maka buanglah pendapatmu yang
mengaikat dan benarkan hadis itu”.
Imam Ahmad berkata,”menurutku, perkara yang paling baik bagi Asy-Syafi’i adalah jika
mendengarkan hadis belum diterima kemudian ia merujuk hadis itu dan meninggalkan pendapatnya”.
Kaitanya dengan wilayah ijtihad, tidak semua masalah hukum bisa menjadi objek ijtihad. Hal-hal
yang tidak boleh di ijtihad antara lain:
a. Masalah qoth’iyah, yaitu masalah yang sudah ditetapkan hukumnya dengan dalil-dalil yang pasti,
baik melalui dalil naqli maupun aqli, hukum qoth’iyah sudah pasti keberlakuannya sepanjang masa
sehingga tidak mungkin adanya perubahan dan modifikasi serta tidak ada
peluang menginstimbatkan hukum bagi para mujtahid. Contoh: kewajiban sholat, puasa, zakat, dan
haji, untuk masalah tersebut al-Qur’an telah mengatur dengan dalil yang shorih(tegas). Contoh lain:
Bilangan rakaat sholat fardhu, cara menunaikan ibadah haji yang telah di tunjuk oleh hadist
mutawatir. Untuk masalah tersebut tidak ada peluang untuk diijtihadkan, kewajiban kita hanya
melaksanakan petunjuk nash. Sebagaiman bunyi kaidah ushuliyah: tidak berlaku ijtihadpada
masalah yang telah ada nash dengan status qath’iy (dalalahnya) dan tegas. Demikian juga ijtihad
akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihadnya berlawanan dengan nash.
b. Masalah-masalah yang telah diijinkan oleh ulama’ mujtahid dari suatu masa, demikian pula
lapangan hukum yang bersifat ta’abbudi (gharu ma’qulil makna) dimana kualitas ‘illat hukumnya
tidak dapat di cerna dan diketahui oleh akal mujtahid. Seperti pemberian 1/6(seperenam) pusaka
untuk nenek erempuannya.
Adapun masalah-masalah yang dapat diijtihadkan antara lain: masalah Dzanniyah, yaitu masalah-
masalah yang hukumnya belum jelas dalil nashnya, sehingga memungkinkan adanya wilayah ijtihad dan
perbedaan pendapat.
Masalah Dzanniyah terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Hasil analisa para teolog yaitu masalah yang tidak berkaitan dengan aqidah keimanan seseorang.
Seperti Apakah Allah wajib berkehendak baik atau lebih baik ? sebagian ahli kalam(teolog)
mewajibkannya, karena hal itu membatasi kekuasaan Allah.
2. Aspek Amaliyah yang dzany, yaitu masalah yang belum ditentukan kadar dan kreterianya dalam
nash. Contohnya, batas-batas menyusui yang dapat menimbulkan mahrom, sebagaian berpendapat
sekali sussan, ada yang tiga kali susuan dan lain-lain.
3. Sebagai kaidah-kaidah dzanni yaitu masalah qiyas, sebagian ulam’ memeganginya karena qiyas
merupakan norma hukum tersendiri, dan sebagian tidak karena qiyas bukan merupakan norma
hukum tersendiri melainkan metode pemahaman nash.”
Pembagian tersebut dapat di simpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas pada masalah yang
hukumnya ditunjukkan oleh dalil dzanni, kemudian dikenal dengan istilah masalah fiqih dan masalah
hukumnya sama sekali tidak di singgung oleh al-Quran, sunnah maupun ijtima’. Hal ini merupakan
masalah baru atau hukum baru.
-9-
Apabila ijtima’ ini bertentangan dengan nas, maka ijtihad itu batal, karena tidak ada ijtihad terhadap
nash.
Memperhatikan fokus dalam kegiatan ijtihad terhadap nashterlihat upaya seoptimal mungkin
menarik kesimpulan hukum dan sumber-sumernya. Oleh karena itu kegiatan ijtihad terbagi menjadi dua
yaitu: ijtihad istimbathi dan ijtihad tathbiqi. Pada ijtihad istimbathi dengan seperangkat kaidah dilakukan
untuk mengantarkan seorang penerap hukum kepada penerapan hukum secara tepat kepada pada suatu
kasus. Dengan kegiatan semacam itu di samping harus mengetahui hukum material dan metode
pengembangannya yang menjadi objek kajian adalah perbuatan manusia dan manusia itu sendiri sebagai
elaku dengan sengaja kondisi dan perubahannya.
Sementara itu, menurut Yusuf al-Qardawi terdapat dua macam bentuk ijtihad yang pantas
dilakukan pada saat ini yaitu ijtihad intiqol dan ijtihad inshal. Ijtihad intiqol yaitu mengadakan studi
komparatif diantara pendapat-pendapat yang ada kemudian memilih pendapat yang dipandang lebih
kuat dalil dan hujjahnya dengan menggunakan alat pengukur yang digunakan dalam mentarjih. Metode
ini sangat tepat untuk masa sekarang, terlebih lagi jika dikonfirmasikan dengan mottoseorang mujtahid
yang mengatakan:”pendapatku adalah benar, tapi mengandung kesalahan, sedangkan pendapat selainku
adalah salah, tetapi mengandung kebenaran. Oleh karena itu, pendapat seorang mujtahid tidak
selamanya benar, tapi di suatu sisi mengandung kesalahan dan untuk itu dapat dicari kebenaraanya
melalui pendapat mujtahid lain.”
Sedangkan ijtihad inshai (ijtihad kreatif) yaitu mengambil konklusi hukum baru dalam suatu
permasalahan, dimana permasalahan tersebut belum pernah dikemukakan oleh mujtahid sebelumnya
baik masalahitu baru atau lama.
Dengan demikian masalah-masalah tersebut menerima berbagai macam interpretasi pendapat
yang berbeda. Pendapat-pendapat orang lain yang juga berhak berijtihad tidak boleh dilakukan begitu
saja. Solusinya adalah menggabungkan antara kedua metode tersebut ijtihad tersebut dengan cara
menyeleksi pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan kuat, kemudian menambahkan
dalam pendapat tersebut unsur-unsur ijtihad baru. Al-Qardawi mengatakan bahwa ijtihad kontemporer
semacam ini akan muncul dalam tiga bentuk perundang-undangan, bentuk fatwa atau dalam bentuk
penelitian.
2.10 Hukum Ijtihad
Ulama berpendapat. jika seorang Muslim dihadapkan kepada satu peristiwa, atau ditanya tentang
suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syarak, maka hukum ljtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain,
wajib kifayah,sunat, atau haram, bergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang Muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas
suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian
hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hukum
ijtihad menjadi wajib ‘ain. Kedua, bagi seorang Muslim yang memenuhi kriteria mujtahid vang diminta
fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain
dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah. Artinya, jika semua
mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa. Sebaliknya,
jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad, maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunat jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak atau belum
terjadi. Keempat, hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas
- 10 -
hukumnya secara gathi’ baik dalam Al-Qur'an maupun al-Sunnah, atau ijtihad atas peristiwa yang
hukumnya telah ditetapkan secara ijmak (Wahbah a-Zuhaili, 1978 498-9 dan Muhaimin, dkk, 1994
189).
- 11 -
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ijtihad berarti mencurahkan segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu (yang sulit) dan
dalam prakteknya digunakan untuk sesuatu yang sulit dan memayahkan.
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai metode
yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum
Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan
manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap
problematika tersebut.
3.2 Saran
Diharapkan dari pembahasan diatas dapat menambah pengetahuan yang lebih mendalam untuk pembaca
makalah Ijtihad sebagai metodelogi hukum Islam.
- 12 -
DAFTAR PUSTAKA
Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN Ampel Press,
2004
Hasan, M.Ali, Perdebatan Madzab, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995
http://bulekh.blogspot.com/2012/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
- 13 -